Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara.
"Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa."
"Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas.
"Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?"
"Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Cakra yang masih memperhatikan mereka, berjalan mendekati.
"Kenapa kakinya?" Tanya nya ke arah Renata, tentu saja ia masih canggung pada gadis itu.
"Biasalah, ni anak suka banget jatoh. Tadi Tamara kesandung kaki bangku di kelas." Tamara hanya meringis kesakitan, karena ia bingung harus merespon seperti apa.
"Coba sini gue liat." Cakra berjongkok di depan Tamara, kemudia pria itu membuka flatshoes hitam Tamara. Dan terlihat luka memar kebiruan di dekat ibu jari kakinya. Tamara yang diperlakukan seperti itu hanya diam, sedang Renata di sampingnya terlihat mengagumi perlakuan Cakra ke Tamara sekarang.
"Eh gapapa kok, ini dipake jalan juga sembuh." Sangkal Tamara, ia agak canggung diperlakukan seperti itu. Padahal terlihat jelas memarnya bukan memar biasa, pasti akan terasa nyeri jika dibuat jalan. Tamara memaksa bangun dari tempatnya duduk, ia mencoba jalan sesekali, selama jalan itu pula ia ikut meringis menahan panas di kakinya.
"Lo yakin bisa jalan?" Tersirat dari nada bicaranya, ia khawatir. Renata yang merasa ia hanya menjadi pengganggu saja mencari cara agar bisa kabur dari mereka. Bukan karena tidak perduli dengan Tamara, hanya saja luka seperti itu sudah sering di dapatkan sahabatnya. Lantaran kecerobohannya sendiri. Jadi ia rasa, Tamara bisa menyembuhkannya sendiri. Atau itu dengan Cakra.
Jujur Renata lebih setuju teman baiknya menjalin hubungan saja dengan pria itu, Entah kenapa ia melihat hal yang tak biasa di diri Cakra. Bukan, bukan hal buruk. Tapi sesuatu yang akan membawa Tamara ke dalam hal hal yang baik. Ia merasa Cakra dipenuhi aura positif yang bisa membuat Tamara berubah. Tentu saja ke arah yang lebih baik. Lama Renata berfikir, Ia sampai tak sadar jika Cakra sudah tidak ada disana.
"Tam, Cakra mana?" Yang ditanya justru sedang melamun. Ia kaget Cakra menyuruh dirinya tunggu sebentar disini, sedangkan pria itu ke kantin dengan berlari.
"Hah? Oh tadi dia lari ke kantin, katanya kita disuruh tunggu disini." Renata hanya mengangguk saja, mungkin pria itu sedang membelikan minuman untuk mereka. Tamara tampak meringis, membuat Renata menoleh ke arahnya.
"Sakit ya? Kesian banget temen gue, sini peluk." Ucapnya dengan nada manja yang membuat geli Tamara.
"Gak ya, Renata gue geli. Gausah kek gituuu." Ia duduk menjauh dari Renata, jujur ia takut jika Renata berubah seperti itu.
"Ih kenapa si, emang gue virus pake dijauhin segala. Oh sekarang gitu lo ya Tam. Oke pulang jalan sono." Tamara melotot, kakinya sedang sakit dan ia disuruh jalan? Ogah, nanti nyampe rumah memar di kaki gue ilang beserta kakinya. Pikit Tamara ngeri.
"Jangan gitulah bestie, tega amat lo hehe. Maaf yaaa sini sini." Tamara pindah posisi mendekata Renata kembali. Lalu pria itu datang dari kantin, mendekatri mereka dengan sedikit berlari. Ternyata ia membeli es batu, tapi untuk apa ya? Pikir Tamara polos. Tiba tiba pria itu jongkok di depan Tamara, ia mengambil sesuatu dari kantongnya, sapu tangan. Dengan tanganya yang terampil ia membungkus es batu itu. Setelah dibungkus, ia menempelkannya ke kaki Tamara yang memar. Dengan telaten ia mengobati luka gadis itu.
Tamara dan Renata hanya diam memperhatikan, yang satu dengan tatapan terpesona, yang satu lagi dengan tatapan campur aduk. Tamara tidak mengerti apa yang dirasakannya kali ini. Hangat? Semacam perasaan seperti itu. Renata tiba tiba menyeletuk menghentikan suasana hening disana.
"Wahhhh Cakraa lo gentle banget sumpah. Tamara yang diobatin, kok gue yang baper ya." Dengan nada yang di lebih lebihkan Renata tersenyum memperhatikan keduanya. Yang mendadak bisu. Tamara yang sudah sadar langsung mencubit Renata agar diam.
"Sakit Tam anjir, buas lo." Renata melotot ke arahnya, yang ditatap hanya memberikan cengiran khasnya. Setelah selesai Cakra bangun dari tempatnya.
"Nah udah selesai nih, semoga es batu tadi bisa ngurangin nyeri nya ya." Ia tersenyum sambil memeras sapu tangannya.
"Makasih yaa." Hanya kata itu yang keluar dari bibirnya. Ia bingung harus berkata apalagi. Haruskah ia basa basi seperti Renata? Ah membayangkannya saja pasti akan cringe. Tiba tiba ponsel Renata berdering.
"Eh si Farel telepon nih, gue angkat dulu ya. Jangan keman mana tunggu disini aja. Okeee?" Dengan terburu buru ia mengangkat teleponnya, kemudian ia menjauh dari mereka.
(Gapapa deh untung Farel telepon, jadi gue bisa ninggalin tuh dua makhluk berduaan. Kali aja cinlok.) Demi apapun ia sangat mendukung Tamra dengan Cakra ketimbang Arga. Meskipun hanya bertemu dengannya dua kali ia tau Cakra cowok yang baik. Terbukti dari semua perlakuannya, terlebih lagi hari ini.
Dua orang yang ditinggal Renata tadi hanya diam, sampai Cakra membuka obrolan agar mereka tidak canggung canggung sekali.
"Eh lo kuliah disini juga ternyata. Jujur gue baru liat lo pertama kali yang pas gue pindah. Jadi gue ga tau deh. Btw kita belum kenalan. Gue Cakra." Sambil mengulurkan tangannya ia tersenyum ramah.
Tamara baru menyadari ketika pria itu tersenyum, ia memiliki lesung. Manis juga. Pikirnya kemana mana. Lalu gadis itu menerima jabatan tangan Cakra.
"Gue Tamara, katanya lo kemarin bantuin gue pas pingsan kan ya? Sekarang lo bantuin gue lagi. Jadi gue punya hutang nih." Ucapnya menyoba lebih santai kepada pria di depannya.
"Eh iya, biasa aja ah. Lo juga kemarin kan bantuin gue hehe." Mereka kembali hening, tiba tiba ponsel Tamara berdering. Terlihat nama Renata menghiasi layar. Langsung saja ia mengangkatnya. Dan bangun dari duduknya, sedikit menjauhi pria itu.
"Halo Tam, kayanya hari ini lo gabis abareng gue deh, si Farel ada ada aja ban mobilnya bocor. Jadi gue harus jemput dia. Lo kan ada Cakra, jadi gue tenang mau ninggalin lo. Minta bareng dia aja. Kalian kan tetangga, siapa tau lebih deket kan." dengan nada menggoda khas Renata. Ia tertawa disana. Belum sempat ia menjawab Renata kembali berbicara.
"Oke bestie, gue duluan ya. Selamat bersenang senang, ati ati okee jangan sampe jatoh lagi. Byee."
TUTTT//
Renata mematikan teleponnya sepihak. Tamara kesal setengah mati, bisa bisanya ia meninggalkannya. Ia bertekad akan memarahinya ketika mereka bertemu lagi. Anjir ini gimana ngomongnya? Masa gue harus jalan? Tapi kalo mau nebeng dia kek mana? Pikir Tamar frustasi.
Cakra yang sedang sibuk dengan ponselnya mendongak, menatap gadis itu yang tengah berjalan ke arahnya dengan sulit. Tamara bingung harus memulai darimana.
"Kenapa Tam?" Seolah bisa membaca raut mukanya yang sedang bingung.
"Emm itu Renata balik duluan. Mobil pacarnya ban nya bocor. Jadi dia mau jemput kesana."
"Oalahh, terus lo sama siapa?"
"Sendiri sih, kayanya gue naik busway aja." Gadis itu berharap Cakra peka, dan langsung ingin mengantarnya. Karena ia tak bisa naik bus dengan kondisi seperti ini.
"Kenapa lo ga bareng gue aja sih? Kaki lo masih sakit itu. Nanti malah makin parah kalo dipaksa jalan terus. Yaudah yuk. Sini gue bantu." Tanpa mendengar jawaban Tamara, ia langsung membantu gadis itu jalan. Tentu saja Tamara kaget, Ia menerima bantuan pria itu. Kemudian mereka jalan melewati koridor yang dipenuhi para mahasiswa dengan tangan Tamra yaberada di rangakulan Cakra.
Tentu saja mendapatkan tatapan heran dari orang orang. Pasalnya semua mengenal Tamara adalah pacar Arga, salah satu mahasiswa idaman para wanita di kampus ini. Dan apa yang mereka saksikan siang ini memberikan mereka berbagai kesimpulan yang tidak sebenarnya terjadi. Banyak yang menatap Tamara sinis, ada juga yang hanya fokus ke Cakr. Krena wajahnya yang damai ketika dilihat.
Tamara yang hanya fokus dengan rasa nyeri di kakinya berjalan tanpa menghiraukan mereka. Cakra pun sama. Ia cepat cepat membawa Tamara keluar dari sini, pria itu ternyata menyadari tatapan tak suka di sekelilingnya terhadap Tamara. Jujur ia bingung kenapa mereka rata rata menatap Tamara dengan sinis?
Setelah sampai di parkiran, dimana mobil yang ia bawa berada disana. Cakra langsung menaruh Tamara di kursi sebelahnya. Kemudian ia memutar ke kursi mengemudinya. Mobilnya terlihat menjauhi area kampus dan mengarah pulang kerumah mereka.
Butuh tiga puluh menit untuk sampai. Jangan tanya selama perjalanan mereka berdua hanya diam. Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah Tamara, ia membantu Tamara keluar dari mobilnya, dan memapahnya masuk ke rumah. Kebetulan pintu rumahnya terbuka lebar, Tamara tidak sadar ternyata mobil Bundanya terparkir di garasinya. Tandanya Bundanya sudah kembali dari luar kota. Pria itu mendudukannya di sofa.
"Makasih ya, gue ngerepotin banget ga sih? Dari kemarin lo bolak balik sini terus deh jadinya, maaf ya."
"Ya ampun Tamara santai aja kali. Rumah kita deket banget, tuh sampe keliatan dari sini. Yakali gue ga bantuin tetangga sendiri." Tiba tiba wanita yang sudah berumur di penghujung 40-an keluar dari arah dalam.
"Tamara kamu kenapa?" Tanya nya khawatir.
"Aku gapapa kok Bun, tadi cuma jatoh di kelas doang. Sekarang juga udah baikan."
"Coba Bunda liat kaki kamu." Diraihnya kaki Tamara dan diangkatnya ke pangkuannya. Ia meneliti sesuatu yang tampaknya semakin parah karena terlihat ngeri sekali.
"Ini memar Tam, yaudah Bunda ambil es batu sebentar." Ia lupa melupakan seserorang yang masih berdiri di depannya. Karena terlalu sibuk dengan Tamara, ia sampai melupakan apa yang di depannya.
"Eh ini siapa Tam? Pacarmu?" Tanya nya sambil memperhatikan Cakra dengan serius. Pasalnya Tamara tidak pernah mengenalkan pacarnya ke dirinya, jadi ia tak pernah tau. Termasuk Arga. Ya Tamara berfikir, jika ia sudah mengenalkannya kepada Bundanya berarti ia ingin serius pada hubungannya. Makanya samapi sekarang ia belum mempertemukan siapapun ke Bundanya.
"Duduk Mas, kamu pacar Tamara ya? Wah udah berapa lama? Tamara sebelumnya gapernah ngenalin cowok loh ke Bundanya. Sekarang tiba tiba udah bawa cowok aja ke rumah." Pikirnya kesenangan.
"Bun, ih. Tamara gaada apa apa sam Cakra. Tadi Cakra bantuin Tamara pas jatoh di kampus. Jadi dia selkalian anter Tamara pulang." Cakra hanya tersenyum menjawabnya.
"Hai tante, Saya Cakra temen kampus sekaligus tetangga nya Tamara hehe." Bundanya melotot kaget.
"Eh? Rumahmu dimana emang? Panggil Bunda aja ya."
"Itu Tan, di depan hehe. Saya dan keluarga baru pindah kesini Tan." Cakra menyadari salah dalam memanggil Bundanya Tamara dengan Tante.,
"Eh maksudnya Bunda." Tangan pria itu ditaruhnya di lehernya. menandakan ia sedang malu.
"Wah Bunda baru tau kita punya tetangga baru lagi Tam, kok kamu gak bilang ke Bunda sih?" Tamara hanya memutar bola matanya malas. Ia mencoba mengerakkan kakinya, yang terjadi malah lagi lagi ia meringis kesakitan.
"Oh iya lupa kan tadi mau ambil es batu, nak Cakra silahkan duduk dulu mau Bunda buatin apa?"
"Eh gausah Bunda saya kayanya mau langsung pulang aja deh. Makasih Bun." Tak lupa dengan senyuman tulusnya.
"Lah wong rumahmu aja deket, ngapain buru buru pulang. Udah kamu disini dulu, tolong temani Tamara sebentar ya." Ujarnya sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Cak, maaf ya Bunda gue ribet banget. Jadi gaenak nih gue."
"Santai aja kali. Btw kemarin pas gue ganter lo pulang, kok gaada Bunda lo ya? Gue pikir lo tinggal sendiri."
"Engga kok, Bunda baru balik dari luar kota. Jadi kemarin gaada deh." Cakra hanya ber -oh- ria saja. Sambil menunggu Bunda Tamara ia mengeluarkan ponselnya. Sedangkan Tamara hanya duduk memperhatikan priayang asik dengan ponselnya.
Tamara pov
Anjir dah gilaaaa, kok Bunda pulang ga ngabarin gue sih?! Jadi papasan kan sama Cakra. Trus Dia ngira Cakra pacar gue, mampus aja ini kalo ketauan Arga. Huhu bisa abis gue diamuk. (Pikir Tamara ngeri.)
Kalo di liat liat Cakra tuh idaman banget ga sih? perlakuan dia manis banget. Bahkan gue ngerasa nyaman kalo ada disampingnya. Beda banget sama Arga. Bentar bentar kenapa gue jadi bandingin sama Arga? Perasaan apa deh ini?
Tamara pov end
Bundanya datang dari dapur, membawa kain dengan es batu. Dan dua minuman. Kemudian ia duduk disamping anak semata wayangnnya. Dengan meletakkan kembali kaki Tamara di pangkuannya.
"Diminum dulu nak Cakra." Sembari tangannya mengompres kaki gadis itu.
"Terimakasih banyak Bunda."
"Cakra jurusan apa nak?"
"Seni bunda. Saya suka melukis, dan nyiptain sesuatu hehe." Tak lupa dengan cengiran khasnya.
"Olah seni toh, Bagus nak Cakra. Belajar yang rajin ya biar lulusnya cepet."
"Hehe siap bunda." Tamara hanya menyaksikan interaksi anatara mereka. Tiba tiba Bundanya menekan memar Tamara.
"Makanya Tam, kalo jalan liat liat. Ceroboh kamu ga ilang ilang ya. Apa sekarang hobi mu jatoh ya?" Tamara hanya mendengus kesal. Sudah jadi asupannya jikaia terluka begini. Pasti mereka yang merawatnya selalu berkata seperti ini. Ia sampai sudah hafal.
Cakra baru tau, ternyata Tamara anak yang ceroboh. Setelah minumnya ia habiskan. Cakra pun pamit pulang karena hari sudah sore. Ia harus berbelanja di swalayan untuk memasak makanan untuknya dan Cello.
"Bunda Cakra pamit dulu ya, makasih minumannya. Tam, gue balik dulu yaa" Tamara hanya menganggukan kepalanya. Sembari berdiri ia ke tempat Bunda Tamara duduk. Lalu ia menyalaminya.
"Ah Bunda yang terimakasih sama kamu udah bantuin Tamara."
"Sama sama Bun. Yaudah Cakra pulang ya. Assalamualaikum."
Setelah Cakra pulang giliran Tamara yang akan ditanya jawab oleh Bundanya. Ia harus siap menjawab Bundanya. Yang terlalu kepo.
"Jadi bener Cakra ga ada apa apa sama kamu Tam?"
"Bener Bunda, Tamara ga pacaran sama Cakra. Dia pure bantu Tamara aja."
"Tapi Tam Bunda setuju kalo kamu ada apa apa sama Cakra Tam, keliatan sih dia anak baik." Bundanya menerawang jauh, dengan raut muka yang serius.
"Ih Bunda apasih. Udah ah Tamara mau ke kamar dulu. Bunda istirahat gih, baru pulang kan. Apa ga cape?"
"Cape sih, yaudah kamu nanti abis mandi kompres lagi kaki nya pake es batu. Abis itu ntar Bunda kirim makan ke kamar. Bunda masak dulu."
"Siap Bunda!"
Setelah sampai kamar ia mengecek ponselnya. Ada 20 panggilan tak terjawab dari Arga dan 1 pesan nya. Tamara melihatnya dari notif.
from : my bf <3
Tamara angkat telepon aku, tadi kamu dianter siapa? Kamu berani selingkuh ya sekarang. Apa kamu bales dendam karna aku kemarin? HAHA gampangan banget kamu jadi cewek. Mau aja dipegang pegang sana sini. Ternyata kamu ga selugu yang aku pikir ya.
Hatinya sakit. Ia lemas, hanya dengan kalimat kalimat sampah Arga. Air mata lolos jatuh melewati pipi tirusnya. Sungguh, ia tak berfikir ada yang akan melaporkannya pada Arga. Sekarang ia merasa sangat frustasi, entah apa yang akan dilakukan Arga kepadanya.
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia