"Uggghh..." Nayya mengernyit. Ini kali pertamanya minum minuman beralkohol. Rasanya aneh. Tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin melupakan semua beban di dalam dadanya.Nayya duduk di lantai kamar dengan kaki terlipat, bersandar pada tempat tidur. Di depannya, satu botol bir sudah kosong, dan tangan mungilnya sibuk menggenggam botol kedua. Dia meneguk isinya perlahan, wajahnya meringis setiap kali cairan pahit itu melewati tenggorokannya. Namun, dia terus berusaha menghabiskan isinya.“Dasar Mas Liam gak punya hati,” gumamnya dengan nada melengking, pipinya sudah memerah karena efek alkohol. "Tega banget dia ngomong kayak gitu? Aku gak bisa hamil? Dia yang mandul. Bukan aku."Setelah meneguk lagi, dia mendengus keras. “Dan Mama Widuri!! Kenapa sih itu nenek sihir selalu ikut campur urusanku. Dipikir kasih cucu itu sama kayak bikin bakso apa. Giling-giling, dibuletin terus jadi? Dipikir aku mesin pencetak cucu apa. Ngomong gak pernah diatur.""Liam sehat... Liam gak mandul," Nayya meni
"Nona butuh sesuatu?" tanya Galen dengan nada lembut namun juga penuh ketegasan.“Enggak…” balas Nayya sambil menggelengkan kepalanya dengan lucu, matanya yang sayu menatap Galen penuh harap."Kalau begitu, saya ambilkan air putih dulu," balas Galen yang sedang berjongkok di sisi tempat tidur, memandang Nayya yang tampak menggemaskan, sekaligus kasian disaat yang bersamaan."Aku gak butuh air putih.""Nona...""Aku cuma mau buktiin ke orang-orang kalau aku gak mandul. Aku bisa punya anak, Galen. Biar mereka berhenti nyalahin aku."Galen terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Nayya terdengar begitu menyedihkan, penuh luka yang mungkin sudah lama ia pendam. “Aku ini sehat kok, tapi aku bingung kenapa aku dan Mas Liam gak bisa dapat momongan,” lanjut Nayya, mencengkeram tangan Galen lebih erat. “Aku udah periksa. Dokter bilang aku baik-baik aja. Tapi mereka… mereka nggak percaya. Mas Liam juga…” Air matanya akhir
"Apa yang akan anda lakukan?" Galen menatap Nayya dengan sorot mata tegang. Ia menyaksikan Nayya memegang ponsel yang dia dapatkan dari meja kecil samping tempat tidur dengan alis berkerut.Nayya menyalakan voice recorder yang ada di hapenya. Lalu dengan setengah sadar ia berkata, "Aku, Nayyara Andini Ghayaka, dengan sadar dan tanpa paksaan, meminta Galen untuk menghamiliku. Sampai tugas ini terpenuhi, baik pihak pertama ataupun yang kedua tidak ada yang boleh membantah dan menolak apapun yang terjadi," ucapnya, nada suaranya terdengar lemah namun penuh tekat. "Aku akan bertanggung jawab atas konsekuensinya, dan aku tidak akan menyalahkan Galen atas apa pun yang terjadi nanti. Dan Galen, wajib memenuhi tugasnya tanpa menolak dan membantah. Kontrak ini hanya dapat diakhiri jika pihak pertama dinyatakan hamil."Galen menelan ludah, tubuhnya menegang mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Nayya. Dia tidak tahu apakah harus merasa marah, kasihan, atau bingung. In
"Ahh... Ahhh... Ughhhh..." Tubuh Nayya bergerak seirama dengan gerakan Galen yang sedang memompa miliknya di liang perempuan itu. Ia mendesah, dadanya membusung kecil, sementara kepalanya mendongak ke atas— memperlihatkan leher jenjangnya yang indah."Galen... Ahh... Lebih cepat... Hhh... iya... begitu... ahhh..."Galen membenam wajahnya di perpotongan leher Nayyara. Ia makin mempercepat tempo gerakannya, hampir mencapai klimaksnya yang kedua. Sedangkan Nayya, entah sudah berapa kali dia mencapai puncak kenikmatannya.Hampir 2 jam mereka bergumul seperti orang gila. Nafsu sudah memenuhi pikiran keduanya. Belum lagi Nayya yang terus memancing Galen dengan kata-kata nakalnya, membuat pemuda itu semakin bergairah."Saya hampir keluar..." desis Galen sambil memilin nipple Nayya.Perempuan itu membuka matanya, ia meremas rambut Galen sambil berkata, "Keluarkan di dalam!" pintanya disela nafasnya yang memburu."Anda yakin?"Na
“Saya mau Anda berhenti pura-pura!” pinta Galen dengan suara rendah dan menekan, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. Jemarinya dengan lembut menyusuri pipi Nayya, lalu berhenti di dagunya, memaksa wajah perempuan itu menatap lurus ke matanya.Nayya semakin panik. Jarak mereka begitu dekat, dan tatapan intens Galen membuatnya sulit berpikir jernih. “seperti yang aku katakan tadi. Aku mabuk, dan gak ada apapun yang terjadi di antara kita, iya kan?" ucapnya cepat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Suaranya bergetar, tidak sesuai dengan niatnya yang ingin terdengar tegas. "Apa aku salah?"Galen menatapnya beberapa detik tanpa berkedip. Kemudian, sebuah senyuman samar terbentuk di bibirnya—senyuman yang entah kenapa membuat bulu kuduk Nayya berdiri. “Anda memang mabuk semalam Nona. Dan dengan setengah sadar, Anda meminta saya untuk menghamili anda." Ia berhenti sejenak, sengaja membiarkan ketegangan menguasai Nayya. “tentu saja saya tidak punya alasan untuk menolak.”Wajah Nayya seke
Setelah beberapa detik keheningan, Nayya akhirnya bersuara, meskipun suaranya sangat lirih. “Apa yang kamu mau, Galen? Kamu mau mengancamku dengan rekaman itu?""Aku hanya ingin anda ingat semuanya."Nayya menahan nafas. "Yakin cuma itu aja? Jangan-jangan kamu menunggu momen ini untuk memanfaatkanku?""Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu, Nona."Pandangan mereka bertemu satu sama lain. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing sampai Nayya kembali membuka pembicaraan."Gini aja. Aku akan kasih kamu uang berapapun, asal kita lupakan kejadian semalam? Gimana?"Galen tertegun. Ekspresi wajahnya berubah sedikit lebih serius, dan sedikit kesal. “anda pikir saya ini gigolo yang bisa Anda bayar setelah merasa puas dengan servis yang saya berikan?"Nayya terdiam, tidak menyangka Galen akan merespons seperti itu. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga karena amarah yang mulai membara. “Aku hanya b
Tanpa di duga, Galen justru menghampiri Nayya. Pemuda itu hendak menyentuh pipi istri atasannya saat Nayya dengan sigap menghindar."Mau apa kamu?"Galen tersenyum, "Bulu mata anda— jatuh."Nayya terdiam. Nafasnya tercekat ketika jarak di antara mereka begitu dekat. Tatapan Galen yang intens membuatnya sulit berpikir jernih. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bersikap tegas, tapi tubuhnya terasa lemah—terperangkap oleh dominasi Galen yang begitu nyata. "Lihat!" Galen mengambil sehelai bulu mata milik Nayya yang terjatuh dan menunjukkannya di depan perempuan itu. "Bulu ini bisa menusuk mata anda dan membuat mata Anda perih kalau tidak diambil."“Ck," Nayya berdecih. Sejak kejadian semalam ia jadi sangat canggung jika di hadapan pria tersebut. Namun parahnya, hanya Nayya yang merasa demikian."Anda tegang sekali, Nona.""Jangan sok tau.""Bukan sok tau. Tapi itu tergambar jelas di wajah dan sikap anda."
"Sama-sa... mphhh..."Kedua bola mata Nayya membulat sempurna ketika Liam tiba-tiba menciumnya. Hal lain yang tak pernah pria itu lakukan sebelumnya karena selama ini Nayyalah yang lebih dahulu memulainya."M-mas... Mmpphhm..."Nayya awalnya larut dalam ciuman Liam. Sentuhan lembut suaminya membawanya pada sejenak ketenangan yang selama ini jarang ia rasakan. Tapi ketika ia membuka sedikit matanya, ia menangkap bayangan seseorang dari kejauhan. Matanya melebar. 'Galen...'Pria itu berdiri di lorong menuju dapur, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tatapannya dingin dan tajam, seolah mengawasi setiap gerakan mereka. Detik itu juga, perasaan Nayya berubah dari hangat menjadi penuh kepanikan. Ia langsung mendorong Liam perlahan, memutuskan ciuman mereka."Ada apa?" tanya Liam sambil menatap bingung ke arah sang istri."A-aku... Aku mau siapin air buat kamu mandi, Mas," ucap Nayya terbata-bata sambil berusaha bangkit dari pangkuan Liam. Liam mengernyit, sedikit terkejut dengan peruba
"Nona, anda baik-baik saja?""Aku gak apa-apa. Tapi aku sebel sama orang itu," balas Nayya sambil memijat tengkuknya. Rasanya dia hampir darah tinggi karena kedatangan orang seperti itu.Melihat ekspresi kesal di wajah Nayya, Galen pun menghampiri majikannya tersebut. Setrlah menaruh tas makan siangnya di meja, kemudian berjalan ke belakang kursi Nayya. “Sini saya bantu pijat,” ucapnya lembut. Sebelum Nayya sempat bertanya, Galen sudah menempatkan kedua tangannya di atas pundaknya. "G- Galen?" Nayya sedikit tersentak karena sentuhan Galen tersebut."Otot anda terlalu tegang, Nona. Rileks sedikit! Dan biarkan saya memijat anda," balas pria itu dengan suara yang terdengar dalam."Tapi—""Ssst! Begini-begini saya juga ahli dalam pijatan."Awalnya, Nayya ingin memprotes, tapi sentuhan Galen terasa nyaman. Pijatannya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengurangi rasa kaku di bahunya. Ia pun memejamkan mata, mencoba menikmati momen itu meski gengsinya masih berusaha menahan. Setelah
Setelah Galen meninggalkan butik untuk membeli makan siang, Nayya kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sedang mengecek beberapa sketsa desain ketika suara pintu butik terbuka dengan keras. Seorang wanita berusia sekitar 30-an, dengan wajah marah dan riasan tajam, masuk dengan langkah menghentak. "Di mana Nayya?" suara wanita itu menggema, membuat beberapa karyawan di butik menoleh kaget.Nayya mengangkat wajahnya dan berdiri, menatap wanita itu dengan tenang meski dalam hatinya merasa waspada. "Saya Nayya. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu melangkah mendekat, membawa sebuah kantong besar yang ia lemparkan ke meja Nayya. "Ini! Apa benar ini gaun buatan kamu? Gaun ini benar-benar menghancurkan acaraku!"Nayya mengerutkan kening, berusaha memahami situasinya. "Maaf, ada apa dengan gaunnya? Apa ada yang kurang sesuai?"Wanita itu melipat tangannya, matanya menyala penuh emosi. "Kurang sesuai? Banyak! Bikin malu acaraku aja!"Nayya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun na
Nayya mengerutkan keningnya. "Alasan lain? Apa itu?"Galen tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahu, Nona.""Kenapa?" Nayya mengerutkan keningnya. "Pasti ada hubungannya sama sesuatu yang penting kan?"Galen memandangi perempuan itu. Ia kembali menampilkan senyum penuh arti. "Makan dulu, Nona. Baru nanti kita bicara."Nayya menghela nafas panjang. Merasa kurang puas dengan jawaban Galen yang menurutnya sangat menggantung. "Sejak Mas Liam ke luar kota, aku gak ada teman ngobrol," desis Nayya dengan bibir sedikit mencebik. "Apalagi Mas Liam juga gak bisa dihubungi dan jarang balas chatku. Aku jadi makin feeling lonely.""Saya tau, Nona. Tapi kalau anda bicara terus, nanti makanannya jadi dingin!" balas Galen dengan lembut. "Kita bisa ngobrol sebanyak apapun setelah anda makan. Gimana?"Nayya menatap pemuda itu dengan mata menyipit. "Nanti deh, aku pikir-pikir dulu."Galen reflek tertawa pelan mendengar jawaban majikannya itu. Ditambah ekspresi wajah Nayya tersebut. Membuat perempuan
Galen mengangkat alis, menunggu Nayya menyelesaikan kalimatnya. Namun, Nayya tampak semakin gugup, mengalihkan pandangan sambil mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat. "Sebenernya aku... aku butuh bantuan kamu untuk—" Nayya menggigit bibir bawahnya lagi, mencoba menyusun keberanian. "Ngebenerin shower di kamar mandiku. Airnya mati sejak kemarin malam." Galen menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan ekspresi lega. "Oh, itu saja? Baik, saya akan periksa sekarang juga." Nayya tersipu malu. "Iya, maaf ya! Aku tahu ini di luar tugas kamu, tapi aku malas panggil orang luar sekarang." "Tenang saja, Nona. Saya pasti bisa memperbaikinya," ucap Galen, mencoba meyakinkannya. Tanpa banyak kata lagi, Nayya mengarahkan Galen ke kamar mandinya. Di dalam, ia berdiri canggung sambil menunjukkan shower yang bermasalah. Galen mulai memeriksa sambungan air dengan teliti, mengabaikan jarak mereka yang begitu dekat. Nayya hanya bisa menatap punggung Galen yang kokoh. Dalam
"Umphh... Galen..."Nayya memejamkan matanya. Berusaha meredam suara seduktifnya ketika Galen mulai menjilati lehernya."Emphhhmm... G- Galen..." Ia berusaha memanggil sang bodyguard, meskipun terdengar susah payah karena helaan nafasnya yang cepat."Iya Nona?" Galen melihat ke arah Nayya matanya terlihat diliputi oleh gairah. "Apa anda berubah ingin pikiran?"Nayya menatap Galen lemah. Pipinya memerah hingga ke telinga. "Apa kamu ada ide lain?"Galen terdiam. Ia yang berada di atas tubuh Nayya menjadi bingung harus memberikan jawaban apa."Gak ada cara lain kan? Berarti ayo lanjutkan!" Nayya memeluk leher Galen, sementara sang bodyguard memberanikan diri untuk mencium bibir perempuan itu.Suasana di sana kian memanas saat Galen dan Nayya melakukan penyatuan mereka. Meniti tangga kenikmatan yang semakin membawa mereka ke gairah yang tak ada duanya."Ughh..." Sinar matahari pagi itu mengusik tidur nyenyak Galen. Pemuda bertubuh atletis itu bangkit perlahan dari tempat tidur, tubuhnya t
Malam telah larut ketika Nayya mengumpulkan keberanian untuk menelepon Galen. Tangannya gemetar saat mengetik pesan di ponselnya. "Galen, bisa naik ke kamarku sekarang? Aku butuh bicara."Pesan itu terkirim, dan ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ada balasan dari Galen: ["Baik, Nona. Saya segera ke sana."]Hanya beberapa menit kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu kamar Nayya. Ia menghapus sisa air mata di pipinya sebelum menjawab, "Masuk!"Pintu terbuka, dan Galen melangkah masuk dengan hati-hati. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya lembut, memperhatikan ekspresi muram Nayya. Tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan yang Galen ajukan, Nayya langsung menarik pemuda itu masuk ke kamarnya."Non—mm..." Galen terbelalak ketika Nayya menciumanya dengan sedikit serampangan.Nayya mendorong dada bidang Galen ke dinding. Gerakan Nayya yang tidak sabaran jelas membuat Galen bingung."N
"Apapun yang kamu katakan, Mama akan tetap membujuk Liam untuk cari istri lagi. Terserah dia mau ceraikan kamu atau menjadikan salah satu perempuan ini sebagai istri keduanya. Mama tidak peduli."Braaak!!Nayya tidak tahan lagi. Ucapan sang mertua begitu melukai hatinya. Dengan penuh emosi menggebrak meja di depannya."Ma, jangan mentang-mentang aku ini sebatang kara dan gak punya orang tua jadi Mama seenaknya sama aku. Aku juga punya hati Ma, aku punya perasaan. Gimana kalau seandainya Mama jadi aku? Apa Mama sanggup diperlakukan seperti ini?"Widuri buang muka. Sama sekali tak menggubris tatapan sayu dan wajah penuh air mata menantunya."Di luar sana, banyak pasangan yang belum punya anak bahkan disaat pernikahan mereka udah masuk belasan tahun. Tapi mereka gak seberisik Mama yang ribut ingin ini dan itu," imbuh Nayya lagi. "Aku dan Mas Liam menikah belum ada 5 tahun tapi Mama udah berencana menggantikanku sama perempuan lain— Mama benar-benar tega.""Terserah apa yang ingin kamu ka
Pagi itu, sekitar jam delapan, Nayya berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan blus putih dengan rok selutut berwarna krem, sederhana namun anggun. Wajahnya tampak sedikit lebih segar setelah semalaman akhirnya bisa tidur meski di sofa. Namun, ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia harus pergi ke rumah mertuanya, Widuri. Entah apa yang wanita itu ingin bicarakan, tapi Nayya tahu, setiap kali Widuri memanggilnya secara khusus, itu tidak pernah menjadi perbincangan yang menyenangkan."Nona, mobil sudah siap," suara Galen terdengar dari luar pintu."Baik, aku segera keluar," jawab Nayya sambil merapikan tas tangannya.Di perjalanan, Nayya tak banyak bicara. Ia hanya memandangi pemandangan di luar jendela mobil dengan pikiran yang melayang-layang. Galen, seperti biasa, duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi datar, sesekali melirik ke arah kaca spion untuk memastikan majikannya baik-baik saja.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya klas
["Maaf ya sayang, aku benar-benar sibuk banget. Klien banyak permintaan jadi aku gak bisa sering-sering telfon kamu."]["Soal kemarin aku juga minta maaf. Aku gak ada maksud buat nolak VC kamu. Di sini beneran gak ada sinyal."]["Tolong jangan khawatir dan terlalu OVT. Aku sayang sama kamu."]Nayya menghela nafas panjang. Ia memeluk lututnya untuk menenangkan diri. "Capek banget ya Tuhan. Gak enak banget cinta sendiri kayak gini."Karena kelelahan, Nayya tertidur di sofa ruang tamu, pelukan di lututnya perlahan melonggar. Wajahnya tampak lesu dalam tidurnya, meski ada jejak air mata dan kecemasan yang masih tersisa. Sebuah selimut tebal tergantung di sandaran sofa, tapi tak disentuh olehnya. Galen muncul dari arah pintu, berniat membuat teh hangat karena di luar hujan sedang lebat. Ia berhenti sejenak ketika melihat Nayya terbaring di sana. Ekspresi datarnya berubah lunak seketika.Ia mendekat perlahan, memastikan langkahnya tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Nayya. Saat be