"Bisa gak kamu di sini aja?"
Keduanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Namun, Galen lebih dulu menyudahi tatapan itu karena khawatir Nayya merasa tidak nyaman. "Saya, akan berjaga di luar." "Jangan di luar!" Nayya memotong. "Kamu tidur di dalam sini aja. Di sana—" Ia menunjuk sofa panjang berwarna maroon yang berada di dekat lemari pakaian. "Tapi Non, saya khawatir Tuan Liam tiba-tiba pulang dan—" Nayya menghela nafas. Mimik wajahnya tampak kecewa karena penolakan Galen. "Padahal kamu juga bisa sambil istirahat kalau tidur di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman di luar ya terserah. Aku gak bisa maksa." Galen menghela nafas pelan. Ia tau Bosnya cukup keras kepala dan menuntut dalam beberapa kesempatan. Termasuk kali ini. Jadi daripada berdebat, ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang Nona muda untuk tetap berada di dalam sana. "Baik, Nona. Saya tidak akan ke mana-mana malam ini." Nayya tersenyum lega setelah mendengar jawaban Galen. Ia mengucapkan terima kasih pada sang bodyguard sebelum mulai memejamkan mata. "Selamat malam, Nona." Mimpi indah... lanjut Galen dalam hati. Malam itu, Galen menepati janjinya untuk tetap berada di sana. Menemani sang majikan. Namun alih-alih istirahat, pemuda berbadan tegap itu justru mulai membereskan kamar Nayya yang berantakan akibat amarahnya tadi. Ia bergerak pelan agar tak membangunkan sang majikan yang kini sudah terlelap. Barang-barang yang pecah ia kumpulkan di sudut, sementara barang lainnya ia tata kembali pada tempatnya dengan cermat. Kamar yang sebelumnya seperti kapal pecah kini mulai rapi kembali. Di tengah-tengah kesibukannya, dari sudut mata, Galen melihat Nayya yang mulai tampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tadinya tenang perlahan berubah menjadi tegang, bahkan terdengar napasnya yang tersengal-sengal. “Nona…” Galen mendekat dengan langkah hati-hati. Ia berlutut di sisi tempat tidur dan dengan lembut mengusap punggung tangannya yang tergeletak di atas selimut. Tetapi Nayya tak merespons, dan justru genggamannya tiba-tiba menguat, meremas jemari Galen dengan erat, seolah mencari pegangan. Mata Nayya masih terpejam, namun dari bibirnya yang bergetar, samar-samar keluar kata-kata penuh rasa takut. “Jangan… jangan tinggalkan aku….” suaranya parau, hampir seperti bisikan, namun penuh rasa cemas. Galen merasakan hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Nayya lebih erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan yang bisa menenangkan. “Saya tidak akan ke mana-mana, Nona,” bisiknya lembut. “Saya di sini.” Secara perlahan, wajah Nayya mulai melunak. Genggamannya yang tadinya kuat perlahan mereda, dan napasnya berangsur tenang. Galen menghela napas lega melihat perempuan itu kembali dalam tidur yang damai. Namun, meski Nayya sudah tenang, Galen tetap berada di sisi tempat tidur, menatapnya dengan penuh kepedulian. Baginya, menjaga Nayya bukan sekadar tugas—ada perasaan yang ia sendiri tak bisa ungkapkan. Ia hanya ingin memastikan perempuan yang terlihat rapuh di depannya itu merasa aman, meski mungkin tak sepenuhnya menyadari kehadirannya. Walaupun dia juga tidak tau, siapa yang dimaksud dalam mimpi sang Nona. Yang jelas, dia hanya ingin membuat Nayya tetap nyaman. Pagi mulai merayap perlahan di balik tirai jendela. Ketika cahaya matahari menyelinap masuk, Nayya membuka mata. Ia menyadari dirinya masih menggenggam tangan Galen dan menatapnya penuh kehangatan. "Galen… kamu di sini semalaman?” tanyanya, suaranya masih serak. Galen tersenyum tipis. "Saya sudah janji pada Nona untuk tidak ke mana-mana.” Nayya tersenyum kecil. Ia merasa aman, nyaman, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan. Pagi menjelang perlahan, dan sinar matahari mulai menyusup melalui tirai jendela. Nayya perlahan membuka matanya, lalu ia mulai tersadar jika dia sedang bersama orang lain sekarang. "Galen? Kamu udah bangun? Jam berapa sekarang?" "Jam 10 pagi, Non." "Apa?!" Nayya tersentak kaget. Dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas untuk memastikan. "Kenapa gak bangunin aku?" "Tidur anda nyenyak banget soalnya. Saya nggak tega buat bangunin." Nayya mendesah panjang. Ia pijat pelan pelipisnya sebelum kembali buka suara. "Mas Liam beneran gak pulang ya?" Galen menggeleng pelan sebagai jawaban. Perempuan dengan gaun berwarna hitam itu mengerucutkan bibirnya sedikit sembari memeriksa ponselnya. Tidak ada satupun chat atau panggilan masuk dari Liam untuknya. 'Apa Mas Liam marah banget ya gara-gara masalah kemarin?' 'Tapi kan itu salah Mas Liam juga. Dia kan selalu egois selama ini.' Nayya menggigit bibir bawahnya. 'Aku harus gimana ya? Mending telfon Mas Liam atau enggak?Kalau aku telfon, aku khawatir Mas Liam jadi besar kepala dan makin semena-mena. Tapi kalau aku gak telfon, takutnya dia...' "Nona!" Nayya yang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, langsung menengok ke arah Galen. "Hm?" "Mau saya bawa sarapannya ke sini?" Nayya tampak menggeleng. "Aku gak laper." "Nona harus makan sedikit supaya Nona tidak sakit." Perempuan itu mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sebelum akhirnya ia kembali bertanya, "Mas Liam beneran gak pulang ya?" "Tidak, Nona." "Dia gak telfon kamu? Siapa tau dia nanyain kabarku lewat kamu." Galen kembali menggeleng. Jawaban itu membuat Nayya mengecilkan badannya dengan sedih. "Anda mau saya telfon Tuan Liam?" tanya Galen dengan hati-hati. Nayya ingin sekali mengatakan iya, namun mengingat jam berapa sekarang, ia langsung mengurungkan niatnya. "Gak usah. Paling jam segini Mas Liam lagi ada di kantor." ### Di tempat berbeda, seorang pria dengan kaos polo berkerah, tampak berada di sebuah rumah yang cukup mewah di pinggiran kota. Rumah itu memiliki gaya arsitektur modern minimalis yang elegan namun tetap terasa nyaman. Ada taman kecil yang rapi, dengan pepohonan hias dan beberapa bunga warna-warni yang tumbuh di sepanjang jalan masuk. Bangunan utama memiliki warna netral, dominasi putih dan abu-abu, dengan aksen kayu pada beberapa bagian dinding dan jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk. Pria itu duduk di ruang tamu, matanya terlihat lelah. Sementara di tangannya, secangkir kopi hitam tampak menyembulkan uap di atasnya. "Sayaaang...""Sayaaang..."Liam menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya. Di ambang pintu ruang tamu, berdirilah seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan khasnya. Wajahnya anggun, dengan garis-garis halus yang menambah kesan kebijaksanaan. Ia adalah Widuri, ibu kandung Liam."Sayaaang... jam segini kok masih santai di rumah?" tanya Widuri sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh kasih sayang sekaligus heran. “Apa kamu gak kerja hari ini?”Liam menghela napas, lalu menatap kopi hitam di tangannya tanpa minat. "Belum, Ma. Aku berangkat agak siang."“Jangan karena masalah kamu ama Nayya, kamu jadi males-malesan gini.” Widuri duduk di sofa di seberangnya, menatap putranya dengan cermat.Liam menggeleng, mencoba menghindari tatapan ibunya. "Enggak, Ma. Aku cuma males aja."Widuri menyipitkan mata. Sebagai seorang ibu, ia paham betul setiap ekspresi Liam, dan ia bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya. “Jujur aja ya, Mama ini heran ama kam
"Galen, kamu bisa bantu aku gak?" "Bantuan apa, Nona?" Nayya tersenyum ke arah pria itu sebelum menjawab, "Anterin aku ke suatu tempat." Galen tak menjawab, namun dari tatapan mata Nayya yang mengintimidasi membuat pemuda itu tak bisa menolak. "Baik, Nona. Saya panasin mobil. dulu." Saat mereka berangkat, suasana di dalam mobil terasa dingin dan sunyi. Galen memegang kemudi dengan tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, sementara Nayya duduk di sebelahnya, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Ia tampak memikirkan sesuatu yang berat, bibirnya terkatup rapat tanpa sepatah kata pun keluar sejak mereka masuk ke mobil. Galen, seperti biasanya, tahu kapan harus diam. Ia tidak berusaha mengusik atau mengajukan pertanyaan. Sejak bekerja untuk Nayya, ia memahami bahwa wanita itu menyimpan banyak hal dalam diamnya. "Hati-hati, Nona!" Itulah yang Galen katakan saat membantu Nayya turun dari mobil. Nayya turun dari kendaraan mewahnya dengan langkah pelan, membiarkan ang
"Ma, Pa... Katakan aku harus gimana? Aku harus apa?" Suara isakan Nayya terdengar semakin intens. Memecah area pemakaman yang lenggang hari itu."Dulu aku percaya kalau cinta bisa menaklukkan segalanya. Aku pikir selama aku punya Mas Liam, aku bisa bertahan. Tapi sekarang aku sadar... mungkin cinta saja gak cukup." Suaranya semakin lirih, hampir tertelan oleh angin. "Kalau gak ada harapan... kalau aku gak bisa jadi istri yang diharapkan keluarga Liam... apa gunanya aku di sana?"Nayya terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung. Ia mencengkeram nisan dengan lebih erat. "Ma, Pa, aku gak mau jadi beban. Tapi aku juga gak mau menyerah. Aku masih cinta sama dia... meskipun setiap harinya aku bertanya-tanya, apa Mas Liam masih memiliki perasaan yang sama?"Galen berdiri di belakang, menyaksikan punggung Nayya yang rapuh di hadapan dua pusara itu. Ia mengerti bahwa dirinya tak lebih dari bayang-bayang di sini, namun di saat yang bersamaan, ia merasakan keinginan kuat untuk memberi
"Galen...""Iya Nona?"Namun bukan jawaban yang Galen dapatkan saat ia menunggu respons, melainkan gerakan tangan Nayya yang perlahan terulur. Jari kelingkingnya terulur ke depan wajah Galen. Untuk sesaat, Nayya menatap Galen dengan pandangan yang sulit diartikan—ada kelelahan, luka, dan sebersit harapan yang terpantul dalam matanya."Kamu mau janji kan?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. "Janji kalau kamu akan tetap di sini. Tidak pergi atau meninggalkan aku, apapun yang terjadi?"Galen tertegun. Ia tak menyangka akan permintaan ini, namun ia melihat harapan dalam tatapan Nayya. Ia tahu, ini bukan sekadar permohonan sederhana dari seorang majikan pada bawahan sepertinya. Ini adalah permintaan yang datang dari seseorang yang sudah berada di titik terendahnya, seseorang yang merasa dunia bisa runtuh kapan saja.Galen menatap perempuan itu sebelum melingkarkan jari kelingkingnya pada Nayya. Membuat pinky promise. "Saya janji, Nona," k
"Aku mau langsung pulang aja." Galen mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia mengerti bahwa Nayya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang terjadi hari ini. Ia kembali fokus pada kemudi, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah.Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Nayya bersandar di kursi, matanya terpejam, meskipun pikirannya masih terus bekerja. Sesekali, ia merasa kehadiran Galen di depannya memberikan sedikit rasa nyaman, seperti jangkar yang menahannya agar tidak sepenuhnya tenggelam dalam kekacauan ini.Begitu tiba di rumah, Galen memarkir mobil dengan hati-hati di depan garasi. Ia keluar terlebih dahulu, membuka pintu untuk Nayya. "Kita sudah sampai, Nona," ucapnya dengan lembut.Nayya membuka matanya perlahan, lalu mengangguk. Ia turun dari mobil dengan langkah pelan, merasakan lelah yang luar biasa di tubuhnya. Galen memperhatikan langkahnya yang lunglai dan segera berkata, "Kalau ada yang Nona butuhkan, Anda bisa p
Liam menatap layar ponselnya cukup lama. Nama sang istri terpampang jelas di sana. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menghubungi Nayya. "Sudahlah. Nanti aja aku telfon Nayya." Liam kembali meletakkan ponselnya di meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa penat dalam dirinya. Sebagai gantinya, ia meraih laptop dan membuka berkas yang baru saja dikirimkan oleh Revan. "Mungkin aku akan menyelesaikan dokumen ini sebelum pulang ke rumah," bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Pria 30 tahunan itu berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia menatap layar laptopnya, mencoba mengabaikan suara-suara kecil di kepalanya yang terus memunculkan bayangan wajah Nayya. Ia membuka dokumen dari Revan dan mulai membacanya dengan saksama, tetapi pikirannya tetap melayang ke rumah. "Fokus, Liam. Fokus," gumamnya sembari memijat pelipis.
"Enghhh..."Nayya tidak melawan, tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Galen menunggu dengan cemas, tangannya masih memegangi termometer untuk memastikan posisinya tidak bergeser.Ketika bunyi “bip” terdengar, Galen dengan cepat menarik termometer dan melihat angka yang tertera.“39,2 derajat...” gumamnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan termometer itu di atas meja dan menatap Nayya penuh kekhawatiran. “Nona, Anda demam tinggi. Saya telfon dokter dulu." Dengan cekatan, Galen berusaha menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Namun beberapa kali mencoba, panggilan tersebut belum tersambung juga.Galen berdecak kesal. Ia melihat ke Hanya dengan cemas sebelum menggendong tubuh perempuan berbalut selimut itu ala bridal. Tanpa menunggu persetujuan, ia bergerak cepat untuk membawa Nayya ke rumah sakit. Hanya saja, saat baru separuh ia menuruni tangga, seseorang yang sangat Galen kenal, sedang berdir
"Tapi Tuan, saya..." Galen menggigit ujung lidahnya. Tidak berani melanjutkan kalimat yang hendak ia katakan."Ada apa Galen? Kamu kenapa?""Saya akan menunggu di depan, Tuan. Barang kali Tuan membutuhkan sesuatu," balasnya. Dengan kalimat yang cukup sopan."Ya sudah, terserah kamu saja." Liam tak terlalu ambil pusing. Dia hanya mengangguk setelah Galen pamit untuk standby di depan. Sementara dia, berada di kamar rawat Nayya dan memperhatikan istrinya tersebut dengan seksama.Setelah beberapa jam berlalu, Nayya mulai siuman. Ia membuka kedua kelopak matanya sambil berusaha menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan penglihatannya."Kamu udah bangun?""M- mas Liam?" Nayya sedikit terkejut saat melihat suami berada tak jauh darinya. Bahkan Liam tampak segera bangkit dari sofa dan berjalan menghampirnya. "Kenapa aku bisa di sini?"Nayya mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Li
"Liam..."Merasa namanya dipanggil, Liam pun menoleh ke sumber suara. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut wajah tenang namun sorot matanya tajam penuh kekhawatiran. Widuri—ibunya—menatapnya tanpa senyum."Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya, lembut tapi jelas.Liam berdiri, sedikit gugup. "Tentu aja Ma."Mereka berjalan dalam diam menuju ruangan sebelah. Begitu sampai di sana, Widuri langsung menatap putranya tanpa basa-basi.“Kamu yakin sama keputusan ini, Liam?”Liam menghela napas, lalu duduk. "Kalau Mama maksud soal pernikahan... ya, aku udah yakin."Widuri tetap berdiri, menyilangkan tangan. “Liam, dia itu umurnya masih jauh di bawah kamu. Belum lagi dia sebatang kara, keluarganya gak jelas kayak gimana. Kalau kamu ngerasa bertanggungjawab sama Nayya, kamu kan gak wajib buat nikahin dia. Kamu masih bisa melakukan hal lain."Pernyataan sang Mama, itu membuat Liam terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Ma, Nayya gak punya siapa-siapa selain aku
"Kalau aku harus ngertiin kamu terus, gimana sama aku, hah?!"Pertengkaran makin memanas. Nafas Cintya memburu, matanya memerah menahan air mata yang ingin pecah. Liam berdiri di hadapannya, masih mencoba menahan semua emosi yang menggelegak dalam dadanya.“Jawab aku, Liam!” bentak Cintya tiba-tiba. “Kamu bilang semua ini karena tanggung jawab, dan rasa bersalah kamu ke Nayya. Terus aku gimana? Apa kamu gak ngerasa bersalah padaku? Apa kamu gak kasian sama aku?"Liam terhenyak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya menegang.Cintya melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kamu lupa sama impian kita dulu? Kita akan menikah setelah dapat pekerjaan baik, bangun rumah tangga harmonis, hidup bahagia sampai tua. Apa kamu lupa impian kita itu?""Tapi Nayya sebatang kara, Cintya. Kasian dia. Toh— pernikahan ini hanya sementara. Aku akan segera ceraikan dia setelah Nayya bisa hidup mapan."Cintya menatap Liam dengan wajah hancur, air matanya mulai jatuh satu per satu. Ia me
"Kamu gak bohong kan?" tanya Nayya dengan mata berkaca-kaca. Seolah ia menaruh banyak harapan pada pria di depannya.Liam menghela napas panjang, lalu menarik Nayya ke dalam pelukannya. Gadis itu diam, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman."Aku gak bohong, Nayya," bisik Liam dengan suara lirih. "Aku udah janji sama Tante Dewi… aku bakal jagain kamu, sampai kapanpun."Nayya terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Pelukan Liam terasa begitu tulus, dan untuk sesaat, ia merasa semua luka bisa perlahan disembuhkan."Aku takut kehilangan lagi, Liam," gumamnya. "Tante Dewi satu-satunya keluarga yang aku punya… dan sekarang aku cuma punya kamu."Liam merapatkan pelukannya, seolah tak ingin membiarkan Nayya jatuh lagi. "Kamu gak sendiri. Selama aku masih bisa bernapas, kamu gak akan pernah sendiri."Nayya memejamkan mata. Tangisnya akhirnya pecah dalam diam. Ia tahu, kata-kata Liam bukan sekadar janji kosong. Tapi ia
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Dia—" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadi— "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis
"Tante... siapa?" Jantung Dewi seperti berhenti berdetak. Air mata langsung menggenang di matanya saat ia meraih wajah Nayya dengan kedua tangannya. "Nayya, kamu gak ingat Tante? Kamu gak ingat siapa aku?" Gadis itu semakin bingung, napasnya tersengal. "Aku... aku gak tahu..." Dewi menoleh cepat ke arah dokter yang baru masuk, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Dok, kenapa dia begini? Kenapa dia gak ingat aku?" Dokter menarik napas panjang sebelum berbicara. "Bu Dewi, kami sudah memprediksi ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada kemungkinan besar Nayya mengalami amnesia akibat trauma otak yang ia alami dalam kecelakaan itu. Amnesia. Dewi merasa kepalanya berputar. "Jadi... dia gak ingat apa pun?" suaranya terdengar bergetar. Dokter mengangguk. "Hilang ingatan total. Dia bahkan mungkin tidak ingat siapa dirinya sendiri." Dewi langsung menatap Nayya lagi, hatinya mencelos melihat betapa kosongnya ekspresi gadis itu. "Nayya..." bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Jika ia harus pergi lebih cepat, siapa yang akan menjaga Nayya? Siapa yang akan memastikan keponakannya tidak merasa sendirian di dunia ini? Ia menggeleng, menolak membiarkan pikirannya terlalu jauh. "Tante cuma ingin seseorang yang bisa menjaga kamu dengan baik," bisiknya. "Dan tante harap... dia bisa melakukan itu untuk kamu." Suara langkah kaki terdengar di balik pintu, menghentikan monolog Dewi. Ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu, di mana seseorang berdiri ragu-ragu. Liam. Dewi menatap pemuda itu lama, membaca ekspresinya yang terlihat penuh keraguan. Ada sesuatu di matanya—penyesalan, kebingungan, dan mungkin sedikit ketakutan. Liam yang ditemani oleh salah satu petugas kepolisian dan sang pengacara, akhirnya melangkah masuk dengan canggung, lalu berhenti di ujung tempat tidur Nayya. Pandangannya terarah pada gadis yang terbaring tak berdaya di hadapannya. Dewi menghela napas dalam, lalu berbicara tanpa menatap Liam. "Kamu datang ternyata." Liam men