"Ahh... Ahhh... Ughhhh..." Tubuh Nayya bergerak seirama dengan gerakan Galen yang sedang memompa miliknya di liang perempuan itu. Ia mendesah, dadanya membusung kecil, sementara kepalanya mendongak ke atasâ memperlihatkan leher jenjangnya yang indah.
"Galen... Ahh... Lebih cepat... Hhh... iya... begitu... ahhh..."Galen membenam wajahnya di perpotongan leher Nayyara. Ia makin mempercepat tempo gerakannya, hampir mencapai klimaksnya yang kedua. Sedangkan Nayya, entah sudah berapa kali dia mencapai puncak kenikmatannya.Hampir 2 jam mereka bergumul seperti orang gila. Nafsu sudah memenuhi pikiran keduanya. Belum lagi Nayya yang terus memancing Galen dengan kata-kata nakalnya, membuat pemuda itu semakin bergairah."Saya hampir keluar..." desis Galen sambil memilin nipple Nayya.Perempuan itu membuka matanya, ia meremas rambut Galen sambil berkata, "Keluarkan di dalam!" pintanya disela nafasnya yang memburu."Anda yakin?"NaâSaya mau Anda berhenti pura-pura!â pinta Galen dengan suara rendah dan menekan, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. Jemarinya dengan lembut menyusuri pipi Nayya, lalu berhenti di dagunya, memaksa wajah perempuan itu menatap lurus ke matanya.Nayya semakin panik. Jarak mereka begitu dekat, dan tatapan intens Galen membuatnya sulit berpikir jernih. âseperti yang aku katakan tadi. Aku mabuk, dan gak ada apapun yang terjadi di antara kita, iya kan?" ucapnya cepat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Suaranya bergetar, tidak sesuai dengan niatnya yang ingin terdengar tegas. "Apa aku salah?"Galen menatapnya beberapa detik tanpa berkedip. Kemudian, sebuah senyuman samar terbentuk di bibirnyaâsenyuman yang entah kenapa membuat bulu kuduk Nayya berdiri. âAnda memang mabuk semalam Nona. Dan dengan setengah sadar, Anda meminta saya untuk menghamili anda." Ia berhenti sejenak, sengaja membiarkan ketegangan menguasai Nayya. âtentu saja saya tidak punya alasan untuk menolak.âWajah Nayya seke
Setelah beberapa detik keheningan, Nayya akhirnya bersuara, meskipun suaranya sangat lirih. âApa yang kamu mau, Galen? Kamu mau mengancamku dengan rekaman itu?""Aku hanya ingin anda ingat semuanya."Nayya menahan nafas. "Yakin cuma itu aja? Jangan-jangan kamu menunggu momen ini untuk memanfaatkanku?""Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu, Nona."Pandangan mereka bertemu satu sama lain. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing sampai Nayya kembali membuka pembicaraan."Gini aja. Aku akan kasih kamu uang berapapun, asal kita lupakan kejadian semalam? Gimana?"Galen tertegun. Ekspresi wajahnya berubah sedikit lebih serius, dan sedikit kesal. âanda pikir saya ini gigolo yang bisa Anda bayar setelah merasa puas dengan servis yang saya berikan?"Nayya terdiam, tidak menyangka Galen akan merespons seperti itu. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga karena amarah yang mulai membara. âAku hanya b
Tanpa di duga, Galen justru menghampiri Nayya. Pemuda itu hendak menyentuh pipi istri atasannya saat Nayya dengan sigap menghindar."Mau apa kamu?"Galen tersenyum, "Bulu mata andaâ jatuh."Nayya terdiam. Nafasnya tercekat ketika jarak di antara mereka begitu dekat. Tatapan Galen yang intens membuatnya sulit berpikir jernih. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bersikap tegas, tapi tubuhnya terasa lemahâterperangkap oleh dominasi Galen yang begitu nyata. "Lihat!" Galen mengambil sehelai bulu mata milik Nayya yang terjatuh dan menunjukkannya di depan perempuan itu. "Bulu ini bisa menusuk mata anda dan membuat mata Anda perih kalau tidak diambil."âCk," Nayya berdecih. Sejak kejadian semalam ia jadi sangat canggung jika di hadapan pria tersebut. Namun parahnya, hanya Nayya yang merasa demikian."Anda tegang sekali, Nona.""Jangan sok tau.""Bukan sok tau. Tapi itu tergambar jelas di wajah dan sikap anda."
"Sama-sa... mphhh..."Kedua bola mata Nayya membulat sempurna ketika Liam tiba-tiba menciumnya. Hal lain yang tak pernah pria itu lakukan sebelumnya karena selama ini Nayyalah yang lebih dahulu memulainya."M-mas... Mmpphhm..."Nayya awalnya larut dalam ciuman Liam. Sentuhan lembut suaminya membawanya pada sejenak ketenangan yang selama ini jarang ia rasakan. Tapi ketika ia membuka sedikit matanya, ia menangkap bayangan seseorang dari kejauhan. Matanya melebar. 'Galen...'Pria itu berdiri di lorong menuju dapur, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tatapannya dingin dan tajam, seolah mengawasi setiap gerakan mereka. Detik itu juga, perasaan Nayya berubah dari hangat menjadi penuh kepanikan. Ia langsung mendorong Liam perlahan, memutuskan ciuman mereka."Ada apa?" tanya Liam sambil menatap bingung ke arah sang istri."A-aku... Aku mau siapin air buat kamu mandi, Mas," ucap Nayya terbata-bata sambil berusaha bangkit dari pangkuan Liam. Liam mengernyit, sedikit terkejut dengan peruba
"Terserah apapun yang mau kamu katakan! Tapi sekarang lebih baik kamu pergi dari sini! Aku gak mau Mas Liam..." Belum sempat Nayya menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Tubuh Nayya menegang. Khawatir Liam akan muncul tiba-tiba. Akan tetapi..."Nayya... Nay..."Mendengar panggilan Liam, Nayya langsung mendorong Galen dan berlari kecil ke arah depan pintu kamar mandi. "Iya Mas?""Handuk aku jatuh nih. Bisa tolong ambilin lagi gak?" pinta Liam dari dalam kamar mandi, suaranya terdengar santai, tidak menyadari apa yang sedang terjadi di luar. "I-iya. Bentar Mas."Nafas Nayya tercekat. Ia menoleh sekilas ke arah Galen yang masih berdiri dengan tenang di posisinya. Mengabaikan pemuda itu, ia memilih untuk mengambil handuk di lemari, berharap pria itu akan segera pergi setelah membaca kode darinya. Namun, yang ia temukan justru ekspresi santai tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajah bodyguard-nya. "Galen, keluar! Sekarang!" desis Nayya tajam
Galen melangkah dengan santai ke arah meja kecil di sudut kamar. Wajahnya tenang tanpa ekspresi bersalah sedikit pun, sementara Nayya berdiri terpaku, tubuhnya tegang.âSaya ke sini untuk membawakan makan siang anda dan Nona.â Galen menunjuk ke arah nampan yang berisi makanan yang tadi ia bawa.Liam mengerutkan dahi. âOh begitu ya. Harusnya kamu tidak perlu repot-repot."âMohon maaf, Tuan. Saya hanya melakukan perintah Nona Nayya," jawab Galen dengan nada profesional. Ia melihat ke arah perempuan cantik yang masih meloading semua kejadian ini.Nayya mendekati suaminya begitu sang suami melihatnya. Seolah meminta penjelasan. Ia tersenyum sambil merangkul pria itu. "Aku tau kamu capek, Mas. Jadi daripada bolak-balik ke bawah, mending kita makan di sini."Liam melihat ke arah istrinya dan mengusap pipi perempuan itu. "Bener juga apa yang kamu bilang." Ia tersenyum lembut. Sementara Nayya langsung menghela nafas penuh rasa lega."Kal
Malam itu, Nayya menyajikan makan malam di meja dengan tampilan sempurna. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan, namun suasana hatinya tidak sehangat makanannya. Tak berapa lama, Liam muncul dari ruang kerja dengan wajah lelah, tanpa menyadari perubahan suasana hati istrinya."Kamu udah selesai Mas?" tanya Nayya, berusaha terdengar ramah.Liam mengangguk. "Iya, maaf ya, Sayang. Bukannya fokus buat sama kamu, aku malah harus ngurusin kerjaan." Ia menghampiri Nayya dan merangkul pinggangnya.Nayya tersenyum tipis, meski dalam hati ia merasa kecewa. "Ya udah sih Mas. Mau gimana lagi."Liam mengecup pelipis istrinya. "Kamu masak apa?""Sup Iga kesukaan kamu, Mas," jawab Nayya sambil melihat ke arah sang suami. "Kamu mau makanan sekarang?""Boleh. Tapi kamu juga makan."Nayya mengangguk. "Ya udah, ayo makan sama-sama."Mereka duduk berhadapan di meja makan. Liam mulai makan setelah Nayya menyiapkan semuanya. Setelah beberapa suap makanan, Liam menatap Nayya sambil tersenyum
"Kamu kenapa murung gitu?""Aku cuma kepikiran sesuatu Mas." Ia menatap suaminya. Sorot matanya terlihat sendu."Apa?""Aku penasaran, sekertaris kamu yang baru itu ikut apa enggak?""Sekertaris?" Liam mengangkat kedua alisnya. Pertanyaan Nayya barusan membuat dia terkejut. "Ooohâ Maksud kamu Cintya?"'Oh, jadi namanya Cintya.' Nayya mengangguk. Membenarkan pertanyaan suaminya. "Iya."Liam duduk di samping istrinya. Ia memijat paha istrinya sambil melihat langsung ke arah wanita itu. "Dia gak ikut sayang."Nayya kaget tapi juga merasa senang ketika mendengarnya. "Serius Mas?!""Iya. Aku pergi ke sana sama beberapa tim, tapi dia gak ikut karena harus bantu Revan di kantor," terang Liam dengan begitu lancarnya.Perempuan dengan gaun satin warna merah itu tersenyum lega. Kekhawatiran yang dia rasakan beberapa saat lalu seketika lenyap. "Syukur deh kalau dia gak ikut. Aku jadi ngerasa lega."Liam menautkan jarinya di sela-sela jari Nayya dan memberikan kecupan singkat di punggung tangan p
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi bagi Cintya, rasanya seperti putaran waktu yang berhenti. Semua emosi menumpuk: rindu, amarah, cinta, juga rasa bimbang.Saat bibir Liam masih menempel di bibirnya, ada satu sisi dalam dirinya yang ingin larut sepenuhnyaâĶ tapi sisi lain menjerit untuk menyadarkannya.Dengan cepat, Cintya menarik diri. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gelombang perasaan yang membuncah.âLiam...âLiam menatapnya, matanya masih menyimpan hasrat dan harapan. âAku tau kamu juga menginginkannya."Cintya menatap lantai, suaranya nyaris berbisik. âI- itu gak bener.""Sampai kapan kamu mau berbohong?""Liam... akuâ"Untuk kedua kalinya, bibir Cintya kembali di bungkam. Tapi kali ini bukan hanya sekedar ciuman saja. Liam dengan berani mengendus leher perempuan itu."Ahh..." Cintya mendesah akibat gigitan Liam. Belum lagi pijatan pria itu di salah satu gunung kembarnya, membuat seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa."Liam... Jangan...""Ssst..." Lia
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.âAku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.âCintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan ituâia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.âCukup Liam! Cukup!â gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.âHalo?âDari seberang, terdenga
"Liam..."Merasa namanya dipanggil, Liam pun menoleh ke sumber suara. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut wajah tenang namun sorot matanya tajam penuh kekhawatiran. Widuriâibunyaâmenatapnya tanpa senyum."Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya, lembut tapi jelas.Liam berdiri, sedikit gugup. "Tentu aja Ma."Mereka berjalan dalam diam menuju ruangan sebelah. Begitu sampai di sana, Widuri langsung menatap putranya tanpa basa-basi.âKamu yakin sama keputusan ini, Liam?âLiam menghela napas, lalu duduk. "Kalau Mama maksud soal pernikahan... ya, aku udah yakin."Widuri tetap berdiri, menyilangkan tangan. âLiam, dia itu umurnya masih jauh di bawah kamu. Belum lagi dia sebatang kara, keluarganya gak jelas kayak gimana. Kalau kamu ngerasa bertanggungjawab sama Nayya, kamu kan gak wajib buat nikahin dia. Kamu masih bisa melakukan hal lain."Pernyataan sang Mama, itu membuat Liam terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, âMa, Nayya gak punya siapa-siapa selain aku
"Kalau aku harus ngertiin kamu terus, gimana sama aku, hah?!"Pertengkaran makin memanas. Nafas Cintya memburu, matanya memerah menahan air mata yang ingin pecah. Liam berdiri di hadapannya, masih mencoba menahan semua emosi yang menggelegak dalam dadanya.âJawab aku, Liam!â bentak Cintya tiba-tiba. âKamu bilang semua ini karena tanggung jawab, dan rasa bersalah kamu ke Nayya. Terus aku gimana? Apa kamu gak ngerasa bersalah padaku? Apa kamu gak kasian sama aku?"Liam terhenyak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya menegang.Cintya melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kamu lupa sama impian kita dulu? Kita akan menikah setelah dapat pekerjaan baik, bangun rumah tangga harmonis, hidup bahagia sampai tua. Apa kamu lupa impian kita itu?""Tapi Nayya sebatang kara, Cintya. Kasian dia. Tohâ pernikahan ini hanya sementara. Aku akan segera ceraikan dia setelah Nayya bisa hidup mapan."Cintya menatap Liam dengan wajah hancur, air matanya mulai jatuh satu per satu. Ia me
"Kamu gak bohong kan?" tanya Nayya dengan mata berkaca-kaca. Seolah ia menaruh banyak harapan pada pria di depannya.Liam menghela napas panjang, lalu menarik Nayya ke dalam pelukannya. Gadis itu diam, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman."Aku gak bohong, Nayya," bisik Liam dengan suara lirih. "Aku udah janji sama Tante DewiâĶ aku bakal jagain kamu, sampai kapanpun."Nayya terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Pelukan Liam terasa begitu tulus, dan untuk sesaat, ia merasa semua luka bisa perlahan disembuhkan."Aku takut kehilangan lagi, Liam," gumamnya. "Tante Dewi satu-satunya keluarga yang aku punyaâĶ dan sekarang aku cuma punya kamu."Liam merapatkan pelukannya, seolah tak ingin membiarkan Nayya jatuh lagi. "Kamu gak sendiri. Selama aku masih bisa bernapas, kamu gak akan pernah sendiri."Nayya memejamkan mata. Tangisnya akhirnya pecah dalam diam. Ia tahu, kata-kata Liam bukan sekadar janji kosong. Tapi ia
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Diaâ" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadiâ "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis