Nayya melangkah ke ruangannya, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman karena Galen. Begitu pintu tertutup, ia duduk di kursi dan menghela napas panjang. Perempuan itu merasa jengah.Tangannya meraih ponsel di meja. Ia membuka aplikasi pesan dan mencari nama Liam, suaminya. Tidak ada pesan baru. Nayya menggigit bibir bawahnya, perasaan kecewa mulai merayap. Sejak kemarin, Liam hanya mengirim satu pesan untuknya. Itu pun cuma kabar kalau dia sudah sampai di hotel tempatnya menginap."Mas Liam lagi apa ya?""Kenapa dari kemarin gak kirim chat ke aku?""Padahal kemarin janji mau standby kalau lagi gak sibuk. Sekarang dia malah kayak ngilang di telan bumi."Nayya tak berhenti mengeluh. Rasanya kesal sekali karena Liam tidak menepati janjinya."Mending aku chat duluan aja deh."Dengan hati-hati, Nayya mengetik pesan. "Mas, kamu lagi apa? Udah sarapan belum? Dari kemarin kamu gak balas chat aku. Telfonkujuga gak diangkat. Emang sesibuk itu ya di sana?"Dengan sekali ketik, Nayya mengirimk
"Galen... aku mohon... jangan... jangan kayak gini!" Entah sudah berapa kali Nayya merintih, memohon agar lelaki di depannya ini berhenti 'menyiksanya'. Sentuhan Galen membuatnya lemah. Tubuhnya seolah tidak bisa bekerja sama dengan otaknya. Dia hanya bisa menangis ketika Galen membimbingnya ke sofa panjang yang ada di ruangan Nayya tepat setelah dia mendapatkan orgasmenya yang pertama. Tidak berhenti di sana, Galen juga mulai melanjutkan aksinya dengan melucuti gaun Nayya hingga menyisakan dalamannya saja. "Kenapa Nona? Bukannya anda ingin segera punya momongan? Waktu anda juga tidak banyak kan?" "Galen..." Nayya menatap Galen dengan sendu, sementara air matanya menggenang di sudut mata. "berapa kali aku bilang, waktu itu aku mabuk. Aku gak benar-benar minta kamu buat ngelakuin hal konyol itu." Galen mengunci kedua tangan Nayya di atas kepalanya. Sementara kedua lututnya berada di antara kedua paha Nayya yang terbuka. "Kenapa kamu gak mau dengerin ucapanku!! Bukannya kamu
["Nasi goreng sama kopi aja. Jaâ"]Namun, saat Liam akan menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah telepon, disusul suara perempuan yang terdengar samar, namun cukup jelas bagi Nayya."Mas, itu suara apa?" tanya Nayya, nada suaranya berubah, lebih serius.Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, terdengar sedikit gugup. ["Ah, enggak apa-apa, Sayang. Cuma piring jatuh dari meja. Pelayan tadi kayaknya agak ceroboh."] Nayya memicingkan mata, merasa ada yang aneh. "Tapi aku dengar suara perempuan juga, Mas. Itu siapa?"["Perempuan? Itu... pegawai hotel yang ngantar makanannya, Nayya."] Suara Liam terdengar seperti memaksa, mencoba menutup sesuatu. "Mas Liam gak bohong kan?"["Iya sayang. Aku gak bohong."]"Ya udah, aku mau video call."Liam terdiam sejenak setelah mendengar permintaan Nayya. Suaranya terdengar semakin tegang ketika akhirnya menjawab, ["Sayang, di sini sinyalnya agak susah kalau buat video call."]"Tapi aku penasaran siapa yang ada di kama
"Nona, anda kenapa?"Nayya langsung berjengit ketika Galen muncul di depannya secara tak terduga."Anda terluka?""E- enggak!" Nayya menarik tangannya dari wastafel dan menjaga jarak dari sang bodyguard. "Aku gak apa."Nayya pikir Galen adalah bocah TK yang gampang dibohongi. Namun kenyataannya pemuda itu bisa langsung sadar jika ada sesuatu yang terjadi pada majikannya."Nona, Anda terluka." Ia menatap lurus ke arah punggung tangan Nayya yang memerah."Ini cuma luka bakar biasa.""Tunggu sebentar! Saya ambilkan salep.""Enggak uâ"Galen menatapnya tajam, hingga membu Nayya sulit bergeming. Selanjutnya ia hanya memperhatikan pemuda berkemeja putih yang digulung sebatas lengan tersebut sedang mencari sesuatu di kotak P3K."Ini salep luka bakarnya, Nona."Nayya terdiam, memandang Galen yang berdiri di depannya sambil menyodorkan salep. Pandangan pemuda itu tampak tenang, namun ada kekhawatiran tersirat di dalamnya. "Makasih," ujar Nayya sambil meraih salep di tangan pemuda itu."Mau sa
["Maaf ya sayang, aku benar-benar sibuk banget. Klien banyak permintaan jadi aku gak bisa sering-sering telfon kamu."]["Soal kemarin aku juga minta maaf. Aku gak ada maksud buat nolak VC kamu. Di sini beneran gak ada sinyal."]["Tolong jangan khawatir dan terlalu OVT. Aku sayang sama kamu."]Nayya menghela nafas panjang. Ia memeluk lututnya untuk menenangkan diri. "Capek banget ya Tuhan. Gak enak banget cinta sendiri kayak gini."Karena kelelahan, Nayya tertidur di sofa ruang tamu, pelukan di lututnya perlahan melonggar. Wajahnya tampak lesu dalam tidurnya, meski ada jejak air mata dan kecemasan yang masih tersisa. Sebuah selimut tebal tergantung di sandaran sofa, tapi tak disentuh olehnya. Galen muncul dari arah pintu, berniat membuat teh hangat karena di luar hujan sedang lebat. Ia berhenti sejenak ketika melihat Nayya terbaring di sana. Ekspresi datarnya berubah lunak seketika.Ia mendekat perlahan, memastikan langkahnya tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Nayya. Saat be
Pagi itu, sekitar jam delapan, Nayya berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan blus putih dengan rok selutut berwarna krem, sederhana namun anggun. Wajahnya tampak sedikit lebih segar setelah semalaman akhirnya bisa tidur meski di sofa. Namun, ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia harus pergi ke rumah mertuanya, Widuri. Entah apa yang wanita itu ingin bicarakan, tapi Nayya tahu, setiap kali Widuri memanggilnya secara khusus, itu tidak pernah menjadi perbincangan yang menyenangkan."Nona, mobil sudah siap," suara Galen terdengar dari luar pintu."Baik, aku segera keluar," jawab Nayya sambil merapikan tas tangannya.Di perjalanan, Nayya tak banyak bicara. Ia hanya memandangi pemandangan di luar jendela mobil dengan pikiran yang melayang-layang. Galen, seperti biasa, duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi datar, sesekali melirik ke arah kaca spion untuk memastikan majikannya baik-baik saja.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya klas
"Apapun yang kamu katakan, Mama akan tetap membujuk Liam untuk cari istri lagi. Terserah dia mau ceraikan kamu atau menjadikan salah satu perempuan ini sebagai istri keduanya. Mama tidak peduli."Braaak!!Nayya tidak tahan lagi. Ucapan sang mertua begitu melukai hatinya. Dengan penuh emosi menggebrak meja di depannya."Ma, jangan mentang-mentang aku ini sebatang kara dan gak punya orang tua jadi Mama seenaknya sama aku. Aku juga punya hati Ma, aku punya perasaan. Gimana kalau seandainya Mama jadi aku? Apa Mama sanggup diperlakukan seperti ini?"Widuri buang muka. Sama sekali tak menggubris tatapan sayu dan wajah penuh air mata menantunya."Di luar sana, banyak pasangan yang belum punya anak bahkan disaat pernikahan mereka udah masuk belasan tahun. Tapi mereka gak seberisik Mama yang ribut ingin ini dan itu," imbuh Nayya lagi. "Aku dan Mas Liam menikah belum ada 5 tahun tapi Mama udah berencana menggantikanku sama perempuan lainâ Mama benar-benar tega.""Terserah apa yang ingin kamu ka
Malam telah larut ketika Nayya mengumpulkan keberanian untuk menelepon Galen. Tangannya gemetar saat mengetik pesan di ponselnya. "Galen, bisa naik ke kamarku sekarang? Aku butuh bicara."Pesan itu terkirim, dan ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ada balasan dari Galen: ["Baik, Nona. Saya segera ke sana."]Hanya beberapa menit kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu kamar Nayya. Ia menghapus sisa air mata di pipinya sebelum menjawab, "Masuk!"Pintu terbuka, dan Galen melangkah masuk dengan hati-hati. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya lembut, memperhatikan ekspresi muram Nayya. Tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan yang Galen ajukan, Nayya langsung menarik pemuda itu masuk ke kamarnya."Nonâmm..." Galen terbelalak ketika Nayya menciumanya dengan sedikit serampangan.Nayya mendorong dada bidang Galen ke dinding. Gerakan Nayya yang tidak sabaran jelas membuat Galen bingung."N
