Share

Bab 05

Penulis: CH. Blue Lilac
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-05 09:06:20

"Bisa gak kamu di sini aja?"

Keduanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Namun, Galen lebih dulu menyudahi tatapan itu karena khawatir Nayya merasa tidak nyaman.

"Saya, akan berjaga di luar."

"Jangan di luar!" Nayya memotong. "Kamu tidur di dalam sini aja. Di sana—" Ia menunjuk sofa panjang berwarna maroon yang berada di dekat lemari pakaian.

"Tapi Non, saya khawatir Tuan Liam tiba-tiba pulang dan—"

Nayya menghela nafas. Mimik wajahnya tampak kecewa karena penolakan Galen. "Padahal kamu juga bisa sambil istirahat kalau tidur di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman di luar ya terserah. Aku gak bisa maksa."

Galen menghela nafas pelan. Ia tau Bosnya cukup keras kepala dan menuntut dalam beberapa kesempatan. Termasuk kali ini. Jadi daripada berdebat, ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang Nona muda untuk tetap berada di dalam sana.

"Baik, Nona. Saya tidak akan ke mana-mana malam ini."

Nayya tersenyum lega setelah mendengar jawaban Galen. Ia mengucapkan terima kasih pada sang bodyguard sebelum mulai memejamkan mata.

"Selamat malam, Nona." Mimpi indah... lanjut Galen dalam hati.

Malam itu, Galen menepati janjinya untuk tetap berada di sana. Menemani sang majikan. Namun alih-alih istirahat, pemuda berbadan tegap itu justru mulai membereskan kamar Nayya yang berantakan akibat amarahnya tadi.

Ia bergerak pelan agar tak membangunkan sang majikan yang kini sudah terlelap. Barang-barang yang pecah ia kumpulkan di sudut, sementara barang lainnya ia tata kembali pada tempatnya dengan cermat. Kamar yang sebelumnya seperti kapal pecah kini mulai rapi kembali.

Di tengah-tengah kesibukannya, dari sudut mata, Galen melihat Nayya yang mulai tampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tadinya tenang perlahan berubah menjadi tegang, bahkan terdengar napasnya yang tersengal-sengal.

“Nona…” Galen mendekat dengan langkah hati-hati. Ia berlutut di sisi tempat tidur dan dengan lembut mengusap punggung tangannya yang tergeletak di atas selimut.

Tetapi Nayya tak merespons, dan justru genggamannya tiba-tiba menguat, meremas jemari Galen dengan erat, seolah mencari pegangan. Mata Nayya masih terpejam, namun dari bibirnya yang bergetar, samar-samar keluar kata-kata penuh rasa takut.

“Jangan… jangan tinggalkan aku….” suaranya parau, hampir seperti bisikan, namun penuh rasa cemas.

Galen merasakan hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Nayya lebih erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan yang bisa menenangkan. “Saya tidak akan ke mana-mana, Nona,” bisiknya lembut. “Saya di sini.”

Secara perlahan, wajah Nayya mulai melunak. Genggamannya yang tadinya kuat perlahan mereda, dan napasnya berangsur tenang. Galen menghela napas lega melihat perempuan itu kembali dalam tidur yang damai.

Namun, meski Nayya sudah tenang, Galen tetap berada di sisi tempat tidur, menatapnya dengan penuh kepedulian. Baginya, menjaga Nayya bukan sekadar tugas—ada perasaan yang ia sendiri tak bisa ungkapkan. Ia hanya ingin memastikan perempuan yang terlihat rapuh di depannya itu merasa aman, meski mungkin tak sepenuhnya menyadari kehadirannya.

Walaupun dia juga tidak tau, siapa yang dimaksud dalam mimpi sang Nona. Yang jelas, dia hanya ingin membuat Nayya tetap nyaman.

Pagi mulai merayap perlahan di balik tirai jendela. Ketika cahaya matahari menyelinap masuk, Nayya membuka mata. Ia menyadari dirinya masih menggenggam tangan Galen dan menatapnya penuh kehangatan.

"Galen… kamu di sini semalaman?” tanyanya, suaranya masih serak.

Galen tersenyum tipis. "Saya sudah janji pada Nona untuk tidak ke mana-mana.”

Nayya tersenyum kecil. Ia merasa aman, nyaman, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan.

