"Kau tak apa?"
Mata Gamma terarah pada jalan raya, tangannya bahkan sibuk mengemudi. Tapi mulutnya tak henti bertanya tentang kondisi Maya.
"Aku tak apa," jawab gadis itu, lagi.
Entah sudah berapa kali pria itu menanyakan hal yang sama. Namun jawaban Maya sepertinya tak membuatnya puas.
Wajar saja jika Gamma merasa gadis itu tak baik-baik saja. Selain jadi pendiam, gadis itu hanya memandang jalan dengan tatapan kosong. Kondisinya cukup mengkhawatirkan, walau mulutnya terus berkata baik-baik saja.
"Ini di mana?" tanya Maya bingung.
Maniknya berkeliling, coba mengenali lokasi yang kini mereka kunjungi. Tapi ia tak punya clue sama sekali. Diliriknya Gamma yang sudah turun dan berjalan menuju ke arahnya. Pria itu membukakan pintu, berlagak gentlement, sebuah hal langka namun cukup membuat Maya tersanjung.
"Apartemenku," jawab pria itu seraya maju lebih dulu.
Kening gadis itu mengernyit, bingung. Entah berapa banyak properti yang dimiliki sang CEO tapi yang jelas semuanya begitu mewah dan khas sekali, terutama ketika keduanya masuk ke dalam ruang dengan interior mahal itu.
"Kau akan tinggal di sini!"
Maya tercekat, ia menunjuk keluar, menunjukkan bahwa ia punya apartemen sendiri yang juga dibayar dengan uang atasannya itu. Namun Gamma langsung menggeleng tegas.
"Terlalu berisiko jika kau tinggal seorang diri," katanya setengah memerintah.
Pria itu berbalik arah, menuju ke arah dapur yang terbuka. Namun dengan cepat Maya menahan lengan besar itu. Mulutnya baru saja akan menolak, tapi Gamma nampak lebih cepat tanggap. Tatapannya tajam, tak mau dibantah.
Sikap arogan pria itu nampak jelas, terutama ketika memerintah seperti saat ini. Mau tak mau, Maya mengikuti. Ia menunduk lemas, tak suka dengan keputusan sepihak itu.
"Ingat, kita punya kontrak yang harus kau patuhi! Dan aku tak suka kau tolak seperti tadi!" tegasnya mengancam.
Maya menatap kesal. Amarahnya belum reda, tapi sudah ada masalah baru yang membuat jantungnya nyaris copot. Ia tak menyangka bahwa sang mantan akan datang dan berlaku kurang ajar seperti tadi.
"Lalu bagaimana dengan Oma Grace?" tanyanya merasa sedikit bersalah karena menolak pertemuan dengan wanita paruh baya itu.
"Aku sudah sampaikan kalau ada pekerjaan yang tak bisa ditunda. Tapi sebagai gantinya, besok pagi kita akan sarapan di rumah."
Gadis itu mendengus, tak suka. Itu artinya ia harus bangun pagi-pagi sekali, berdandan dan berpikir keras tentang apa yang mungkin akan ditanyakan oleh Oma Grace.
"Aku akan minta anak buahku menyiapkan beberapa pakaian sampai kau ambil barang-barangmu besok. Kau bisa gunakan kamar tamu!" tunjuknya pada sebuah pintu di dekat ruang tengah.
Gamma kembali melangkah ke arah dapur, membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa bahan masakan. Tangannya bergerak cepat, bak profesional.
Maya tertegun, sebagai penonton. Harus diakui bahwa cara kerja Gamma lebih dapat dinikmati daripada dirinya, yang seorang wanita.
"Kau hanya akan berdiri dan menonton?" tanya Gamma sinis.
Sontak Maya membuka jas atasannya itu dan segera ikut berdiri di sisi tuannya. Ia menyimak perintah Gamma untuk memotong-motong beberapa bahan dan mengambil bumbu-bumbu halus di dalam lemari.
Sayangnya, gadis itu terlalu pendek untuk bisa menggapai lemari yang berada di atas kompor. Kakinya coba berjinjit, namun tak juga cukup untuk meraih bumbu yang dimaksud. Hingga tanpa sadar, tangan Gamma yang maju dan menarik satu kotak bumbu dengan mudahnya.
