"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat.
"Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh denganku? He?" teriak Mina dengan air mata bercucuran. Dasar perempuan tidak tau malu, dia yang bersalah tapi malah playing victim. 'Plaaakk ....' "Jaga mulutmu! Aku tidak peduli meskipun kamu hamil sepuluh anak dari Danu, selagi posisimu sebagi 'gundik', kamu tetap kotor di mataku. Dan ingat satu hal, jangan samakan anak yang ada dalam perutmu dengan Jesna, karena selamanya anakmu tak akan pernah ku anggap sebagai keluarga! Malang nian nasib anakmu ... harus menanggung dosa dari perbuatan kotor orang tuanya. Cih!" Kak Ica menampar pipi Mina dengan keras, hingga bekas merah tergambar jelas di pipinya. Tak sampai situ saja, kak Ica juga menghujani Mina dengan berbagai cacian dan hinaan. Setelah mendapat berbagai macam sindiran dari kak Ica dan juga Jesna, akhirnya Mina memilih pergi kebelakang sambil menangis. Pasti dia sangat marah karena harga dirinya sudah diinjak-injak sedari tadi. Tapi ... apa dia masih punya harga diri setelah mau di tiduri laki-laki yang bukan suaminya? "Mama yang kuat yah, ada Jesna dan tante Ica yang bakal selalu ada buat Mama. Jesna janji bakal buat hidup Mina nggak tenang di rumah ini," ucap Jesna sambil bergelayut manja di tanganku. "Kamu jangan mau kalah, Ila. Tunjukkan kalau kamulah Nyonya di rumah ini, jangan biarkan kehamilannya mengintimidasimu. Kamu harus tegas," "Iyaa, Kak. Toh kalian juga selalu ada untuk melindungiku kan? Buktinya tanpa aku bicara sepatah katapun Mina sudah lari tunggang langgang mendengar omongan pedas kalian berdua ... hahahahaa. Apalagi kalau aku yang bicara? Bisa berabe deh. Makanya aku yang main cantik aja ... yang bar-bar kan spesialis kalian berdua. Klop banget deh pokonya," jawabku sambil mengacungkan dua jempol. "Kamu pasang cctv di setiap sudut rumah, jangan kasih celah buat dia berbuat macam-macam. Takut dia mencelakai kamu dan anak-anak, pokonya kamu harus waspada, karena manusia bisa berubah kapan saja," titah kak Ica sambil mengelus tanganku. Kami sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Kami sering ngambek-ngambekan seperti anak kecil, tapi tak sampai seminggu sudah berbaikan lagi. Kak Ica selalu ada saat aku membutuhkan, begitupun sebaliknya. Mas Danu tiga bersaudara, kak Ica anak pertama, yang kedua mas Danu, dan yang bungsu Rumi. Sama halnya dengan kak Ica, hubunganku dengan Rumi juga dekat sekali ... hanya saja akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena Rumi masih punya bayi yang berumur dua bulan. "Rumi tau tentang hal ini, Kak?" "Ya jelas dong ... mana mungkin Kakak nggak ngabarin dia. Belum aja si Mina ketemu Rumi yang mulutnya lebih pedes ... bisa di babat habis dia. Hahahaha ...." Tawa kami menggelegar memenuhi ruang tamu. Pasti di belakang Mina sedang merutuki nasib buruk yang berpihak manis padanya. Berharap dapat kehidupan yang lebih baik, nyatanya neraka dunialah yang di dapat. "Tau sendiri kan si Rumi gimana? Dia kan yang paling galak diantara kami bertiga. Si Danu aja sampe nggak berkutik kalau udah Rumi yang ngomong ... nyelekit soalnya," ucap kak Ica sambil tertawa renyah. "Respon Rumi gimana, Kak?" "Waahhh ... ngamuk dia. Tungguin aja, paling nanti Danu pulang kerja cerita kalau abis di maki-maki rumi lewat telpon. Sebenernya tadi dia mau ikut kesini, tapi bayinya lagi rewel katanya. Padahal Kakak udah nggak sabar pengen nonton si Rumi ngelabrak ulet bulu," jawab kak Ica masih dengan tawa yang tak henti-henti. "Jesna kebelakang ya, Ma. Mau ngeliat si ulet bulu lagi ngapain." Jesna mengecup pipiku lalu dengan riangnya dia melangkah ke belakang. "Kakak minta maaf atas nama Danu dan keluarga besar Kakak ya, La. Dulu Kakak kira dia bakal berubah setelah kejadian lima belas tahun lalu, tapi ternyata Kakak salah," ucap Kak Ica sambil memandangku dengan mata berkaca-kaca. "Tenang aja, Kak. Aku sudah ikhlas kok, mungkin memang sudah jalannya hubunganku dengan mas Danu seperti ini." Meskipun perih, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum di hadapan kak Ica. * Sore menjelang, kak Ica masih berada di rumah untuk menunggu mas Danu pulang. Seharian ini Mina dikerjai habis-habisan oleh kak Ica dan Jesna. Ada saja ulah mereka berdua untuk membuat Mina merasa kesal dan tidak istirahat seharian. "Minaaaa ... Minaaa ... buruan sini!" teriak kak Ica dari teras depan. Aku baru saja keluar kamar setelah selesai mandi dan sholat asar. "Kamu cabutin tuh rumput di taman depan biar enak di liat. Jangan males-malesan kamu dirumah ... enak aja mau makan gaji buta," ucap kak Ica ketus. "Ada apa sih, Kak? Nanti darah tinggi loh kalau marah-marah terus," jawabku dari arah belakang. Kak Ica langsung menoleh dan menyuruhku duduk di sampingnya. "Ini Kakak suruh dia buat nyabutin rumput. Sayang kan dari pada dia diem aja mending suruh nyabutin rumput," "Besok pagi aja ya, Kak. Soalnya saya sudah mandi, nanti kotor lagi," jawab Mina. "Heh! Tugas kamu itu nurut sama apa yang disuruh majikan. Lagian mau kamu mandi seratus kalipun badanmu tetap kotor karena sudah pernah di jamah laki-laki yang bukan suamimu!" Kak Ica membentak Mina sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. 'Plaaakk ....' Mina menampar pipi kak Ica dengan keras. Aku yang hendak membalasnya langsung terhenti saat mendengar teriakan mas Danu. "Minaaaa ...." "M-mas Danu?" Wajah Mina nampak pucat pasi, dia memandang tangan bekas menampar kak Ica dan mas Danu secara bergantian. "Ini salah faham, Mas. Ini nggak seperti yang Mas bayangkan," ucap Mina sambil berusaha mendekati mas Danu. "Stop! Kamu tau dia siapa?" tanya mas Danu menunjuk kak Ica yang sedang berakting menangis seolah-oleh dia benar teraniaya. Akupun mengikuti alur permainan dengan berusaha menenangkan kak Ica. "T-tau, Mas," jawab Mina gugup. "Kamu tau Mina? Seumur-umur Laila menikah denganku, belum pernah sekalipun aku melihat Laila menampar kak Ica. Sedangkan kamu? Kamu bahkan belum jadi bagian dari keluarga ini, tapi tanganmu sudah dengan lancangnya menampar kak Ica. Perempuan macam apa kamu, he?" Mas Danu berteriak dengan begitu murkanya. Mas Danu memang sangat menyayangi kak Ica dan Rumi, semenjak Bapak dan Ibu mertua sudah meninggal, mas Danu sebagai anak laki-laki merasa bertanggung jawab pada kak Ica dan Rumi meskipun keduanya sudah bersuami. "Mas ... dengarkan penjelasanku dulu. Aku nggak bermaksud buat nampar kak Ica. Aku nggak sengaja, Mas." Mina masih dengan gigihnya mencoba membela diri. "Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. Bersambung ...."Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
“Min, kalau di rumah tolong pakaiannya lebih sopan, ya. Di rumah kan ada Bapak sama mas Gema, kurang pantas kalau kamu pakai baju seperti itu," ujarku menegur Mina, asisten rumah tangga yang baru bekerja di rumahku dua bulan belakangan.Ada gurat tidak suka dalam ekspresinya, tapi dengan cepat dia menutupinya dengan senyum dan anggukan sopan. Bukan tanpa alasan aku menegurnya seperti ini, baju yang di kenakan Mina sangat ketat, ada kancing yang terbuka di bagian atas, hingga saat dia sedikit menunduk membuat buah dadanya terlihat dengan leluasa. Beberapa kali aku memergoki Gema, anak sulungku mencuri pandang pada Mina. Usia mereka memang tidak beda jauh, Gema 21 tahun sedangkan Mina 26 tahun. Tidak bisa di pungkiri, tubuh ARTku itu memang padat berisi, sehingga menonjolkan beberapa bagian tubuhnya yang membuat mata laki-laki akan langsung menatap takjub pada kemolekannya. Tapi sebenarnya hal itu bisa diakali kalau saja Mina mengenakan baju yang lebih longgar
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, hingga mataku tertuju pada keranjang baju kotor disudut kamar, ada celana dalam laki-laki berwarna cokelat ... Celana dalam itu .... Dadaku bergemuruh hebat. "Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Mina," gumamku pelan. Segera aku memungut celana dalam itu sebagai barang bukti. Kurang ajar sekali dia ... padahal aku sudah berbaik hati memperbolehkannya bekerja disini untuk biaya berobat ibunya di kampung. Tapi rupanya kebaikanku di balas air tuba olehnya. Celana dalam ini masih wangi parfum loundry, yang artinya celana dalam ini masih bersih. Tapi entah mengapa Mina malah menyimpannya di keranjang baju kotor. Apakah Mina tidak sengaja membawa celana dalam ini ke kamarnya? Atau dia memang membawanya dengan sengaja? Ku lanjutkan menggeledah beberapa barang di kamarnya, tong sampah yang semula penuh rupanya sudah dibuang oleh Mina. Cih ... sepertinya dia menyadari ad
"Ternyata kamu mengulanginya lagi, Mas," ucapku dengan tatapan dingin ke arah mas Danu. "Sayang ini cuma salah paham. Papa bisa jelasin semuanya." Mas Danu berusaha mendekat dan meraih tanganku tapi dengan cepat aku menepisnya. "Lima belas tahun lalu aku memaafkanmu dan memberimu kesempatan demi anak-anak, tapi ternyata ini balasanmu, Mas? Apa harta membuatmu silau dan berfikir bisa memiliki semua yang kamu inginkan termasuk wanita? Sekarang aku mau Mas mengatakan yang sebenanya. Jangan ada yang di tutup-tutupi lagi," ucapku dengan tenang, meskipun hatiku sakit bak teriris sembilu tapi aku harus kuat dan tidak boleh gegabah. Ada anak-anak yang harus ku jaga perasaannya. Bagiku percuma menghabiskan energi untuk memaki kedua manusia tak beradab di hadapanku ini, toh tidak akan merubah kenyataan bahwa mas Danu sudah menghianatiku untuk yang kedua kalinya. "Jelaskan, Mas! Sejak kapan kalian berhubungan seperti ini. Jangan diam saja seperti pengecu
Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Di dalam kamar aku hanya diam sambil mengamati sekeliling ruangan. Entah mengapa, aku tidak bisa menangis, meskipun sakit yang kurasakan rasanya hampir mencekik, tapi setetespun tidak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu marah hingga rasanya enggan menangisi penghianatan mas Danu, yang ada hanyalah rasa dendam dan kecewa. "Laila ...." panggil mas Danu dari balik pintu. "Bisa bicara sebentar?""Masuklah," "Mama yakin dengan keputusan Mama? Mama ikhlas Papa menikahi Mina?" tanya mas Danu dengan raut wajah sendu. Mas Danu menggenggam tangaku erat dan menatap mataku nanar."Iya, aku yakin!""Pikirkan lagi, Ma. Kalau Papa menikahi Mina anak-anak bagaimana?" "Kenapa baru sekarang mempertanya
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
"Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat. "Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh dengank
Meskipun dalam keadaan kesal mau tidak mau Mina tetap berangkat untuk membeli nasi uduk. Berulang kali aku melihat Mina mencuri pandang ke arah mas Danu untuk meminta pembelaan, tapi berulang kali juga mas Danu memilih acuh dan melanjutkan sarapannya. Biasanya kami sekeluarga tidak pernah protes dengan hidangan apapun yang disediakan oleh Mina, karena masakannya tergolong enak dan pas untuk lidah kami yang pecinta pedas. Tapi mungkin mulai sekarang Jesna akan mulai rewel dan banyak protes pada Mina mengenai banyak hal, sebagai bentuk balas dendamnya pada Mina. "Papa berangkat ya, Ma," pamit mas Danu. Dia hendak mencium keningku, tapi aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. "Ma ... sekali saja," pinta mas Danu dengan wajah memelas. Mencium kening sudah seperti ritual kami saat mas Danu akan berangkat kerja. Tapi kali ini rasanya aku jijik ketika mengingat bibir itu telah dia gunakan untuk mencium wanita lai
“Jadi sekarang mereka sudah tau tentang hal ini?" tanya mas Danu. "Aku memberitahu mereka semalam, bagiku itu lebih baik dari pada mereka tau masalah ini dari orang lain. Lebih baik aku jujur saja kan?" Aku tetap santai dan tenang, meskipun hatiku sudah hancur dan tubuhku rasanya mengawang, tapi aku harus tetap tenang. Karena emosi hanya akan membawaku pada penyesalan nantinya."Bersikaplah biasa saja, jangan terlalu menonjol agar Gema dan Jesna tidak terlalu membencimu," ucapku yang kemudian berdiri dan menghampiri Mina di dapur. Rupanya Jesna sedang mengawasi Mina memasak. Putriku itu memang gadis yang pemberani dan tangguh. Dia tidak akan membiarkan orang lain bahagia setelah merusak kebahagiaannya."Sayang ngapain disini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Ngawasin dia masak, Mah. Nanti kalau nggak di awasin pasti ngelunjak males-malesan. Mentang-mentang udah bisa ngerebut hati Papa," jawab putriku sambil melirik sinis kearah Min
Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Di dalam kamar aku hanya diam sambil mengamati sekeliling ruangan. Entah mengapa, aku tidak bisa menangis, meskipun sakit yang kurasakan rasanya hampir mencekik, tapi setetespun tidak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu marah hingga rasanya enggan menangisi penghianatan mas Danu, yang ada hanyalah rasa dendam dan kecewa. "Laila ...." panggil mas Danu dari balik pintu. "Bisa bicara sebentar?""Masuklah," "Mama yakin dengan keputusan Mama? Mama ikhlas Papa menikahi Mina?" tanya mas Danu dengan raut wajah sendu. Mas Danu menggenggam tangaku erat dan menatap mataku nanar."Iya, aku yakin!""Pikirkan lagi, Ma. Kalau Papa menikahi Mina anak-anak bagaimana?" "Kenapa baru sekarang mempertanya
"Ternyata kamu mengulanginya lagi, Mas," ucapku dengan tatapan dingin ke arah mas Danu. "Sayang ini cuma salah paham. Papa bisa jelasin semuanya." Mas Danu berusaha mendekat dan meraih tanganku tapi dengan cepat aku menepisnya. "Lima belas tahun lalu aku memaafkanmu dan memberimu kesempatan demi anak-anak, tapi ternyata ini balasanmu, Mas? Apa harta membuatmu silau dan berfikir bisa memiliki semua yang kamu inginkan termasuk wanita? Sekarang aku mau Mas mengatakan yang sebenanya. Jangan ada yang di tutup-tutupi lagi," ucapku dengan tenang, meskipun hatiku sakit bak teriris sembilu tapi aku harus kuat dan tidak boleh gegabah. Ada anak-anak yang harus ku jaga perasaannya. Bagiku percuma menghabiskan energi untuk memaki kedua manusia tak beradab di hadapanku ini, toh tidak akan merubah kenyataan bahwa mas Danu sudah menghianatiku untuk yang kedua kalinya. "Jelaskan, Mas! Sejak kapan kalian berhubungan seperti ini. Jangan diam saja seperti pengecu