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi bagi Cintya, rasanya seperti putaran waktu yang berhenti. Semua emosi menumpuk: rindu, amarah, cinta, juga rasa bimbang.Saat bibir Liam masih menempel di bibirnya, ada satu sisi dalam dirinya yang ingin larut sepenuhnyaâĶ tapi sisi lain menjerit untuk menyadarkannya.Dengan cepat, Cintya menarik diri. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gelombang perasaan yang membuncah.âLiam...âLiam menatapnya, matanya masih menyimpan hasrat dan harapan. âAku tau kamu juga menginginkannya."Cintya menatap lantai, suaranya nyaris berbisik. âI- itu gak bener.""Sampai kapan kamu mau berbohong?""Liam... akuâ"Untuk kedua kalinya, bibir Cintya kembali di bungkam. Tapi kali ini bukan hanya sekedar ciuman saja. Liam dengan berani mengendus leher perempuan itu."Ahh..." Cintya mendesah akibat gigitan Liam. Belum lagi pijatan pria itu di salah satu gunung kembarnya, membuat seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa."Liam... Jangan...""Ssst..." Lia
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.âAku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.âCintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan ituâia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.âCukup Liam! Cukup!â gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.âHalo?âDari seberang, terdenga
"Liam..."Merasa namanya dipanggil, Liam pun menoleh ke sumber suara. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut wajah tenang namun sorot matanya tajam penuh kekhawatiran. Widuriâibunyaâmenatapnya tanpa senyum."Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya, lembut tapi jelas.Liam berdiri, sedikit gugup. "Tentu aja Ma."Mereka berjalan dalam diam menuju ruangan sebelah. Begitu sampai di sana, Widuri langsung menatap putranya tanpa basa-basi.âKamu yakin sama keputusan ini, Liam?âLiam menghela napas, lalu duduk. "Kalau Mama maksud soal pernikahan... ya, aku udah yakin."Widuri tetap berdiri, menyilangkan tangan. âLiam, dia itu umurnya masih jauh di bawah kamu. Belum lagi dia sebatang kara, keluarganya gak jelas kayak gimana. Kalau kamu ngerasa bertanggungjawab sama Nayya, kamu kan gak wajib buat nikahin dia. Kamu masih bisa melakukan hal lain."Pernyataan sang Mama, itu membuat Liam terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, âMa, Nayya gak punya siapa-siapa selain aku
"Kalau aku harus ngertiin kamu terus, gimana sama aku, hah?!"Pertengkaran makin memanas. Nafas Cintya memburu, matanya memerah menahan air mata yang ingin pecah. Liam berdiri di hadapannya, masih mencoba menahan semua emosi yang menggelegak dalam dadanya.âJawab aku, Liam!â bentak Cintya tiba-tiba. âKamu bilang semua ini karena tanggung jawab, dan rasa bersalah kamu ke Nayya. Terus aku gimana? Apa kamu gak ngerasa bersalah padaku? Apa kamu gak kasian sama aku?"Liam terhenyak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya menegang.Cintya melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kamu lupa sama impian kita dulu? Kita akan menikah setelah dapat pekerjaan baik, bangun rumah tangga harmonis, hidup bahagia sampai tua. Apa kamu lupa impian kita itu?""Tapi Nayya sebatang kara, Cintya. Kasian dia. Tohâ pernikahan ini hanya sementara. Aku akan segera ceraikan dia setelah Nayya bisa hidup mapan."Cintya menatap Liam dengan wajah hancur, air matanya mulai jatuh satu per satu. Ia me
"Kamu gak bohong kan?" tanya Nayya dengan mata berkaca-kaca. Seolah ia menaruh banyak harapan pada pria di depannya.Liam menghela napas panjang, lalu menarik Nayya ke dalam pelukannya. Gadis itu diam, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman."Aku gak bohong, Nayya," bisik Liam dengan suara lirih. "Aku udah janji sama Tante DewiâĶ aku bakal jagain kamu, sampai kapanpun."Nayya terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. Pelukan Liam terasa begitu tulus, dan untuk sesaat, ia merasa semua luka bisa perlahan disembuhkan."Aku takut kehilangan lagi, Liam," gumamnya. "Tante Dewi satu-satunya keluarga yang aku punyaâĶ dan sekarang aku cuma punya kamu."Liam merapatkan pelukannya, seolah tak ingin membiarkan Nayya jatuh lagi. "Kamu gak sendiri. Selama aku masih bisa bernapas, kamu gak akan pernah sendiri."Nayya memejamkan mata. Tangisnya akhirnya pecah dalam diam. Ia tahu, kata-kata Liam bukan sekadar janji kosong. Tapi ia
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Diaâ" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadiâ "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis