"Imbalan buat saya mana, Nona?""Imbalan?" Nayya mengernyit, memiringkan kepala, menatap Galen dengan tatapan tidak percaya. "Nanti ya, pas akhir bulan,” balasnya sambil melipat tangan di dada.Galen menyeka tangannya dengan lap kering, langkahnya santai mendekati meja. “Jangan pura-pura tidak mengerti maksud saya, Nona." Pemuda itu mendekat ke arah Nayya. Langkahnya pelan tapi konstan.Sebaliknya, Nayya mundur selangkah, mendengus kecil. “Ngapain kamu? Stop! Jangan deket-deket aku!"Tapi Galen tetap mendekat. Langkahnya pelan, penuh percaya diri. Tatapan matanya terfokus pada Nayya, seperti sedang menikmati bagaimana ia membuat perempuan itu gelisah. “Kenapa, Nona? Takut?” katanya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum jahil. "Padahal imbalannya cukup mudah."Nayya menyipitkan matanya, mencoba terlihat tidak peduli, meskipun jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia tahu betul apa yang dimaksud sang bodyguard, tapi Nayya lebih memilih untuk pura-pura bodoh."Jangan aneh-aneh
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia turun ke dapur untuk sarapan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Galen sudah berdiri di sana, menyeduh kopi dengan santai, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi malam sebelumnya.“Pagi, Nona,” sapa Galen tanpa menoleh, suaranya terdengar santai namun mengandung nada menggoda. Nayya mendengus pelan, mencoba terlihat tidak peduli. “Ini masih pagi Galen! Jangan membuatku kesal!"Galen menoleh, matanya yang tajam langsung menangkap wajah Nayya yang berusaha keras terlihat tenang. Ia tersenyum kecil sambil menyerahkan cangkir kopi ke arah Nayya. “Mungkin kopi ini bisa membantu meredakan emosi Anda.”Nayya hanya menatap kopi yang berada di tangan Galen dan berkata, "Taruh aja di meja sana. Aku masih ada urusan.""Nona mau pergi?" tanya Galen saat menyadari jika Bosnya itu sudah berpenampilan rapi. Bahkan Nayya juga sudah siap dengan tas jinjing kecil dan laptop di kedua tangannya."Aku
Nayya melangkah ke ruangannya, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman karena Galen. Begitu pintu tertutup, ia duduk di kursi dan menghela napas panjang. Perempuan itu merasa jengah.Tangannya meraih ponsel di meja. Ia membuka aplikasi pesan dan mencari nama Liam, suaminya. Tidak ada pesan baru. Nayya menggigit bibir bawahnya, perasaan kecewa mulai merayap. Sejak kemarin, Liam hanya mengirim satu pesan untuknya. Itu pun cuma kabar kalau dia sudah sampai di hotel tempatnya menginap."Mas Liam lagi apa ya?""Kenapa dari kemarin gak kirim chat ke aku?""Padahal kemarin janji mau standby kalau lagi gak sibuk. Sekarang dia malah kayak ngilang di telan bumi."Nayya tak berhenti mengeluh. Rasanya kesal sekali karena Liam tidak menepati janjinya."Mending aku chat duluan aja deh."Dengan hati-hati, Nayya mengetik pesan. "Mas, kamu lagi apa? Udah sarapan belum? Dari kemarin kamu gak balas chat aku. Telfonkujuga gak diangkat. Emang sesibuk itu ya di sana?"Dengan sekali ketik, Nayya mengirimk
"Galen... aku mohon... jangan... jangan kayak gini!" Entah sudah berapa kali Nayya merintih, memohon agar lelaki di depannya ini berhenti 'menyiksanya'. Sentuhan Galen membuatnya lemah. Tubuhnya seolah tidak bisa bekerja sama dengan otaknya. Dia hanya bisa menangis ketika Galen membimbingnya ke sofa panjang yang ada di ruangan Nayya tepat setelah dia mendapatkan orgasmenya yang pertama. Tidak berhenti di sana, Galen juga mulai melanjutkan aksinya dengan melucuti gaun Nayya hingga menyisakan dalamannya saja. "Kenapa Nona? Bukannya anda ingin segera punya momongan? Waktu anda juga tidak banyak kan?" "Galen..." Nayya menatap Galen dengan sendu, sementara air matanya menggenang di sudut mata. "berapa kali aku bilang, waktu itu aku mabuk. Aku gak benar-benar minta kamu buat ngelakuin hal konyol itu." Galen mengunci kedua tangan Nayya di atas kepalanya. Sementara kedua lututnya berada di antara kedua paha Nayya yang terbuka. "Kenapa kamu gak mau dengerin ucapanku!! Bukannya kamu
["Nasi goreng sama kopi aja. Ja—"]Namun, saat Liam akan menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah telepon, disusul suara perempuan yang terdengar samar, namun cukup jelas bagi Nayya."Mas, itu suara apa?" tanya Nayya, nada suaranya berubah, lebih serius.Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, terdengar sedikit gugup. ["Ah, enggak apa-apa, Sayang. Cuma piring jatuh dari meja. Pelayan tadi kayaknya agak ceroboh."] Nayya memicingkan mata, merasa ada yang aneh. "Tapi aku dengar suara perempuan juga, Mas. Itu siapa?"["Perempuan? Itu... pegawai hotel yang ngantar makanannya, Nayya."] Suara Liam terdengar seperti memaksa, mencoba menutup sesuatu. "Mas Liam gak bohong kan?"["Iya sayang. Aku gak bohong."]"Ya udah, aku mau video call."Liam terdiam sejenak setelah mendengar permintaan Nayya. Suaranya terdengar semakin tegang ketika akhirnya menjawab, ["Sayang, di sini sinyalnya agak susah kalau buat video call."]"Tapi aku penasaran siapa yang ada di kama