Maya mematung, tak mampu bergerak dengan posisi Gamma yang ada di belakangnya, tanpa jarak. Tubuh keduanya menyatu, bahkan wangi pria itu tercium saking dekatnya.
"Apa kau selalu bekerja selambat ini?" sindirnya seraya berbalik tanpa menghiraukan jantung Maya yang berdegup kencang.
Ingatannya sontak berbalik pada malam di mana keduanya bersama. Tubuh yang beradu dan wangi yang sama, membuat otaknya penuh pikiran kotor.
"Aku sudah lapar!" seru Gamma yang tak suka menunggu.
"Iya, sebentar!" timpal Maya yang buru-buru ikut menyusul.
Gadis itu bergerak semakin cepat, berusaha mengimbangi sang tuan. Sayangnya, ia memang tak semahir itu. Jangankan memasak, kompor saja baru terpakai setahun sekali, di acara-acara penting.
"Potong daun seledrinya lebih halus lagi!" perintah pria itu bak chef.
Maya yang merasa diawasi menjadi tak leluasa. Tangannya semakin kaku, tak sesuai dengan permintaan Gamma. Hingga tanpa sadar, gadis itu mengiris kulitnya sendiri dan membuatnya berdarah.
"Aw!"
Pria yang sejak tadi sibuk di depan kompor, sontak berbalik. Mata elangnya tertuju pada tangan yang mengeluarkan darah.
Bak kilat, Gamma menarik tangan Maya dan menghisapnya kuat-kuat dengan mulutnya sendiri. Setelah memastikan pendarahan berkurang, barulah ia membawanya ke wastafel untuk memastikan lukanya bersih.
"A-apa yang kau lakukan?"
Maya menatap bingung. Untuk pertama kalinya ada seorang pria yang membantunya begiitu gesit dan tanpa ragu-ragu. Apalagi bagian menghisap darah, yang mungkin akan nampak menjijikkan baghi sebagian orang.
"Mengobatimu!" jawab pria itu seraya menarik kotak P3K di atas wastafel.
Pria arogan itu melapisi luka di jari Maya dengan plaster dan melanjutkan kegiatan memasak tanpa meminta bantuan sang gadis. Ia tak mau lagi jatuh korban yang mungkin akan lebih parah. Sehingga gadis itu hanya bisa duduk manis, menunggu.
Berbanding terbalik dengan Gamma yang kini benar-benar mengolah makanan mentah hingga betul-betul jadi. Satu panci sup dengan harus yang mengisi ruang membuat perut keduanya makin keroncongan.
"Cepat makan!" perintah Gamma yang baru saja menuangkan sup ke mangkok dan menyodorkannya pada Maya.
Bukannya menikmati hidangan, Maya malah memandangi wajah atasannya itu lekat. Hari ini Gamma berubah, tak seperti biasanya. Pria dingin itu masih tetap ketus nan arogan. Namun kini diimbangi dengan perhatian-perhatian kecil dan tak terduga.
"Apa kau salah minum obat?" tanya Maya bingung. "Kau tak biasanya begini, bahkan saat makan dengan Ima Grace!" katanya mulai membandingkan.
Gamma salah tingkah. Ia berdehem cukup keras, coba mengontrol suara dan juga pikirannya untuk mendapatkan jawaban yang masuk akal.
"Kau tak sedang merayuku, bukan?" tanya gadis itu coba menerka.
Sontak pria itu terbahak, menertawakna tebakan yang jelas salah.
Merasa bersalah, mungkin adalah kata yang tepat untuk menunjukkan perasaan Gamma kali ini. Terutama setelah kejadian Maya dan Frans di kantor. Harusnya ia bisa menjaga gadis itu, atau bahkan memaksanya untuk tetap ikut ke rumah Oma Grace. Sayangnya, semua telah terjadi.
"Kalau begitu, apa kau mulai menyukaiku?" tebak Maya yang malah membuat tawa Gamma hening.
"Jangan mimpi! Aku tak akan menyukaimu!" tegasnya seraya pergi meninggalkan meja makan.
***
"Selamat pagi!"Sapaan dengan suara berat itu masuk memenuhi dapur, bersama dengan sebuah senyum sumringah dari wanita tua yang sibuk merapikan meja makan. Tangannya terbuka, menyambut sang cucu kesayangan.Gamma memeluk Oma Grace, hangat. Pria itu nampak sangat berbeda ketika dekat dengan wanita itu. Senyumnya bahkan muncul, sungguh sebuah keajaiban yang jarang sekali terjadi, terutama bagi Maya, gadis yang kini mengikutinya di belakang.Tangan Maya penuh dengan sebuket besar bunga hidup yang wanginya semerbak. Wajahnya nyaris tak nampak, saking besarnya buket itu, dan Gamma sama sekali tak membantunya untuk sekedar membawa. Padahal itu semua adalah ide sang CEO."Wow, terima kasih! Kau selalu tahu apa yang aku suka!" puji Oma Grace setelah mengambil buket bunga di tangan Maya.Gadis itu tercekat, setengah kesal karena tak dianggap. Kini ia tahu dari mana sikap arogan Gamma berasal. Ya, kedua orang yang dilihatnya kini begitu mirip, yaitu sama-sama menyebalkan."Tapi Maya yang memili
"Maya, tolong ke ruangan saya!"Gamma berjalan merewati ruang Divisi Bussiness Development dengan tenang. Ia berlagak seolah tak terjadi apa-apa. Berbanding terbalik dengan para karyawan yang memandang Maya dengan penuh tanya.Sejak kepulangan mereka dari rumah Oma Grace, keduanya langsung berpisah, agar tak meninggalkan kecurigaan dari rekan-rekan yang lain. Namun sikapnya kini malah membuat semua mata memandang heran ke arah kekasihnya."O-oh, itu! Pasti mau ngomongin berkas yang kemarin!" seru Maya beralasan.Sontak semua orang ber-oh ria tanpa banyak tanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa presentasi untuk proyek baru semakin dekat, dan Maya adalah kandidat terkuat yang akan melakukannya."Ke sana dulu, ya!" pamitnya seraya mengambil langkah seribu sebelum ada yang mencurigainya.Gadis itu setengah berlari, tak mau ada satupun yang mengajukan pertanyaan yang macam-macam. Rasanya seperti menyimpan rahasia yang akan membunuhnya hidup-hidup."Kau sengaja, hah?" seru Maya begitu masuk
"Luxury Bar, Pak!"Entah apa yang merasuki Maya, dia tiba-tiba saja dengan impulsif meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke sebuah bar mewah yang seumur hidup tak pernah disentuh.Hatinya seperti diremas-remas. Nyeri tak karuan mengingat kekasih yang dulu begitu protektif dan tak mengizinkannya untuk pergi ke tempat hiburan malam seperti ini, malah kepergok berselingkuh dengan wanita lain di apartemen pria itu.Maya memejamkan mata, mengingat bagaimana tempat itu pernah menjadi saksi bisu kisah cintanya selama lima tahun terakhir. Bercengkrama, berbincang tentang pekerjaan hingga pembahasan tak penting lainnya, semua dilakukan di apartemen itu. Dan kini tempat itu pula yang menjadi lokasi perselingkuhannya.Gadis itu baru saja masuk dan taksi baru akan jalan saat Maya melihat Frans, sang kekasih yang menggedor-gedor kaca taksi dengan menggunakan boxer.Ingatan Maya kembali pada pemandangan tak senonoh yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana gerakan Frans menusuk i
Di perjalanan pulang, tak henti-hentinya Maya menatap Gamma dengan tajam. Semua ini terasa seperti mimpi, tapi mimpi buruk! Baru saja ia mendapati kekasihnya tidur dengan wanita lain, tapi esok harinya ia juga sudah menjadi kekasih seorang pria. Dan orang itu adalah atasannya!Maya meletakkan tangannya ke depan kening. Berusaha memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Entah situasi seperti apa yang kini tengah terjadi dalam hidupnya. Sikap arogan yang dimiliki Gamma membuat Maya tak tahan. Titahnya bak raja, memerintah ini, itu dan tak bisa ditolak. Semua perintah harus dijalankan saat itu juga, termasuk menandatangani kontrak yang sudah ada bahkan mungkin sebelum ia bangun dari tidur."Jangan lagi tinggal di tempat kumuh ini. Mulai besok pindah saja ke apartemen!" kata Gamma setelah mobil yang ia kendarai berhenti di sebuah gang.Mendengar itu, Maya memanyunkan bibir. Tak suka dengan perkataan yang Gamma lontarkan.Menurut Maya, rumah kontrakan yang ia tinggali itu tidak begitu kumuh
"Tanda tangan!" Gamma menunjuk nama terang Maya dan posisi di mana gadis itu harus membubuhkan tanda tangannya. Maya menarik napas dalam. Baru saja sampai di kantor, ia sudah harus berurusan dengan CEO arogan yang terus mengingatkan tentang kontrak di antara mereka. Ancamannya? Tentu CCTV yang belum pernah ia lihat seperti apa isinya. Jangankan melihat, mau tahu saja ia tak sudi.Semua bayangan tentang malam itu ia hapus buru-buru, tak mau terlalu larut hingga membuat hidupnya kesal sepanjang hari. "Cepat, tunggu apalagi?" seru Gamma tak sabar."Iya, iya!" Maya menarik bolpoin tinta dan menggerakkan tangannya perlahan.Gamma Wiranata adalah seorang CEO yang terkenal tukang perintah dan anti penolakan. Walau baru saja diangkat, namun desas-desus itu terdengar nyaring, terutama bagi Maya yang berperan sebagai karyawan di perusahaan One Corporation."Malam ini kita akan makan malam bersama keluargaku. Beli pakaian yang bagus dan berdandanlah!" perintah Gamma, lagi dan lagi tanpa berta
"Banyak banget!"Maya memandangi tumpukan berkas di atas meja kerja yang baru saja dikirim oleh sang atasan. Sebuah proyek baru yang akan digarap oleh divisinya ternyata akan dimulai hari ini. "Namanya juga proyek baru!" seru Monika, salah satu rekan kerja Maya yang duduk tepat di seberang kursinya.Tangannya mulai menarik satu per satu berkas, coba membaca dan mempelajari proyek yang akan digarap oleh divisinya saat ini. Maklumlah, sebagai salah satu karyawan di bidang pengembangan bisnis, divisinyalah yang paling sibuk untuk jika ada proyek baru.Suasana hening dengan melodi keyboard yang diketuk satu per satu mulai mengisi ruangan. Semua orang fokus pada pekerjaan masing-masing, termasuk dengan Maya. Namun tiba-tiba saja, salah satu karyawan berdiri dengan mata dan mulut terbuka lebar."Cantik banget!"Mendadak teman-teman lainnya ikut menatap ke arah yang sama. Dan tak lama, seorang wanita melangkah di sepanjang koridor dengan bunyi sepatu berhak tinggi yang terdengar penuh irama.
"Urgh!" seru Maya seraya membanting berkasnya dengan kesal.Nama Sylvia ada di setiap kertas yang ia baca hari ini. Semenjak pertemuan tak sengaja keduanya, perasaannya berubah drastis. Ada rasa kesal karena sikap tak bersahabat yang ditunjukkan wanita cantik itu."Cantik muka, kelakuan minus!" makinya nyaris terdengar oleh Monika yang menoleh ke arahnya.Seisi ruangan sudah bersiap untuk pulang, kecuali Maya yang masih diam di tempat. Maniknya tertuju pada ponsel yang terus berdering tak karuan. Nama Gamma tertulis jelas di layar. Namun gadis itu malah mengacuhkan panggilan sang CEO. Terhitung 25 panggilan yang masuk dan tak terjawab. Tak hanya mengacuhkan, gadis itu bahkan meninggalkan ponselnya di meja dan bergerak ke sana ke mari, mengurusi pekerjaannya seorang diri di tengah ruangan yang mulai kosong."Kau mengacuhkan panggilanku?""Astaga!" Maya memegangi dada yang terkejut bukan main. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya ketus.Wajah yang sejak tadi tak ingin dibayangkan m
"Maya, tolong ke ruangan saya!"Gamma berjalan merewati ruang Divisi Bussiness Development dengan tenang. Ia berlagak seolah tak terjadi apa-apa. Berbanding terbalik dengan para karyawan yang memandang Maya dengan penuh tanya.Sejak kepulangan mereka dari rumah Oma Grace, keduanya langsung berpisah, agar tak meninggalkan kecurigaan dari rekan-rekan yang lain. Namun sikapnya kini malah membuat semua mata memandang heran ke arah kekasihnya."O-oh, itu! Pasti mau ngomongin berkas yang kemarin!" seru Maya beralasan.Sontak semua orang ber-oh ria tanpa banyak tanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa presentasi untuk proyek baru semakin dekat, dan Maya adalah kandidat terkuat yang akan melakukannya."Ke sana dulu, ya!" pamitnya seraya mengambil langkah seribu sebelum ada yang mencurigainya.Gadis itu setengah berlari, tak mau ada satupun yang mengajukan pertanyaan yang macam-macam. Rasanya seperti menyimpan rahasia yang akan membunuhnya hidup-hidup."Kau sengaja, hah?" seru Maya begitu masuk
"Selamat pagi!"Sapaan dengan suara berat itu masuk memenuhi dapur, bersama dengan sebuah senyum sumringah dari wanita tua yang sibuk merapikan meja makan. Tangannya terbuka, menyambut sang cucu kesayangan.Gamma memeluk Oma Grace, hangat. Pria itu nampak sangat berbeda ketika dekat dengan wanita itu. Senyumnya bahkan muncul, sungguh sebuah keajaiban yang jarang sekali terjadi, terutama bagi Maya, gadis yang kini mengikutinya di belakang.Tangan Maya penuh dengan sebuket besar bunga hidup yang wanginya semerbak. Wajahnya nyaris tak nampak, saking besarnya buket itu, dan Gamma sama sekali tak membantunya untuk sekedar membawa. Padahal itu semua adalah ide sang CEO."Wow, terima kasih! Kau selalu tahu apa yang aku suka!" puji Oma Grace setelah mengambil buket bunga di tangan Maya.Gadis itu tercekat, setengah kesal karena tak dianggap. Kini ia tahu dari mana sikap arogan Gamma berasal. Ya, kedua orang yang dilihatnya kini begitu mirip, yaitu sama-sama menyebalkan."Tapi Maya yang memili
"Kau tak apa?"Mata Gamma terarah pada jalan raya, tangannya bahkan sibuk mengemudi. Tapi mulutnya tak henti bertanya tentang kondisi Maya. "Aku tak apa," jawab gadis itu, lagi.Entah sudah berapa kali pria itu menanyakan hal yang sama. Namun jawaban Maya sepertinya tak membuatnya puas.Wajar saja jika Gamma merasa gadis itu tak baik-baik saja. Selain jadi pendiam, gadis itu hanya memandang jalan dengan tatapan kosong. Kondisinya cukup mengkhawatirkan, walau mulutnya terus berkata baik-baik saja."Ini di mana?" tanya Maya bingung.Maniknya berkeliling, coba mengenali lokasi yang kini mereka kunjungi. Tapi ia tak punya clue sama sekali. Diliriknya Gamma yang sudah turun dan berjalan menuju ke arahnya. Pria itu membukakan pintu, berlagak gentlement, sebuah hal langka namun cukup membuat Maya tersanjung."Apartemenku," jawab pria itu seraya maju lebih dulu.Kening gadis itu mengernyit, bingung. Entah berapa banyak properti yang dimiliki sang CEO tapi yang jelas semuanya begitu mewah dan
"Urgh!" seru Maya seraya membanting berkasnya dengan kesal.Nama Sylvia ada di setiap kertas yang ia baca hari ini. Semenjak pertemuan tak sengaja keduanya, perasaannya berubah drastis. Ada rasa kesal karena sikap tak bersahabat yang ditunjukkan wanita cantik itu."Cantik muka, kelakuan minus!" makinya nyaris terdengar oleh Monika yang menoleh ke arahnya.Seisi ruangan sudah bersiap untuk pulang, kecuali Maya yang masih diam di tempat. Maniknya tertuju pada ponsel yang terus berdering tak karuan. Nama Gamma tertulis jelas di layar. Namun gadis itu malah mengacuhkan panggilan sang CEO. Terhitung 25 panggilan yang masuk dan tak terjawab. Tak hanya mengacuhkan, gadis itu bahkan meninggalkan ponselnya di meja dan bergerak ke sana ke mari, mengurusi pekerjaannya seorang diri di tengah ruangan yang mulai kosong."Kau mengacuhkan panggilanku?""Astaga!" Maya memegangi dada yang terkejut bukan main. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya ketus.Wajah yang sejak tadi tak ingin dibayangkan m
"Banyak banget!"Maya memandangi tumpukan berkas di atas meja kerja yang baru saja dikirim oleh sang atasan. Sebuah proyek baru yang akan digarap oleh divisinya ternyata akan dimulai hari ini. "Namanya juga proyek baru!" seru Monika, salah satu rekan kerja Maya yang duduk tepat di seberang kursinya.Tangannya mulai menarik satu per satu berkas, coba membaca dan mempelajari proyek yang akan digarap oleh divisinya saat ini. Maklumlah, sebagai salah satu karyawan di bidang pengembangan bisnis, divisinyalah yang paling sibuk untuk jika ada proyek baru.Suasana hening dengan melodi keyboard yang diketuk satu per satu mulai mengisi ruangan. Semua orang fokus pada pekerjaan masing-masing, termasuk dengan Maya. Namun tiba-tiba saja, salah satu karyawan berdiri dengan mata dan mulut terbuka lebar."Cantik banget!"Mendadak teman-teman lainnya ikut menatap ke arah yang sama. Dan tak lama, seorang wanita melangkah di sepanjang koridor dengan bunyi sepatu berhak tinggi yang terdengar penuh irama.
"Tanda tangan!" Gamma menunjuk nama terang Maya dan posisi di mana gadis itu harus membubuhkan tanda tangannya. Maya menarik napas dalam. Baru saja sampai di kantor, ia sudah harus berurusan dengan CEO arogan yang terus mengingatkan tentang kontrak di antara mereka. Ancamannya? Tentu CCTV yang belum pernah ia lihat seperti apa isinya. Jangankan melihat, mau tahu saja ia tak sudi.Semua bayangan tentang malam itu ia hapus buru-buru, tak mau terlalu larut hingga membuat hidupnya kesal sepanjang hari. "Cepat, tunggu apalagi?" seru Gamma tak sabar."Iya, iya!" Maya menarik bolpoin tinta dan menggerakkan tangannya perlahan.Gamma Wiranata adalah seorang CEO yang terkenal tukang perintah dan anti penolakan. Walau baru saja diangkat, namun desas-desus itu terdengar nyaring, terutama bagi Maya yang berperan sebagai karyawan di perusahaan One Corporation."Malam ini kita akan makan malam bersama keluargaku. Beli pakaian yang bagus dan berdandanlah!" perintah Gamma, lagi dan lagi tanpa berta
Di perjalanan pulang, tak henti-hentinya Maya menatap Gamma dengan tajam. Semua ini terasa seperti mimpi, tapi mimpi buruk! Baru saja ia mendapati kekasihnya tidur dengan wanita lain, tapi esok harinya ia juga sudah menjadi kekasih seorang pria. Dan orang itu adalah atasannya!Maya meletakkan tangannya ke depan kening. Berusaha memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Entah situasi seperti apa yang kini tengah terjadi dalam hidupnya. Sikap arogan yang dimiliki Gamma membuat Maya tak tahan. Titahnya bak raja, memerintah ini, itu dan tak bisa ditolak. Semua perintah harus dijalankan saat itu juga, termasuk menandatangani kontrak yang sudah ada bahkan mungkin sebelum ia bangun dari tidur."Jangan lagi tinggal di tempat kumuh ini. Mulai besok pindah saja ke apartemen!" kata Gamma setelah mobil yang ia kendarai berhenti di sebuah gang.Mendengar itu, Maya memanyunkan bibir. Tak suka dengan perkataan yang Gamma lontarkan.Menurut Maya, rumah kontrakan yang ia tinggali itu tidak begitu kumuh
"Luxury Bar, Pak!"Entah apa yang merasuki Maya, dia tiba-tiba saja dengan impulsif meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke sebuah bar mewah yang seumur hidup tak pernah disentuh.Hatinya seperti diremas-remas. Nyeri tak karuan mengingat kekasih yang dulu begitu protektif dan tak mengizinkannya untuk pergi ke tempat hiburan malam seperti ini, malah kepergok berselingkuh dengan wanita lain di apartemen pria itu.Maya memejamkan mata, mengingat bagaimana tempat itu pernah menjadi saksi bisu kisah cintanya selama lima tahun terakhir. Bercengkrama, berbincang tentang pekerjaan hingga pembahasan tak penting lainnya, semua dilakukan di apartemen itu. Dan kini tempat itu pula yang menjadi lokasi perselingkuhannya.Gadis itu baru saja masuk dan taksi baru akan jalan saat Maya melihat Frans, sang kekasih yang menggedor-gedor kaca taksi dengan menggunakan boxer.Ingatan Maya kembali pada pemandangan tak senonoh yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana gerakan Frans menusuk i