"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."
Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya.
Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang.
Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu.
"Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.
Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi.
Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya.
"Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan terus memegang erat rambut Maya.
Wanita yang dipanggil ‘Bibi’ itu membawa Maya menuju ke arah teras, di mana pria bertubuh buncit sudah menunggu. Tatapan pria itu pun tak kalah sengit. Tangannya bahkan sudah siap menerima tubuh keponakannya yang sudah ia besarkan itu.
PLAK!!
"Dari mana saja kamu? Bikin malu! Kamu mau tanggung jawab kalau Tuan Bernard menagih utangnya?" cecar Emran langsung.
Maya menunduk, tanpa kata.
Menjawab pertanyaan kedua orang itu sama dengan mencari mati. Sebab, selama ini mau dia salah atau tidak, paman atau bibinya sama sekali tidak mau mendengar pendapatnya.
"Siapa laki-laki yang bersamamu? Sudah bisa menggatal ya?! Berani kabur segala! Dasar tidak tahu diri!" Matanya Bibi Maya melotot keluar.
"Dia bersamaku!"
Sebuah suara bariton terdengar bersama kehadiran Gamma. Masih dengan jas hitamnya, pria itu berjalan mendekat ke arah pasangan suami-istri Emran dan Lena dengan tatapannya yang tajam.
Kehadiran Gamma membuat kedua orang itu penuh kebingungan, menebak-nebak siapa pria itu. Namun ekspresi mereka langsung berubah ketika Emran akhirnya ingat.
"G-Gamma Wiranata?" tanya Emran tergagap.
Sosok Gamma yang menjulang tinggi membuat Lena yang sedari tadi menatap Maya dengan benci langsung gemetar.
Meski belum tahu siapa itu Gamma Wiranata, dia tertekan oleh aura yang dikeluarkan pria itu!
"Maya bersamaku dan akulah yang akan bertanggung jawab untuk utang kalian ke Tuan Bernard,"
Gamma mengulurkan tangan dan membawa Maya untuk berdiri. Gadis itu masih gemetar ketakutan, sekaligus tak menyangka bahwa Gamma benar-benar akan menolongnya.
Gamma yang hendak berbicara lagi kembali mengatupkan bibir kala dilihatnya wajah Maya yang bengkak, bersama sebuah goresan di pipi akibat cincin yang digunakan oleh Emran.
Rahang pria itu mengeras dan tatapannya menajam.
Gamma kesal.
Seharusnya ia langsung keluar saja tadi dan tidak perlu menuruti sorot mata Maya. Manik gelap Gamma langsung tertuju pada Emran yang ketakutan.
Sadar siapa yang kini dihadapi, membuat keduanya luluh sekaligus bingung, harus berbuat apa. Gamma bukan hanya bisa membayar utang keluarga tapi juga bisa menguras semua harta mereka termasuk perusahaan keluarga Kendra.
"Kalian berani melukai Maya.. "
"I-itu bentuk dari hukuman! Dia sudah lari dari pertunangan dan..."
“Apa hak kalian melakukan itu?" suara Gamma menggelegar.
Jangankan Emran dan Lena, Maya sendiri terkejut mendengarnya. Gadis itu langsung memeluk lengan Gamma dan berusaha menenangkan. Ia tak mau ada keributan lagi.
"Me-memangnya kau siapa?" tanya Lena sok menantang.
Sebagai orang yang tak hanya membesarkan tapi juga membiayai kebutuhan Maya, mereka merasa lebih berhak mengontrol gadis itu dibandingkan dengan Gamma.
Sehingga semua itu membuat mereka memiliki kepercayaan diri lebih untuk bisa memperlakukan anak itu sesuka hati, termasuk memberi hukuman.
Perkataan Lena membuat Emran segera mendelik ke arah istrinya itu. Bagaimana bisa Lena tidak sadar siapa pria itu sebenarnya?!
Sebelum Lena sempat berkata lagi, Emran sudah lebih dulu menarik tangan wanita itu ke belakang dan memelototinya dengan tatapan penuh.
Kemudian, pria paruh baya itu berbalik dan menatap Gamma dengan canggung.
“T-tuan Gamma! Ini hanya merupakan tindak disiplin dari keluarga Kendra saja. Kami tidak bermaksud melukai Maya. Jadi–”
"Begitu ya?" Gamma berkata pedas. “Kalau begitu, sebagai tindakan disiplin, bagaimana kalau setiap luka di wajahnya kujadikan sebagai hutang? Aku pikir Kendra memiliki integritas.”
Tangan Gamma menggenggam erat Maya erat. Menunjukkan keposesifan tiada tara. Gamma bahkan menatap Maya sembari ibu jarinya mengelus lembut pipi gadis itu.
Mendengar itu, Emran dan Lena menganga. Benar-benar heran kenapa Gamma bisa melindungi Maya sebegitunya.
“Apa yang membuat kamu begitu peduli pada Maya?! Orang tuanya saja sudah lama membuangnya! Seharusnya dia berbakti pada Kendra yang telah membesarkannya!”
Lena berbicara lagi dan membuat Emran semakin kesal.
“Berbakti?! Bukankah selama ini dia telah begitu berbakti sehingga mengambil alih kewajiban anak kalian di perusahaan dan mengabaikan keperluan pribadinya?” Gamma membuat kedua pasangan itu bungkam kembali.
Kali ini, mereka tak bisa berkutik karena memang sejak dulu, mereka memaksa Maya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sekaligus urusan pekerjaan, sehingga seringkali Maya jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
Itu pun dia hanya disuntik vitamin sebelum kembali dipaksa untuk bekerja.
Maya yang sudah berkaca-kaca membuat Gamma membuka jasnya dan langsung menggantungkan ke tubuh Maya.
Pria itu yakin ini bukan pertama kalinya terjadi, karena terlihat dari cara mereka menyakiti Maya. Namun dapat dipastikan bahwa ini pertama kalinya seseorang melindunginya.
"Kita pergi dari sini.”
Gamma menyeret Maya yang masih terdiam dengan wajah bengkak dan berurai air mata. Namun, sebelum pergi, pria itu berbalik dan menatap ke arah Emran dan Lena dengan pandangan tajamnya yang khas.
"Mulai hari ini, Maya akan tinggal bersamaku. Berani mengusik satu inchi saja kulit di tubuhnya, maka katakan selamat tinggal pada Kendra Corporation."
Pernyataan Gamma membuat pasangan suami-istri itu membelalak. Jika Maya pergi, bagaimana dengan semua pekerjaan yang bisa dilakukannya?
"Tapi Maya harus bekerja!" tolak Emran seketika. "Ma-maksudnya, bekerja di perusahaan. Dia membantu kami untuk..."
"Apa aku terlihat peduli?” Gamma menjawab sinis. "Ada banyak orang yang bisa kau bayar untuk menempati posisinya kan?" tambahnya seraya menatap sang gadis lekat.
Tanpa perlu ijin, Gamma menarik tangan Maya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Baik Emran dan Lena, tak ada satu pun dari mereka yang berani menghalangi.
Keduanya hanya bisa menatap dalam diam, tak tahu harus apa.
Sementara Maya sendiri tak bisa menolak permintaan Gamma yang berarti kebebasan baginya. Gadis itu terdiam dan pikirannya masih melayang entah ke mana.
Tubuh itu baru bereaksi kala dia sadar bahwa mobil telah sampai di sebuah apartemen mewah di tengah kota. Berbeda dengan gedung hotel tadi, apartemen ini terkesan lebih ‘private’.
"Ini di mana?" tanya Maya.
Gamma tak menjawab, tapi melemparkan kunci mobil pada seorang pengawalnya. Tanpa menunggu Maya yang masih mematung, pria itu berjalan pergi ke arah lift yang terletak di basement.
Melihat itu, Maya berlari kecil dan berusaha untuk bisa sejajar. Namun, pintu lift sudah terbuka dan Gamma sudah masuk ke dalamnya.
"Lamban!" katanya pada Maya yang balik memalingkan muka, karena sama kesalnya.
Tangan besar itu lalu menekan angka lift yang akan menghantar mereka ke lantai yang dituju, ke sebuah penthouse yang menjadi satu-satunya di lantai itu.
"Masuklah."
Perkataan Gamma membuat Maya meningkatkan kewaspadaannya. Apalagi setelah masuk ke penthouse itu, dia sadar bahwa hanya ada satu kamar. Sebab, kamar yang lain dijadikan sebagai gudang dan ruang kerja.
Sontak Maya merekatkan jas di tubuhnya sambil melirik ke arah kekasih pura-puranya. Dia tidak akan di-unboxing oleh Gamma kan?
Melihat itu, Gamma berjelan mendekat ke arah Maya dan menyentil jidatnya.
“Lebih baik kamu membasuh otakmu. Terlalu kotor."
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i