"Ternyata kamu mengulanginya lagi, Mas," ucapku dengan tatapan dingin ke arah mas Danu.
"Sayang ini cuma salah paham. Papa bisa jelasin semuanya." Mas Danu berusaha mendekat dan meraih tanganku tapi dengan cepat aku menepisnya. "Lima belas tahun lalu aku memaafkanmu dan memberimu kesempatan demi anak-anak, tapi ternyata ini balasanmu, Mas? Apa harta membuatmu silau dan berfikir bisa memiliki semua yang kamu inginkan termasuk wanita? Sekarang aku mau Mas mengatakan yang sebenanya. Jangan ada yang di tutup-tutupi lagi," ucapku dengan tenang, meskipun hatiku sakit bak teriris sembilu tapi aku harus kuat dan tidak boleh gegabah. Ada anak-anak yang harus ku jaga perasaannya. Bagiku percuma menghabiskan energi untuk memaki kedua manusia tak beradab di hadapanku ini, toh tidak akan merubah kenyataan bahwa mas Danu sudah menghianatiku untuk yang kedua kalinya. "Jelaskan, Mas! Sejak kapan kalian berhubungan seperti ini. Jangan diam saja seperti pengecut! Kamu laki-laki ... bertanggung jawablah dengan apa yang sudah kamu lakukan," ucapku dengan pelan namun penuh penekanan. "Papa menyayangi Mina, Ma. Kasihan dia jadi tulang punggung keluarganya di kampung, Papa pengen bantu dia," jawab mas Danu sambil menatapku meminta pengampunan. Bak di hantam batu besar, dadaku terasa sesak dan terhimpit. Berpuluh tahun aku menemaninya merintis usaha dari bawah, berpindah kontrakan sana-sini sambil membawa balita, kerja cuci gosok untuk sekedar membantunya memenuhi kebutuhan, tapi inikah balasannya? Inikah balasan dari pengabdianku selama ini? "Kasihan atau nafsu, Mas? Toh dengan aku membawanya kesini dan memberinya pekerjaan bukankah itu sudah lebih dari cukup? Mina masih muda dan sehat, sudah sepantasnya dia bekerja untuk membantu keluarganya. Mas lupa? Bahkan aku dulu bekerja sambil membawa Gema dalam gendongan. Tapi nyatanya aku bisakan?" "Bukan begitu, Sayang. Mas hanya tidak tega melihat Mina kerja banting tulang untuk keluarganya di kampung. Kasihan dia harus menanggung biaya hidup orang tua dan adik-adiknya," "Itu hal yang wajar, Mas. Sebagai anak memang wajib berbakti pada keluarganya! Mas bilang nggak tega sama Mina, tapi Mas tega sama aku dan anak-anak! Aku perempuan yang menemanimu merangkak dari bawah, Mas. Aku yang menyokong usahamu dari belakang! Sedikit banyak kesuksesanmu hari ini adalah berkat doaku setiap malam. Kamu jangan dzolim seperti itu Mas, Istighfar ...." tak habis pikir rasanya. Dasarnya memang penyakit selingkuh itu tidak akan pernah sembuh. Mau di maafkan seribu kalipun kalau dasarnya sudah rusak, hasilnya akan tetap sama. Dengan alasan kasihan lalu mas Danu menghalalkan segala cara untuk membantu Mina, bagiku itu bukan kasihan tapi nafsu. Nafsu laki-laki yang selalu merasa kurang dengan apa yang dia miliki, merasa mampu membeli segalanya dengan uang dan kekuasaan. "Kamu, Mina! Inikah caramu berterimakasih pada saya? Setelah apa yang sudah saya lakukan untukmu, inikah balasannya? Saya mempercayai kamu bekerja disini dengan harapan kamu bisa bekerja dengan baik, dan membantu keluargamu di kampung. Tapi nyatanya kamu menusuk saya dari belakang. Inikah caramu berterima kasih, Mina?" Aku menatap Mina dengan tatapan tajam. Sebisa mungkin aku menahan air mataku agar tidak jatuh di hadapan mereka berdua. Akulah ratunya ... akulah si tuan rumah! Dan aku tidak boleh kalah. "Ampun, Bu. Maafkan saya, Bapak yang menawarkan saya uang untuk berobat Ibu di kampung, dari situlah awal kedekatan kami. Saya bingung, Bu ... awalnya saya tidak berniat menjalin hubungan lebih jauh dengan Bapak. Tapi sekarang saya sedang hamil anak Bapak, Bu," jawab Mina sambil menangis tergugu, dia memegangi perutnya yang masih tampak rata. Mata Mina terlihat sembab akibat menangis sedari tadi. "MINA! JAGA BICARAMU!" Mas Danu membentak Mina dengan keras, dia berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati selingkuhannya itu. "Kecilkan suaramu, Mas. Jangan sampai anak-anak mendengar masalah ini." Aku mendelik menatap mas Danu yang berdiri sambil berkacak pinggang dihadapan Mina. "Saya hamil anak Bapak. Bapak tau sendiri kan Bapak yang pertama kali meniduri saya, malam itu saya masih perawan. Bapak harus tanggung jawab dengan anak yang ada dalam perut saya," sahut Mina sambil menangis tergugu. Matanya memelas menatap mas Danu yang berkacak pinggang dan tak acuh dengan kehamilannya. Aku beristighfar berulang kali untuk meredakan gemuruh amarah yang hampir saja meledak. Jangan sampai aku mempermalukan diriku sendiri, aku perempuan terhormat, dan amarah bukanlah caraku untuk membalas dendam. "Nikahi, Mina. Jangan sampai bayi itu lahir tanpa ayah," ucapku tenang dan pelan. Baik mas Danu maupun Mina, mereka berdua menatapku dengan ekspresi terkejut. "Laila, Sayang ... Tolong dengarkan Papa dulu! Kita kasih Mina uang berapapun yang dia minta dan suruh dia pulang ke kampung. Papa nggak mau nikahin dia, Sayang." Mas Danu meraih tanganku dan menatapku dengan tatapan mengiba. 'Plaaaakkk ....' "Beginikah sifat asli dari laki-laki yang sudah ku nikahi puluhan tahun, Mas? Ternyata kamu tak ubahnya laki-laki pengecut! Kamu lupa? Bayi yang berada dalam perut Mina adalah benihmu, benih yang sengaja kamu tanam sendiri." Aku menunjuk-nunjuk wajah mas Danu dan berucap penuh penekanan. Seumur hidup aku menjadi istrinya, baru kali ini aku berani menampar dan memakinya seperti sekarang. "Segera kabari orang tuamu di kampung, Mina. Kalian harus segera menikah." Akupun berdiri dan melangkah menjauhi mereka. Aku butuh waktu untuk meluapkan sakit dan sesak yang sudah ku tahan sejak tadi. Bayangkan ... akulah perempuan yang sudah menemaninya dari NOL. Kami merantau ke Jakarta tanpa membawa apapun selain baju di dalam tas. Tidur di teras ruko hingga akhirnya bisa menyewa sepetak rumah untuk kami tinggali berdua. Bekerja apapun untuk menyambung hidup dan membeli susu untuk Gema. Aku bahkan tidak malu untuk memulung dan bekerja apa saja untuk membantu mas Danu mencari uang. Tapi apa yang ku dapat? "Aku tidak akan mau menikah dengan Mina, Laila. Dia menjebakku agar menghamilinya dan menggantikan posisimu di rumah ini," sangkal mas Danu dengan cepat. Dia menatap bengis ke arah Mina yang dari tadi hanya menunduk dan menangis. Langkahku terhenti, lalu aku berbalik menatap keduanya. "Siapa bilang dia akan menggantikan posisiku? Dirumah ini akulah si Nyonya. Dan meskipun Mas menikahi Mina, itu tidak akan merubah statusnya sebagai pembantu di rumah ini." Yaa ... tentu saja aku belum mau bercerai. Sakit hatiku harus terbalaskan sebelum aku menggugat cerai mas Danu. Ada masa depan Gema dan Jesna yang harus aku pertimbangkan. Setidaknya aku harus membuat mas Danu dan Mina menyesal karena telah menusukku dari belakang. Bisa jadi kalau aku menggugat mas Danu sekarang, mereka akan hidup bahagia dan leluasa tanpa ada rasa bersalah. Makanya untuk sementara waktu aku harus tetap bertahan untuk mencapai tujuanku. Umurku sudah kepala empat, bukan usia yang mudah untuk mencari pekerjaan di tengah pesaing yang tentunya lebih muda dan lebih menarik dariku. Aku harus memikirkan masa tuaku dan kehidupan anak-anak setelah ini. Aku rasa aku berhak mendapatkannya, karena kesuksesan mas Danu saat ini juga atas kerja keras kami berdua. "Segera urus pernikahan kalian, Mas. Jangan sampai berita ini menyebar dan menjadi aib keluarga. Mumpung perut Mina masih kecil segera nikahi dia." Selesai berucap, aku melenggang pergi menaiki anak tangga menuju kamar Gema dan Jesna. Untung rumah ini berukuran sangat besar. Jadi kecil kemungkina Gema dan Jesna bisa mendengar pertengkaran kami. Aku akan menjeskan masalah ini pelan-pelan kepada anak-anakku. Karena mau tidak mau mereka harus tau yang sebenarnya. Memasuki kamar, aku langsung duduk c pinggir ranjang. Mataku menatap nanar pada bingkai foto di atas nakas, foto itu di ambil tahun lalu saat kami merayakan Anniversary pernikahan yang ke-22. Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Bersambung ....Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Di dalam kamar aku hanya diam sambil mengamati sekeliling ruangan. Entah mengapa, aku tidak bisa menangis, meskipun sakit yang kurasakan rasanya hampir mencekik, tapi setetespun tidak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu marah hingga rasanya enggan menangisi penghianatan mas Danu, yang ada hanyalah rasa dendam dan kecewa. "Laila ...." panggil mas Danu dari balik pintu. "Bisa bicara sebentar?""Masuklah," "Mama yakin dengan keputusan Mama? Mama ikhlas Papa menikahi Mina?" tanya mas Danu dengan raut wajah sendu. Mas Danu menggenggam tangaku erat dan menatap mataku nanar."Iya, aku yakin!""Pikirkan lagi, Ma. Kalau Papa menikahi Mina anak-anak bagaimana?" "Kenapa baru sekarang mempertanya
“Jadi sekarang mereka sudah tau tentang hal ini?" tanya mas Danu. "Aku memberitahu mereka semalam, bagiku itu lebih baik dari pada mereka tau masalah ini dari orang lain. Lebih baik aku jujur saja kan?" Aku tetap santai dan tenang, meskipun hatiku sudah hancur dan tubuhku rasanya mengawang, tapi aku harus tetap tenang. Karena emosi hanya akan membawaku pada penyesalan nantinya."Bersikaplah biasa saja, jangan terlalu menonjol agar Gema dan Jesna tidak terlalu membencimu," ucapku yang kemudian berdiri dan menghampiri Mina di dapur. Rupanya Jesna sedang mengawasi Mina memasak. Putriku itu memang gadis yang pemberani dan tangguh. Dia tidak akan membiarkan orang lain bahagia setelah merusak kebahagiaannya."Sayang ngapain disini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Ngawasin dia masak, Mah. Nanti kalau nggak di awasin pasti ngelunjak males-malesan. Mentang-mentang udah bisa ngerebut hati Papa," jawab putriku sambil melirik sinis kearah Min
Meskipun dalam keadaan kesal mau tidak mau Mina tetap berangkat untuk membeli nasi uduk. Berulang kali aku melihat Mina mencuri pandang ke arah mas Danu untuk meminta pembelaan, tapi berulang kali juga mas Danu memilih acuh dan melanjutkan sarapannya. Biasanya kami sekeluarga tidak pernah protes dengan hidangan apapun yang disediakan oleh Mina, karena masakannya tergolong enak dan pas untuk lidah kami yang pecinta pedas. Tapi mungkin mulai sekarang Jesna akan mulai rewel dan banyak protes pada Mina mengenai banyak hal, sebagai bentuk balas dendamnya pada Mina. "Papa berangkat ya, Ma," pamit mas Danu. Dia hendak mencium keningku, tapi aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. "Ma ... sekali saja," pinta mas Danu dengan wajah memelas. Mencium kening sudah seperti ritual kami saat mas Danu akan berangkat kerja. Tapi kali ini rasanya aku jijik ketika mengingat bibir itu telah dia gunakan untuk mencium wanita lai
"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat. "Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh dengank
"Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
Ini adalah hari pertama tanpa Mina di rumah. Moodku jadi lebih bagus, dan rumah terasa lebih nyaman, tentram, damai, sejuk ... ah intinya rumah jadi kembali seperti dulu. Hanya mas Danu yang masih terlihat kesal karena tadi malam dia harus mengeluarkan uang dua juta untuk membayar kontrakan dan uang makan Mina."Ayolah, Ma, tambahin lagi jatah Papa. Dua juta aja deh nggak usah banyak-banyak," rengek mas Danu sambil mengikutiku kesana kemari. "Uang Mas kan masih delapan juta, itu juga masih banyak," jawabku malas. "Mama ... ayolah!" Rengeknya lagi. "Yaudah nanti aku transfer," jawabku. "Makasih, Sayang. Papa berangkat dulu ya." Mas Danu langsung mengecup pipiku dan berjalan keluar rumah dengan langkah riang seperti anak kecil. Hari ini aku berencana mendatangi kontrakan Mina bersama Rumi. Kebetulan Rumi juga memintaku untuk menemaninya belanja bulanan. Karena dirumah ini sudah tidak ada ART jadi pekerjaan rumah ku handle send
Aku berjalan menuju kamar kak Ica setelah puas mengerjai mas Danu. Sebenarnya aku kasihan, pasti dia merasa tersiksa saat keinginannya sudah di ubun-ubun tapi gagal mencapai klimaks. Ah ... tapi biarlah, apa yang mas Danu dapatkan belum seberapa daripada sakit hatiku ini. Semoga engkau mengampuniku YaAllah .... gumamku dalam hati. "Ngobrolin apa sama Danu?" tanya kak Ica. Lalu mengalirlah cerita kocak sore ini, kami berdua terbahak sampai sakit perut membayangkan ekspresi melas mas Danu. "Pinter ... kamu harus waspada masalah keuangan. Kalau bisa kurangin aja jatah Danu jadi lima juta perbulan biar dia kapok," ucap kak Ica dengan raut wajah grigitan."Kasian lah, Kak. Dia sering ke proyek soalnya, belum lagi buat makan sama klien saat negosiasi kerjaan," "Iya sih ... yaudah yang penting kamu amanin semua aset, termasuk buku nikah juga harus kamu simpan. Kakak takutnya Danu dihasut Mina buat menceraikan kamu. Nanti Kakak bantu buat ngo
POV : MINA Hari ini aku di buat terkejut saat bu Laila masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. Apesnya saat ini aku sedang memegang lingerie yang dibelikan oleh mas Danu dua hari yang lalu, sebagai hadiah karena aku pintar melayaninya. Ah aku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya .... Tentu saja bu Laila langsung menanyakan asal-usul lingerie ini ... huh kepo sekali dia. Akhirnya aku beralasan kalau lingerie ini milik Kakakku di kampung. Meskipun raut wajah bu Laila nampak tidak yakin, tapi akhirnya dia iya-iya saja. Pagi ini dia memintaku pergi belanja ke swalayan biasa, yang membuatku senang bukan kepalang adalah, ternyata belanja kali ini aku diantar mas Danu yang katanya mau bertemu teman. Yaa ... kalian taulah itu cuma alibi. Meskipun weekend, untung saja swalayan yang ku datangi sedang sepi, jadi belanjanya tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar empat puluh lima menit. "Tadi Laila pesan katanya j
"Lihatlah Mina! Betapa suamiku sangat membanggakan aku di depanmu yang bahkan sedang mengandung anaknya. Kamu hanyalah wanita penghibur saat suamiku merasa bosan. Level kita terlalu jauh, Sayang," ucapku dengan tatapan merendahkan. "Maasss ... mana janjimu yang bakal bikin aku bahagia? Aku lagi hamil anak kamu, Mas. Aku butuh dukungan, aku disiksa disini," ucap Mina berderai air mata. Melihat Mina menangis dan memasang wajah sedih membuat mas Danu melunak. Dia menyugar rambutnya kasar, lalu menghela napas berat. "Tolonglah, Mina, jangan buat masalah disini. Siapa yang nyiksa kamu? Jelas-jelas kamu yang dengan entengnya nampar kak Ica," jawab mas Danu melembut."Mas ... aku seharian ini di siksa sama kak Ica dan Jesna. Padahal mereka tau aku lagi hamil, tapi aku nggak di bolehin istirahat. Kalau aku keguguran gimana?" Mina menangis tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Fiuuhhh ... drama sekali perempuan ini!"Ap
"Eh ada Tante Ica ... Kangen banget ih," teriak Jesna dari arah tangga. Jesna berlari dengan girangnya menghampiri Kak Ica lalu mereka berpelukan untuk beberapa saat. "Iya ... Tante juga kangen. Jesna kabar baik, Sayang?" tanya kak Ica lembut. "Baik, Tante. Jesna sehat." Kemudian Jesna mendekati Mina dan merangkul pundaknya. "Ini nih Tante ulat bulu yang Jesna maksud, Tante udah kenalan?" tanya Jesna dengan raut wajah mengejek. "Udah, Jes. Pantes aja kamu panggil ulat bulu, penampilannya aja kaya perempuan nggak bener gini. Ampun deh, Tante. Selera Papamu nggak banget," jawab kak Ica sambil bergidik. Sedangkan aku hanya berdiam diri sambil melipat tangan di depan dada. Pertunjukan ini sangat menyenangkan dan sayang untuk di lewatkan. "Hentikan! Kalian tidak berhak menghinaku. Yang di dalam perut ini juga anak mas Danu ... sama seperti Jesna. Kalau bu Laila bisa jadi istri yang baik, mana mungkin mas Danu selingkuh dengank
Meskipun dalam keadaan kesal mau tidak mau Mina tetap berangkat untuk membeli nasi uduk. Berulang kali aku melihat Mina mencuri pandang ke arah mas Danu untuk meminta pembelaan, tapi berulang kali juga mas Danu memilih acuh dan melanjutkan sarapannya. Biasanya kami sekeluarga tidak pernah protes dengan hidangan apapun yang disediakan oleh Mina, karena masakannya tergolong enak dan pas untuk lidah kami yang pecinta pedas. Tapi mungkin mulai sekarang Jesna akan mulai rewel dan banyak protes pada Mina mengenai banyak hal, sebagai bentuk balas dendamnya pada Mina. "Papa berangkat ya, Ma," pamit mas Danu. Dia hendak mencium keningku, tapi aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. "Ma ... sekali saja," pinta mas Danu dengan wajah memelas. Mencium kening sudah seperti ritual kami saat mas Danu akan berangkat kerja. Tapi kali ini rasanya aku jijik ketika mengingat bibir itu telah dia gunakan untuk mencium wanita lai
“Jadi sekarang mereka sudah tau tentang hal ini?" tanya mas Danu. "Aku memberitahu mereka semalam, bagiku itu lebih baik dari pada mereka tau masalah ini dari orang lain. Lebih baik aku jujur saja kan?" Aku tetap santai dan tenang, meskipun hatiku sudah hancur dan tubuhku rasanya mengawang, tapi aku harus tetap tenang. Karena emosi hanya akan membawaku pada penyesalan nantinya."Bersikaplah biasa saja, jangan terlalu menonjol agar Gema dan Jesna tidak terlalu membencimu," ucapku yang kemudian berdiri dan menghampiri Mina di dapur. Rupanya Jesna sedang mengawasi Mina memasak. Putriku itu memang gadis yang pemberani dan tangguh. Dia tidak akan membiarkan orang lain bahagia setelah merusak kebahagiaannya."Sayang ngapain disini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Ngawasin dia masak, Mah. Nanti kalau nggak di awasin pasti ngelunjak males-malesan. Mentang-mentang udah bisa ngerebut hati Papa," jawab putriku sambil melirik sinis kearah Min
Kami tampak bahagia dan saling mencintai. Tapi dasarnya akulah yang terlalu naif ... mempercayai seseorang yang baru ku kenal hanya karena penampilannya yang lugu, hingga akhirnya orang itulah yang merusak rumah tanggaku. Di dalam kamar aku hanya diam sambil mengamati sekeliling ruangan. Entah mengapa, aku tidak bisa menangis, meskipun sakit yang kurasakan rasanya hampir mencekik, tapi setetespun tidak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu marah hingga rasanya enggan menangisi penghianatan mas Danu, yang ada hanyalah rasa dendam dan kecewa. "Laila ...." panggil mas Danu dari balik pintu. "Bisa bicara sebentar?""Masuklah," "Mama yakin dengan keputusan Mama? Mama ikhlas Papa menikahi Mina?" tanya mas Danu dengan raut wajah sendu. Mas Danu menggenggam tangaku erat dan menatap mataku nanar."Iya, aku yakin!""Pikirkan lagi, Ma. Kalau Papa menikahi Mina anak-anak bagaimana?" "Kenapa baru sekarang mempertanya
"Ternyata kamu mengulanginya lagi, Mas," ucapku dengan tatapan dingin ke arah mas Danu. "Sayang ini cuma salah paham. Papa bisa jelasin semuanya." Mas Danu berusaha mendekat dan meraih tanganku tapi dengan cepat aku menepisnya. "Lima belas tahun lalu aku memaafkanmu dan memberimu kesempatan demi anak-anak, tapi ternyata ini balasanmu, Mas? Apa harta membuatmu silau dan berfikir bisa memiliki semua yang kamu inginkan termasuk wanita? Sekarang aku mau Mas mengatakan yang sebenanya. Jangan ada yang di tutup-tutupi lagi," ucapku dengan tenang, meskipun hatiku sakit bak teriris sembilu tapi aku harus kuat dan tidak boleh gegabah. Ada anak-anak yang harus ku jaga perasaannya. Bagiku percuma menghabiskan energi untuk memaki kedua manusia tak beradab di hadapanku ini, toh tidak akan merubah kenyataan bahwa mas Danu sudah menghianatiku untuk yang kedua kalinya. "Jelaskan, Mas! Sejak kapan kalian berhubungan seperti ini. Jangan diam saja seperti pengecu