"Mas Liam!" suara Nayya terdengar dingin. "Kamu ini kerja atau pacaran sama dia? Kenapa kalian deket banget?"
Perempuan itu segera mundur beberapa langkah, wajahnya pucat. Liam bangkit dari kursinya, mencoba mengendalikan situasi. Meskipun kehadiran sang istri sempat membuatnya terkejut."Nayya, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya mencoba untuk tetap tenang. Setenang ekspresi wajahnya."Aku ke sini buat mastiin sesuatu," balas Nayya sambil melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap tajam pada Liam.Sekertaris itu membuka mulut, mencoba menjelaskan. "Buâ saya hanya membantu Pak Liam menyelesaikan laporan. Kami tidakâ""Diam!" suara Nayya meninggi. "Aku gak nanya sama kamu!" Tatapannya menjurus tajam ke arah wanita tersebut."Nayya, sudah cukup!" potong Liam, nadanya tajam. "Aku benar-benar sedang bekerja. Kenapa kamu harus datang ke sini dan membuat keributan?"Nayya tertawa sinis. "Keributan? Mas, kamu tahu gaâNona Nayya, mohon ikut saya! Kita bisa bicara nanti kalau Nona sudah tenang,â kata Galen dengan nada kalemnya yang khas.âGalen! Kamu gak tahu apa-apa soal ini! Jangan ikut campur!â Nayya berteriak, tapi Galen tetap memegangnya dengan hati-hati, mencoba membawanya keluar dari gedung.Liam hanya berdiri diam, matanya menatap dingin ke arah mereka. Ada rasa bersalah yang muncul di dadanya, tapi egonya menahan untuk mengambil tindakan apapun.Nayya berbalik menatap suaminya yang tidak bergerak. "Mas Liam! Mas..."Namun Liam tetap membatu, tidak menjawab. Ia membiarkan Galen membawa istrinya pulang sementara dia sendiri kembali ke ruangannya tepat ketika sang istri menghilang dari pandangannya.Galen yang biasanya bersikap tenang dan sopan mulai kehilangan kesabarannya. Di parkiran yang sepi, Nayya masih berusaha melawan, menarik lengannya dari pegangan Galen.âGalen, lepaskan aku! Aku gak akan pergi sebelum Mas Liam ikut!â seru Nayya dengan suara tegasnya."Maaf Nona, saya tidak bisa me
"Uggghh..." Nayya mengernyit. Ini kali pertamanya minum minuman beralkohol. Rasanya aneh. Tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin melupakan semua beban di dalam dadanya.Nayya duduk di lantai kamar dengan kaki terlipat, bersandar pada tempat tidur. Di depannya, satu botol bir sudah kosong, dan tangan mungilnya sibuk menggenggam botol kedua. Dia meneguk isinya perlahan, wajahnya meringis setiap kali cairan pahit itu melewati tenggorokannya. Namun, dia terus berusaha menghabiskan isinya.âDasar Mas Liam gak punya hati,â gumamnya dengan nada melengking, pipinya sudah memerah karena efek alkohol. "Tega banget dia ngomong kayak gitu? Aku gak bisa hamil? Dia yang mandul. Bukan aku."Setelah meneguk lagi, dia mendengus keras. âDan Mama Widuri!! Kenapa sih itu nenek sihir selalu ikut campur urusanku. Dipikir kasih cucu itu sama kayak bikin bakso apa. Giling-giling, dibuletin terus jadi? Dipikir aku mesin pencetak cucu apa. Ngomong gak pernah diatur.""Liam sehat... Liam gak mandul," Nayya meni
"Nona butuh sesuatu?" tanya Galen dengan nada lembut namun juga penuh ketegasan.âEnggakâĶâ balas Nayya sambil menggelengkan kepalanya dengan lucu, matanya yang sayu menatap Galen penuh harap."Kalau begitu, saya ambilkan air putih dulu," balas Galen yang sedang berjongkok di sisi tempat tidur, memandang Nayya yang tampak menggemaskan, sekaligus kasian disaat yang bersamaan."Aku gak butuh air putih.""Nona...""Aku cuma mau buktiin ke orang-orang kalau aku gak mandul. Aku bisa punya anak, Galen. Biar mereka berhenti nyalahin aku."Galen terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Nayya terdengar begitu menyedihkan, penuh luka yang mungkin sudah lama ia pendam. âAku ini sehat kok, tapi aku bingung kenapa aku dan Mas Liam gak bisa dapat momongan,â lanjut Nayya, mencengkeram tangan Galen lebih erat. âAku udah periksa. Dokter bilang aku baik-baik aja. Tapi merekaâĶ mereka nggak percaya. Mas Liam jugaâĶâ Air matanya akhir
"Apa yang akan anda lakukan?" Galen menatap Nayya dengan sorot mata tegang. Ia menyaksikan Nayya memegang ponsel yang dia dapatkan dari meja kecil samping tempat tidur dengan alis berkerut.Nayya menyalakan voice recorder yang ada di hapenya. Lalu dengan setengah sadar ia berkata, "Aku, Nayyara Andini Ghayaka, dengan sadar dan tanpa paksaan, meminta Galen untuk menghamiliku. Sampai tugas ini terpenuhi, baik pihak pertama ataupun yang kedua tidak ada yang boleh membantah dan menolak apapun yang terjadi," ucapnya, nada suaranya terdengar lemah namun penuh tekat. "Aku akan bertanggung jawab atas konsekuensinya, dan aku tidak akan menyalahkan Galen atas apa pun yang terjadi nanti. Dan Galen, wajib memenuhi tugasnya tanpa menolak dan membantah. Kontrak ini hanya dapat diakhiri jika pihak pertama dinyatakan hamil."Galen menelan ludah, tubuhnya menegang mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Nayya. Dia tidak tahu apakah harus merasa marah, kasihan, atau bingung. In
"Ahh... Ahhh... Ughhhh..." Tubuh Nayya bergerak seirama dengan gerakan Galen yang sedang memompa miliknya di liang perempuan itu. Ia mendesah, dadanya membusung kecil, sementara kepalanya mendongak ke atasâ memperlihatkan leher jenjangnya yang indah."Galen... Ahh... Lebih cepat... Hhh... iya... begitu... ahhh..."Galen membenam wajahnya di perpotongan leher Nayyara. Ia makin mempercepat tempo gerakannya, hampir mencapai klimaksnya yang kedua. Sedangkan Nayya, entah sudah berapa kali dia mencapai puncak kenikmatannya.Hampir 2 jam mereka bergumul seperti orang gila. Nafsu sudah memenuhi pikiran keduanya. Belum lagi Nayya yang terus memancing Galen dengan kata-kata nakalnya, membuat pemuda itu semakin bergairah."Saya hampir keluar..." desis Galen sambil memilin nipple Nayya.Perempuan itu membuka matanya, ia meremas rambut Galen sambil berkata, "Keluarkan di dalam!" pintanya disela nafasnya yang memburu."Anda yakin?"Na
âSaya mau Anda berhenti pura-pura!â pinta Galen dengan suara rendah dan menekan, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. Jemarinya dengan lembut menyusuri pipi Nayya, lalu berhenti di dagunya, memaksa wajah perempuan itu menatap lurus ke matanya.Nayya semakin panik. Jarak mereka begitu dekat, dan tatapan intens Galen membuatnya sulit berpikir jernih. âseperti yang aku katakan tadi. Aku mabuk, dan gak ada apapun yang terjadi di antara kita, iya kan?" ucapnya cepat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Suaranya bergetar, tidak sesuai dengan niatnya yang ingin terdengar tegas. "Apa aku salah?"Galen menatapnya beberapa detik tanpa berkedip. Kemudian, sebuah senyuman samar terbentuk di bibirnyaâsenyuman yang entah kenapa membuat bulu kuduk Nayya berdiri. âAnda memang mabuk semalam Nona. Dan dengan setengah sadar, Anda meminta saya untuk menghamili anda." Ia berhenti sejenak, sengaja membiarkan ketegangan menguasai Nayya. âtentu saja saya tidak punya alasan untuk menolak.âWajah Nayya seke
Setelah beberapa detik keheningan, Nayya akhirnya bersuara, meskipun suaranya sangat lirih. âApa yang kamu mau, Galen? Kamu mau mengancamku dengan rekaman itu?""Aku hanya ingin anda ingat semuanya."Nayya menahan nafas. "Yakin cuma itu aja? Jangan-jangan kamu menunggu momen ini untuk memanfaatkanku?""Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu, Nona."Pandangan mereka bertemu satu sama lain. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing sampai Nayya kembali membuka pembicaraan."Gini aja. Aku akan kasih kamu uang berapapun, asal kita lupakan kejadian semalam? Gimana?"Galen tertegun. Ekspresi wajahnya berubah sedikit lebih serius, dan sedikit kesal. âanda pikir saya ini gigolo yang bisa Anda bayar setelah merasa puas dengan servis yang saya berikan?"Nayya terdiam, tidak menyangka Galen akan merespons seperti itu. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga karena amarah yang mulai membara. âAku hanya b
Tanpa di duga, Galen justru menghampiri Nayya. Pemuda itu hendak menyentuh pipi istri atasannya saat Nayya dengan sigap menghindar."Mau apa kamu?"Galen tersenyum, "Bulu mata andaâ jatuh."Nayya terdiam. Nafasnya tercekat ketika jarak di antara mereka begitu dekat. Tatapan Galen yang intens membuatnya sulit berpikir jernih. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bersikap tegas, tapi tubuhnya terasa lemahâterperangkap oleh dominasi Galen yang begitu nyata. "Lihat!" Galen mengambil sehelai bulu mata milik Nayya yang terjatuh dan menunjukkannya di depan perempuan itu. "Bulu ini bisa menusuk mata anda dan membuat mata Anda perih kalau tidak diambil."âCk," Nayya berdecih. Sejak kejadian semalam ia jadi sangat canggung jika di hadapan pria tersebut. Namun parahnya, hanya Nayya yang merasa demikian."Anda tegang sekali, Nona.""Jangan sok tau.""Bukan sok tau. Tapi itu tergambar jelas di wajah dan sikap anda."
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.âAku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.âCintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan ituâia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.âCukup Liam! Cukup!â gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.âHalo?âDari seberang, terdenga
"Liam..."Merasa namanya dipanggil, Liam pun menoleh ke sumber suara. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut wajah tenang namun sorot matanya tajam penuh kekhawatiran. Widuriâibunyaâmenatapnya tanpa senyum."Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya, lembut tapi jelas.Liam berdiri, sedikit gugup. "Tentu aja Ma."Mereka berjalan dalam diam menuju ruangan sebelah. Begitu sampai di sana, Widuri langsung menatap putranya tanpa basa-basi.âKamu yakin sama keputusan ini, Liam?âLiam menghela napas, lalu duduk. "Kalau Mama maksud soal pernikahan... ya, aku udah yakin."Widuri tetap berdiri, menyilangkan tangan. âLiam, dia itu umurnya masih jauh di bawah kamu. Belum lagi dia sebatang kara, keluarganya gak jelas kayak gimana. Kalau kamu ngerasa bertanggungjawab sama Nayya, kamu kan gak wajib buat nikahin dia. Kamu masih bisa melakukan hal lain."Pernyataan sang Mama, itu membuat Liam terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, âMa, Nayya gak punya siapa-siapa selain aku
"Kalau aku harus ngertiin kamu terus, gimana sama aku, hah?!"Pertengkaran makin memanas. Nafas Cintya memburu, matanya memerah menahan air mata yang ingin pecah. Liam berdiri di hadapannya, masih mencoba menahan semua emosi yang menggelegak dalam dadanya.âJawab aku, Liam!â bentak Cintya tiba-tiba. âKamu bilang semua ini karena tanggung jawab, dan rasa bersalah kamu ke Nayya. Terus aku gimana? Apa kamu gak ngerasa bersalah padaku? Apa kamu gak kasian sama aku?"Liam terhenyak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya menegang.Cintya melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kamu lupa sama impian kita dulu? Kita akan menikah setelah dapat pekerjaan baik, bangun rumah tangga harmonis, hidup bahagia sampai tua. Apa kamu lupa impian kita itu?""Tapi Nayya sebatang kara, Cintya. Kasian dia. Tohâ pernikahan ini hanya sementara. Aku akan segera ceraikan dia setelah Nayya bisa hidup mapan."Cintya menatap Liam dengan wajah hancur, air matanya mulai jatuh satu per satu. Ia me
"Kamu gak bohong kan?" tanya Nayya dengan mata berkaca-kaca. Seolah ia menaruh banyak harapan pada pria di depannya.Liam menghela napas panjang, lalu menarik Nayya ke dalam pelukannya. Gadis itu diam, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman."Aku gak bohong, Nayya," bisik Liam dengan suara lirih. "Aku udah janji sama Tante DewiâĶ aku bakal jagain kamu, sampai kapanpun."Nayya terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Pelukan Liam terasa begitu tulus, dan untuk sesaat, ia merasa semua luka bisa perlahan disembuhkan."Aku takut kehilangan lagi, Liam," gumamnya. "Tante Dewi satu-satunya keluarga yang aku punyaâĶ dan sekarang aku cuma punya kamu."Liam merapatkan pelukannya, seolah tak ingin membiarkan Nayya jatuh lagi. "Kamu gak sendiri. Selama aku masih bisa bernapas, kamu gak akan pernah sendiri."Nayya memejamkan mata. Tangisnya akhirnya pecah dalam diam. Ia tahu, kata-kata Liam bukan sekadar janji kosong. Tapi ia
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Diaâ" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadiâ "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis
"Tante... siapa?" Jantung Dewi seperti berhenti berdetak. Air mata langsung menggenang di matanya saat ia meraih wajah Nayya dengan kedua tangannya. "Nayya, kamu gak ingat Tante? Kamu gak ingat siapa aku?" Gadis itu semakin bingung, napasnya tersengal. "Aku... aku gak tahu..." Dewi menoleh cepat ke arah dokter yang baru masuk, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Dok, kenapa dia begini? Kenapa dia gak ingat aku?" Dokter menarik napas panjang sebelum berbicara. "Bu Dewi, kami sudah memprediksi ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada kemungkinan besar Nayya mengalami amnesia akibat trauma otak yang ia alami dalam kecelakaan itu. Amnesia. Dewi merasa kepalanya berputar. "Jadi... dia gak ingat apa pun?" suaranya terdengar bergetar. Dokter mengangguk. "Hilang ingatan total. Dia bahkan mungkin tidak ingat siapa dirinya sendiri." Dewi langsung menatap Nayya lagi, hatinya mencelos melihat betapa kosongnya ekspresi gadis itu. "Nayya..." bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.