Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.
Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka sampai saat ini. Mereka juga bertekad untuk menjaga Ibunya, dan membuat Ibunya senang. Melalui lelucon receh yang seringkali mereka buat.
***
Hari cepat sekali berganti malam. Kini tinggalah Cakra dan Cello dirumah baru itu. Kepindahan mereka hanya sedikit saja, mengingat barang pribadi saja yang mereka bawa karena semua perabotan sudah ada disini.
Terdengar suara bel yang dibunyikan, mengisi ketenangan rumah nuansa putih itu. Mengagetkan Cakra yang sedang merapihkan kamarnya.
"Bang, buka pintu sono, gue masih ribet rapihin tugas gue nih, lo dah mau selesai kan pasti." Teriak Cello menggema dari kamarnya. Buru buru Cakra ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Pasti Ibu mereka.
"Assalamualaikum, Cello, Cakra buka pintunya. Ini Ibu" Cakra membuka gagang pintu itu, di depannya wanita cantik yang ia panggil Ibu berdiri dengan senyuman hangat yang menghiasi wajah cantiknya. Matanya sayu tapi senyumnya tak pernah hilang dari sana.Dirinya tau, Ibunya sedang tidak baik baik saja. Tapi beliau memaksa bahwa semuanya akan baik baik saja. Cakra terenyuh, betapa kuat Ibunya. Ia paling tidak bisa melihat orang yang ia sayangi terluka.
Ibunya melebarkan tangan seperti mengajak Cakra untuk lebih dekat dan memeluknya. Hangat, yang ia rasakan. Cakra menghampiri dan langsung memeluknya erat. Satu tetes air jatuh melewati pipinya. Ibunya pun begitu. Masalah keluarga mereka begitu berat. Tak disangka keduanya menangis bersamaan, tetapi mereka saling tidak tau. Hanya beberapa menit, Ibunya kembali melepas pelukan itu.
"Kamu udah makan bang?" Tanya nya perhatian, sembari berjalan masuk ke dalam. Matanya melihat lihat sekeliling. Merasa takjub dengan rumah miliknya sendiri. Ternyata rumah ini sudah lama jadi milik sang Ibu. Tentu saja ini hasil kerja kerasnya. Hanya saja sudah lama kosong karena orang yang menyewa nya sudah lama pindah. Sedikit di poles maka rumah ini sangat amat nyaman untuk ditinggali.
"Belum, Ibu udah selesai semua urusan diluar emang? Wah bawa apatuh, kok abang ga sadar ya. Wah pizza." tangannya mengambil apa yang Ibunya bawa. Lalu ia jalan dan menaruhnya di meja makan.
"Udah, besoknya Ibu mau pergi lagi ke luar kota ada meeting sama klien. Itu tadi Ibu belikan pizza, Kamu di rumah jagain Cello yaa. Jangan berantem. Oh iya jangan lupa bersihin kamar mu, kalo ada apa apa hubungin Ibu ya bang. Ibu mau ke kamar dulu, bersih bersih." Ujarnya melenggang masuk ke kamar nya yang terletak di ujung. Dan menutup pintunya.
"SIAPP BU BOSS, MET ISTIRAHATT. JANGAN MIKIR YANG BERAT BERAT IBUUKU SAYANG." Setengah berteriak Cakra menjawab Ibunya. Tiba tiba kepala Ibunya tersembul dibalik pintu kamarnya.
"Heh, abang kebiasaan nih teriak teriak mulu. Kasian tetangga bang, kupingnya cuma dua ntar copot dua duanya Ibu ga tanggung jawab. Dah ya Ibu mau bobo cantik. Malem ganteng." Ibunya menutup pintu kencang.
Cakra hanya tertawa bodoh. Ibunya meski sedang sedih selalu saja menyembunyikan apa yang di rasakannya dengan membuat lelucon. Dan bekerja lebih keras agar sibuk dan tak mempunyai waktu untuk bersedih. Sama persis dengannya. Padahal Cakra tau tanpa diberitahu, jika Ibunya masih bersedih dengan apa yang menimpa keluarga nya. Di bukanya satu dari empat loyang pizza yang tadi Ibunya bawa. Ia makan dalam diam. Tiba tiba ia teringat wanita yang tadi sore membantunya pindahan.
"Bisa bisanya gue lupa nanya namanya, sial. Bloon banget anjir gue. Mungkin lain kali bakal ketemu lagi. Orang rumahnya di depan. Kalo sekarang gue pengen ketemu juga bisa, gue samperin. Tapi yang jadi pertanyaan, mau ngapain anjer?! Dahlah kapn kapan aja, kaya gaada waktu lain aja." Lesung pipinya bergetar menadakan ia sedang tertawa heran.
"DOORRR." Cello datang mengagetkan tanpa aba aba, tentu saja Cakra kaget akibatnya ia keselek sosis jumbo yang menjadi topping pizza itu. Sedang Cello tertawa terbahak bahak sambil memukul pundak abangnya. Lalu ia memberikan secangkir soda pada Cakra.
"KURANG AJAR, CELLO PONAKAN ABU LAHAB. GABISA LIAT ORANG DIEM SEBENTAR APA YA." Kesal Cakra. Ia cepat cepat minum setelah mengumpat Cello.
"AHAHAHAHAHAHAHA, lagian elo gajelas anjir bang. Masa makan sambil ketawa kek sapi ompong. Jujur komuk lo parah banget. Dahlah cape gue ketawa mulu." Akhirnya Cello bergabung di meja makan dengan satu loyang pizza yang siap disantapnya. Tiba tiba ia teringat perempuan yang membantu abangnya.
"Woi bang, tadi cewek yang bantu lo siapa? Cantik banget dah. Di sekolah gue mana ada modelan begitu." tanyanya penasaran. Tanpa menunggu jawaban ia langsung memasukkan slice pizza ke mulutnya.
"Oh yang tadi? Gue juga gatau namanya hehe." Sembari menyegir tanpa dosa, ia lanjut makan.
"Stress banget punya abang. Dahlah gue mau ke kamar aja. Bye bang." Ia bangun dari meja makan dan membawa pizza nya masuk ke kamar.
Tinggalah Cakra kembali diam menikmati makanannya. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Ia teringat besok ada kelas pagi, cepat cepat ia makan lalu pergi ke kamar untuk tidur. Tidak lupa untuk menyikat giginya sebelum tidur. Hal kecil seperti ini tidak pernah ia lupakan.
***
Ayam tetangga mulai bergantian berkokok, menandakan hari sudah pagi. Cello yang masi kelas dua SMA masuk jam 07.00. Maka ia harus bangun subuh. Jangan salah anak itu termasuk anak yang rajin di sekolahnya. Ia juga termasuk murid yang pintar, tak heran ia populer di sekolahnya sebagai murid teladan dan terkenal karena ketampanannya. Banyak siswi yang menyukainya secara terang terangan. Tapi memang anaknya saja yang ingin fokus dengan sekolah, jadi ia mengesampingkan urusan hati.
Sedangkan Cakra adalah seorang mahasiswa salah satu kampus swasta di Jakarta. Ia berasal dari fakultas seni, karena kencintaan nya terhadap melukis maka ia suka menggeluti bidang ini. Menurutnya seni merupakan wadah yang bisa ia gunakan untuk mengungkapkan ekpresinya. Cakra tidak tertalu populer di kampusnya, mengingat ia ambil kelas yang jarang orang orang ambil. Jadi yang mengenalnya hanya sedikit. Tapi ia termasuk mahasiswa tampan di kampus, mengingat tingkah lakunya yang ramah dan hangat terhadap semua orang, ia dikenal sebagai sesorang yang baik.
Cello dan Cakra tentu saja mewarisi fisik sang Ayah. Keduanya tampan, hanya saja Cakra memiliki lesung yang menambah manis ketika melihatnya tersenyum. Sifat mereka berdua diturunkan dari Ibunya, hanya sedikit sifat Ayah yang diturunkan pada Cello yaitu kepala batunya. sedang Cakra adalah hasil copy paste Ibunya. Meskipun begitu mereka tidak akan menjadi seperti Ayahnya. mereka bertekad sendiri.
Keluarga itu, berkumpul di meja makan. Untuk sarapan pagi, Ibunya terlihat rapih dengan pakaian kantor, Sedang Cello memakai seragam. Cakra sendiri yang masih memakai kaos oblong dan celana piyama. Dia belum berniat rapih rapih untuk pergi ke kampus. Karena kelasnya mulai pukul 09.00. Sekarang masih setengah tujuh pagi. Mereka makan dalam diam, biasanya setelah habis baru berbicara. Suapan terakhir sudah Ibunya habiskan, sekaligus ia membuka obrolan.
"Cello kamu berangkat jam tujuh kan?"
"Iya Bu." Ucapnya sambil mengelap sissa makanan dari bibir tipisnya.
"Yasudah hati hati bawa sepedanya. Abang, tolong jagain Cello ya, Ibu mau keluar kota tiga hari. Kalian jangan nakal, awas aja kalo berantem ketauan Ibu. Ibu ga kasih uanhg jajan tiga hari." Ancamnya bercanda. Padahal, mereka berdua sudah besar tapi masih saja diperlakukan seperti anak umur 4 tahun.
"Siap Bu boss." Jawab mereka serempak.
“Yaudah Ibu udah selesai sarapan nih. Ibu jalan ya.” Sembari melihat arloji, Ibunya bangun dari kursi dan menyalami anak anaknya.
“Belajar yang rajin ya Cello.” Cello hanya mengangguk mengiyakan. Ibunya juga sudah tau tanpa diberitahu. Jika Cello termasuk anak yang rajin dan pintar. Kemudia ia pindah menyalami anak sulungnya.
“Oke, hati hati ya Bu” Ucap Cakra dengan bibir yang penuh busa susu. Terlihat sangat menggemaskan. Sesudah Ibunya pamit, Cello menyusul.
“Bang gue berangkat ya.” Tak lupa ia menyalami tangan Cakra.
“Iya, belajar yang bener. Jangan cewek mulu.”
“Lo tau sendiri HAHA.” Ucapnya sambil melenggang pergi ke gerbang. Dimana sepedanya terparkir.
Setelah semua orang sudah pergi Cakra mencuci semua piring bekas sarapan tadi. Lagi lagi dia melamun, entah apa yang ia pikirkan pagi ini. Setelah mencuci ia segera pergi ke kamarnya dan menyiapkan keperluan untuk ke kampus nanti. Tak terasa waktu berjalan cepat. Cakra pergi ke kampus menggunakan mobilnya. Butuh kurang lebih tiga puluh menit untuk mencapai kampusnya. Setelah sampai ia memarkirkan mobil, lalu turun dari mobilnya. Ia mengambil kelas pagi mulai hari ini. biasanya ia ikut kelas malam. Jadi tak heran jika banyak yang tidak mengenalnya.
Ketika melewati kampus, banyak mahasiswi yang menatapnya kagum. Mungkin baru pertama kali melihatnya sebagai mahasiswa disini. Ia terus saja berjalan dengan senyuman yang tak pernah lepas dari pipinya. Sesekali ia juga menyapa sedikit orang yang mengenalnya. Siapa yang tidak terpesona? Ditambah lagi kampus sedang ramai karena acara bazar. Segerombol wanita sedang berkumpul. Terlihat sekali mereka penasaran, dengan Cakra. Salah satu dari mereka berbisik ke teman disampingnya, yang terdengar Cakra.
"Eh liat deh, dia ganteng banget. Dia dari jurusan apa ya? Kok gue baru liat."
