Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra.
"TAMARAA!!" Cakra kaget.
Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya.
"Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya. Ia hanya diam menangis. Arga mendekat.
"Stop disitu." Hanya tersisa suara lemahnya.
"Tam..." Arga memohon agar Tamara memaafkannya.
"Pergi." Lirihnya. Cakra datang dari luar dengan segelas air untuk gadis itu. Segera ia meminumkannya pada Tamara. Gadis itu minum sebentar sambil meringis menahan sakit bibirnya yang agak sedikit robek. Cakra yang sadar masih ada Arga, menariknya keluar.
Arga yang diperlakukan seperti itu hanya diam. Ia tau kini dirinya sudah kelewatan dengan kekasihnya. Cakra kembali menarik kerah baju Arga.
"Lo pergi dari sini sekarang. Cuma pengecut yang berani kasar sama cewek!" Setelah berkata seperti itu Cakra masuk lagi ke dalam kamar Tamara. Dilihatnya Gadis itu hanya menekuk lututnya dan melamun. Tamara sangat kacau saat ini. Sungguh hatinya sangat sakit melihat perempuan diperlakukan seperti itu oleh kaum nya. Ia mengerti Tamara butuh berfikir, sembari menunggu Tamara yang masih seperti itu. Ia inisiatif membersihkan kekacauan yang dibuat Arga. Lihatlah sekarang Bubur yang harusnya dihabiskan gadis itu, malah jatuh berserakan di lantai.
Cakra keluar dari kamar, dan berjalan mencari sapu serta pengki. Setelah ketemu ia mulai membersihkan pecahan mangkuk itu beserta isinya. Dengan telaten ia membersihkannya. Setelah selesai ia membuangnya dan kembali masuk ke kamar Tamara. Tentu saja Tamara masih pada posisi semula. Hanya duduk melamun dengan tatapan kosong. Cakra yang sepertinya akan menganggu Tamara jika berlama lama disini, berniat ingin keluar. Namun baru selangkah ia keluar tiba tiba Tamara bertanya.
"Salah gue apa ya Cak?" Cakra yang mendapat pertanyaan itu hanya diam. Ia kemudian mengurungkan niatnya untuk keluar. Ia kembali duduk di depan Tamara. Mendengarkan apa yang akan disampaikan Tamara.
"Kenapasih Arga ga hargain gue? Kenapasih dia selalu marah sebelum denger penjelasan gue? Bener ga si gue cewek murahan yang kaya Arga bilang? Kenapa daridulu gue gapernah nikmatin hubungan gue? Kenapa hidup gue penuh cowok brengsek? Kenapa Cak? Apa yang pernah gue lakuin di masalalu sampe gue dapet karma kaya gini? Gue cape cak jujur." Kini Tamara tak dapat menahannya lagi. Ia menangis kencang. Cakra yang merasa prihatin, berniat menenangkan Tamara dengan memeluknya. Jadilah Tamara menangis di dekapan Cakra.
Mulai saat ini ia bertekad menjadi pelindung gadis ini. Melihatnya seperti ini membuat hatinya ikut menangis sedih. Sepertinya ia memang sudah jatuh hati pada gadis ini. Dan ia tertarik untuk bersama gadis ini melewati apapun yang terjadi nanti. Di dekapnya Tamara dengan nyaman, tangannya menepuk nepuk punggungnya. Tamara masih menangis, hanya saja tak sehisteris tadi. Sepertinya ia berhasil menenangkan Tamara.
"Seharusnya tadi lo gausah misahin kita Tam. Demi apapun Arga bukan cowok yang baik buat lo, kalo lo masih ngotot mau lanjutin hubungan ini, lo ga bakal bahagia Tam." Cakra berujar lembut memperingati Tamara. Gadis itu hanya diam mendengarkan.
Tamara masih mencerna apa yang terjadi. Ia kembali melamun setelah berhenti menangis. Cakra yang sudah melepas pelukannya sejak tadi memperhatikan gadis itu. Mengerti bagaimana kondisinya ia bangun dari duduknya dan pergi keluar kamar. Tamara memikirkan apa yang dikatakan Cakra, ia juga sudah mulai kehabisan tenaga menghadapi Arga yang tempramen. Ditambah kondisi fisiknya yang sedang drop akhir akhir ini. Kepalanya semakin pening memikirkan apa yang terjadi.
Terdengar suara pintu kamar yang terbuka. Tamara sedang sibuk dengan pikirannya, ia sama sekali tidak menoleh. Cakra datang dengan es batu serta kain. Ia juga membawa semangkuk bubur yang baru ia ambil di dapur. Kemudian ia meletakkan di atas nakas, Setelah itu ia mengambil kain dan membungkus es batu tadi untuk mengompres kaki Tamara serta wajahnya. Gadis itu yang merasa ada sesuatu yang dingin menyetuh luka nya, kemudian ia meringis memarnya kembali terasa nyeri. Ditambah lagi wajahnya yang babak belur karena tadi.
"Tahan ya sebentar. Emang agak sedikit sakit. Tapi it's oke" Ucap Cakra mencoba meyakinkan. Ia mengikis jarak antara mereka, tangannya terarah ke sudut bibir Tamara yang terluka. Terlalu dekat, Sedangkan Tamara hanya diam diperlakukan seperti itu. Tamara merasa Cakra sangat tulus merawatnya. Kenapa pria ini sangat baik? Andai saja Cakra pacarnya bukan Arga. Pasti ia akan selalu diperlakukan lembut seperti ini. Sejenak ia melupakan Arga. Dan sibuk mengamati Cakra. Cakra yang menyadari sedang dipandang seperti itu, malah jadi salah tingkah. Entah kenapa itu sangat lucu di mata Tamara.
Setelah mengompres luka di wajah Tamara, Cakra mengompres memar Tamara di kakinya. Tamara yang merasakan nyeri di kakinya hanya meringis. Ia terlau malas untuk mengompresnya semalam, maka dari itu luka nya bertambah sakit.
"Oke udah selesai nih, lo mau makan lagi gak? Tadi kan belom abis buburnya. baru berapa suap." Tamara menggeleng, ia tidak memiliki selera makan setelah kejadian itu. Cakra yang mengerti langsung mengangguk merespon.
"Yaudah lo istirahat aja, gue tunggu diluar." Ketika Cakra hendak berdiri tangannya di tahan Tamara.
"Makasih ya Cakra, lo baik banget sama gue. Gue gatau balesnya gimana. Lo bilang aja kalo butuh sesuatu gue bakal turutin semua permintaan lo. Oh iya kalo Bunda tanyain keadaan gue, tolong jangan kasih tau kejadian hari ini ya? Please." Cakra hanya tersenyum meresponnya.
"Santai aja Tam. Gue paling gabisa liat cewek di kasarin, gue inget gue juga punya Bunda yang harusnya dihormatin bukan di kasarin. Iya gue gabakal Bilang Bunda lo." Jawaban Cakra menghipnotis Tamara, ia kagum dengannya. Setelah berkata seperti itu ia keluar dari kamar Tamara membiarkan gadis itu untuk istirahat. Ia berniat pulang sebentar untuk mengambil beberapa tugasnya yang harus ia kerjakan agar bisa cepat dikumpulkan.
Setelah sampai rumah ia membuka gerbangnya dan masuk begitu saja. Sebelum ke kamarnya, ia pergi ke kamar Cello. Penasaran apa yang sedang dikerjakan adiknya saat ini. Sebelum masuk Cakra membiasakan mengetuk pintu. Cello yang langsung tau itu abangnya langsung berpura pura fokus dengan bukunya. Padahal ia sedang bermain game.
"Rajin amat lo hari libur masih belajar."
"Iyalah, emang elo sibuk bucin." Anak itu meledek Cakra. Cakra hanya melotot kaget, sok tau amat ni anak. Pikirnya kesal.
"Heh anak kecil tau apaan. Dah sono belajar lagi yang bener. Abang mau ke rumah tetangga lagi." Cello yang mengerti hanya mengedipkan matanya. Cakra bergidik, lalu ia langsung menutup kamar Cello dan berlalu ke kamarnya. Ia menyempatkan diri untuk mandi dan berganti pakaian. Ia merasa seperti gembel. Padahal mau tidak mandi pun ia sudah tampan, begitu kata para wanita yang melihat Cakra. Pria ini sangat mencintai kebersihan, tentu saja ia rajin mandi. Setelah mandi ia membereskan tugas nya yang akan digarap di rumah Tamara sembari menunggu gadis itu terbangun.
Kemudian setelah selesai ia ke dapur sebentar, ternyata masakan yang ia masak tadi pagi masih ada. Ia tenang karena Cello tinggal makan saja.
"CELLO ABANG MAU KELUAR LAGI YA, LO KALO MAU MAKAN, MAKAN AJA LAUK YANG TADI PAGI GUE BIKIN. OKE. ASSALAMUALAIKUM." Cello hanya mendengus, kan bisa abangnya ke kamarnya tidak usah teriak teriak seperti itu. Abangnya hobi sekali teriak teriak.
"IYA BANG. JANGAN NGAPA NGAPAIN ANAK ORANG LO BANG." Sahutnya cekikikan. Cakra hanya berlalu tak perduli. Ia setengah berlari menuju Ruymah di depannya, Ia khawatir nanti Tamara butuh apa apa. Setelah memastikan Tamara masih tertidur ia kembali ke ruang tamu untuk mulai menggarap tugasnya. Saat sedang fokus fokusnya ponsel disampingnya berdering. Ternyata Bunda Tamara. Buru buru ia angkat.
"Assalamualaikum Cakra, Bunda bisa minta tolong lagi gak sama kamu? Bunda gabisa pulang ternyata hari ini, masalah di kantor belum selesai selesai. Kemungkinan besok sore Bunda pulang. Tolong jaga Tamara ya? Kamu nginep aja, tapi jangan apa apain anak Bunda ya? Bunda percaya sama kamu nak."
"Waalaikumsalam Bund. Eh? Apa gapapa Cakra nginep disini Bund?"
"Gapapa Cak, Bunda percaya sama kamu. Oh iya keadaan Tamara gimana?" Cakra yang ditanya seperti itu mendadak diam, ia sudah berjanji untuk tidak bilang yang sebenarnya terjadi pada Bunda Tamara. Dengan berat hati ia berbohong. Semoga Bunda Tamara memaafkannya. Pikir Cakra merasa bersalah.
"Emm itu Bund, Tamara uadah agak mendingan kok. Bunda gausah khawatir yaa." Bunda Tamara menghembuskan nafasnya lega.
"Terimakasih ya Cakra. Yaudah Bunda tutup dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." terdengar nada putus di seberang. Cakra kembali meneruskan pekerjaannya. Tiba tiba seserang datang. Tamara berjalan dengan kaki pincangnya ke arah Cakra. Sedangkan pria itu masih fokus dengan pa yang dikerjakannya.
"Cakra." Panggilnya dengan suara khas bangun tidur. Cakra yang mendengar namanya dipanggil mendongak menatap wanita di depannya. Ia kaget, sejak kapan Tamara ada sisini?
"Eh? Lo butuh apa? Sorry tadi gue terlalu fokus."
"Engga, Bunda telpon lo gak?"
"Iya barusan aja."
"Apa katanya?"
"Katanya dia baru bisa baik besok sore, trus gue disuruh nginep buat temenin lo disini." Cakra merasa canggung sekarang. Oh God?!?! Ia harus apa sekarang? Pikirnya panik.
"Eh? Oalah yaudah gapapa kalo lo ga nyaman pulang aja. Gue udah biasa sendiri kok, tenang aja." Tamara kaget tapi ia mencoba santai, agar suasana tidak canggung.
"Enggak, gue temenin lo disini aja." Tamara kaget lagi, cepat cepat ia mengangguk.
"Oh yaudah. Gue masuk dulu." Setelah Tamara masuk kamar, Cakra menghembuskan nafas lega. Setelah itu ia mencoba fokus kembali. Tiba tiba perutnya kelaparan. Karena ia keburu malas jika memasak, ia memesan makanan saja. Kali ini ia memesan burger beserta sodanya. Tak lupa Cakra juga memesan menu yang sehat untuk Tamara, mungkin ia bosan jika harus memakan bubur terus.
Setelah memesan ia kembali menunggu pesanannya. Tak lama suara pintu yang diketuk terdengar. Ia bergegas menjemput pesanannya dengan semangat, karena ia sudah sangat lapar. Setelah memegang pesanannya ia berjalan ke kamar Tamara. Ia mengetuk pintu lalu masuk. Terlihat Tamara yang masih melamun. Gadis itu berniat untuk tidak menyalakan ponselnya, karena ingin menghindar dai Arga.
"Tam, ini tadi gue beliin makanan. Kali aja lo bosen makan bubur terus. Yaudah ni dimakan ya. harus abis please."
"Eh? Makasih ya Cakra."
"Urwell, gue keluar lagi ya." Tamara merasa hangat diperlakukan seperti itu. Perutnya juga kelaparan karna baru tadi pagi ia sarapan. Sekarang hari sudsah mau malam. Jadi ia cepat cepat bergegas menyantapnya. Ia makan dengan lahap, setelah habis ia berniat membuang sampah keluar. Tapi tiba tiba....
JEDERRR///
Suara petir menggelegar di luar, tiba tiba hujan. Jujur ia sangat takut dengan petir. Tanpa sadar ia berteriak. Cakra yang sedang fokus kembali setelah makan selesai kaget. Ia buru buru ke kamar Tamara. Ada apalagi dengan gadis ini? Pikirnya khawatir. Diluar hujan deras setelah petir sekali berbunyi tadi. Dibukanya pintu, terlihat gadis itu dipojok kasurnya yang dekat dengan tembok meringkuk ketakutan.
"TAMARA" Cakra buru buru mendekatinya. Tamara yang sangat ketakutan langsung memeluk Cakra. Cakra yang tak siap jatuh kebelakang. Tentu saja mereka jatuh diatas kasur. Dengan Tamara diatas Cakra. Keduanya sama sama terkejut. Jantung keduanya juga berdetak tak stabil. Kenapa ini? Jantungnya berdetak tak beraturan. Apa akhirnya ia mulai jatuh pada pesona pria itu? Pikir Tamara bingung.
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini.