"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!"
Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga.
Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.
Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?
Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.
Terlebih dia tidak pakai bra.
Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.
Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.
BRAK!
"GAMMA!!!"
Maya berteriak dan meraih bantal untuk menutupi dadanya, sedangkan di sisi lain Gamma yang baru saja masuk ke dalam kamar membelalakkan mata terkejut.
Sebab, dua hal yang menonjol di dada Maya membuatnya sangat melekat.
“Apa kamu tidak pernah diajari menutup pintu?!” Maya menegur kesal, memecahkan lamunan Gamma.
Bisa-bisanya pria itu langsung membuka pintu tanpa meminta izin terlebih dahulu!
Gamma berdehem dan melirik tajam ke arah Maya. “Aku mengubah tugas pertamamu.” Gamma berkata sambil menatap Maya serius.
Ia mengerjapkan matanya untuk berusaha mengenyahkan pikiran kotor tentang lekuk tubuh Maya yang ternyata begitu indah.
"Segera bersiap. Kita akan ke rumah nenekku dalam tiga puluh menit!" lanjut Gamma seraya keluar dari kamar.
Maya terkejut. Gadis itu berusaha mengikuti Gamma untuk berusaha mencari penjelasan. Namun, pria itu malah pergi kembali ke ruang kerjanya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Apa maksud–?"
Menyadari waktu yang tak banyak, Maya bergerak cepat untuk bersiap. Ia cukup bersyukur karena selama ini hidup dalam tekanan.
Sebab, terbukti, hari ini ia bisa menyelesaikan semua persiapan tepat waktu. Sebuah gaun yang tetutup begitu cantik melekat di tubuhnya.
Maya bahkan hanya perlu 10 menit untuk mendandani dirinya sendiri.
Hasilnya tidak buruk. Sebab, saat Gamma kembali datang untuk menjemputnya di luar kamar, pria itu tampak memalingkan muka dengan semburat tipis di wajahnya.
Kalau Maya tidak salah lihat.
"Kenapa? Ada yang salah? Apa pakaian ini terlalu..."
"Tidak. Kita berangkat sekarang!" potong Gamma sembari berjalan lebih dulu, keluar dari penthouse.
Selama ini, Gamma memang tak pernah menempati istana yang dibangun oleh keluarganya karena beberapa alasan.
Pertama, ia lebih suka hidup sendiri. Kedua, rasa lelah karena terus dipaksa untuk menikah. Entah mengapa, rumahnya terasa seperti kantor biro jodoh karenanya.
Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Maya baru bereaksi saat mobil Gamma memasuki pekarangan mansion Wiranata yang sepuluh kali lebih luas dari rumahnya.
"Nenek!"
Gamma memanggil satu-satu keluarga yang ia miliki dengan kencang, karena saking luasnya rumah itu, tapi tak ada jawaban.
"Nenek!" serunya lagi.
Maya mengikuti di belakang, sembari terus saja memandang penuh pesona ke sekelilingnya. Rumah bak istana itu tak hanya luas, tapi juga berpuluh kali lipat lebih mewah!
"Gamma!"
Seorang wanita tua berjalan tertatih dengan bantuan tongkatnya. Senyumnya merekah, bak bunga di taman. Binar di seluruh wajahnya menunjukkan kasih sayang itu nyata.
Tangannya terbuka dan membawa pria besar itu dalam pelukan, tapi Gamma hanya mencium pipi neneknya sekilas.
Melihat itu, wanita tua itu merengut. Namun, hanya sekilas karena sedetik kemudian, matanya berbinar saat melihat Maya.
"Nenek, kenalkan, ini Maya. Kekasihku."
Diperkenalkan demikian oleh Gamma membuat Maya tersenyum canggung dan berusaha untuk tak tegang, tapi gagal. Sebab, tangannya gemetar karena ini adalah pertama kalinya ia diperkenalkan sebagai kekasih langsung pada keluarga seorang pria.
Apalagi pria seperti Gamma!
"Sayang, ini Nenek Grace. Dia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya." jelas Gamma singkat.
Maya tersenyum tipis, berusaha untuk tenang, meski jantungnya berdegup kencang. “Maya, Nek”.
"Selamat datang, Maya." sambut wanita tua itu menghampiri Maya lebih dahulu.
Tangannya terbuka, persis saat hendak memeluk Gamma. Setelah memeluk gadis itu erat, tangan Nenek Grace mengelus punggungnya lembut.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya wanita tua itu .
