Galen melangkah dengan santai ke arah meja kecil di sudut kamar. Wajahnya tenang tanpa ekspresi bersalah sedikit pun, sementara Nayya berdiri terpaku, tubuhnya tegang.âSaya ke sini untuk membawakan makan siang anda dan Nona.â Galen menunjuk ke arah nampan yang berisi makanan yang tadi ia bawa.Liam mengerutkan dahi. âOh begitu ya. Harusnya kamu tidak perlu repot-repot."âMohon maaf, Tuan. Saya hanya melakukan perintah Nona Nayya," jawab Galen dengan nada profesional. Ia melihat ke arah perempuan cantik yang masih meloading semua kejadian ini.Nayya mendekati suaminya begitu sang suami melihatnya. Seolah meminta penjelasan. Ia tersenyum sambil merangkul pria itu. "Aku tau kamu capek, Mas. Jadi daripada bolak-balik ke bawah, mending kita makan di sini."Liam melihat ke arah istrinya dan mengusap pipi perempuan itu. "Bener juga apa yang kamu bilang." Ia tersenyum lembut. Sementara Nayya langsung menghela nafas penuh rasa lega."Kal
Malam itu, Nayya menyajikan makan malam di meja dengan tampilan sempurna. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan, namun suasana hatinya tidak sehangat makanannya. Tak berapa lama, Liam muncul dari ruang kerja dengan wajah lelah, tanpa menyadari perubahan suasana hati istrinya."Kamu udah selesai Mas?" tanya Nayya, berusaha terdengar ramah.Liam mengangguk. "Iya, maaf ya, Sayang. Bukannya fokus buat sama kamu, aku malah harus ngurusin kerjaan." Ia menghampiri Nayya dan merangkul pinggangnya.Nayya tersenyum tipis, meski dalam hati ia merasa kecewa. "Ya udah sih Mas. Mau gimana lagi."Liam mengecup pelipis istrinya. "Kamu masak apa?""Sup Iga kesukaan kamu, Mas," jawab Nayya sambil melihat ke arah sang suami. "Kamu mau makanan sekarang?""Boleh. Tapi kamu juga makan."Nayya mengangguk. "Ya udah, ayo makan sama-sama."Mereka duduk berhadapan di meja makan. Liam mulai makan setelah Nayya menyiapkan semuanya. Setelah beberapa suap makanan, Liam menatap Nayya sambil tersenyum
"Kamu kenapa murung gitu?""Aku cuma kepikiran sesuatu Mas." Ia menatap suaminya. Sorot matanya terlihat sendu."Apa?""Aku penasaran, sekertaris kamu yang baru itu ikut apa enggak?""Sekertaris?" Liam mengangkat kedua alisnya. Pertanyaan Nayya barusan membuat dia terkejut. "Ooohâ Maksud kamu Cintya?"'Oh, jadi namanya Cintya.' Nayya mengangguk. Membenarkan pertanyaan suaminya. "Iya."Liam duduk di samping istrinya. Ia memijat paha istrinya sambil melihat langsung ke arah wanita itu. "Dia gak ikut sayang."Nayya kaget tapi juga merasa senang ketika mendengarnya. "Serius Mas?!""Iya. Aku pergi ke sana sama beberapa tim, tapi dia gak ikut karena harus bantu Revan di kantor," terang Liam dengan begitu lancarnya.Perempuan dengan gaun satin warna merah itu tersenyum lega. Kekhawatiran yang dia rasakan beberapa saat lalu seketika lenyap. "Syukur deh kalau dia gak ikut. Aku jadi ngerasa lega."Liam menautkan jarinya di sela-sela jari Nayya dan memberikan kecupan singkat di punggung tangan p
Perjalanan ke bandara terasa cukup hening. Nayya duduk di samping Liam di kursi belakang, sementara Galen mengemudi dengan fokus. Sesekali, Nayya melirik Liam, seolah mencoba merekam wajah suaminya sebelum mereka berpisah untuk waktu yang cukup lama. Bahkan dia tanpa ragu merangkul lengan pria itu tanpa mempedulikan lirikan Galen yang tertuju padanya.Liam sendiri terlihat tidak keberatan dengan sikap manja sang istri. Dia juga sesekali memberikan kecupan di punggung tangan Nayya tanpa sungkan.Sekitar 1 jam, ketiganya sampai di bandara. Galen turun lebih dulu dan membantu sang Bos membawa kopernya. Setelah itu ia mengikuti Nayya dan Liam yang berjalan lebih dulu di depannya.Di depan pintu keberangkatan, Nayya berdiri mematung sejenak, menatap Liam dengan ekspresi yang sulit diartikan. âMas, hati-hati di sana ya! Jangan terlalu memforsir diri kamu! Jangan sampai telat makan, jangan lupa istirahat dan jangan lupa ngasih aku kabar!"Liam tersenyum sambil membelai pipi Nayya dengan lemb
"Benar juga apa yang Nona katakan. Daripada memikirkan Tuan Liam, bukankah lebih baik kita membuat planning supaya anda cepat hamil, ya kan Nona?"Nayya menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar ucapan Galen yang membuat darahnya naik. Ia memalingkan wajah, berusaha tidak terpancing lebih jauh oleh komentar pemuda itu. Tapi, seperti biasanya, Galen terus mencoba memancingnya."Apa kita harus ke luar kota, Nona?" Galen bertanya dengan nada menggoda yang tidak terlalu kentara. "Saya baca di internet suasana bercinta yang baru bisa meningkatkan seksualitas.""GALEN!!" sergah Nayya dengan emosi. "Mending aku pulang naik taksi kalau kamu bicara aneh-aneh kayak gitu," ancamnya dengan nada dingin."Rileks Nona! Rileks!"Nayya menggeram. Demi Tuhan dia ingin sekali memecat pemuda itu. Rasanya dia muak sekali dengan Galen.Sesampainya di rumah, Nayya langsung keluar dari mobil dengan langkah cepat, meninggalk
Nayya terus memperhatikan Galen dengan tatapan waspada, meski perlahan-lahan rasa skeptisnya mulai pudar.Pemuda itu terlihat begitu cekatan dan percaya diri di dapur. Ia mengeluarkan bahan-bahan yang ada di kulkas dan mulai mengolahnya."Kamu masak apa?""Udang.""Udang?" Nayya bertanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, mencoba menyembunyikan rasa penasaran. "Mau dimasak apa?""Udang mentega."Nayya tergelak. "Emang kamu bisa?""Kalau saya gak bisa, mana mungkin saya masak ini." Galen dengan teliti membersihkan udang berukuran besar itu dari kotorannya.Setelah mencuci udang tadi hingga bersih. Dia mulai memanaskan wajan dengan sedikit mentega, membiarkan aroma gurih menyebar di dapur. Setelah itu, ia memasukkan bawang putih cincang dan membiarkannya layu, mengisi udara dengan wangi yang menggugah selera.Nayya, meskipun masih sibuk memperhatikan Galen. Pemuda itu cukup cekatan saat memasak. 'Baunya harum,' ucap Nayya dalam hati.âSedikit lagi selesai, Nona,â kata Galen, menyad
"Imbalan buat saya mana, Nona?""Imbalan?" Nayya mengernyit, memiringkan kepala, menatap Galen dengan tatapan tidak percaya. "Nanti ya, pas akhir bulan,â balasnya sambil melipat tangan di dada.Galen menyeka tangannya dengan lap kering, langkahnya santai mendekati meja. âJangan pura-pura tidak mengerti maksud saya, Nona." Pemuda itu mendekat ke arah Nayya. Langkahnya pelan tapi konstan.Sebaliknya, Nayya mundur selangkah, mendengus kecil. âNgapain kamu? Stop! Jangan deket-deket aku!"Tapi Galen tetap mendekat. Langkahnya pelan, penuh percaya diri. Tatapan matanya terfokus pada Nayya, seperti sedang menikmati bagaimana ia membuat perempuan itu gelisah. âKenapa, Nona? Takut?â katanya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum jahil. "Padahal imbalannya cukup mudah."Nayya menyipitkan matanya, mencoba terlihat tidak peduli, meskipun jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia tahu betul apa yang dimaksud sang bodyguard, tapi Nayya lebih memilih untuk pura-pura bodoh."Jangan aneh-aneh
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia turun ke dapur untuk sarapan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Galen sudah berdiri di sana, menyeduh kopi dengan santai, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi malam sebelumnya.âPagi, Nona,â sapa Galen tanpa menoleh, suaranya terdengar santai namun mengandung nada menggoda. Nayya mendengus pelan, mencoba terlihat tidak peduli. âIni masih pagi Galen! Jangan membuatku kesal!"Galen menoleh, matanya yang tajam langsung menangkap wajah Nayya yang berusaha keras terlihat tenang. Ia tersenyum kecil sambil menyerahkan cangkir kopi ke arah Nayya. âMungkin kopi ini bisa membantu meredakan emosi Anda.âNayya hanya menatap kopi yang berada di tangan Galen dan berkata, "Taruh aja di meja sana. Aku masih ada urusan.""Nona mau pergi?" tanya Galen saat menyadari jika Bosnya itu sudah berpenampilan rapi. Bahkan Nayya juga sudah siap dengan tas jinjing kecil dan laptop di kedua tangannya."Aku
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi bagi Cintya, rasanya seperti putaran waktu yang berhenti. Semua emosi menumpuk: rindu, amarah, cinta, juga rasa bimbang.Saat bibir Liam masih menempel di bibirnya, ada satu sisi dalam dirinya yang ingin larut sepenuhnyaâĶ tapi sisi lain menjerit untuk menyadarkannya.Dengan cepat, Cintya menarik diri. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gelombang perasaan yang membuncah.âLiam...âLiam menatapnya, matanya masih menyimpan hasrat dan harapan. âAku tau kamu juga menginginkannya."Cintya menatap lantai, suaranya nyaris berbisik. âI- itu gak bener.""Sampai kapan kamu mau berbohong?""Liam... akuâ"Untuk kedua kalinya, bibir Cintya kembali di bungkam. Tapi kali ini bukan hanya sekedar ciuman saja. Liam dengan berani mengendus leher perempuan itu."Ahh..." Cintya mendesah akibat gigitan Liam. Belum lagi pijatan pria itu di salah satu gunung kembarnya, membuat seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa."Liam... Jangan...""Ssst..." Lia
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.âAku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.âCintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan ituâia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.âCukup Liam! Cukup!â gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.âHalo?âDari seberang, terdenga
"Liam..."Merasa namanya dipanggil, Liam pun menoleh ke sumber suara. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut wajah tenang namun sorot matanya tajam penuh kekhawatiran. Widuriâibunyaâmenatapnya tanpa senyum."Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya, lembut tapi jelas.Liam berdiri, sedikit gugup. "Tentu aja Ma."Mereka berjalan dalam diam menuju ruangan sebelah. Begitu sampai di sana, Widuri langsung menatap putranya tanpa basa-basi.âKamu yakin sama keputusan ini, Liam?âLiam menghela napas, lalu duduk. "Kalau Mama maksud soal pernikahan... ya, aku udah yakin."Widuri tetap berdiri, menyilangkan tangan. âLiam, dia itu umurnya masih jauh di bawah kamu. Belum lagi dia sebatang kara, keluarganya gak jelas kayak gimana. Kalau kamu ngerasa bertanggungjawab sama Nayya, kamu kan gak wajib buat nikahin dia. Kamu masih bisa melakukan hal lain."Pernyataan sang Mama, itu membuat Liam terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, âMa, Nayya gak punya siapa-siapa selain aku
"Kalau aku harus ngertiin kamu terus, gimana sama aku, hah?!"Pertengkaran makin memanas. Nafas Cintya memburu, matanya memerah menahan air mata yang ingin pecah. Liam berdiri di hadapannya, masih mencoba menahan semua emosi yang menggelegak dalam dadanya.âJawab aku, Liam!â bentak Cintya tiba-tiba. âKamu bilang semua ini karena tanggung jawab, dan rasa bersalah kamu ke Nayya. Terus aku gimana? Apa kamu gak ngerasa bersalah padaku? Apa kamu gak kasian sama aku?"Liam terhenyak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya menegang.Cintya melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kamu lupa sama impian kita dulu? Kita akan menikah setelah dapat pekerjaan baik, bangun rumah tangga harmonis, hidup bahagia sampai tua. Apa kamu lupa impian kita itu?""Tapi Nayya sebatang kara, Cintya. Kasian dia. Tohâ pernikahan ini hanya sementara. Aku akan segera ceraikan dia setelah Nayya bisa hidup mapan."Cintya menatap Liam dengan wajah hancur, air matanya mulai jatuh satu per satu. Ia me
"Kamu gak bohong kan?" tanya Nayya dengan mata berkaca-kaca. Seolah ia menaruh banyak harapan pada pria di depannya.Liam menghela napas panjang, lalu menarik Nayya ke dalam pelukannya. Gadis itu diam, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman."Aku gak bohong, Nayya," bisik Liam dengan suara lirih. "Aku udah janji sama Tante DewiâĶ aku bakal jagain kamu, sampai kapanpun."Nayya terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Pelukan Liam terasa begitu tulus, dan untuk sesaat, ia merasa semua luka bisa perlahan disembuhkan."Aku takut kehilangan lagi, Liam," gumamnya. "Tante Dewi satu-satunya keluarga yang aku punyaâĶ dan sekarang aku cuma punya kamu."Liam merapatkan pelukannya, seolah tak ingin membiarkan Nayya jatuh lagi. "Kamu gak sendiri. Selama aku masih bisa bernapas, kamu gak akan pernah sendiri."Nayya memejamkan mata. Tangisnya akhirnya pecah dalam diam. Ia tahu, kata-kata Liam bukan sekadar janji kosong. Tapi ia
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Diaâ" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadiâ "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis