Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?
Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.
To : my bf <3
Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu. Tolong percaya.
Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini.
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar Tamara. Bundanya membawa semangkuk sup ayam untuk makan malamnya. Setelah menaruhnya diatas nakas, wanita setengah baya itu terdiam memperhatikan Tamara yang masih terpejam nyenyak. Ia merasa ada yang berbeda dengannya akhir akhir ini. Dipandangnya begitu seksama. Ada bekas lingkaran mata, dan ia melihat jejak air mata yang mengering. Ada apa dengan Tamara? Pikirnya khawatir.
"Ah anak ini, selalu gabisa Bunda ngerti. Pantesan dipanggil daritadi ga nyaut, wong tidur pules gini." Ucapnya sembari duduk di tepi ranjang Tamara, tangannya tak tinggal diam. Ia mengusap rambut putrinya dengan sayang.
"Tam ini Bunda udah buatin sup ayam, bangun dulu dimakan ini, entar keburu dingin." Tamara hanya bergerak gerak tak nyaman. Akhirnya ia membuka sedikit matanya, untuk menjawab Bundanya.
"Iya Bun, nanti aja Tamara mau tidur dulu. udah Bunda ke kamar aja." Ucapnya dengan parau. Ia terlalu malas membuka matanya.
"Yaudah bener ya? Dimakan. Bunda udah masakin loh. Itu juga Bunda bawain susu."
"Iyaa." Matanya tetap saja terpejam.
"Yaudah Bunda balik ke kamar." Setelah itu ia bangun dari tempat nya dan berjalan keluar kamar Tamara. Gadis itu masih terpejam, ia tidak memiliki mood untuk makan. Ia hanya haus, lalu ia membuka matanya dan bangun untuk meminum susu. Di lihatnya ke arah ponselnya berada, belum ada tanda tanda Arga menghubungi. Jujur ia sangat frustasi.
"Ah udahlah gue cape banget, mana nyeri lagi." Ia meringis. Terlalu malas untuk ambil es batu di kulkas. Akhirnya ia kembali terpejam berharap bisa mengurangi rasa nyerinya.
***
Hari sudah pagi, Bunda Tamara sengaja bangun pagi ini untuk memasak. Sudah lama ia tidak menyiapkan sarapan untuk Tamara. Wanita itu bangun dari ranjangnya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai ia keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur, dan memulai memasak. Hari ini menunya adalah bubur, ya ia sangat tau menu kesukaan Tamara. Butuh sekitar satu jam untuk menghidangkan makanannya. Setelah selesai ia pergi ke kamar Tamara untuk membangunkan putrinya. Tamara seringkali bangun terlambat.
Sebelum sampai kamar ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Cepat cepat ia mengangkat panggilan sesorang disana.
“Halo Pak, ada apa Pak? Tumben sekali menelepon pagi agi.” Ia mencoba berbasa basi.
“Oh engga, ini Ka. Kamu bisa hari ini ke kantor ga? Ada problem nih tentang acara meeting kemarin, klien banyak protes nih masalah produk kemarin. Kamu tolong cepet kesini ya. Maaf jadi ganggu liburanmu.” Ucapnya merasa bersalah.
“Oh gitu Pak, saya akan ke kantor secepatnya. Dan mengurus masalah ini Pak.”
“Oke Ka, saya tunggu di kantor.”
TUTT//
Nada terputus darisana. Wanita itu melamun, baru saja dirinya ingin menghabiskan waktu dengan Tamara di rumah. Tapi ada saja yang menganggu. Cepat cepat ia pergi ke kamar Tamara untuk memanggilnya sarapan.
Tak lupa mengetuk pintu, ia pun masuk. Sembari memandangi putri semata wayangnya yang masih tidur. Wanita itu menggelengkan kepalanya, sinar matahari sudah masuk lewat jendela tapi putrinya masih saja tidak terganggu dengan silaunya cahaya. Dasar Tamara. Pandangannya beralih pada sup ayam dan segelas susu yang masih utuh bahkan tak disentuhnya sama sekali. Hanya susu yang dihabiskannya. Tuhkan ga di makan, Tamara diet kali ya? Padahal tubuhnya sudah kurus akhir akhir ini.
“Tam bangun, Bunda udah nyiapin bubur di meja makan. Cepet bangun, abis itu mandi, trus sarapan deh. Kan Bunda bilang abisin sup nya, kenapa malah ga dimakan? Diet kamu hah? Cepetan bangun. Bunda harus ke kantor nih, ada urusan mendadak. Padahal Bunda pengen dirumah sama kamu aja. Huh.” Ia membuka selimut yang menutupi gadisnya. sembari mengusap kepala putrinya, tak sengaja tangannya merasakan sesuatu yang panas. Ternyata Tamara, demam. Rautnya berganti khawatir.
“Tam kok demam gini? Pasti karna kamu ga makan semalem kan. Trus memarnya ga kamu kompres?” ia terus mengoceh. Sedangkan Tamara hanya berdeham saja. Ia sangat lelah. Sampai tak punya tenaga untuk menjawabnya.
Bundanya tentu bingung. Ia juga harus ke kantor secepatnya. Akhirnya ia pergi ke dapur untuk mengambil air, setelah itu mengompres kepala Tamara. Notifikasi pesan dari ponselnya muncul, menandakan ia harus segera pergi ke kantor. Sekarang ia bingung, Tamara akan sendirian jika ia meninggalkannya ke kantor. Tapi ia juga tidak bisa meninggalkan kantor, karena urusan sangat mendesak. Setelah memikirkannya, akhirnya wanita itu menemukan cara.
“Tam Bunda keluar dulu sebentar ya.” Tamara hanya berdeham untuk meresponnya. Bunda Tamara berlari keluar rumah dan menuju ke rumah tetangga di depannya. Napasnya tersenggal senggal, kemudian ia mengetuk pintunya.
“Assalamualaikum, nak Cakra. Ini Bundanya Tamara.”
Cakra yang sedang membuat sarapan paginya mendengar seseorang yang memanggilnya dari luar rumah. Ia bergegas membuka celemek nya dan berlari ke depan ruang tamu. Dibukanya pintu, ia tentu kaget melihat Bunda Tamara dengan raut wajah khawatirnya, sera napas yang tak beraturan seperti abis berlari.
“Eh ada apa Bunda? Masuk dulu Bund.”
“Gausah Cak, Bunda mau minta tolong sama kamu. Gapapa kan?”
“Cakra bantuin Bunda, kalo Cakra bisa.” Ucapnya sopan.
“Ini Tamara tiba tiba demam, tapi Bunda dapet panggilan dari kantor yang gabisa diwakilin. Kamu mau tolong jagain Tamara ga? Bunda bingung harus minta tolong sama siapa yang deket Cuma kamu.”
“Eh? Tamara sakit lagi Bund? Oh yaudah nanti Cakra jagain. Cakra siapin sarapan dulu buat dirumah.”
“Makasih ya Cakra, Bunda gatau lagi kalo gaada kamu. Sekarang Bunda tenang Tamara ada yang jagain. Yaudah Bunda pulang dulu ya, nanti kamu langsung ke rumah aja ya. Ini nomor Bunda nanti kalo ada apa apa hubungi Bunda yaa.” Setelah memberikan nomornya, wanita itu menghembuskan nafas lega. Dan kembali kerumah bersiap untuk pergi ke kantor. Untung ia sudah memasak bubur pagi ini. Jadi Tamara bisa sarapan.
“Iya sama sama Bund.” Setelah Bunda Tamara pergi, ia kembali menutup pintu dan masuk ke rumah. Cakra pergi ke dapur menyelesaikan acara masak masaknya. Lalu menghidangkan masakannya di meja makan.
“CELLO INI GUE UDAH MASAK SARAPAN. JANGAN LUPA DI MAKAN AWAS AJA KALO GUE BALIK MASIH UTUH. GUE LAPORIN IBU NANTI.” Ini hari libur jadi Cello sudah pasti bangun siang. Jika ia tidak dengar pasti anak itu akan ke dapur untu mmengisi perutnya.
Sekarang cakra bersiap ke rumah Tamara. Ia heran gadis itu selalu saja sakit, huh apa dirinya tak menjaga badannya ya? Sampai sakit begitu. Pikir Cakra bingung. Setelah mengganti kaus rumahnya ia pergi ke rumah tetangganya.
Sebelum masuk tentu ia mengetuk pintu dan memberi salam.
“Assalamualaikum Bunda, ini Cakra.”
“MASUK AJA CAKRA.” Teriaknya dari dalam. Cakra langsung masuk mencari asal suara itu. Pintu kamar Tamara terbuka lebar, di dalamnya ada dua orang wanita yang sangat mirip. Yang satu dengan pakaian rapihnya sedang duduk sambil memegang kain yang ada di kepala wanita lainnya. Sedangkan yang satunya sedang terbaring lemah. Cakra mengetuk pintu. Kemudian ia masuk dan berdiri di samping Bunda Tamara.
“Ini Bunda minta tolong ya jagain Tamara. Ini buburnya udah ada di sini. Nanti kalo Tamara bangun suruh aja makan ya. Bunda harus pergi sekarang.” Cakra hanya mengangguk angguk meresponnya. Kemudiian wanita itu bangun dari tempatnya dan menyalami Cakra.
“Bunda titip ya. Kalo ada apa apa hubungi Bunda.”
“Siap Bund, hati hati yaa.”
Setelah Bunda Tamara pergi, ia mengambil kain dikepala Tamara dan menyentuh kening gadis itu. Ternyata masih panas, kemudian ia mengganti kainnya, agar diganti yang baru. Dengan telaten ia mengompres gadis itu.
Tiba tiba ponsel Tamara berbunyi. Terlihat si penelepon terpampang dilayar. Oh ternyata dari pacar Tamara. Ia tak berani mengangkat, bisa bisa nanti mereka ribut. Pikir Cakra. Sedangkan yang di telepon masih saja asik terpejam.
Beberapa menit kemudian, gadis itu membuka matanya perlahan. Ia menyesuaikan matanya dengan cahaya yang masuk. Pandangannya terarah pada pria yang tangannya berada di keningnya.
(Sedang apa dia disini? Kemana Bundanya?) Ia belum sadar betul. Cakra menghentikan tangannya. Tamara ternyata sudah bangun. Lalu ia menjelaskan kenapa ia disni.
“Eh lo udah bangun, tadi Bunda lo pergi ke kantor jadi gue disuruh jagain lo disini.” Tamara baru sadar tadi Bundanya kan bilang dirinya harus ke kantor karna urusan mendadak. Oh jadi tadi pas Bunda keluar dia ke rumah Cakra toh. Gadis itu mencoba menyimpulkan sendiri.
“Nih makan dulu buburnya, tadi Bunda lo udah masak.” Sembari membantu Tamara duduk. Cakra begitu perhatian dengannya. Tamara sejenak melupakan masalahnya dengan Arga. Ia mencoba bangun dan duduk, namun ia merasa kepalanya sangat pusing. Kemudian Tamara meringis memegang kepalanya.
Cakra yang mengerti langsung menyuruh Tamara untuk setengah duduk saja. Ia mengambil mangkuk bubur itu. Kemudian..
“Gue tau kepala lo pasti masih pusing. Sini cepet buka mulut lo.” Rupanya Cakra ingin menyuapi gadis itu, terlihat sendok yang melayang bersiap masuk ke mulut Tamara. Sedangkan Tamara terlihat kaget dengan perlakuan pria itu. Dua kali pria itu memperlakukannya lembut. Tamara merasa tidak enak jika harus disuapi seperti ini.
“Gausah sini gue aja.” Belum sempat mengambil sendok dari tangan Cakra, ia kembali memegang kepalanya.
“Tuhkan udah lo buka mulut aja yang lebar. Cepett.” Serunya tak sabar.
Di sebuah bar, terlihat Arga dan teman temannya sedang duduk disana. Mereka merokok dan asik tertawa. Tiba tiba notifikasi masuk ke ponselnya. Arga langsung membukanya, dan betapa kagetnya ia. Seseorang mengirim pesan kepadanya, isinya sebuah foto Tamara yang sedang dirangkul oleh seorang pria tampan. Arga benci mengakuinya.
“SIAL.” Ia mengumpat dan bangun dari duduknya. Gadisnya ternyata telah bermacam macam dibelakangnya. Lalu ia mencari nomor kekasihnya dan langsung menghubunginya. Sudah puluhan kali ia coba tapi tak diangkat satupun oleh Tamara. Entah apa yang dilakukannya sekarang.
Kesal karna tak juga dibalas ia mengetikkan pesan. Dengan marah ia mengetikkan pesan untuk Tamara sampai makiannya keluar.
Tamara angkat telepon aku, tadi kamu dianter siapa? Kamu berani selingkuh ya sekarang. Apa kamu bales dendam karna aku kemarin? HAHA gampangan banget kamu jadi cewek. Mau aja dipegang pegang sana sini. Ternyata kamu ga selugu yang aku pikir ya.
Ia merasa frustasi karna tak kunjung mendapat balasan pesannya, kemnudian ia memesan sebotol vodka. Untuk menemaninya. Arga terlihat sudah sangat mabuk. Temannya yang tak mengerti apa yang terjadi dengannya, langsung mengantarkannya pulang. Dan membawanya ke kamar. Kebetulan orang tua Arga ada seminar di luar kota. Jadi ia tak akan ditanya tanya. Temannya langsung membawanya ke kamarnya. +
Karena hari sudah begitu malam ia tak mungkin berkunjung ke rumah Tamara hari ini. Logikanya masih berjalan sedikit walaupun ia sedang mabuk. Mungkin besok ia bisa langsung ke rumahnya dan memarahinya.
“Tam, lo abis sama gue.” Racaunya kesal. Kemudian ia langsung terlelap karena pengaruh alkohol.
Ketika sudah pagi Arga bangun, ia membuka matanya perlahan. Pusing menguasainya karena alkohol semalam. Ia ingat dirinya harus menemui Tamara, bagaimanapun caranya. Sebelum ke kamar mandi ia kembali menghubungi Tamara. Nada tersambung tapi gadis itu tak kunjung mengangkat. Arga sangat kesal, ia sudah dikuasai dengan amarahnya. Dan bersiap meledak kapan saja.
Setelah membersihkan diri, ia bergegas secepat mungkin berpakaian dan langsung pergi ke rumah Tamara. Butuh 20 menit untuk sampai. Setelah memarkirkan mobilnya ia langsung masuk kerumah Tamara dan menuju ke kamarnya. Namun betapa kagetnya ia, langkahnya berhenti di ujung pintu. Seorang laki laki tampak sedang menyuapi kekasihnya. Kemudian ia ingat laki laki itu sama dengan apa yang semalam ia lihat di foto. Ya dia tak mungkin salah.
BRAKK///
Pintu kamar Tamara dibuka Arga kencang. Tamara dan Cakra tentu kaget, terlebih Tamara seperti kepergok sedang berselingkuh. Jujur ia sangat takut, sekarang di depannya ada Arga bersiap meledakkan amarahnya. Cakra yang mengerti situasinya buru buru menjelaskan.
“Bro ini ga kaya yang lo pikirin, Tamara lagi sakit Bundanya nitipin dia ke gue. Lo jangan salah paham dulu.”
“Diem lo, mending lo keluar.” Dengan tatapanya yang nyalang terhadap gadis di depannya itu. Cakra mengerti, ia menaruh mangkuk bubur tadi ke atas nakas. Kemudian ia berjalan keluar sembari menutup pintu.
Tinggalah arga dengan Tamara. Arga berjalan mendekati Tamara. Sedangkan Tamara sudah gemetar ketakutan. Ia tak berani menatap Arga. Arga yang melihat Tamara seperti itu mengangkat dagu gadis itu.
“Berani banget kamu Tam, bawa masuk cowok selain aku ke kamar mu. Lagi di sewa kamu? Cih.” Arga mendengus sinis. Tamara menangis mendengar ucapan kasar kekasihnya itu. Ia sedang sakit tapi hatinya juga ikut sakit karna dituduh begitu. Akhirnya ia berani menatap Arga.
“Engga Ga, ini ga seperti yang kamu pikir.”
“HALAH, JELAS JELAS DIA DI KAMAR CUMA BERDUA SAMA KAMU. TRUS KAMU MAU ALASAN APALAGI HAH?” ucapnya membentak Tamara. Tamara hanya menangis semakin kencang. Ia ingin berbicara apa yang terjadi, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya sedikitpun.
PRANGG///
Arga mendorong semua yang di atas nakas Tamara. Gadis itu semakin histeris. Ia sangat takut Arga berlaku kasar lagi.
Cakra yang sedang asik dengan ponselnya tiba tiba kaget, menyadari ada yang tidak beres ia bergegas ke kamar Tamara. Betapa terkejutnya, bubur yang tadi ia suapi untuk Tamara sekarang jatuh berantakan. Dan terlihat Tamara sedang menunduk ketakutan.
“Dibalik wajah lo yang lugu ternyata lo jalang ya Tam sekarang? Jadi gue bisa make lo dong.” Tamara semakin histeris.
Arga tetawa puas, ia mencengkram dagu Tamara lagi dengan kasar. Cakra yang melihat apa yang terjadi di depan matanya tentu tak bisa tinggal diam. Kemudian ia menarik Arga dan melemparnya ke tembok.
“Lo gaboleh kasar sama cewek bro. Kenyataannya ga kaya yang lo omongin barusan. Jaga mulut lo!” Arga mendengus meremehkan. Kemudian ia bangun dan mencengkram kaos Cakra. Mereka berdua berpandangan sama sama dikuasai amarah. Dan gadis itu semakin menangis takut. Takut jika keduanya berkelahi.
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca