Amber terbelalak saat mendengar ancaman dari Dave. Lagi-lagi pria itu mengancamnya dengan alasan uang yang membuat Amber tidak bisa berkutik lagi.
Amber menghela napas berat. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika ia harus menikah dengan pria seperti Dave yang dingin dan penuh misteri. Mobil mewah itu berjalan menuju rumah megah Dave. Setibanya di sana, seperti biasa para pelayan akan menyambut kedatangan mereka. "Masuk ke dalam kamarmu Amber dan jangan pernah berani untuk keluar lagi tanpa seizin dariku, " titah Dave dengan tegas. Amber hanya mengangguk. Ia segera naik ke lantai atas menuju kamarnya. "Alfred!" Pandangan Dave beralih pada kepala pelayannya. "Ya Tuan." Alfred maju selangkah. "Mulai sekarang, awasi perempuan itu, jangan sampai dia keluyuran tidak jelas." "Baik Tuan." Alfred mengangguk. Sejujurnya, dia merasa kasihan pada Amber yang pastinya akan sangat merasa tertekan dengan sikap aneh Dave ini. Tapi mau bagaimana lagi, perintah Dave memang tidak ada yang berani membantahnya. Dave melangkahkan kakinya menuju ruang pribadinya. Entah apa yang akan dikerjakan lelaki itu di sana. Namun yang jelas kesempatan itu Alfred gunakan untuk menemui Amber. "Non Amber, tolong buka pintunya. Ini saya Alfred." Amber yang sedang duduk termenung di tepi pembaringan pun terkejut dan segera membuka pintu. "Ada apa Alfred?" tanya Amber. "Nona Amber, saya mohon tetaplah kuat untuk menghadapi Tuan Dave. Dia mungkin terlihat kasar di luar tapi sebenarnya dia adalah pria berhati lembut," jelas Alfred. Amber tidak tahu harus menjawab apa, dia hanya tersenyum getir. "Suka atau tidak suka aku memang harus tetap berada di samping dia bukan?" Amber tersenyum sinis. Alfred sedikit merasa bersalah, tapi jawaban Amber setidaknya membuatnya lega karena perempuan itu tidak akan meninggalkan Dave. "Baiklah kalau begitu, istirahatlah Nona." Alfred kembali pamit dari hadapan Amber. * * "Apa?! Kamu sudah menikah dengan Dave?" Terdengar suara Clara yang tersentak di ujung telepon. "Iya benar, ini pernikahan mendadak dan aku tidak sempat memberitahukan siapapun termasuk ibuku," keluh Amber. "Dan sialnya, gara-gara kejadian kemarin aku menjadi tahanan rumah sekarang," lanjut Amber dengan kesal. "Amber, aku mengkhawatirkanmu. Kamu sendiri tahu bagaimana rumor Dave di luaran. Ia tidak pernah suka pada wanita. Aku takut dia akan memperlakukanmu dengan kasar." Clara menekan kalimat terakhirnya. Amber tertegun. Dave memang kasar tapi soal rumor dia tidak menyukai wanita rasanya seperti ada yang salah. Pria itu tampaknya masih normal. "Clara, soal itu kalian sepertinya salah. Dave lelaki normal," jelas Amber. "Apa kamu yakin?" "Emmm, aku yakin," jawab Amber setelah berpikir sejenak. Terdengar helaan napas Clara. Gadis itu seperti menyangsikan ucapan temannya itu. Namun saat ini Clara tak bisa melakukan apapun untuk membantu Amber. "Jaga dirimu baik-baik, pokoknya aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu." Clara mengakhiri pembicaraan mereka saat itu. "Jangan khawatir Cla, aku pasti melakukan itu." Amber menutup teleponnya. Gadis yang tengah telentang di atas pembaringan itu menatap plafon bercat putih di atasnya. Rasanya ia terpenjara di dalam sangkar emas. Sudah tiga hari berlalu dan ia tidak tahu sampai kapan Dave akan mengurungnya di rumah ini. Ia bosan dan tertekan. Ia ingin keluar menemui ibu dan ayahnya yang sedang sakit. Amber keluar dari dalam kamarnya. Ia berpapasan dengan Alfred. Lelaki itu membungkuk hormat pada Amber. "Nona, apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Alfred dengan sopan. "Tidak Alfred, aku hanya ingin menghirup udara segar di taman. Aku bosan berada di kamar," jawab Amber. "Baiklah, Nona. Tapi sesuai perintah Tuan Dave, anda tidak boleh keluar dari rumah ini. Anda masih berada dalam masa hukuman." Amber terdiam. Dia merasa jengah. " Iya, aku ingat itu Alfred." Amber membuang napas kasar. "Kalau begitu saya permisi dulu Nona, panggil saya bila anda memerlukan sesuatu." Amber hanya mengangguk dan membiarkan Alfred pergi dari tempat itu. Rumah ini begitu luas. Lebih luas dari rumah lama Amber yang telah dilelang. Ada banyak ruangan yang Amber sendiri tidak tahu ruangan apa itu. Gadis cantik berambut pirang itu melangkahkan kaki menyusuri setiap sudut rumah ini. Ia ingin tahu keseluruhan detail rumah ini. Ada beberapa kamar tidur di lantai dua rumah ini, namun hanya ada dua kamar yang ditempati. Yaitu kamar Dave dan juga dirinya. Balkon rumah itu ada dua, balkon yang menghadap ke taman depan dan balkon yang menghadap ke taman belakang. Semuanya menyuguhkan pemandangan indah. Amber berdiri di balkon depan. Terlihat beberapa rumah mewah yang juga berada di kawasan elit itu. Komplek perumahan ini rata-rata diisi oleh para pengusaha sukses berpenghasilan tinggi. Kawasan Kensington palace ini memang menyuguhkan kenyamanan dan prestise tinggi untuk pemiliknya. Tak heran jika orang-orang yang tinggal di sini bukanlah orang sembarangan melainkan orang yang berpengaruh di dunia bisnis. Dan Dave salah satu pemilik raksasa bisnis yang menggurita itu. Amber menghela napasnya. Ia tidak menyangka kalau saat ini ia resmi menjadi istri pengusaha sukses itu. Harusnya ia bahagia, namun kenapa yang ia rasakan saat ini adalah ketakutan luar biasa. Dave begitu sulit ditebak. Sikapnya begitu fluktuatif. Kadang dia baik namun di saat yang bersamaan dia jadi sekejam harimau. Amber kembali masuk, ia ingin melihat semua ruangan di rumah itu. Satu persatu ruangan itu ia periksa, hingga ia menemukan sebuah ruangan yang menarik perhatiannya. Amber memasuki ruangan itu yang menurutnya lebih mirip dengan sebuah gudang. Sebuah bingkai foto berukuran besar menyita perhatian Amber. Foto tersebut memperlihatkan pasangan pengantin Dave dengan seorang wanita cantik. Mungkin dia adalah mantan istri Dave. