“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya.
Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.
“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.
Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.
“Tapi ini berlebi-”
“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi.
Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika.
Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangkat, memastikan penampilannya sempurna, tanpa cela.
Meski latar belakangnya kurang mumpuni, tapi dia tidak terima diremehkan oleh barbie itu. Enak saja.
Setelah melihat Maya yang sudah lebih bertekad, Gamma lalu kembali ke posisi semua untuk lanjut berkutat dengan pekerjaan.
Satu jam kemudian, suara gadis itu menarik Gamma kembali ke dunia nyata.
"Bagaimana?"
Gamma tercengang dan tatapannya tertuju pada Maya yang telah disulap sedemikian rupa menjadi ratu. Sedetik kemudian, dia tersenyum tipis dan beranjak berdiri.
"Bersiaplah, mungkin Sylvia akan memakimu habis-habisan!" jawabnya yang langsung membuat Maya tergelak.
"Baguslah!” serunya bangga.
Wajah Maya terangkat, penuh percaya diri. Digandengnya tangan Gamma dan berniat untuk melupakan semua kesepakatan yang tertulis di kontrak. Malam ini, ia hanya ingin pekerjaannya lancar dan memantaskan posisinya.
"Kau gugup?" tanya Gamma sesampainya mereka di depan ballroom. Sebab, meski tubuh gadis itu tegak, tapi Maya cukup sering menggigit bibir bawahnya sendiri.
"Jangan khawatir, ada aku." bisik Gamma sembari menepuk pelan bahu Maya.
Untuk pertama kalinya Maya merasa tak sendiri. Ia melangkah masuk ke dalam ballroom, tersenyum pada setiap mata yang memandang.
Bahkan ia mengabaikan bisik-bisik para tamu yang kini riuh membicarakan tentang mereka. Nyaris setiap sudut kini menyebutkan nama Gamma dan tentu Maya, sang kekasih.
Ke mana pun ia memandang, tatapan tajam selalu saja menyorot. Apalagi setelah pria itu memperkenalkan Maya sebagai kekasih.
"Gamma, ikut sebentar!" panggil Nenek Grace dari ujung ruangan.
"Tunggu di sini, aku segera kembali!" kata Gamma memperingatkan Maya untuk diam di tempat.
Gadis itu tersenyum dan mengangguk meski ia tak nyaman ditinggal sendiri. Selain tak kenal siapa-siapa, suasana yang riuh juga sangat tidak cocok bagi seorang introvert seperti dirinya.
“Oh! Lihat, siapa di sini? Boneka Gamma Wiranata?”
Sebuah suara muncul mengagetkan Maya.
Di depannya Sylvia mendadak menghampiri. Tatapannya tak hanya penuh tajam, tapi juga segala akal bulus yang entah apa.
"Aku sudah tahu. Bagaimana bisa kamu beradaptasi dengan lingkungan kami? Pantas cuma diam seperti patung!" ujarnya setengah mengejek.
“Tidak ada urusannya denganmu!” balas Maya dengan nada datar, tapi langsung mengubah ekspresinya saat matanya bersiborok dengan Gamma.
Melihat itu, Sylvia mulai muak dengan semua kemesraan yang ditunjukkan mereka. Rasanya ingin sekali menarik rambut Maya yang tercepol rapi dan menyadarkan gadis itu agar pergi ke tempat asalnya.
Maya buru-buru meletakkan gelas minuman di tangan, bersiap jikalau sewaktu-waktu butuh tangan kosong untuk melawan Sylvia. Manik bergerak, mengamati.
Namun lawannya malah terkekeh geli.
"Gamma pasti mengerti bahwa kekasihnya tak suka pesta, tapi dia malah meninggalkan kamu di sini. Kasihan ya. Jadi semakin terlihat seperti itik di tengah angsa."
Sepasang manik cokelat itu melirik sekitar, menghitung jumlah manusia yang kini mulai menatap ke arahnya berkat suara Sylvia yang kencang.
Maya pias setelah melihat Gamma yang pergi entah ke mana.
Sylvia yang juga menyadari hal itu langsung berbisik pelan pada teman-teman di kanan dan kirinya.
"Bawa dia!"
Empat orang wanita itu langsung mengelilingi Maya dan menarik lengannya, seolah akrab.
Tubuh gadis lugu itu langsung terbawa, tanpa banyak kata. Ia baru saja akan meneriakkan nama Gamma, tapi sadar itu tak ada gunanya. Sebab, saat dilihat lagi, pria itu telah menghilang tak meninggalkan jejak.
"Kalian mau bawa aku ke mana?" tanyanya bingung.
Gadis-gadis itu bergerak keluar, tepatnya ke arah pinggir kolam. Didorongnya Maya ke sudut, agar tak lagi bisa melawan.
"Kuperingatkan kau untuk menyingkir dari Gamma sebelum aku bertindak lebih jauh!" ancam Sylvia dengan jari-jari mencengkram wajah Maya.
Sadar bahwa lawannya mulai melakukan kekerasan fisik, Maya bergerak melawan. Gadis itu menghempaskan tangan Sylvia dengan kencang dan mendorong tubuh itu agar memberi jarak dengannya.
“Jangan macam-macam denganku karena aku tak takut padamu!” tegasnya berusaha mempertahankan diri.
Tanpa banyak kata, Sylvia menarik rambut Maya yang tergelung rapi. Jeritan kecilnya tak terdengar, saking kencangnya suara musik.
"Aku menginginkan Gamma, dan apapun yang aku mau harus menjadi milikku!" jelasnya dengan gigi gemeretak penuh emosi.
Maya menahan tangan itu, dan balas menarik rambut Sylvia dengan sama kencangnya. Keduanya saling menarik, tak ada yang mau mengalah.
“Jangan harap kamu mendapatkan kekasihku! Kamu mengerti?!” kata Maya.
Mendengar itu, Sylvia makin emosi. Tangannya bergerak dari rambut, ke arah pakaian Maya dan menarik sekuat tenaga hingga posisinya bergeser.
“Kau harus enyah di tanganku!” kata Sylvia penuh amarah.
SREK! BYUR!
Kalimat Sylvia tadi menjadi akhir pertikaian keduanya, karena kini putri Keluarga Hermawan itu berhasil menarik lengan Maya dan menceburkan gadis itu ke kolam. Matanya penuh kebencian mendengar semua celoteh itu.
"Astaga!"
Semua orang yang melihat itu menjerit terkejut, tapi tak berani berbuat apa-apa karena mengetahui siapa Sylvia sebenarnya.
Sylvia lalu merapikan rambutnya dan menatap ke arah kolam dengan tatapan merendahkan. Sedangkan di sisi lain, Maya masih berjuang untuk naik ke permukaan dengan gaunnya yang berat karena basah.
Perlahan tapi pasti, gadis itu kehilangan tenaganya dan tak lagi bergerak.
Melihat itu, tak seorang pun yang bergerak untuk maju membantu selain menatap dengan mata terbelalak.
Kolam renang yang ramai dan orang yang berkerumun membuat Gamma yang baru keluar dari ruangan mengernyitkan dahi. Matanya tajam menatap air yang menyembulkan gaun berwarna merah muda.
Merasa penasaran, pria itu mendekat sambil memicingkan mata dan melihat kondisi Maya yang sudah berada di dasar kolam.
Sontak pria itu terperanjat dan berlari. Sebelum kemudian menyeburkan diri ke kolam.
BYUR!
Digapainya tangan sang Maya dan ditarik sekuat tenaga. Gaun yang panjang membuat keduanya sulit bergerak bersama.
Namun ia tak mau kalah, didekapnya gadis itu erat. Setelah memastikan gerakannya bebas, ia kembali ke darat segera.
"Maya! Maya!"
Tangan besar itu menekan dada Maya, berusaha mengembalikan napas yang hilang. Namun, Maya masih terdiam dengan bibir pucat.
Merasa tak kunjung berhasil, pria itu berganti dengan CPR dari mulut ke mulut.
"Untuk, uhuk, uhuk!"
"Syukurlah!"
Gamma memeluk gadis yang baru saja berhasil mengeluarkan air yang membuatnya sulit bernapas. Pelukannya erat, seolah takut kehilangan. Tanpa sadar ia merekatkan bibirnya ke puncak kepala Maya, penuh sesal.
"Astaga!"
Nenek Grace muncul dengan wajah panik. Ia melepas selendang kebangsaannya dan menyerahkan itu pada Gamma, berharap itu cukup menghangatkan tubuh Maya.
"Kita pulang sekarang!" katanya seraya menggendong sang kekasih.
Namun langkah Gamma terhenti begitu ia melihat wajah Sylvia yang berubah pucat seputih kapas.
Sepertinya ia tak menyangka bahwa Gamma akan kembali secepat ini. Padahal, ia sudah meminta tolong pada ayahnya untuk mengajak Gamma berbicara di ruangan lain.
Gamma mendekat dan menatap Sylvia dengan tatapan membunuh. “Kalau terjadi sesuatu pada kekasihku, kupastikan kamu membayar mahal!!”
***
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i