"Nona!!"
Dengan panik, Galen naik ke lantai dua. Gerakannya begitu sigap menuju kamar sang majikan. "Non Nayya! Apa yang terjadi?" Galen menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat dengan rasa cemas. Sudah beberapa kali ia mencoba mengetuk pintu kamar majikannya. Namun yang ia dapati hanyalah suara jerit frustasi Nayyara. Juga beberapa barang yang sepertinya menjadi sasaran amuknya. "Nona, buka pintunya! Apa yang terjadi? Apa Nona baik-baik saja?" Galen masih mencoba membujuk Nayya agar keluar. Namun Nayya masih saja mengabaikan dirinya. Khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu, dengan satu hentakan, ia mendobrak pintu di depannya. "Nona!!!" Galen berlari kecil ke dalam dan mendapati Nayya terduduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidur. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah dengan air mata yang mengalir tanpa henti. Sementara kamar tersebut sudah seperti kapal pecah. Banyak barang berserakan di lantai, bahkan beberapa di antaranya ada yang terbuat dari kaca. “Nona…” Galen mendekat, berlutut di hadapannya, tatapannya penuh kekhawatiran. “Ada apa? Apa yang terjadi?” Nayya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Galen dengan mata yang sembab. "Galen, aku… aku gak tahu harus gimana lagi," isaknya, suaranya lemah dan penuh keputusasaan. Galen menatap iba perempuan itu. Tatapannya tampak sendu, alisnya berkerut prihatin, sungguh dia tidak pernah melihat majikannya tersebut dalam keadaan serapuh ini. Nayya, tampak seperti porselen malah yang gampang remuk saat disentuh. “Nona, tenang dulu ya! Semua pasti baik-baik saja!” kata Galen dengan nada lembut namun tegas. “Semua pasti ada jalan keluarnya." Nayya menarik napas panjang, suaranya penuh kepedihan. "Aku udah capek, Galen. Aku capek berjuang sendirian." ia terisak sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas Liam gak pernah mau dengerin ucapanku. Dia terlalu egois. Dia bersikap seolah-olah setuju dengan perintah Mama buat pisah." Galen diam sejenak, menahan gejolak emosinya melihat Nayya yang begitu putus asa. Ia membiarkan perempuannya yang beberapa tahun lebih muda darinya itu, meluapkan segala emosinya. “Nona, aku tahu ini berat,” kata Galen pelan. “Tapi Nona tidak sendirian. Aku selalu di sini untuk Nona.” Nayya menurunkan tangannya perlahan, menatap Galen dengan mata yang dipenuhi kesedihan. “Galen, kamu gak ngerti. Ini terlalu berat buatku. Mama, Mas Liam, semua orang cuma ngelihat aku sebagai alat, bukan sebagai seorang istri, bukan sebagai perempuan.” "Mungkin Tuan tidak bermaksud menyakiti hati, Nona. Kalian sama-sama terbawa emosi kan?" Nayya menggeleng. Ia ingin sekali membantah ucapan Galen, namun dia sudah terlalu lelah untuk berdebat malam ini. Galen menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan untuk meraih tubuh Nayya dengan lembut. Tanpa banyak kata, ia membungkuk sedikit dan mengangkatnya dalam gendongan bridal, berusaha memastikan kenyamanannya. Nayya sempat memandangnya kaget, tapi tidak ada perlawanan; ia hanya diam, menyerahkan dirinya pada perlakuan penuh perhatian dari Galen. Perlahan, Galen membawa Nayya ke tempat tidur, menurunkannya dengan hati-hati agar ia bisa bersandar dengan nyaman. "Nona lebih baik istirahat dulu. Saya akan minta ART untuk membuatkan teh hijau." Nayya menatap Galen, ekspresi wajahnya tampak lelah. "Makasih," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan. Galen tersenyum tipis— sangat tipis sampai nyaris tak terlihat. "Saya juga akan meminta ART membereskan kamar tamu. Supaya Nona bisa tidur