"Loh gue juga baru tau ada cowok seganteng itu di kampus." Yang lain menyaut. Cakra hanya memberikan senyum manisnya dan berjalan fokus. Tiba lah ia di fakultas Seni dan langsung masuk ke kelasnya. Tak lama dosen mata kuliahnya hari ini datang. Beliau memberikan materi di kelas sekitar satu jam. Kelas bubar setelahnya. Cakra adalah seorang terakhir yang pergi meninggalkan kelas. Ia berjalan santai keluar menuju pintu.
Sembari menghirup udara segar, karena matkul tadi begitu cukup membosankan dan membuatnya mengantuk. Ia berdiri menatap sekeliling. Memperhatikan siapa saja yang ada di depan matanya. Tiba tiba tatapannya terpaku pada seorang wanita dengan totebag dinasaurus yang tengah sempoyongan. Cakra langsung menghampirinya. Dan benar saja belum sampai ditempat wanita itu berdiri, ia sudah jatuh tak sadarkan diri. Cakra langsung berlari ke arah wanita itu. Ia membangunkannya dengan menepuk lembut pipinyta. Tetapi tetap saja gadis itu tidak mau bangun. Wajahnya pun terlihat sangat pucat. Tiba tiba ia teringat sesuatu.
(Loh ini bukannya cewek yang bantu pindahan rumah gue kemarin?!) Buru buru ia mengendong gadis yang sedang pingsan itu ke ruang UKS. Kebetulan itu dekat dengan posisinya saat ini.
Seorang wanita cantik mendekati mereka dengan tatapan khawatirnya. Ia menyebutkan Tamara beberapa kali.
(Oh jadi namanya Tamara. Bagus juga.) Cakra tengah sibuk dengan lamunannya, sampai ada yang menepuk bahunya. Ternyata wanita cantik itu.
“Lo bawa mobil ga? Gue minta tolong anterin gue sama Tamara ke rumahnya ya. Please. Gue takut kenapa napa sama temen gue.”
“Boleh, ayo.” Ia membopong gadis itu ke mobilnya. Perjalanan menuju rumah gadis itu sama saja dengan ia pulang ke rumahnya karena mereka memang tetangga.
Setelah sampai rumahnya ia mengendong Tamara ke kamarnya. Lalu Renata menghubungi dokter pribadinya. Tak lama dokter datang. Ia langsung memeriksa Tamara di kamarnya. Sedang Renata keluar bersama Cakra.
“Makasih ya, coba kalo ga ada lo, Gue gatau bakal repot kaya apa. Btw nama gue Renata. Dan yang tadi pingsan Tamara. Kita berdua anak sastra. Lo sendiri? Kayanya gue gapernah liat lo selama ke kampus deh.”
“Sama sama. Santai aja. Gue Cakra anak fakul seni. Gue emang ambil kelas malem jadi ga pernah keliatan kalo pagi. Cuma mulai hari ini bakal pindah ke pagi.”
Dokter keluar dari kamar Tamara.
“Dia gapapa kok. Cuma belum sarapan aja dan sedikit shock. Tolong bilangin kalo udah sadar ya. Jangan memikirkan yang berat berat dulu. Biar cepet pulih. Oke saya pamit ya, Obatnya sudah ada di atas meja. Nanti tinggal di minum aja.”
“Baik dok, Terimakasih banyak.”
Setelah dokter pergi giliran Cakra yang pamit.
“Ren gue pamit ya. Jagain tuh Tamaranya oke.”
“Makasih lagi ya Cakra. Hati hati.” Cakra hanya tersenyum melambaikan tangan.
Ia tertawa pelan, padahal rumahnya hanya tinggal menyebrang jalan.
***
Terkadang tersenyum adalah hal yang paling mudah dilakukan, ketika kamu malas menjelaskan tentang apaun yang kamu rasakan. Dengan begitu, maka orang yang mengasihani kita tak akan pernah khawatir lagi.
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u