“Jadi sekarang mereka sudah tau tentang hal ini?" tanya mas Danu.
"Aku memberitahu mereka semalam, bagiku itu lebih baik dari pada mereka tau masalah ini dari orang lain. Lebih baik aku jujur saja kan?" Aku tetap santai dan tenang, meskipun hatiku sudah hancur dan tubuhku rasanya mengawang, tapi aku harus tetap tenang. Karena emosi hanya akan membawaku pada penyesalan nantinya. "Bersikaplah biasa saja, jangan terlalu menonjol agar Gema dan Jesna tidak terlalu membencimu," ucapku yang kemudian berdiri dan menghampiri Mina di dapur. Rupanya Jesna sedang mengawasi Mina memasak. Putriku itu memang gadis yang pemberani dan tangguh. Dia tidak akan membiarkan orang lain bahagia setelah merusak kebahagiaannya. "Sayang ngapain disini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Ngawasin dia masak, Mah. Nanti kalau nggak di awasin pasti ngelunjak males-malesan. Mentang-mentang udah bisa ngerebut hati Papa," jawab putriku sambil melirik sinis kearah Mina. "Masih lama? Sebentar lagi suami saya mau berangkat kerja." Aku sengaja menggunakan kata suamiku agar dia tahu posisinya disini bukanlah siapa-siapa, karena kenyataannya mas Danu masih suamiku dan tetap Papanya anak-anak, meskipun perasaanku pada mas Danu sudah terkikis habis. Aku benar-benar terlampau kecewa. "Sebentar lagi selesai, Bu," jawab Mina tanpa menoleh ke arahku. "Lelet banget, dari tadi aku liatin tapi nggak sadar diri. Dasar pembantu nggak tau terima kasih," ucap Jesna kemudian berlalu pergi meninggalkan kami di dapur. "Kamu lihat kan? Tanpa saya bersusah payah membalas perbuatanmu, Jesna sudah lebih dulu maju untuk membalaskan sakit hatinya pada perempuan yang sudah merebut Papanya," Mina tampak menghentikan aktifitasnya lalu berbalik menatap ke arahku. "Bukan saya yang merebut Bapak dari Ibu, tapi Bapak sendiri yang datang menginginkan saya. Saya bukan perempuan penggoda, Bu," ucap Mina dengan tatapan nyalang ke arahku. "Apa mungkin kamu sampai hamil kalau kamu tidak menggoda suami saya? Saya tidak peduli siapa yang memulai, toh nyatanya kamu menikmati sentuhan suami saya kan? Jangan munafik, Mina. Perutmu menjelaskan segalanya," jawabku santai. Mina hanya memejamkan mata lalu berbalik badan meneruskan aktifitasnya. Aku tau dia pasti sangat marah karena harga dirinya terus saja ku rendahkan. Tapi dia tak punya pilihan lain selain menikah dengan mas Danu. Kalau dia pulang kampung dengan keadaan hamil, pasti akan menjadi aib untuk keluarganya. Dan dalam keadaan hamil begitu, pasti sedikit kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan di luar sana, sedangkan dia butuh uang untuk keluarganya di kampung. "Saya tunggu sarapannya lima belas menit lagi," ucapku sebelum pergi. Aku menghampiri Gema dan Jesna di halaman belakang. Mereka berdua duduk sambil memainkan HP masing-masing. "Masih pagi udah sibuk sama Hp aja anak-anak, Mama. Jangan di biasakan begitu ih, mending olahraga ringan biar seger badannya." Aku mengambil posisi duduk diantar mereka. "Mama nggak papa?" tanya Gema. "Mama baik-baik aja, Sayang. Kalianlah yang membuat Mama kuat," jawabku sambil tersenyum tulus. Biarlah sakit hati ini ku pendam sendiri. Mereka pasti sudah sangat sedih dengan perbuatan Papanya. "Kenapa Mama nggak pisah aja sama Papa? Kita berdua ngerti kok, Ma. Dan kita bakal ikut Mama," ucap Jesna sambil menggenggam tanganku. "Masih ada yang harus Mama perjuangkan, Sayang. Masa depan kalian dan masa tua Mama. Mama harus mengambil apa yang menjadi hak Mama. Gema ingat kan kehidupan kita waktu Gema masih kecil? Kita hidup susah dan serba kekurangan. Sekarang Papamu sudah sukses, dan memiliki segalanya dan itu berkat kerja keras bersama. Kalian paham maksud Mama, kan?" "Paham, Ma," jawab Gema dan Jesna bersamaan. "Gema bakal gantiin tugas Papa buat jagain dan bahagiain Mama. Gema bakal selalu ada buat Mama," ucap Gema sambil merangkul pundakku. "Kalau Jesna bakal balesin sakit hati Mama ke Papa dan juga si pembantu jelek itu. Jesna bakal bikin Papa nyesel karena udah nyakitin Mama. Okey, Ma?" "Jangan begitu sayang, nanti kalau ada apa-apa kamu yang di tuntut loh," kataku memperingati anak bungusku itu. "Tenang aja, Ma. Jesna nggak mungkin menyakiti secara fisik. Palingan Jesna bikin gila ... hahahaahaha," Lalu derai tawa kami memenuhi taman belakang. Sejenak ... beban hati yang ku rasa jadi menghilang. Bersama anakku aku kuat, merekalah yang menjadi obat untuk setiap lara yang tercipta karena penghianatan mas Danu. "Ada apa sih kok kayaknya asik banget?" Entah dari kapan mas Danu berada di dekat kami, tapi sepenggal kalimat yang keluar dari mulut mas Danu mampu membungkam tawa kami dan merubah suasana yang semula bahagia menjadi suram dan mencekam. "Jesna masuk dulu ya, Ma. Mau liat si pembantu jelek itu udah selesai masak apa belum." Jesna beranjak berdiri tanpa menghiraukan kehadiran Papanya. Anak perempuan pasti lebih sakit hati saat mengetahui cinta pertamanya yaitu Papa menghianati keluarganya. Sedangkan Gema kembali sibuk dengan HPnya tanpa mau menjawab pertanyaan Papanya. Sebenarnya aku kasian melihat mas Danu yang seperti di asingkan oleh anak-anaknya. Tapi biarlah ini menjadi hukuman untuk tindakan amoralnya. Kami bertiga terdiam tanpa ada yang mau membuka suara. Gema sibuk dengan HPnya sedangkan aku dan mas Danu sibuk dengan pikiran masing-masing. "Bu, sarapannya sudah siap," panggil Mina dari dalam. Wajahnya nampak kusut dengan keringat yang membanjiri dahi. Dia pasti kualahan memasak hanya dalam waktu tiga puluh menit. Aku berdiri di ikuti oleh Gema menuju meja makan. Aku sengaja tidak mengajak mas Danu, tapi pada akhirnya dia mengekor saja dari belakang. Diatas meja sudah tersaji nasi goreng dengan omelet, buah-buahan segar dan dua gelas teh serta dua gelas susu untuk Gema dan Jesna. Baru sekali suap, Jesna langsung memuntahkan makanannya. "Ih apaan nih? Nasi goreng nggak enak banget. Bisa masak nggak sih?" teriak Jesna kesal. Setelah ku cicipi, rasa nasi goreng ini enak dan normal, tidak seperti yang Jesna bilang. "Minaaaa ...." teriak Jesna memenuhi seisi ruangan. "Iya, Non?" Mina tergopoh menghampiri Jesna di meja makan. "Buatin sandwich aja. Nasi goreng kok asin banget kaya gini, bikin nggak nafsu makan aja," ucap Jesna sambil memandang kesal kearah Mina. "Jesna, bilangnya yang sopan, Sayang. Jangan teriak-teriak gitu dong," mas Danu menyela pembicaraan Jesna. Sekilas kulihat wajah Mina tersenyum samar. Tanpa aba-aba Gema dan Jesna memandang mas Danu dengan tatapan tajam, hingga membuat mas Danu menghela napas berat dan tidak melanjutkan ucapannya. "Saya juga tidak selera sarapan nasi goreng, tolong kamu belikan nasi uduk di gang depan saja." Aku sengaja memintanya membeli nasi uduk padahal hanya akal-akalanku saja. Melihat mas Danu membelanya dan dia tersenyum, membuat hatiku semakin teriris pilu. Biarlah dia tau, seperti apa rasanya hidup serumah dengan orang yang sudah dia rebut kebahagiaannya. Jika dia mengira akan menggantikan posisiku sebagai ratu maka dia salah besar. Aku akan dengan senang hati memberikan mas Danu padanya setelah aku mendapatkan apa yang ku inginkan. Bersambung ....Meskipun dalam keadaan kesal mau tidak mau Mina tetap berangkat untuk membeli nasi uduk. Berulang kali aku melihat Mina mencuri pandang ke arah mas Danu untuk meminta pembelaan, tapi berulang kali juga mas Danu memilih acuh dan melanjutkan sarapannya. Biasanya kami sekeluarga tidak pernah protes dengan hidangan apapun yang disediakan oleh Mina, karena masakannya tergolong enak dan pas untuk lidah kami yang pecinta pedas. Tapi mungkin mulai sekarang Jesna akan mulai rewel dan banyak protes pada Mina mengenai banyak hal, sebagai bentuk balas dendamnya pada Mina. "Papa berangkat ya, Ma," pamit mas Danu. Dia hendak mencium keningku, tapi aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. "Ma ... sekali saja," pinta mas Danu dengan wajah memelas. Mencium kening sudah seperti ritual kami saat mas Danu akan berangkat kerja. Tapi kali ini rasanya aku jijik ketika mengingat bibir itu telah dia gunakan untuk mencium wanita lai
"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat. "Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh dengank
"Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
“Min, kalau di rumah tolong pakaiannya lebih sopan, ya. Di rumah kan ada Bapak sama mas Gema, kurang pantas kalau kamu pakai baju seperti itu," ujarku menegur Mina, asisten rumah tangga yang baru bekerja di rumahku dua bulan belakangan.Ada gurat tidak suka dalam ekspresinya, tapi dengan cepat dia menutupinya dengan senyum dan anggukan sopan. Bukan tanpa alasan aku menegurnya seperti ini, baju yang di kenakan Mina sangat ketat, ada kancing yang terbuka di bagian atas, hingga saat dia sedikit menunduk membuat buah dadanya terlihat dengan leluasa. Beberapa kali aku memergoki Gema, anak sulungku mencuri pandang pada Mina. Usia mereka memang tidak beda jauh, Gema 21 tahun sedangkan Mina 26 tahun. Tidak bisa di pungkiri, tubuh ARTku itu memang padat berisi, sehingga menonjolkan beberapa bagian tubuhnya yang membuat mata laki-laki akan langsung menatap takjub pada kemolekannya. Tapi sebenarnya hal itu bisa diakali kalau saja Mina mengenakan baju yang lebih longgar
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, hingga mataku tertuju pada keranjang baju kotor disudut kamar, ada celana dalam laki-laki berwarna cokelat ... Celana dalam itu .... Dadaku bergemuruh hebat. "Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Mina," gumamku pelan. Segera aku memungut celana dalam itu sebagai barang bukti. Kurang ajar sekali dia ... padahal aku sudah berbaik hati memperbolehkannya bekerja disini untuk biaya berobat ibunya di kampung. Tapi rupanya kebaikanku di balas air tuba olehnya. Celana dalam ini masih wangi parfum loundry, yang artinya celana dalam ini masih bersih. Tapi entah mengapa Mina malah menyimpannya di keranjang baju kotor. Apakah Mina tidak sengaja membawa celana dalam ini ke kamarnya? Atau dia memang membawanya dengan sengaja? Ku lanjutkan menggeledah beberapa barang di kamarnya, tong sampah yang semula penuh rupanya sudah dibuang oleh Mina. Cih ... sepertinya dia menyadari ad
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
"Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat. "Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh dengank
Meskipun dalam keadaan kesal mau tidak mau Mina tetap berangkat untuk membeli nasi uduk. Berulang kali aku melihat Mina mencuri pandang ke arah mas Danu untuk meminta pembelaan, tapi berulang kali juga mas Danu memilih acuh dan melanjutkan sarapannya. Biasanya kami sekeluarga tidak pernah protes dengan hidangan apapun yang disediakan oleh Mina, karena masakannya tergolong enak dan pas untuk lidah kami yang pecinta pedas. Tapi mungkin mulai sekarang Jesna akan mulai rewel dan banyak protes pada Mina mengenai banyak hal, sebagai bentuk balas dendamnya pada Mina. "Papa berangkat ya, Ma," pamit mas Danu. Dia hendak mencium keningku, tapi aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. "Ma ... sekali saja," pinta mas Danu dengan wajah memelas. Mencium kening sudah seperti ritual kami saat mas Danu akan berangkat kerja. Tapi kali ini rasanya aku jijik ketika mengingat bibir itu telah dia gunakan untuk mencium wanita lai
“Jadi sekarang mereka sudah tau tentang hal ini?" tanya mas Danu. "Aku memberitahu mereka semalam, bagiku itu lebih baik dari pada mereka tau masalah ini dari orang lain. Lebih baik aku jujur saja kan?" Aku tetap santai dan tenang, meskipun hatiku sudah hancur dan tubuhku rasanya mengawang, tapi aku harus tetap tenang. Karena emosi hanya akan membawaku pada penyesalan nantinya."Bersikaplah biasa saja, jangan terlalu menonjol agar Gema dan Jesna tidak terlalu membencimu," ucapku yang kemudian berdiri dan menghampiri Mina di dapur. Rupanya Jesna sedang mengawasi Mina memasak. Putriku itu memang gadis yang pemberani dan tangguh. Dia tidak akan membiarkan orang lain bahagia setelah merusak kebahagiaannya."Sayang ngapain disini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Ngawasin dia masak, Mah. Nanti kalau nggak di awasin pasti ngelunjak males-malesan. Mentang-mentang udah bisa ngerebut hati Papa," jawab putriku sambil melirik sinis kearah Min
Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Di dalam kamar aku hanya diam sambil mengamati sekeliling ruangan. Entah mengapa, aku tidak bisa menangis, meskipun sakit yang kurasakan rasanya hampir mencekik, tapi setetespun tidak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu marah hingga rasanya enggan menangisi penghianatan mas Danu, yang ada hanyalah rasa dendam dan kecewa. "Laila ...." panggil mas Danu dari balik pintu. "Bisa bicara sebentar?""Masuklah," "Mama yakin dengan keputusan Mama? Mama ikhlas Papa menikahi Mina?" tanya mas Danu dengan raut wajah sendu. Mas Danu menggenggam tangaku erat dan menatap mataku nanar."Iya, aku yakin!""Pikirkan lagi, Ma. Kalau Papa menikahi Mina anak-anak bagaimana?" "Kenapa baru sekarang mempertanya
"Ternyata kamu mengulanginya lagi, Mas," ucapku dengan tatapan dingin ke arah mas Danu. "Sayang ini cuma salah paham. Papa bisa jelasin semuanya." Mas Danu berusaha mendekat dan meraih tanganku tapi dengan cepat aku menepisnya. "Lima belas tahun lalu aku memaafkanmu dan memberimu kesempatan demi anak-anak, tapi ternyata ini balasanmu, Mas? Apa harta membuatmu silau dan berfikir bisa memiliki semua yang kamu inginkan termasuk wanita? Sekarang aku mau Mas mengatakan yang sebenanya. Jangan ada yang di tutup-tutupi lagi," ucapku dengan tenang, meskipun hatiku sakit bak teriris sembilu tapi aku harus kuat dan tidak boleh gegabah. Ada anak-anak yang harus ku jaga perasaannya. Bagiku percuma menghabiskan energi untuk memaki kedua manusia tak beradab di hadapanku ini, toh tidak akan merubah kenyataan bahwa mas Danu sudah menghianatiku untuk yang kedua kalinya. "Jelaskan, Mas! Sejak kapan kalian berhubungan seperti ini. Jangan diam saja seperti pengecu