Tanpa basa-basi.
"Nenek!!" kata Gamma yang langsung menarik Gamma dari pelukan Neneknya.
Nenek Grace memukul lengan Gamma kencang, memerintahkan cucunya untuk minggir.
Lalu tangannya menarik lengan Maya pelan, membawanya berjalan bersama bak orang yang sudah lama saling kenal.
"Gamma memang begitu, dia harus sedikit dipaksa. Kamu jangan sedih, Nenek pastikan kamu untuk segera menikah!"
Mendengar kalimat itu, Maya makin kalang kabut. Ia menoleh ke belakang, di mana Gamma sudah sibuk memberi kode untuk tetap tenang. Sementara ia sendiri tak bisa tenang mendengar bualan Nenek Grace tentang konsep pernikahan dalam kepalanya.
"Ta-tapi Nek, Maya masih harus..."
"Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengan Gamma?" cecarnya menyelidik. "Kalian tidak sedang membohongi, kan?" tanyanya makin tak percaya.
"Bu-bukan itu! Namun, untuk menikah, kami perlu..."
"Kami harus memikirkannya lebih jauh!" potong Gamma dengan tangan merangkul tubuh Maya tanpa ijin. Tangan besar itu menyelip mulus ke pinggang sang kekasih. Ia tak peduli dengan manik cokelat yang menatapnya tak suka.
Melihat itu, Nenek Grace tersenyum senang. Seumur hidup, ia tak pernah melihat cucunya begitu mesra dengan perempuan lain. Rasanya makin tak sabar melihat mereka di pelaminan.
"Duduk di sini, Nenek ambilkan sesuatu!" katanya seraya pergi meninggalkan keduanya di meja makan.
Sepeninggal Nenek Grace, Maya langsung menghempaskan lingkaran Gamma di pinggangnya dan menatap pria itu tak suka.
“Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan, Tuan”.
"Itu untuk meyakinkan Nenek. Kita tidak mungkin mengaku berpacaran tapi tanpa kontak fisik!" jelas Gamma. "Lagi pula aku hanya merangkul pinggangmu, memangnya salah?" tanyanya sambil mencontohkan caranya merangkul Maya tadi.
Gadis itu beranjak dan memukul lengan Gamma kencang. "Jadi aku juga boleh melakukan itu padamu?" ketusnya. "Tidak tertuang dalam perjanjian bahwa kita..."
Tiba-tiba saja tangan Gamma menarik tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam pelukan. Matanya melirik ke arah berbeda, lalu seketika ditempelkannya wajah mereka seolah akan berciuman.
"Ikuti saja perintahku!" bisiknya seraya mengecup bibir bergincu itu pelan. Sayangnya kecupan itu semakin dalam ketika Maya membuka mulut, menarik napas dalam.
Keduanya hanyut dalam beberapa detik tanpa peduli bahwa sepasang mata tua itu melihat dengan sebuah senyum bahagia.
***
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
“Memangnya harus sampai seperti ini?” Maya menggerutu kesal sembari menatap para pekerja salon yang sedang memoles wajahnya. Sepulangnya dari rumah Nenek Grace, pria itu memang langsung menyeretnya ke salon untuk menghadiri pesta bersama kolega perusahaan.“Datang bersamaku akan menjadikanmu sorotan.” Gamma yang sejak tadi sibuk dengan laptop dan ponselnya mendadak bergerak mendekati gadis itu. “Sebab, posisimu adalah idaman setiap wanita di ruangan itu. Mana bisa kau tampil dengan biasa-biasa saja.” lanjut pria itu lagi dengan datar.Mendengar itu, tubuh Maya melemas saat membayangkan semua mata tertuju padanya, wanita yang akan menjadi ‘calon istri’ seorang Gamma Wiranata.“Tapi ini berlebi-”“Berlebihan itu lebih baik daripada biasa saja. Lagipula, akan ada banyak orang dari kalangan atas yang datang. Termasuk Sylvia.” potong Gamma lagi. Tentu saja itu mengubah wajah Maya seketika. Tatapan lesunya berubah. Ada setitik rasa keangkuhan yang muncul hingga membuat kepalanya terangka
"Jadi apa pekerjaanmu saat ini?" tanya Nenek Grace mulai melakukan identifikasi pada calon cucu menantunya.Maya melirik Gamma takut-takut. Namun pria itu mempersilakannya untuk menjawab dengan wajah santai, seolah pernyataan apapun tak akan membuat perubahan besar di wajah sang nenek."Saat ini saya bekerja di perusahaan keluarga, Nek. Kebetulan kami sedang mengalami sedikit kesulitan."Gadis itu menunduk malu karena harus menjelaskan kondisi keluarga pamannya secara tidak langsung. Tangannya bertaut. Namun, dengan mudahnya Gamma menarik salah satu dan menggenggamnya erat."Maya adalah Asisten CEO, Nek." ujar Gamma lagi. Mendengar itu, Nenek Grace menggenggam tangan Maya lembut. "Sangat hebat! Aku bersyukur Gamma bisa mendapatkanmu, Nak." pujinya. Gadis itu berkaca-kaca, tak sanggup mendengar pujian yang bisa dihitung jari. Ia jarang sekali mendapatkan sebuah penghargaan, terutama dari keluarganya sendiri. Sebab, hanya caci-maki dan segunung luka yang selama ini selalu diterima.T
"Nenek tidak bisa memutuskan secara sepihak! Aku akan pulang saat ini juga! Jangan lakukan apapun!" Suara Gamma yang kencang membuat Maya terjaga. Gadis itu makin terperanjat begitu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tak biasanya terlambat bangun, kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ini.Sebab, meski dia akhirnya tidur di ranjang dan Gamma tidur di sofa ruang kerjanya, bisa saja pria itu masuk kapan pun dan menyerangnya kan?Oleh karena itu, setelah memastikan pintu masih tertutup, dengan cepat ia melompat ke lantai dan menarik cardigan berbahan sutra untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.Terlebih dia tidak pakai bra.Saat sedang menguncir rambutnya di depan cermin, Maya memperhatikan barang-barang yang melekat di tubuhnya itu dengan seksama. Ukurannya pas dan neat.Entah dari mana Gamma mendapatkan barang-barang wanita secepat itu, tapi yang jelas segala kebutuhannya terpenuhi tanpa ada yang tertinggal. Termasuk sikat gigi dan parfum.BRAK!"G
"Persiapkan dirimu dan temui aku besok di tempat yang telah kutentukan. Ingat perjanjian kita."Maya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu lalu beranjak turun dari mobil tepat di depan rumah mewah pamannya. Namun, belum sempat ia keluar dari mobil sepenuhnya, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan seorang wanita paruh baya yang menatap nyalang. Langkah wanita itu bergerak cepat menuju Maya dan tangannya maju, menjambak rambut panjang gadis itu. Seolah tindakan itu adalah hal biasa, ia menyambar dengan cepat tanpa ragu."Bibi! Tolong lepas!" jerit Maya kesakitan.Maya melirik ke arah Gamma yang masih ada di dalam mobil dan berharap pria itu tak menyaksikan apa yang kini sedang terjadi. Namun, semua sudah terlambat karena manik hitam Gamma tertuju tepat ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Gamma hendak beranjak keluar tapi tatapan Maya menahannya."Dasar anak kurang ajar! Nggak bisa dikasih hati!" maki wanita itu tanpa basa-basi. "Bikin malu keluarga!" tambahnya dengan tangan
"Pokoknya, kamu harus bertunangan dengan Tuan Bernard hari ini juga! Jangan egois kamu, Maya!"Seorang pria paruh baya menahan lengan seorang gadis dengan erat dan berusaha untuk tidak bersuara kencang. Emosi yang tertahan membuat wajah pria itu memerah."Egois?" Maya bertanya dengan mimik tak suka. "Paman yang egois! Dari awal aku enggak pernah setuju dengan pertunangan ini!"Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkraman tangan pamannya yang kekeuh memaksanya untuk bertunangan dengan Bernard, pria paruh baya yang seusia dengan pamannya itu.Maya tentu menolak, apalagi basis pertunangan ini adalah demi melunasi utang keluarga dan juga kesejahteraan bisnis keluarga pamannya. Mana mungkin Maya harus rela menikahi pria tua yang berperut buncit itu?!Apalagi rumornya Bernard sudah memiliki lima istri yang mana semuanya selalu tidak akur. Sebab, berita tentang istri-istrinya yang berbuat skandal selalu wara-wiri di dunia entertainment.Maya bergidik ngeri saat membayangkan harus menjadi i