"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.
Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek.
"Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."
Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat.
"Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi.
Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya.
Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri.
Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.
Tiba-tiba saja seorang pria datang menghampiri, membisikkan sesuatu yang membuat Nenek Grace terkejut. Ia langsung beranjak dan pamit untuk pergi sebentar, meninggalkan Maya dan Gamma yang langsung berpisah.
Jarak keduanya kembali terbentang, dengan Maya yang menatap kesal.
"Dengar ya, aku tak mau lagi kejadian seperti tadi terulang!" tegas Maya.
"Aku sudah bilang, itu sandiwara! Kamu tuli ya?!" elak Gamma dengan wajah datar.
"Tapi kau bisa cari tindakan lain! Kau bisa memeluk atau apalah, tak harus seperti..." Maya tak sanggup melanjutkan kalimatnya, apalagi dengan ingatan yang masih jelas dalam kepala.
Tak hanya itu, rasanya ia bisa merasakan sentuhan bibir Gamma, hanya dengan melihat bibir pria itu yang entah mengapa terlihat menggoda.
Maya lalu membuang muka dengan wajah yang terasa panas.
Apalagi Maya menyadari bahwa Gamma selalu menomor satukan isi kepalanya di banding lingkungan sekitar. Apa yang diinginkan harus terjadi saat itu juga.
"Tidak usah malu begitu. Itu hanya ciuman. Semua orang sudah biasa melakukannya." celetuk Gamma yang nyatanya membuat wajah Maya semakin merah.
"Atau sungguh itu ciuman pertamamu?" lanjut pria itu lagi sehingga semakin membuat suasana terasa panas bagi Maya.
Melihat Maya yang terdiam, Gamma tertegun. "Jangan bilang kalau..."
"Gamma, Maya, kenalkan. Ini Sylvia!"
Tiba-tiba saja Nenek Grace masuk bersamaan dengan seorang gadis. Mata gadis itu biru dan senyumnya terlihat polos.
Penampilannya tak kalah apik, tapi lebih terbuka. Sebab, gaunnya menempel erat di tubuh jenjang nan sintal milik gadis itu, sehingga menunjukkan lekuk indah.
"Dia anak Liam, pemilik Big Boss," lanjut Grace memperkenalkan gadis cantik itu.
Gamma beranjak berdiri dan menatap datar ke arah gadis itu, yang akan Nenek Grace perkenalkan dengannya tadi pagi.
Dari tatapan pertama saja, ia sudah bisa membaca sikap dan sifat yang dimiliki. Bukan hanya sekali, tapi terlalu sering ia melihat wanita-wanita seperti itu di luaran.
Gamma lalu menatap Nenek Grace dan bersiap mengatakan sesuatu, tapi wanita tua itu hanya menggerakkan jarinya. Memberi kode pada Gamma untuk mengikutinya.
"Sayang, tunggu di sini. Aku ingin bicara dengan Nenek." kata Gamma kepada Maya.
Sepeninggal Gamma, Maya merasakan angin dingin yang tak nyaman dari tempat Sylvia berada.
Tampaknya, gadis itu sudah melihatnya sebagai ancaman. Sebab, pasti ayahnya sudah memberitahu tujuannya datang ke rumah Nenek Grace.
Maya lalu melirik Sylvia dalam diam. Maniknya tertuju pada sepasang sepatu dan tas mewah di tangan Sylvia.
Maya lalu melirik dirinya sendiri, ternyata penampilan Sylvia membuat penampilannya cukup terbanting. Namun, dia tidak peduli.
"Siapa namamu?" Sylvia tiba-tiba membuka perbincangan.
"Maya," jawab Maya.
"Dari keluarga mana?"
Pertanyaan selanjutnya membuat kening Maya terlipat. Ia jelas mengerti ke mana arah pembicaraan wanita itu, karena sudah jelas semua tertuju pada status sosial keduanya, manakah yang lebih tinggi, Maya atau Sylvia.
Namun, bukankah itu tidak sopan?
"Tidak bisa dibandingkan denganmu," jawab Maya.
Wanita itu menjawab dengan kalem dan tak mengalihkan pandangannya ke arah pintu tempat Gamma dan Nenek Grace menghilang. Padahal, ia sudah sangat tidak sabar untuk mencakar wanita barbie di hadapannya itu.
Terlihat superior sekali.
Tatapan Sylvia sontak menatap jijik Maya setelah menyadari betapa bedanya level mereka. Ia langsung bergeser dan memberi jarak dari Maya.
"Oh ok. Kelihatan kok” Sylvia menjawab. Membuat Maya memutar bola matanya bosan.
“Aku Sylvia Hermawan," lanjut gadis itu lagi seolah memberi informasi yang harus diketahui Maya. "Kamu pasti pernah mendengar Big Boss, kan?" tanyanya seolah memperjelas kedudukannya saat ini.
Maya menggeleng acuh. Bukannya dia tidak tahu, tapi tidak peduli dan berharap wanita itu berhenti bicara.
Perusahaan pamannya memang bergerak di bidang kontraktor rumah dan berbeda dengan perusahaan yang saat ini dimiliki Gamma, tapi tentu dia tahu perusahaan raksasa apa yang berdiri di negara ini.
Salah satunya Big Boss.
"Astaga! Orang udik mana yang tak tahu Big Boss?" tanya kesal. "Lalu, kamu lulusan mana?" tanyanya semakin mengorek kehidupan Maya.
Sejak awal datang, Sylvia langsung bisa membaca bahwa Maya adalah saingan yang harus segera disingkirkan. Dan melihat bagaimana polosnya wanita itu, kepercayaan dirinya seketika meningkat.
Ditambah sikap diam dan jawaban acuh tak acuh itu membuatnya makin gemas ingin menindas.
"Aku kuliah di..."
"Di sini?" potongnya dengan nada mengejek.
Anggukan Maya makin membuat Sylvia besar kepala. Tangannya menepuk dada dengan bangga. "Aku lulusan Sciences et Lettres, yang terbaik di Prancis." sombongnya.
Maya mengangguk-anggukkan kepala tanpa mau tahu kelanjutan kisah gadis itu. Di dalam kepalanya, dia hanya ingin hari itu berjalan dengan baik dan segera selesai.
Bersandiwara dengan Gamma nampaknya tak hanya membuat lelah fisik tapi juga batin. Berulang kali ia harus mengalami serangan panik, gugup, takut dan masih banyak lagi rasa yang sebelumnya tak pernah dirasakan.
Pria itu sungguh menguji kecerdasannya hingga ke ubun-ubun.
"Apa yang kalian bicarakan?!" timpal Gamma yang muncul dengan tatapan tak suka. Pria itu lalu menarik tangan Maya untuk beranjak dari sofa dan menjauh dari Sylvia.
“Sayang, kamu lama sekali. Apa yang kamu bicarakan dengan nenek?”
Maya yang merasa mendapat kesempatan untuk membalas langsung memeluk lengan Gamma mesra. Gadis itu lalu melirik Sylvia dengan senyum miring.
Melihat itu, wajah Sylvia terlihat menggelap.
"Gamma, Nenek Grace mengundangku untuk dikenalkan padamu." kata Sylvia. Sifatnya langsung berubah dan tak lagi jutek seperti berbicara dengan Maya.
"Aku pikir kita akan menjadi pasangan yang cocok, karena kita setara." tambahnya lagi sambil mendekat ke arah Gamma.
Sylvia seakan tidak peduli bahwa Maya memanggil Gamma dengan perkataan mesra. Dengan menggunakan kekuasaan Nenek Grace yang memanggilnya, dia merasa seperti di atas angin.
Tangan lentik dengan kuku bercat merah itu lantas menyentuh pundak Gamma, seolah meneliti. Namun, tangannya telah lebih dulu ditepis oleh Maya.
"Sayangnya aku tak berminat padamu," tolak Gamma datar. "Aku sudah memiliki Maya dan kami akan segera menikah!" tambahnya.
Perkataan Gamma membuat kedua wanita itu mendelik.
Menikah katanya?!
“Namun, bagaimana dengan perjodohan kita? Bukannya nenekmu–” Sylvia tergugu. Baru hanya Gamma yang berani menolaknya seperti ini!
“Aku menolaknya. Jaga perilakumu di depan calon istriku.” Gamma berkata lagi dengan tajam.
Tanpa mempedulikan ancaman Maya sebelumnya, pria itu lalu menarik pinggang Maya mendekat dan mengecupnya tepat di bibir.
“Kamu!!” suara Sylvia tertahan.
“Kamu mungkin menang segalanya dariku–siapa tadi namamu sebelumnya? Maaf, aku tidak mengingatnya karena kamu tidak penting. Namun, sayangnya Gamma memilihku dan menolakmu. Jadi, aa yang bisa kamu lakukan?” Maya berkata sambil mempertahankan senyum miringnya.
Sylvia mengepalkan tangannya erat, matanya berkilat marah.
Ia merasa diremehkan dua kali lipat—oleh Gamma yang terang-terangan menolak perjodohan mereka, dan oleh Maya yang berani melontarkan kalimat pedas itu padanya!
“Terima kasih atas waktumu, Sylvia. Kami cukup sibuk hari ini, jadi kamu boleh pergi sekarang.”
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i