di sana malam ini." Nayya mengangguk lemah, lalu menunduk, memejamkan mata sejenak untuk mengatur napasnya yang sempat kacau. Ia menyadari betapa besar peran Galen selama ini, bukan hanya sebagai penjaga, tapi juga sebagai satu-satunya tempat ia bisa berbagi kesedihan yang selama ini dipendamnya. "Nona, ini tehnya. Minum pelan-pelan!" Nayya mengambil cangkir tersebut, jari-jarinya masih bergetar. Ia menyesap teh itu perlahan, merasakan kehangatan yang menenangkan merambat ke seluruh tubuhnya. "Terima kasih, Galen," ucapnya pelan, menatap lelaki itu dengan tatapan penuh makna. "Maaf ya, udah ngerepotin kamu malam-malam gini." "Apa pun yang Nona butuhkan, saya siap membantu." Nayya mengembalikan cangkir tehnya pada Galen. Sementara Galen langsung menerimanya sebelum membantu Nayya untuk istirahat. "Mau pindah kamar sekarang?" Perempuan itu menggeleng. "Gak perlu." "Tapi kamarnya berantakan." "Gak apa. Besok aja beresinnya. Aku udah capek banget." "Apa saya perlu telfon Tuan Liam?" Nayya tersentak kecil ketika nama itu diucapkan oleh sang bodyguard. Selama beberapa saat, Nayya tampak berpikir dan menimbang. Sebelum akhirnya perempuan 23 tahun itu membalas, "Gak perlu. Mas Liam mungkin pulang ke rumah Mamanya malam ini." Mendengar jawaban tersebut, Galen hanya menganggukkan kepalanya. Dia tampak patuh dengan keputusan yang Nayya buat. Lagipula, mungkin sang nona sedang ingin sendiri dulu malam ini. "Selamat tidur, Non Nayya." Dengan lembut dan penuh kehati-hatian, Galen menyelimuti Nayya. Ia berusaha membuat tidur perempuan itu nyaman walaupun kondisi ruangan ini sangat bertolak belakang. "Galen..." Nayya menahan ujung lengan baju Galen ketika pemuda itu hendak menjauh darinya. Tatapan mereka bertemu satu sama lain, sebelum akhirnya Nayya berkata..."Bisa gak kamu di sini aja?"Keduanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Namun, Galen lebih dulu menyudahi tatapan itu karena khawatir Nayya merasa tidak nyaman."Saya, akan berjaga di luar.""Jangan di luar!" Nayya memotong. "Kamu tidur di dalam sini aja. Di sana—" Ia menunjuk sofa panjang berwarna maroon yang berada di dekat lemari pakaian."Tapi Non, saya khawatir Tuan Liam tiba-tiba pulang dan—"Nayya menghela nafas. Mimik wajahnya tampak kecewa karena penolakan Galen. "Padahal kamu juga bisa sambil istirahat kalau tidur di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman di luar ya terserah. Aku gak bisa maksa."Galen menghela nafas pelan. Ia tau Bosnya cukup keras kepala dan menuntut dalam beberapa kesempatan. Termasuk kali ini. Jadi daripada berdebat, ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang Nona muda untuk tetap berada di dalam sana."Baik, Nona. Saya tidak akan ke mana-mana malam ini."Nayya tersenyum lega setelah mendengar jawaban Galen. Ia mengucapkan terima kasih pada sa
"Sayaaang..."Liam menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya. Di ambang pintu ruang tamu, berdirilah seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan khasnya. Wajahnya anggun, dengan garis-garis halus yang menambah kesan kebijaksanaan. Ia adalah Widuri, ibu kandung Liam."Sayaaang... jam segini kok masih santai di rumah?" tanya Widuri sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh kasih sayang sekaligus heran. “Apa kamu gak kerja hari ini?”Liam menghela napas, lalu menatap kopi hitam di tangannya tanpa minat. "Belum, Ma. Aku berangkat agak siang."“Jangan karena masalah kamu ama Nayya, kamu jadi males-malesan gini.” Widuri duduk di sofa di seberangnya, menatap putranya dengan cermat.Liam menggeleng, mencoba menghindari tatapan ibunya. "Enggak, Ma. Aku cuma males aja."Widuri menyipitkan mata. Sebagai seorang ibu, ia paham betul setiap ekspresi Liam, dan ia bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya. “Jujur aja ya, Mama ini heran ama kam
"Galen, kamu bisa bantu aku gak?" "Bantuan apa, Nona?" Nayya tersenyum ke arah pria itu sebelum menjawab, "Anterin aku ke suatu tempat." Galen tak menjawab, namun dari tatapan mata Nayya yang mengintimidasi membuat pemuda itu tak bisa menolak. "Baik, Nona. Saya panasin mobil. dulu." Saat mereka berangkat, suasana di dalam mobil terasa dingin dan sunyi. Galen memegang kemudi dengan tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, sementara Nayya duduk di sebelahnya, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Ia tampak memikirkan sesuatu yang berat, bibirnya terkatup rapat tanpa sepatah kata pun keluar sejak mereka masuk ke mobil. Galen, seperti biasanya, tahu kapan harus diam. Ia tidak berusaha mengusik atau mengajukan pertanyaan. Sejak bekerja untuk Nayya, ia memahami bahwa wanita itu menyimpan banyak hal dalam diamnya. "Hati-hati, Nona!" Itulah yang Galen katakan saat membantu Nayya turun dari mobil. Nayya turun dari kendaraan mewahnya dengan langkah pelan, membiarkan ang
"Ma, Pa... Katakan aku harus gimana? Aku harus apa?" Suara isakan Nayya terdengar semakin intens. Memecah area pemakaman yang lenggang hari itu."Dulu aku percaya kalau cinta bisa menaklukkan segalanya. Aku pikir selama aku punya Mas Liam, aku bisa bertahan. Tapi sekarang aku sadar... mungkin cinta saja gak cukup." Suaranya semakin lirih, hampir tertelan oleh angin. "Kalau gak ada harapan... kalau aku gak bisa jadi istri yang diharapkan keluarga Liam... apa gunanya aku di sana?"Nayya terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung. Ia mencengkeram nisan dengan lebih erat. "Ma, Pa, aku gak mau jadi beban. Tapi aku juga gak mau menyerah. Aku masih cinta sama dia... meskipun setiap harinya aku bertanya-tanya, apa Mas Liam masih memiliki perasaan yang sama?"Galen berdiri di belakang, menyaksikan punggung Nayya yang rapuh di hadapan dua pusara itu. Ia mengerti bahwa dirinya tak lebih dari bayang-bayang di sini, namun di saat yang bersamaan, ia merasakan keinginan kuat untuk memberi
"Galen...""Iya Nona?"Namun bukan jawaban yang Galen dapatkan saat ia menunggu respons, melainkan gerakan tangan Nayya yang perlahan terulur. Jari kelingkingnya terulur ke depan wajah Galen. Untuk sesaat, Nayya menatap Galen dengan pandangan yang sulit diartikan—ada kelelahan, luka, dan sebersit harapan yang terpantul dalam matanya."Kamu mau janji kan?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. "Janji kalau kamu akan tetap di sini. Tidak pergi atau meninggalkan aku, apapun yang terjadi?"Galen tertegun. Ia tak menyangka akan permintaan ini, namun ia melihat harapan dalam tatapan Nayya. Ia tahu, ini bukan sekadar permohonan sederhana dari seorang majikan pada bawahan sepertinya. Ini adalah permintaan yang datang dari seseorang yang sudah berada di titik terendahnya, seseorang yang merasa dunia bisa runtuh kapan saja.Galen menatap perempuan itu sebelum melingkarkan jari kelingkingnya pada Nayya. Membuat pinky promise. "Saya janji, Nona," k
"Aku mau langsung pulang aja." Galen mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia mengerti bahwa Nayya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang terjadi hari ini. Ia kembali fokus pada kemudi, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah.Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Nayya bersandar di kursi, matanya terpejam, meskipun pikirannya masih terus bekerja. Sesekali, ia merasa kehadiran Galen di depannya memberikan sedikit rasa nyaman, seperti jangkar yang menahannya agar tidak sepenuhnya tenggelam dalam kekacauan ini.Begitu tiba di rumah, Galen memarkir mobil dengan hati-hati di depan garasi. Ia keluar terlebih dahulu, membuka pintu untuk Nayya. "Kita sudah sampai, Nona," ucapnya dengan lembut.Nayya membuka matanya perlahan, lalu mengangguk. Ia turun dari mobil dengan langkah pelan, merasakan lelah yang luar biasa di tubuhnya. Galen memperhatikan langkahnya yang lunglai dan segera berkata, "Kalau ada yang Nona butuhkan, Anda bisa p
Liam menatap layar ponselnya cukup lama. Nama sang istri terpampang jelas di sana. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menghubungi Nayya. "Sudahlah. Nanti aja aku telfon Nayya." Liam kembali meletakkan ponselnya di meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa penat dalam dirinya. Sebagai gantinya, ia meraih laptop dan membuka berkas yang baru saja dikirimkan oleh Revan. "Mungkin aku akan menyelesaikan dokumen ini sebelum pulang ke rumah," bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Pria 30 tahunan itu berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia menatap layar laptopnya, mencoba mengabaikan suara-suara kecil di kepalanya yang terus memunculkan bayangan wajah Nayya. Ia membuka dokumen dari Revan dan mulai membacanya dengan saksama, tetapi pikirannya tetap melayang ke rumah. "Fokus, Liam. Fokus," gumamnya sembari memijat pelipis.
"Enghhh..."Nayya tidak melawan, tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Galen menunggu dengan cemas, tangannya masih memegangi termometer untuk memastikan posisinya tidak bergeser.Ketika bunyi “bip” terdengar, Galen dengan cepat menarik termometer dan melihat angka yang tertera.“39,2 derajat...” gumamnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan termometer itu di atas meja dan menatap Nayya penuh kekhawatiran. “Nona, Anda demam tinggi. Saya telfon dokter dulu." Dengan cekatan, Galen berusaha menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Namun beberapa kali mencoba, panggilan tersebut belum tersambung juga.Galen berdecak kesal. Ia melihat ke Hanya dengan cemas sebelum menggendong tubuh perempuan berbalut selimut itu ala bridal. Tanpa menunggu persetujuan, ia bergerak cepat untuk membawa Nayya ke rumah sakit. Hanya saja, saat baru separuh ia menuruni tangga, seseorang yang sangat Galen kenal, sedang berdir
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni
Nayya menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun hatinya sudah mulai bergejolak. Matanya melirik ke arah Liam, yang kini memasang ekspresi datar, namun Nayya tahu suaminya sedang merasa tak nyaman."Liam, kamu masih ingat Safira, kan?" Widuri berbicara dengan nada riang, seolah-olah tak menyadari suasana yang berubah tegang. "Dulu kalian sering main bersama waktu kecil."Safira tersenyum manis, melangkah lebih dekat ke meja makan. "Tentu saja aku ingat, Tante. Waktu itu aku bahkan sempat menangis karena Liam lebih memilih main bola daripada menemani aku main boneka."Widuri tertawa kecil. "Ya, Liam memang selalu begitu. Tapi dia anak yang baik, kan?"Nayya mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. Wanita ini bukan sekadar tamu, tapi jelas calon yang Widuri siapkan untuk Liam. Rasanya seperti jantungnya diremas. Ia mencoba tersenyum meski hatinya terbakar.Liam berdeham, mencoba menetralkan situasi. "Senang bertemu lagi, Safira. Sudah lama sekali, ya?"Safira mengangguk antusia