Amber mencibir. Semua lelaki ternyata sama saja. Bahkan seorang Dave yang dikabarkan gay ingin melihatnya telanjang.
"Aku bisa memberimu sebanyak yang Jeff kasih. Asal kamu mau menari di depanku." Dave berkata tanpa ekspresi. Amber terdiam sejenak. Setidaknya dibanding menari di depan orang banyak seperti tadi, menari di depan Dave jauh lebih baik. Amber segera berdiri dan bersiap membuka bajunya di depan Dave. Lelaki itu masih duduk dengan santai di sofa. Ia memperhatikan gerak gerik Amber dengan ekspresi datar. Amber merasa heran. Kenapa Dave sama sekali tidak menunjukkan rasa tertariknya padahal ia sudah hampir telanjang. Oh, ia lupa kalau Dave ini tidak suka perempuan. "Pakai lagi bajumu!" Dave berteriak saat Amber bermaksud melepas bra yang ia pakai. Dengan cepat Amber memakai kembali bajunya. Ia duduk di depan Dave yang kini tengah memijat pelipisnya. "Aku akan melunasi hutang keluargamu tapi dengan satu syarat." Dave berbicara dengan mata yang tertuju lurus pada Amber. "Syarat apa itu?" Amber mulai penasaran. "Layani aku dan turuti semua keinginanku." *** "Nona, cepatlah, jangan sampai Tuan Dave menunggu terlalu lama." Seorang lelaki yang menjemput Amber melayangkan tatapan dinginnya pada gadis yang masih memeluk tubuh ibunya itu. "Amber pergi dulu ya Bu, secepatnya akan Amber kasih kabar ke Ibu." Amber dengan terpaksa mengurai pelukannya dan menatap sendu wajah ibunya yang menyimpan kesedihan. "Selalu berhati-hati ya Nak. Semoga Tuhan melindungi dimanapun kamu berada." Sepasang tangan keriput itu membingkai wajah kecil Amber yang berurai air mata. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Amber. Ia hanya bisa melambaikan tangannya ke arah ibunya yang masih bediri di teras rumah untuk menyaksikan mobil mewah itu membawanya pergi. Mobil yang membawa Amber tiba di sebuah rumah mewah bergaya Eropa yang semalam ia datangi. Ia memutuskan untuk menerima tawaran Dave untuk menjadi pelayan sekaligus kekasih gelapnya. "Silakan masuk Nona." Seorang pelayan menyambut kedatangannya. Dengan langkah sedikit ragu, Amber melangkahkan kaki menuju ruang tamu rumah megah itu. Amber menyapu pandangannya menelisik setiap sudut tempat yang ada di ruangan itu. Di rumah itu tadi malam sangatlah sepi, tapi siang hari seperti ini ternyata pelayan di rumah Dave sangatlah banyak. Tap tap tap. Suara ketukan sepatu menghentak lantai terdengar. Sontak Amber mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara. Terlihat seorang lelaki bertubuh tegap turun dari lantai dua rumah besar itu. Tingginya sekitar 185cm, dengan memakai setelan mahal. Wajahnya sangat tampan dengan sentuhan dingin yang memikat. Tubuhnya sungguh ideal melebihi model yang sering wara wiri di atas catwalk. Hidung mancung dengan rahang tegas serta iris abu-abu yang menawan. Secara keseluruhan, pria itu akan mampu memikat siapa pun perempuan di dunia ini. "Selamat datang Amber." Iris abu-abu itu menatap tajam ke arah gadis berusia dua puluh tiga tahun itu. Dengan sedikit ketakutan Amber menganggukkan kepalanya. "Alfred, bawa Nona Amber ke kamarnya." Perintah Dave pada kepala pelayan di rumah itu. Alfred segera mengajak Amber ke lantai dua rumah megah itu. "Ini adalah kamar anda Nona." Alfred memberitahu Amber perihal kamarnya. Amber memperhatikan kamar yang didominasi oleh warna putih. Kamar ini cukup besar hampir sama dengan kamarnya yang dulu sebelum rumahnya di lelang untuk membayar hutang ayahnya. "Nona saya tinggal dulu. Jika ada apa-apa silakan panggil saya atau panggil pelayan yang lain." Alfred pamit dari hadapan Amber. Amber merebahkan badannya di atas kasur empuk. Ia masih bertanya-tanya apa saja tugasnya di rumah ini. Apa ia harus melayani Dave seperti seorang asisten pribadi? Saat Amber hampir terlelap Dave tiba-tiba muncul dan langsung membangunkan gadis itu dari tidurnya. "Aku tidak membayarmu untuk tidur dan berleha-leha Amber." Suara Dave terdengar ketus. Ia melangkah masuk dan mengunci pintu kamar. Membuat Amber memasang sikap waspadanya. "A—aku tidak tahu apa saja tugasku, Dave." Amber memberanikan diri menatap wajah Dave yang berdiri tegak di depannya. "Tuan, panggil aku Tuan. Sesuai dengan posisimu yang kini jadi pelayanku." Dave berkata dingin. "Kalau begitu katakan apa saja tugasku Tuan?" tanya Amber dengan sikap hormat. Ia tahu kalau Dave sekarang adalah majikannya. Demi uang satu juta dolar sikap ini adalah sikap yang paling pantas ia lakukan di depan Dave. "Kamu tahu rumor tentangku kan?" "Ya Tuan Dave, Anda dikabarkan jadi seorang.... gay.... " Dengan ragu Amber menjawab. "Aku ingin menepis rumor itu dengan berpura-pura berpacaran denganmu." Dave mulai berbicara mengenai tugas Amber yang sesungguhnya. Amber mengedipkan matanya berulang-ulang. Hanya berpura-pura menjadi kekasih Dave agar rumor Dave sebagai gay hilang. Jadi Dave benar-benar seorang gay? "Kenapa kamu tertawa?" Dave mendelik kesal saat melihat Amber menahan tawanya. "Tidak Tuan. Aku tidak tertawa." Amber segera menghilangkan senyum itu dari wajahnya. Ia takut Dave marah dan tersinggung. "Jangan-jangan kamu adalah salah satu yang meyakini kalau aku adalah seorang gay." Dave mendengkus kesal seolah tahu dengan apa yang dipikirkan Amber tentangnya. "Ti—tidak, mana berani aku berpikir seperti itu, Tuan." Amber menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Bagus, jangan pernah mengira aku seperti itu, paham?!" "Paham Tuan." Amber mengangguk dengan cepat. *** Sore hari, matahari hampir tenggelam saat mobil roll royce milik Dave memasuki pekarangan rumah besarnya. "Tuan Dave sudah pulang!" Para pelayan itu begitu sibuk menyambut kedatangan Dave. Mereka berbaris rapih untuk menyambut kedatangan pria yang baru saja pulang dari kantornya. Sudah jadi kebiasaan di rumah itu ketika majikan mereka pulang maka semua pelayan harus menyambutnya. Dave berjalan dengan tegap. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Garis wajah yang tegas memancarkan aura tersendiri baginya. Masih terlihat dingin seperti biasa. "Selamat datang kembali, Tuan." Serempak para pelayan itu menyapa majikannya. Dave menyapu pandangannya. Seperti mencari seseorang. Ya benar, di sana tidak ada Amber. Dave mengerutkan keningnya. Kemana gadis itu? Seharusnya Amber juga ikut dalam barisan para pelayan, apakah Alfred tidak memberitahunya? Tatapan Dave beralih pada Alfred. Seolah tahu akan kesalahannya Alfred segera meminta maaf. "Maaf Tuan, sepertinya Nona Amber masih di kamarnya." Alfred merasa jantungnya hampir copot. Keringat di dahinya bahkan sudah keluar sejak tadi. Ia tahu Dave sedang marah padanya saat ini. Ia lupa memberitahu Amber tentang kebiasaan di rumah ini. Lelaki itu bergegas naik ke lantai atas. Kalau Alfred tidak memberitahunya maka dia sendiri yang akan memberitahu Amber soal kebiasaan di rumah ini. BRAK! Dave membuka pintu kamar Amber dengan kasar. Tapi pemandangan di dalam kamar selanjutnya membuat kedua mata Dave terbelalak. "Aaahhh...!!! Terdengar jeritan panik dari mulut Amber yang sedang berdiri tanpa sehelai benang pun. Gadis itu baru selesai mandi dan belum berpakaian sama sekali. Dave sontak membalik badannya. Kedua pipinya merona merah. Namun kemarahan kembali tersirat di wajah tampannya. "Dasar murahan, apa yang kamu lakukan Amber? Apa kamu sengaja ingin menggodaku?" Suara Dave terdengar ketus."Kenapa Anda tidak ketuk pintu dulu? Tuan Dave pasti tahu sopan santun bukan? Tidak boleh masuk ke dalam kamar orang lain dengan sembarangan." Protes Amber dengan kesal. "Ini rumahku, jadi aku berhak melakukan apapun di dalam rumahku."jawab Dave tak mau disalahkan. Gadis cantik itu mengatupkan bibirnya. Dibalik pesona Dave yang sulit ditolak, Amber lebih fokus pada sikap kasar pria itu. Rasa takutnya lebih besar daripada pesona Dave itu sendiri. "Ada apa Tuan?" Amber yang sudah memakai bathrobenya lahi kini berdiri di hadapan Dave. Dia tidak ingin berdebat panjang dengan Dave. "Lain kali, ketika aku pulang kerja, kamu harus bergabung dengan pelayan lain untuk menyambutku." Dave menjelaskan maksud kedatanganya ke kamar ini. Amber tergugu. Ia merasa peraturan di rumah ini terlalu berlebihan. Ia membayangkan berada di dalam kastil kerajaan dimana seorang raja diperlakukan dengan begitu agung oleh bawahannya. Tanpa sadar Amber mencebik. Baru kali ini ia melihat manusia gila h
Di sana ada sebuah taman dengan rumput Jepang yang menghampar hijau. Sungguh pemandangan yang asri dan menyegarkan mata. Tapi tidak untuk saat ini karena Amber harus berlutut di sana. "Sebenarnya apa yang Nona lakukan hingga Tuan Dave marah seperti itu?" tanya Alfred yang ikut ketakutan. "Aku... aku hanya bertanya tentang siapa pacar pria Dave?" jawab Amber dengan wajah cemas. "Astaga Nona, kenapa kamu tanyakan hal itu?" Alfred berdecak. "Apa aku salah. Aku hanya penasaran apakah Dave benar-benar gay atau bukan?" "Jangan tanyakan hal itu lagi kalau kamu ingin selamat Nona." Alfred menggeleng. "Alfred, bolehkah aku bertanya?" tanya Amber sebelum berlutut. "Kenapa Nona?" "Kenapa Dave hobi sekali marah-marah, apa dia terus seperti ini bila dia marah?" "Nona emosi Tuan Dave memang tidak stabil, maka dari itu Nona jangan sampai membuat dia marah lagi." "Cepatlah berlutut Nona, lihat Tuan Dave sedang memperhatikan kita." Alfred terlihat ketakutan saat melihat Dave s
Suara kicau burung membangunkan Amber dari tidurnya yang nyenyak. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali menghalau silaunya matahari yang menerobos masuk melalui celah gordeng.Amber memijat kepalanya yang terasa pening. Ia heran kenapa ia bisa berada di tempat tidur. Padahal ingatan terakhir yang berada di otaknya adalah dia sedang berendam di dalam bathtub tadi malam."Kenapa aku bisa ada di sini? Dan siapa yang memakaikan pakaian tidur ini?" Amber meraba gaun tidur berwarna peach yang ia kenakan saat itu."Selamat Pagi Nona." Suara Alfred yang baru masuk mengejutkan Amber. "Pagi Alfred!" Amber bangun dan duduk di tepian tempat tidur. "Nana apa Anda sudah merasa lebih baik?" tanya Alfred membuat Amber mengerutkan keningnya. "Memangnya aku kenapa?""Anda pingsan Nona. Beruntung Tuan Dave segera mengeluarkan Nona dari bathtub. Dan semalaman Anda demam sampai Tuan Dave merawat Anda dengan telaten," jawab Alfred. "A—apa benar begitu?" Amber terbengong. Jadi Dave merawatnya? "Iya No
"Dave apa benar ka—kamu tidak suka perempuan?" Dengan sangat hati-hati Amber bertanya. "Itu lagi yang kamu tanyakan? Apa kamu masih meragukanku Amber?" Kemarahan makin terlihat di wajah tampan Dave. "Bu—bukan maksudku begitu." Tubuh Amber gemetar ketakutan saat Dave kembali mendekat. Cup. Satu kecupan kasar Amber rasakan di bibirnya. Dave menjarah bibirnya dengan rakus. Tak ada kelembutan di sana. Amber terpaku. Tak berani melawan. Hanya kedua tangannya yang berusaha menahan dada bidang Dave. Bibir Amber sudah terasa kebas dan bengkak saat akhirnya Dave melepaskan tautannya. Amber tertunduk. Dave begitu mengerikan. Apakah ia akan sanggup bertahan hidup dengan pria seperti dia? "Apa itu masih membuatmu ragu, Amber? Kalau memang kamu masih ragu, aku akan melakukan hal yang lebih gila lagi padamu." Dave menyeringai tipis tapi begitu mengerikan di mata Amber. "Tidak... tidak... aku percaya Dave." Amber menggeleng dengan cepat. Raut ketakutan masih tergambar jelas di ma
Amber terbelalak saat mendengar ancaman dari Dave. Lagi-lagi pria itu mengancamnya dengan alasan uang yang membuat Amber tidak bisa berkutik lagi. Amber menghela napas berat. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika ia harus menikah dengan pria seperti Dave yang dingin dan penuh misteri. Mobil mewah itu berjalan menuju rumah megah Dave. Setibanya di sana, seperti biasa para pelayan akan menyambut kedatangan mereka. "Masuk ke dalam kamarmu Amber dan jangan pernah berani untuk keluar lagi tanpa seizin dariku, " titah Dave dengan tegas. Amber hanya mengangguk. Ia segera naik ke lantai atas menuju kamarnya. "Alfred!" Pandangan Dave beralih pada kepala pelayannya. "Ya Tuan." Alfred maju selangkah. "Mulai sekarang, awasi perempuan itu, jangan sampai dia keluyuran tidak jelas." "Baik Tuan." Alfred mengangguk. Sejujurnya, dia merasa kasihan pada Amber yang pastinya akan sangat merasa tertekan dengan sikap aneh Dave ini. Tapi mau bagaimana lagi, perintah Dave memang tidak
"Bella!" Sebuah panggilan mengejutkan Amber saat itu. Ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan nama wanita lain. Amber sontak menoleh ke arah belakang, terlihat Dave sedang berdiri di ambang pintu. Pria itu terlihat kaget saat melihat kalau ternyata yang memakai gaun tersebut adalah Amber. Raut wajah Dave seketika menampakan kemarahannya. Membuat Amber menggigil ketakutan. "Siapa yang menyuruhmu memakai gaun itu?!" teriakan menggelegar menciptakan atmosfer mencekam di tempat itu. Amber menyadari kalau dirinya telah melakukan kesalahan besar dengan memakai gaun ini. Dave melangkah menghampiri Amber. Dia meraih pergelangan tangan gadis itu menariknya dengan kasar menuju kamar. Lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga Amber tidak bisa lagi berpikir. Ia hanya menerima semua perlakuan kasar Dave tanpa perlawanan. Ia begitu ketakutan saat melihat kemarahan yang begitu di dalam sorot mata Dave. "Dave aku mohon maafkan aku." Amb
"Pakai ini!" Dave memberikan sebuah paper bag berisi gaun lengkap dengan sepatu yang harus Amber kenakan untuk menghadiri pesta malam ini.Amber tertegun. Ia yang sedang duduk di tepi ranjang pun memeriksa isi paper bag itu dan mendapati sebuah dress cantik berwarna abu terang yang mewah. "Kita akan pergi kemana?" tanya Amber dengan bingung."Temani aku ke pesta malam ini." Dave berdiri di depan Amber dengan kedua tangan yang bersemayam di dalam saku celananya.Gadis cantik itu mendongak. "Apa ini tugas pertamaku?""Anggap saja begitu." Dave menjawab singkat.Amber manggut-manggut."Aku tunggu di bawah. Tiga puluh menit lagi kamu harus siap." Dave membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari kamar Amber.Amber mengeluarkan dress dan sepatu dari dalam paper bag. Ia segera mengganti bajunya dengan gaun tersebut.Busana yang kini melekat di tubuhnya itu menampakkan bentuk tubuhnya yang seksi seperti gitar Spanyol. Amber menatap puas bayangan dirinya di cermin. Ternyata pilihan Dave san
"Jangan mimpi Amber. Bangun sekarang juga kalau kamu masih bermimpi." Dave berkata dengan wajah kesal. Sudah Amber duga kalau jawaban Dave pasti akan membuatnya sakit hati. Amber tersenyum getir. ini adalah kesalahannya yang terlalu percaya diri kalau Dave sudah mulai mencintainya. Dave mendengkus dingin. Ia menatap Amber dengan tatapan mencemooh. Namun tiba-tiba tangannya menarik pinggang ramping Amber dan mengangkat dagu gadis itu dengan tatapan tajam. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Mana mungkin aku menyukai wanita sepertimu. Lihat dirimu Amber, kamu begitu menyedihkan." Dave memindai tubuh Amber, tentu saja dengan tatapan yang membuat hati Amber mencelos. Kata-kata Dave memang selalu pedas bahkan pedasnya melebihi cabe terpedas di dunia. Namun Amber tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya di depan Dave. Amber menyunggingkan senyum tipisnya. "Bagus kalau kamu tidak menyukaiku. Karena aku juga tidak akan pernah menyukai pria menyebalkan sepertimu." "Apa katamu?" Dave
Bella menatap tajam ke arah Amber yang tampak ceria berbelanja di toko seberang jalan. Rasa cemburu dan kesal menguasai pikirannya. Ia tak mampu menerima kenyataan bahwa hubungan Dave dan Amber semakin erat.Bella lantas menyeruput kopinya perlahan, seakan mencari cara untuk menenangkan diri."Apa yang kau pikirkan, Bella?" tanya Eva, temannya yang duduk di seberang meja.Wanita berkulit sedikit gelap dari Bella itu menatap ke arah Bella. Dia meletakkan cangkir tehnya dan ikut melirik ke arah tempat yang menjadi fokus Bella dari tadi. Kini Eva tahu kalau Bella sedang memperhatikan Amber."Bukankah itu Amber?" Eva mengerutkan alisnya."Iya benar, dia Amber istri baru Dave," jawab Bella dengan raut wajah murung."Dave sudah menikah dengannya? Kapan?" Eva terlihat kaget."Aku juga tidak tahu kapan tepatnya mereka menikah.""Jangan-jangan mereka bohong padamu Bella.""Tidak. Mereka mempunyai surat nikah yang sah. Ah, pokoknya aku benci dengan wanita itu." Bella mengepalkan tangannya denga
"Apa kau benar-benar akan menikahi Bella lagi?" tanya Amber setelah mereka menyelesaikan sesi percintaan mereka malam itu.Dave mengalihkan pandangannya pada wajah Amber yang tersipu malu."Amber, apa kau mencintaiku?" tanya Dave mengalihkan pertanyaan Amber saat itu.Amber terdiam. Dave mengangkat dagunya hingga tatapan mereka berdua bertemu."Katakan Amber, bagaimana perasaanmu padaku agar aku bisa menentukan keputusanku." Dave menatap dalam manik coklat terang milik Amber."Dave aku—" Amber terpaku. Sejujurnya benih cinta itu telah tumbuh subur saat merenggut kesuciannya malam itu. Amber baru menyadari kalau hatinya telah menerima Dave sepenuhnya."Katakan Amber, bagaimana perasanmu yang sesungguhnya padaku?" Dave tidak sabar menunggu jawaban dari Amber."Sejujurnya aku tidak rela jika kau kembali pada Bella. Tetapi semua keputusan ada padamu Dave, aku tidak akan menghalangi karena aku sadar posisiku sebagai apa di hatimu Dave." Amber kembali tertunduk."Dasar bodoh, aku pikir kau
Dave merasakan tubuhnya yang memanas. Bahkan bajunya terasa sudah basah oleh keringat. Wajah lelaki itu tampak gelisah. Beberapa kali ia mengusap wajah kasar. Ia yakin kalau Bella telah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya tadi. "Kurang ajar, apa yang wanita sialan itu masukkan ke dalam minumanku barusan?" kesal Dave. Ia berjalan terhuyung berpegangan pada dinding yang dingin. Ia harus segera sampai ke kamarnya dan menemui Amber. Gairah di dalam dirinya tiba-tiba tersulut dan terbakar akibat pengaruh obat yang di berikan oleh Bella. "AAAARRRGGGHHH... sialan!" Lagi-lagi Dave mengumpat, ia tidak tahan lagi. Ia butuh kehangatan seorang wanita. Yang pasti ia tidak sudi jika Bella yang menemaninya malam ini. Tapi bukankah Amber saat ini sedang marah padanya? Dave tak bisa lagi berpikir jernih. Ia mempercepat langkahnya menuju kamar dan mendapati Amber telah tertidur lelap. "Dave?!" Amber seketika terbangun saat Dave memeluk tubuhnya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat wa
"Aku akan mengadakan pesta," ucap Bella sore itu. "Pesta untuk apa?" Dave menanggapi dingin. "Besok adalah hari ulang tahun Steven yang kedua. Aku ingin merayakannya. Bukankah ini adalah momen yang bagus?" tanya Bella tersenyum. Dave terdiam. Dia baru tahu kalau besok adalah hari ulang tahun Steven. Banyak yang belum ia ketahui tentang anaknya sendiri. "Oh my God Dave, kau harus mengenal anakmu lebih dalam." Bella berdecak. Ia melipat tangan di depan dadanya dengan tatapan tertuju pada Dave. "Lakukan saja apa yang kau mau." Dave menghela napasnya. Ia tidak begitu peduli dengan apa yang ingin dilakukan oleh Bella. "Aku ingin kau mengundang semua kolegamu sekalian kau umumkan rencana pernikahan kita kembali." Bella menatap Dave dengan tajam. Dave tersentak. Ia menaruh gelas berisi minumannya kembali ke atas meja. Raut wajahnya berubah tegang dengan kedua rahang yang mengeras. "Aku tidak mau." Dave menggeleng tegas. "Kenapa? Apa ada yang salah? Kau akan menikahiku kan?
"Siapa yang bilang kalau aku akan menikahimu?" Dave membelalak. "Tapi Dave, Steven butuh kita, butuh aku dan kau sebagai ayah dan ibunya. Tolong kau pertimbangkan psikologis Steven. Jangan egois Dave." Bella mencoba membujuk Dave. "Kau yang egois Bella, ini tidak akan terjadi kalau kau tidak pergi meninggalkan aku!" Dave berdiri dan menatap Bella dengan terlihat sangat kesal. Bella terdiam. Kalau tahu ia hamil anaknya Dave, ia pun tidak akan pergi meninggalkan pria itu. "Maafkan aku Dave... tapi yang lalu biarlah berlalu, lupakan saja, sekarang saatnya kita pikirkan Stevan. Dia butuh kita Dave... " "Lupakan? Semudah itu kau menyuruhku melupakan semuanya? Apa kau sudah gila? Kau pikir memaafkan perbuatanmu itu semudah membalikkan telapak tangan? Tidak semudah itu Bella!" Dave mendengkus kesal. Bella menelan salivanya. Ia tidak menyangka kalau Dave akan semarah itu padanya padahal selama ini Dave selalu bersikap lembut padanya. "Dave aku sudah aku minta maaf. Tapi terl
"Perempuan jalang, sebaiknya kau tinggalkan Dave sebelum aku tendang kau dari rumah ini." Tiba-tiba Bella berkata seperti itu saat Amber keluar dari kamarnya. Amber mengerutkan keningnya. Ia membalas tatapan nyalang dengan berani. "Apa hakmu berkata seperti itu padaku. Bukankah sebaiknya kau yang pergi dari rumah ini?" Amber tersenyum tipis. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Dave tidak benar-benar mencintaimu. Akulah wanita yang sejak dulu Dave cintai," ujar Bella begitu percaya diri. Amber mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang hampir meledak. Namun ia tahu melawan Bella tidak akan berguna sama sekali. "Dave yang mengundangku ke sini. Dan hanya dia yang bisa mengusirku dari rumah ini, " tegas Amber dengan wajah ketus. Dia berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan untuk makan siang. Alfred sudah memberitahu kalau makan siang sudah siap tadi. "Siapa yang mengizinkanmu untuk makan siang di sini, hah?" Bella ingin merengkuh baju yang dikenakan oleh Amber te
"Amber!" Dave mencoba memanggil Amber yang keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan kerjanya saat itu. Ia ingin bangun tetapi Bella menekan bahunya dan kembali mencium bibirnya dengan buas. Sementara itu Amber masuk ke dalam kamarnya dengan wajah sedih. Ia berdiri di depan jendela kamar dan memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Seperti ada batu besar yang menimpanya. "Kenapa rasanya sakit sekali?" Amber memejamkan matanya sembari sesekali memukul pelan dadanya, berharap rasa sesak itu berkurang. Terbayang kembali adegan dimana Bella mencium Dave dengan begitu bergairah tadi. Rasanya ada ketidak relaan dalam dirinya. Ia tidak mau Dave melakukan hal seperti itu dengan perempuan lain. Amber terisak. Ia tersiksa dengan perasaannya sendiri. Ia cemburu pada Dave dan Bella. Ia juga tidak tahu sejak kapan ia mulai memiliki perasaan ini terhadap Dave. "Mungkin benar Dave dan Bella mau kembali bersatu. Sadar Amber kau hanyalah orang baru dalam hidup Dave. Sementara Bella, dia sudah
"Lihat, dia sangat mirip denganmu Dave... " ujar Bella dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Dave menatap anak kecil di pelukannya dengan ekspresi sulit ditebak. Stevan, dengan abu tajam dan rambut gelapnya, mengingatkan Dave pada dirinya sendiri di masa kecil. Anak itu tertawa kecil, jemarinya yang mungil menyentuh wajah Dave dengan polosnya. Amber yang duduk di seberang meja menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak melihat bagaimana Dave tampak terpikat oleh anak itu. Bella tersenyum puas. “Dia menyukaimu, Dave,” katanya dengan nada lembut. “Sepertinya dia tahu kalau kau adalah ayah kandungnya." Dave mengalihkan pandangannya pada Bella, suaranya lebih tenang dari yang dia rasakan. "Apa Stevan benar-benar anakku?" Bella menatap Dave dalam-dalam sebelum tersenyum samar. “Kenapa kau bertanya, Dave? Apa kau tidak percaya padaku?" Amber merasakan jantungnya mencelos. Tatapan Bella begitu licik, penuh dengan kesengajaan. Dave menatap Stevan lagi, lalu menarik napas
Bella baru saja keluar dari dalam kamarnya. Hari sudah beranjak siang saat itu. Kebetulan sekarang adalah weekend dan mungkin Dave masih tertidur di dalam kamarnya. Bella pun melangkahkan kakinya ke arah kamar Dave. Ia rindu sekali dengan pria itu. Kriet! Pintu kamar dibuka perlahan. Kepala Bella melongok ke dalam kamar. Sesaat ia melihat situasi di dalam sana. Tampak Dave masih tertidur lelap dengan menampakkan dadanya yang telanjang. Bibir Bella tersenyum melihatnya. Ia sudah lama tidak menyentuh dada bidang Dave dan mungkin akan sangat mengasyikkan jika ia melakukannya saat ini. Tidak ada Amber di sana. Mungkin perempuan itu sudah bangun lebih dulu. "Ini kesempatanku." Bella menyeringai tipis. Bella pun melangkah dengan perlahan menuju tempat tidur. Lalu ia berbaring di samping Dave dengan gerakan yang pelan agar tidak membangunkan pria itu. Bella merasa senang karena ia bisa tidur lagi di dekat pria itu. Ia menatap wajah Dave yang sekarang terlihat lebih tampan dan ma