Pagi menjelang perlahan, dan sinar matahari mulai menyusup melalui tirai jendela. Nayya perlahan membuka matanya, lalu ia mulai tersadar jika dia sedang bersama orang lain sekarang.

"Galen? Kamu udah bangun? Jam berapa sekarang?"

"Jam 10 pagi, Non."

"Apa?!" Nayya tersentak kaget. Dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas untuk memastikan.

"Kenapa gak bangunin aku?"

"Tidur anda nyenyak banget soalnya. Saya nggak tega buat bangunin."

Nayya mendesah panjang. Ia pijat pelan pelipisnya sebelum kembali buka suara. "Mas Liam beneran gak pulang ya?"

Galen menggeleng pelan sebagai jawaban.

Perempuan dengan gaun berwarna hitam itu mengerucutkan bibirnya sedikit sembari memeriksa ponselnya. Tidak ada satupun chat atau panggilan masuk dari Liam untuknya.

'Apa Mas Liam marah banget ya gara-gara masalah kemarin?'

'Tapi kan itu salah Mas Liam juga. Dia kan selalu egois selama ini.'

Nayya menggigit bibir bawahnya. 'Aku harus gimana ya? Mending telfon Mas Liam atau enggak?Kalau aku telfon, aku khawatir Mas Liam jadi besar kepala dan makin semena-mena. Tapi kalau aku gak telfon, takutnya dia...'

"Nona!"

Nayya yang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, langsung menengok ke arah Galen. "Hm?"

"Mau saya bawa sarapannya ke sini?"

Nayya tampak menggeleng. "Aku gak laper."

"Nona harus makan sedikit supaya Nona tidak sakit."

Perempuan itu mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sebelum akhirnya ia kembali bertanya, "Mas Liam beneran gak pulang ya?"

"Tidak, Nona."

"Dia gak telfon kamu? Siapa tau dia nanyain kabarku lewat kamu."

Galen kembali menggeleng. Jawaban itu membuat Nayya mengecilkan badannya dengan sedih.

"Anda mau saya telfon Tuan Liam?" tanya Galen dengan hati-hati.

Nayya ingin sekali mengatakan iya, namun mengingat jam berapa sekarang, ia langsung mengurungkan niatnya. "Gak usah. Paling jam segini Mas Liam lagi ada di kantor."

###

Di tempat berbeda, seorang pria dengan kaos polo berkerah, tampak berada di sebuah rumah yang cukup mewah di pinggiran kota. Rumah itu memiliki gaya arsitektur modern minimalis yang elegan namun tetap terasa nyaman. Ada taman kecil yang rapi, dengan pepohonan hias dan beberapa bunga warna-warni yang tumbuh di sepanjang jalan masuk. Bangunan utama memiliki warna netral, dominasi putih dan abu-abu, dengan aksen kayu pada beberapa bagian dinding dan jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk.

Pria itu duduk di ruang tamu, matanya terlihat lelah. Sementara di tangannya, secangkir kopi hitam tampak menyembulkan uap di atasnya.

"Sayaaang..."

Bab terkait

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 06

    "Sayaaang..."Liam menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya. Di ambang pintu ruang tamu, berdirilah seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan khasnya. Wajahnya anggun, dengan garis-garis halus yang menambah kesan kebijaksanaan. Ia adalah Widuri, ibu kandung Liam."Sayaaang... jam segini kok masih santai di rumah?" tanya Widuri sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh kasih sayang sekaligus heran. “Apa kamu gak kerja hari ini?”Liam menghela napas, lalu menatap kopi hitam di tangannya tanpa minat. "Belum, Ma. Aku berangkat agak siang."“Jangan karena masalah kamu ama Nayya, kamu jadi males-malesan gini.” Widuri duduk di sofa di seberangnya, menatap putranya dengan cermat.Liam menggeleng, mencoba menghindari tatapan ibunya. "Enggak, Ma. Aku cuma males aja."Widuri menyipitkan mata. Sebagai seorang ibu, ia paham betul setiap ekspresi Liam, dan ia bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya. “Jujur aja ya, Mama ini heran ama kam

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 07

    "Galen, kamu bisa bantu aku gak?" "Bantuan apa, Nona?" Nayya tersenyum ke arah pria itu sebelum menjawab, "Anterin aku ke suatu tempat." Galen tak menjawab, namun dari tatapan mata Nayya yang mengintimidasi membuat pemuda itu tak bisa menolak. "Baik, Nona. Saya panasin mobil. dulu." Saat mereka berangkat, suasana di dalam mobil terasa dingin dan sunyi. Galen memegang kemudi dengan tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, sementara Nayya duduk di sebelahnya, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Ia tampak memikirkan sesuatu yang berat, bibirnya terkatup rapat tanpa sepatah kata pun keluar sejak mereka masuk ke mobil. Galen, seperti biasanya, tahu kapan harus diam. Ia tidak berusaha mengusik atau mengajukan pertanyaan. Sejak bekerja untuk Nayya, ia memahami bahwa wanita itu menyimpan banyak hal dalam diamnya. "Hati-hati, Nona!" Itulah yang Galen katakan saat membantu Nayya turun dari mobil. Nayya turun dari kendaraan mewahnya dengan langkah pelan, membiarkan ang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 08

    "Ma, Pa... Katakan aku harus gimana? Aku harus apa?" Suara isakan Nayya terdengar semakin intens. Memecah area pemakaman yang lenggang hari itu."Dulu aku percaya kalau cinta bisa menaklukkan segalanya. Aku pikir selama aku punya Mas Liam, aku bisa bertahan. Tapi sekarang aku sadar... mungkin cinta saja gak cukup." Suaranya semakin lirih, hampir tertelan oleh angin. "Kalau gak ada harapan... kalau aku gak bisa jadi istri yang diharapkan keluarga Liam... apa gunanya aku di sana?"Nayya terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung. Ia mencengkeram nisan dengan lebih erat. "Ma, Pa, aku gak mau jadi beban. Tapi aku juga gak mau menyerah. Aku masih cinta sama dia... meskipun setiap harinya aku bertanya-tanya, apa Mas Liam masih memiliki perasaan yang sama?"Galen berdiri di belakang, menyaksikan punggung Nayya yang rapuh di hadapan dua pusara itu. Ia mengerti bahwa dirinya tak lebih dari bayang-bayang di sini, namun di saat yang bersamaan, ia merasakan keinginan kuat untuk memberi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 09

    "Galen...""Iya Nona?"Namun bukan jawaban yang Galen dapatkan saat ia menunggu respons, melainkan gerakan tangan Nayya yang perlahan terulur. Jari kelingkingnya terulur ke depan wajah Galen. Untuk sesaat, Nayya menatap Galen dengan pandangan yang sulit diartikan—ada kelelahan, luka, dan sebersit harapan yang terpantul dalam matanya."Kamu mau janji kan?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. "Janji kalau kamu akan tetap di sini. Tidak pergi atau meninggalkan aku, apapun yang terjadi?"Galen tertegun. Ia tak menyangka akan permintaan ini, namun ia melihat harapan dalam tatapan Nayya. Ia tahu, ini bukan sekadar permohonan sederhana dari seorang majikan pada bawahan sepertinya. Ini adalah permintaan yang datang dari seseorang yang sudah berada di titik terendahnya, seseorang yang merasa dunia bisa runtuh kapan saja.Galen menatap perempuan itu sebelum melingkarkan jari kelingkingnya pada Nayya. Membuat pinky promise. "Saya janji, Nona," k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 10

    "Aku mau langsung pulang aja." Galen mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia mengerti bahwa Nayya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang terjadi hari ini. Ia kembali fokus pada kemudi, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah.Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Nayya bersandar di kursi, matanya terpejam, meskipun pikirannya masih terus bekerja. Sesekali, ia merasa kehadiran Galen di depannya memberikan sedikit rasa nyaman, seperti jangkar yang menahannya agar tidak sepenuhnya tenggelam dalam kekacauan ini.Begitu tiba di rumah, Galen memarkir mobil dengan hati-hati di depan garasi. Ia keluar terlebih dahulu, membuka pintu untuk Nayya. "Kita sudah sampai, Nona," ucapnya dengan lembut.Nayya membuka matanya perlahan, lalu mengangguk. Ia turun dari mobil dengan langkah pelan, merasakan lelah yang luar biasa di tubuhnya. Galen memperhatikan langkahnya yang lunglai dan segera berkata, "Kalau ada yang Nona butuhkan, Anda bisa p

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 11

    Liam menatap layar ponselnya cukup lama. Nama sang istri terpampang jelas di sana. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menghubungi Nayya. "Sudahlah. Nanti aja aku telfon Nayya." Liam kembali meletakkan ponselnya di meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa penat dalam dirinya. Sebagai gantinya, ia meraih laptop dan membuka berkas yang baru saja dikirimkan oleh Revan. "Mungkin aku akan menyelesaikan dokumen ini sebelum pulang ke rumah," bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Pria 30 tahunan itu berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia menatap layar laptopnya, mencoba mengabaikan suara-suara kecil di kepalanya yang terus memunculkan bayangan wajah Nayya. Ia membuka dokumen dari Revan dan mulai membacanya dengan saksama, tetapi pikirannya tetap melayang ke rumah. "Fokus, Liam. Fokus," gumamnya sembari memijat pelipis.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 12

    "Enghhh..."Nayya tidak melawan, tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Galen menunggu dengan cemas, tangannya masih memegangi termometer untuk memastikan posisinya tidak bergeser.Ketika bunyi “bip” terdengar, Galen dengan cepat menarik termometer dan melihat angka yang tertera.“39,2 derajat...” gumamnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan termometer itu di atas meja dan menatap Nayya penuh kekhawatiran. “Nona, Anda demam tinggi. Saya telfon dokter dulu." Dengan cekatan, Galen berusaha menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Namun beberapa kali mencoba, panggilan tersebut belum tersambung juga.Galen berdecak kesal. Ia melihat ke Hanya dengan cemas sebelum menggendong tubuh perempuan berbalut selimut itu ala bridal. Tanpa menunggu persetujuan, ia bergerak cepat untuk membawa Nayya ke rumah sakit. Hanya saja, saat baru separuh ia menuruni tangga, seseorang yang sangat Galen kenal, sedang berdir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 13

    "Tapi Tuan, saya..." Galen menggigit ujung lidahnya. Tidak berani melanjutkan kalimat yang hendak ia katakan."Ada apa Galen? Kamu kenapa?""Saya akan menunggu di depan, Tuan. Barang kali Tuan membutuhkan sesuatu," balasnya. Dengan kalimat yang cukup sopan."Ya sudah, terserah kamu saja." Liam tak terlalu ambil pusing. Dia hanya mengangguk setelah Galen pamit untuk standby di depan. Sementara dia, berada di kamar rawat Nayya dan memperhatikan istrinya tersebut dengan seksama.Setelah beberapa jam berlalu, Nayya mulai siuman. Ia membuka kedua kelopak matanya sambil berusaha menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan penglihatannya."Kamu udah bangun?""M- mas Liam?" Nayya sedikit terkejut saat melihat suami berada tak jauh darinya. Bahkan Liam tampak segera bangkit dari sofa dan berjalan menghampirnya. "Kenapa aku bisa di sini?"Nayya mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Li

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 72

    Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 71

    Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 70

    "Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 69

    Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 68

    Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 67

    Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 66

    Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 65

    "Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 64

    Nayya menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun hatinya sudah mulai bergejolak. Matanya melirik ke arah Liam, yang kini memasang ekspresi datar, namun Nayya tahu suaminya sedang merasa tak nyaman."Liam, kamu masih ingat Safira, kan?" Widuri berbicara dengan nada riang, seolah-olah tak menyadari suasana yang berubah tegang. "Dulu kalian sering main bersama waktu kecil."Safira tersenyum manis, melangkah lebih dekat ke meja makan. "Tentu saja aku ingat, Tante. Waktu itu aku bahkan sempat menangis karena Liam lebih memilih main bola daripada menemani aku main boneka."Widuri tertawa kecil. "Ya, Liam memang selalu begitu. Tapi dia anak yang baik, kan?"Nayya mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. Wanita ini bukan sekadar tamu, tapi jelas calon yang Widuri siapkan untuk Liam. Rasanya seperti jantungnya diremas. Ia mencoba tersenyum meski hatinya terbakar.Liam berdeham, mencoba menetralkan situasi. "Senang bertemu lagi, Safira. Sudah lama sekali, ya?"Safira mengangguk antusia

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status