"Nona, anda kenapa?"Nayya langsung berjengit ketika Galen muncul di depannya secara tak terduga."Anda terluka?""E- enggak!" Nayya menarik tangannya dari wastafel dan menjaga jarak dari sang bodyguard. "Aku gak apa."Nayya pikir Galen adalah bocah TK yang gampang dibohongi. Namun kenyataannya pemuda itu bisa langsung sadar jika ada sesuatu yang terjadi pada majikannya."Nona, Anda terluka." Ia menatap lurus ke arah punggung tangan Nayya yang memerah."Ini cuma luka bakar biasa.""Tunggu sebentar! Saya ambilkan salep.""Enggak u—"Galen menatapnya tajam, hingga membu Nayya sulit bergeming. Selanjutnya ia hanya memperhatikan pemuda berkemeja putih yang digulung sebatas lengan tersebut sedang mencari sesuatu di kotak P3K."Ini salep luka bakarnya, Nona."Nayya terdiam, memandang Galen yang berdiri di depannya sambil menyodorkan salep. Pandangan pemuda itu tampak tenang, namun ada kekhawatiran tersirat di dalamnya. "Makasih," ujar Nayya sambil meraih salep di tangan pemuda itu."Mau sa
["Maaf ya sayang, aku benar-benar sibuk banget. Klien banyak permintaan jadi aku gak bisa sering-sering telfon kamu."]["Soal kemarin aku juga minta maaf. Aku gak ada maksud buat nolak VC kamu. Di sini beneran gak ada sinyal."]["Tolong jangan khawatir dan terlalu OVT. Aku sayang sama kamu."]Nayya menghela nafas panjang. Ia memeluk lututnya untuk menenangkan diri. "Capek banget ya Tuhan. Gak enak banget cinta sendiri kayak gini."Karena kelelahan, Nayya tertidur di sofa ruang tamu, pelukan di lututnya perlahan melonggar. Wajahnya tampak lesu dalam tidurnya, meski ada jejak air mata dan kecemasan yang masih tersisa. Sebuah selimut tebal tergantung di sandaran sofa, tapi tak disentuh olehnya. Galen muncul dari arah pintu, berniat membuat teh hangat karena di luar hujan sedang lebat. Ia berhenti sejenak ketika melihat Nayya terbaring di sana. Ekspresi datarnya berubah lunak seketika.Ia mendekat perlahan, memastikan langkahnya tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Nayya. Saat be
Pagi itu, sekitar jam delapan, Nayya berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan blus putih dengan rok selutut berwarna krem, sederhana namun anggun. Wajahnya tampak sedikit lebih segar setelah semalaman akhirnya bisa tidur meski di sofa. Namun, ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia harus pergi ke rumah mertuanya, Widuri. Entah apa yang wanita itu ingin bicarakan, tapi Nayya tahu, setiap kali Widuri memanggilnya secara khusus, itu tidak pernah menjadi perbincangan yang menyenangkan."Nona, mobil sudah siap," suara Galen terdengar dari luar pintu."Baik, aku segera keluar," jawab Nayya sambil merapikan tas tangannya.Di perjalanan, Nayya tak banyak bicara. Ia hanya memandangi pemandangan di luar jendela mobil dengan pikiran yang melayang-layang. Galen, seperti biasa, duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi datar, sesekali melirik ke arah kaca spion untuk memastikan majikannya baik-baik saja.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya klas
Nayya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya mulai berair. Ini seperti mimpi. Selama bertahun-tahun ia mencoba, menahan segala rasa sakit—baik secara fisik maupun emosional. Berulang kali ia menghadapi tatapan iba, sindiran, bahkan tuduhan. Dan kini, dokter mengatakan bahwa ia hamil? Liam yang duduk di tepi ranjang masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, kali ini tidak ada lagi pertanyaan atau kecurigaan di wajahnya. Yang ada hanya keterkejutan yang sama seperti yang dialami Nayya. "Kamu beneran... gak bohong?" suara Nayya nyaris bergetar, masih tidak percaya. Liam tersenyum kecil. "Dokter yang bilang, sayang. Aku juga sama kagetnya seperti kamu." Air mata akhirnya jatuh di pipi Nayya. Ia tidak bisa menahannya lagi. Bahagia, lega, dan juga perasaan tidak percaya bercampur menjadi satu. Ia menangis dalam diam, mengingat segala rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Ternyata… selama ini aku tidak mandul," gumamnya di antara isak tangis. "Semua tudu
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni