"Enghhh..."
Nayya tidak melawan, tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Galen menunggu dengan cemas, tangannya masih memegangi termometer untuk memastikan posisinya tidak bergeser.Ketika bunyi “bip” terdengar, Galen dengan cepat menarik termometer dan melihat angka yang tertera.“39,2 derajat...” gumamnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan termometer itu di atas meja dan menatap Nayya penuh kekhawatiran.“Nona, Anda demam tinggi. Saya telfon dokter dulu." Dengan cekatan, Galen berusaha menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Namun beberapa kali mencoba, panggilan tersebut belum tersambung juga.Galen berdecak kesal. Ia melihat ke Hanya dengan cemas sebelum menggendong tubuh perempuan berbalut selimut itu ala bridal. Tanpa menunggu persetujuan, ia bergerak cepat untuk membawa Nayya ke rumah sakit. Hanya saja, saat baru separuh ia menuruni tangga, seseorang yang sangat Galen kenal, sedang berdir"Tapi Tuan, saya..." Galen menggigit ujung lidahnya. Tidak berani melanjutkan kalimat yang hendak ia katakan."Ada apa Galen? Kamu kenapa?""Saya akan menunggu di depan, Tuan. Barang kali Tuan membutuhkan sesuatu," balasnya. Dengan kalimat yang cukup sopan."Ya sudah, terserah kamu saja." Liam tak terlalu ambil pusing. Dia hanya mengangguk setelah Galen pamit untuk standby di depan. Sementara dia, berada di kamar rawat Nayya dan memperhatikan istrinya tersebut dengan seksama.Setelah beberapa jam berlalu, Nayya mulai siuman. Ia membuka kedua kelopak matanya sambil berusaha menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan penglihatannya."Kamu udah bangun?""M- mas Liam?" Nayya sedikit terkejut saat melihat suami berada tak jauh darinya. Bahkan Liam tampak segera bangkit dari sofa dan berjalan menghampirnya. "Kenapa aku bisa di sini?"Nayya mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Li
"Selamat ulang tahun, Ma. Semoga Mama panjang umur, sehat selalu, dan diberikan keberkahan."Nayya memeluk ibu mertuanya— Widuri. Memberikan ucapan selamat di hari jadi ulang tahun sang mertua."Makasih, Nay." Wanita dengan gincu merah dan rambut disanggul rapi ke belakang itu memeluk Nayya. Berterimakasih karena sang menantu menyempatkan waktunya untuk datang ke pesta ini."Aku bawain kado buat Mama." Dengan senyum tulusnya, Nayya menunjukkan paperbag besar berisi tas mewah yang dia beli di luar negeri. Barang branded yang menjadi incaran sang Mertua selama beberapa bulan terakhir. "Aku tau Mama udah lama kepengen tas ini.""Makasih ya sayaang.""Sama-sama.""Mama suka kan?""Suka," Widuri tersenyum penuh arti setelah menerima kado dari Nayya. Ia mendekati menantunya lalu berbisik, "tapi kamu tau kan apa hal yang paling Mama harapkan?"Tubuh Nayya membeku. Selama beberapa detik ia merasa jantungnya seperti berh
"Mas... Kamu di mana? Kenapa belum datang juga? Kamu gak lupa kan kalau sekarang pesta ulang tahun Mama kamu?" ["Halo? Siapa ya?"] Nayya terdiam sejenak, terpaku mendengar suara perempuan di ujung telepon. "K- kamu yang siapa? Kenapa ponsel Mas Liam ada di kamu?" Ekspresi wajah perempuan itu menegang. Perasaan was-was seketika melingkupi hatinya. 'Siapa wanita ini? Dia belum pernah mendengar suara wanita itu sebelumnya. Dan... Kenapa ada di dekat mas Liam?' pikirnya panik. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara Liam terdengar di telepon. "Halo, Nayya," kata Liam dengan nada tenang. "Ada apa?" "Mas!" suara Nayya terdengar bergetar, penuh kecurigaan. "Itu tadi siapa? Kenapa hape kamu bisa ada sama dia?" Liam terdiam beberapa detik. "Oh, itu—" Ia terdengar menarik napas. "Itu sekretarisku. Kita lagi lembur bareng, kan aku bilang tadi aku ada meeting penting. HP aku tadi aku tinggal di meja, jadi mungkin dia yang angkat." "Sekertaris? Bukannya sekertaris kamu si Revan ya? Apa
"Mas Liam!" suara Nayya terdengar dingin. "Kamu ini kerja atau pacaran sama dia? Kenapa kalian deket banget?"Perempuan itu segera mundur beberapa langkah, wajahnya pucat. Liam bangkit dari kursinya, mencoba mengendalikan situasi. Meskipun kehadiran sang istri sempat membuatnya terkejut."Nayya, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya mencoba untuk tetap tenang. Setenang ekspresi wajahnya."Aku ke sini buat mastiin sesuatu," balas Nayya sambil melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap tajam pada Liam.Sekertaris itu membuka mulut, mencoba menjelaskan. "Bu— saya hanya membantu Pak Liam menyelesaikan laporan. Kami tidak—""Diam!" suara Nayya meninggi. "Aku gak nanya sama kamu!" Tatapannya menjurus tajam ke arah wanita tersebut."Nayya, sudah cukup!" potong Liam, nadanya tajam. "Aku benar-benar sedang bekerja. Kenapa kamu harus datang ke sini dan membuat keributan?"Nayya tertawa sinis. "Keributan? Mas, kamu tahu ga
“Nona Nayya, mohon ikut saya! Kita bisa bicara nanti kalau Nona sudah tenang,” kata Galen dengan nada kalemnya yang khas.“Galen! Kamu gak tahu apa-apa soal ini! Jangan ikut campur!” Nayya berteriak, tapi Galen tetap memegangnya dengan hati-hati, mencoba membawanya keluar dari gedung.Liam hanya berdiri diam, matanya menatap dingin ke arah mereka. Ada rasa bersalah yang muncul di dadanya, tapi egonya menahan untuk mengambil tindakan apapun.Nayya berbalik menatap suaminya yang tidak bergerak. "Mas Liam! Mas..."Namun Liam tetap membatu, tidak menjawab. Ia membiarkan Galen membawa istrinya pulang sementara dia sendiri kembali ke ruangannya tepat ketika sang istri menghilang dari pandangannya.Galen yang biasanya bersikap tenang dan sopan mulai kehilangan kesabarannya. Di parkiran yang sepi, Nayya masih berusaha melawan, menarik lengannya dari pegangan Galen.“Galen, lepaskan aku! Aku gak akan pergi sebelum Mas Liam ikut!” seru Nayya dengan suara tegasnya."Maaf Nona, saya tidak bisa me
"Uggghh..." Nayya mengernyit. Ini kali pertamanya minum minuman beralkohol. Rasanya aneh. Tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin melupakan semua beban di dalam dadanya.Nayya duduk di lantai kamar dengan kaki terlipat, bersandar pada tempat tidur. Di depannya, satu botol bir sudah kosong, dan tangan mungilnya sibuk menggenggam botol kedua. Dia meneguk isinya perlahan, wajahnya meringis setiap kali cairan pahit itu melewati tenggorokannya. Namun, dia terus berusaha menghabiskan isinya.“Dasar Mas Liam gak punya hati,” gumamnya dengan nada melengking, pipinya sudah memerah karena efek alkohol. "Tega banget dia ngomong kayak gitu? Aku gak bisa hamil? Dia yang mandul. Bukan aku."Setelah meneguk lagi, dia mendengus keras. “Dan Mama Widuri!! Kenapa sih itu nenek sihir selalu ikut campur urusanku. Dipikir kasih cucu itu sama kayak bikin bakso apa. Giling-giling, dibuletin terus jadi? Dipikir aku mesin pencetak cucu apa. Ngomong gak pernah diatur.""Liam sehat... Liam gak mandul," Nayya meni
"Nona butuh sesuatu?" tanya Galen dengan nada lembut namun juga penuh ketegasan.“Enggak…” balas Nayya sambil menggelengkan kepalanya dengan lucu, matanya yang sayu menatap Galen penuh harap."Kalau begitu, saya ambilkan air putih dulu," balas Galen yang sedang berjongkok di sisi tempat tidur, memandang Nayya yang tampak menggemaskan, sekaligus kasian disaat yang bersamaan."Aku gak butuh air putih.""Nona...""Aku cuma mau buktiin ke orang-orang kalau aku gak mandul. Aku bisa punya anak, Galen. Biar mereka berhenti nyalahin aku."Galen terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Nayya terdengar begitu menyedihkan, penuh luka yang mungkin sudah lama ia pendam. “Aku ini sehat kok, tapi aku bingung kenapa aku dan Mas Liam gak bisa dapat momongan,” lanjut Nayya, mencengkeram tangan Galen lebih erat. “Aku udah periksa. Dokter bilang aku baik-baik aja. Tapi mereka… mereka nggak percaya. Mas Liam juga…” Air matanya akhir
"Apa yang akan anda lakukan?" Galen menatap Nayya dengan sorot mata tegang. Ia menyaksikan Nayya memegang ponsel yang dia dapatkan dari meja kecil samping tempat tidur dengan alis berkerut.Nayya menyalakan voice recorder yang ada di hapenya. Lalu dengan setengah sadar ia berkata, "Aku, Nayyara Andini Ghayaka, dengan sadar dan tanpa paksaan, meminta Galen untuk menghamiliku. Sampai tugas ini terpenuhi, baik pihak pertama ataupun yang kedua tidak ada yang boleh membantah dan menolak apapun yang terjadi," ucapnya, nada suaranya terdengar lemah namun penuh tekat. "Aku akan bertanggung jawab atas konsekuensinya, dan aku tidak akan menyalahkan Galen atas apa pun yang terjadi nanti. Dan Galen, wajib memenuhi tugasnya tanpa menolak dan membantah. Kontrak ini hanya dapat diakhiri jika pihak pertama dinyatakan hamil."Galen menelan ludah, tubuhnya menegang mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Nayya. Dia tidak tahu apakah harus merasa marah, kasihan, atau bingung. In
"Nona, anda baik-baik saja?""Aku gak apa-apa. Tapi aku sebel sama orang itu," balas Nayya sambil memijat tengkuknya. Rasanya dia hampir darah tinggi karena kedatangan orang seperti itu.Melihat ekspresi kesal di wajah Nayya, Galen pun menghampiri majikannya tersebut. Setrlah menaruh tas makan siangnya di meja, kemudian berjalan ke belakang kursi Nayya. “Sini saya bantu pijat,” ucapnya lembut. Sebelum Nayya sempat bertanya, Galen sudah menempatkan kedua tangannya di atas pundaknya. "G- Galen?" Nayya sedikit tersentak karena sentuhan Galen tersebut."Otot anda terlalu tegang, Nona. Rileks sedikit! Dan biarkan saya memijat anda," balas pria itu dengan suara yang terdengar dalam."Tapi—""Ssst! Begini-begini saya juga ahli dalam pijatan."Awalnya, Nayya ingin memprotes, tapi sentuhan Galen terasa nyaman. Pijatannya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengurangi rasa kaku di bahunya. Ia pun memejamkan mata, mencoba menikmati momen itu meski gengsinya masih berusaha menahan. Setelah
Setelah Galen meninggalkan butik untuk membeli makan siang, Nayya kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sedang mengecek beberapa sketsa desain ketika suara pintu butik terbuka dengan keras. Seorang wanita berusia sekitar 30-an, dengan wajah marah dan riasan tajam, masuk dengan langkah menghentak. "Di mana Nayya?" suara wanita itu menggema, membuat beberapa karyawan di butik menoleh kaget.Nayya mengangkat wajahnya dan berdiri, menatap wanita itu dengan tenang meski dalam hatinya merasa waspada. "Saya Nayya. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu melangkah mendekat, membawa sebuah kantong besar yang ia lemparkan ke meja Nayya. "Ini! Apa benar ini gaun buatan kamu? Gaun ini benar-benar menghancurkan acaraku!"Nayya mengerutkan kening, berusaha memahami situasinya. "Maaf, ada apa dengan gaunnya? Apa ada yang kurang sesuai?"Wanita itu melipat tangannya, matanya menyala penuh emosi. "Kurang sesuai? Banyak! Bikin malu acaraku aja!"Nayya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun na
Nayya mengerutkan keningnya. "Alasan lain? Apa itu?"Galen tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahu, Nona.""Kenapa?" Nayya mengerutkan keningnya. "Pasti ada hubungannya sama sesuatu yang penting kan?"Galen memandangi perempuan itu. Ia kembali menampilkan senyum penuh arti. "Makan dulu, Nona. Baru nanti kita bicara."Nayya menghela nafas panjang. Merasa kurang puas dengan jawaban Galen yang menurutnya sangat menggantung. "Sejak Mas Liam ke luar kota, aku gak ada teman ngobrol," desis Nayya dengan bibir sedikit mencebik. "Apalagi Mas Liam juga gak bisa dihubungi dan jarang balas chatku. Aku jadi makin feeling lonely.""Saya tau, Nona. Tapi kalau anda bicara terus, nanti makanannya jadi dingin!" balas Galen dengan lembut. "Kita bisa ngobrol sebanyak apapun setelah anda makan. Gimana?"Nayya menatap pemuda itu dengan mata menyipit. "Nanti deh, aku pikir-pikir dulu."Galen reflek tertawa pelan mendengar jawaban majikannya itu. Ditambah ekspresi wajah Nayya tersebut. Membuat perempuan
Galen mengangkat alis, menunggu Nayya menyelesaikan kalimatnya. Namun, Nayya tampak semakin gugup, mengalihkan pandangan sambil mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat. "Sebenernya aku... aku butuh bantuan kamu untuk—" Nayya menggigit bibir bawahnya lagi, mencoba menyusun keberanian. "Ngebenerin shower di kamar mandiku. Airnya mati sejak kemarin malam." Galen menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan ekspresi lega. "Oh, itu saja? Baik, saya akan periksa sekarang juga." Nayya tersipu malu. "Iya, maaf ya! Aku tahu ini di luar tugas kamu, tapi aku malas panggil orang luar sekarang." "Tenang saja, Nona. Saya pasti bisa memperbaikinya," ucap Galen, mencoba meyakinkannya. Tanpa banyak kata lagi, Nayya mengarahkan Galen ke kamar mandinya. Di dalam, ia berdiri canggung sambil menunjukkan shower yang bermasalah. Galen mulai memeriksa sambungan air dengan teliti, mengabaikan jarak mereka yang begitu dekat. Nayya hanya bisa menatap punggung Galen yang kokoh. Dalam
"Umphh... Galen..."Nayya memejamkan matanya. Berusaha meredam suara seduktifnya ketika Galen mulai menjilati lehernya."Emphhhmm... G- Galen..." Ia berusaha memanggil sang bodyguard, meskipun terdengar susah payah karena helaan nafasnya yang cepat."Iya Nona?" Galen melihat ke arah Nayya matanya terlihat diliputi oleh gairah. "Apa anda berubah ingin pikiran?"Nayya menatap Galen lemah. Pipinya memerah hingga ke telinga. "Apa kamu ada ide lain?"Galen terdiam. Ia yang berada di atas tubuh Nayya menjadi bingung harus memberikan jawaban apa."Gak ada cara lain kan? Berarti ayo lanjutkan!" Nayya memeluk leher Galen, sementara sang bodyguard memberanikan diri untuk mencium bibir perempuan itu.Suasana di sana kian memanas saat Galen dan Nayya melakukan penyatuan mereka. Meniti tangga kenikmatan yang semakin membawa mereka ke gairah yang tak ada duanya."Ughh..." Sinar matahari pagi itu mengusik tidur nyenyak Galen. Pemuda bertubuh atletis itu bangkit perlahan dari tempat tidur, tubuhnya t
Malam telah larut ketika Nayya mengumpulkan keberanian untuk menelepon Galen. Tangannya gemetar saat mengetik pesan di ponselnya. "Galen, bisa naik ke kamarku sekarang? Aku butuh bicara."Pesan itu terkirim, dan ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ada balasan dari Galen: ["Baik, Nona. Saya segera ke sana."]Hanya beberapa menit kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu kamar Nayya. Ia menghapus sisa air mata di pipinya sebelum menjawab, "Masuk!"Pintu terbuka, dan Galen melangkah masuk dengan hati-hati. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya lembut, memperhatikan ekspresi muram Nayya. Tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan yang Galen ajukan, Nayya langsung menarik pemuda itu masuk ke kamarnya."Non—mm..." Galen terbelalak ketika Nayya menciumanya dengan sedikit serampangan.Nayya mendorong dada bidang Galen ke dinding. Gerakan Nayya yang tidak sabaran jelas membuat Galen bingung."N
"Apapun yang kamu katakan, Mama akan tetap membujuk Liam untuk cari istri lagi. Terserah dia mau ceraikan kamu atau menjadikan salah satu perempuan ini sebagai istri keduanya. Mama tidak peduli."Braaak!!Nayya tidak tahan lagi. Ucapan sang mertua begitu melukai hatinya. Dengan penuh emosi menggebrak meja di depannya."Ma, jangan mentang-mentang aku ini sebatang kara dan gak punya orang tua jadi Mama seenaknya sama aku. Aku juga punya hati Ma, aku punya perasaan. Gimana kalau seandainya Mama jadi aku? Apa Mama sanggup diperlakukan seperti ini?"Widuri buang muka. Sama sekali tak menggubris tatapan sayu dan wajah penuh air mata menantunya."Di luar sana, banyak pasangan yang belum punya anak bahkan disaat pernikahan mereka udah masuk belasan tahun. Tapi mereka gak seberisik Mama yang ribut ingin ini dan itu," imbuh Nayya lagi. "Aku dan Mas Liam menikah belum ada 5 tahun tapi Mama udah berencana menggantikanku sama perempuan lain— Mama benar-benar tega.""Terserah apa yang ingin kamu ka
Pagi itu, sekitar jam delapan, Nayya berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan blus putih dengan rok selutut berwarna krem, sederhana namun anggun. Wajahnya tampak sedikit lebih segar setelah semalaman akhirnya bisa tidur meski di sofa. Namun, ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia harus pergi ke rumah mertuanya, Widuri. Entah apa yang wanita itu ingin bicarakan, tapi Nayya tahu, setiap kali Widuri memanggilnya secara khusus, itu tidak pernah menjadi perbincangan yang menyenangkan."Nona, mobil sudah siap," suara Galen terdengar dari luar pintu."Baik, aku segera keluar," jawab Nayya sambil merapikan tas tangannya.Di perjalanan, Nayya tak banyak bicara. Ia hanya memandangi pemandangan di luar jendela mobil dengan pikiran yang melayang-layang. Galen, seperti biasa, duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi datar, sesekali melirik ke arah kaca spion untuk memastikan majikannya baik-baik saja.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya klas
["Maaf ya sayang, aku benar-benar sibuk banget. Klien banyak permintaan jadi aku gak bisa sering-sering telfon kamu."]["Soal kemarin aku juga minta maaf. Aku gak ada maksud buat nolak VC kamu. Di sini beneran gak ada sinyal."]["Tolong jangan khawatir dan terlalu OVT. Aku sayang sama kamu."]Nayya menghela nafas panjang. Ia memeluk lututnya untuk menenangkan diri. "Capek banget ya Tuhan. Gak enak banget cinta sendiri kayak gini."Karena kelelahan, Nayya tertidur di sofa ruang tamu, pelukan di lututnya perlahan melonggar. Wajahnya tampak lesu dalam tidurnya, meski ada jejak air mata dan kecemasan yang masih tersisa. Sebuah selimut tebal tergantung di sandaran sofa, tapi tak disentuh olehnya. Galen muncul dari arah pintu, berniat membuat teh hangat karena di luar hujan sedang lebat. Ia berhenti sejenak ketika melihat Nayya terbaring di sana. Ekspresi datarnya berubah lunak seketika.Ia mendekat perlahan, memastikan langkahnya tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Nayya. Saat be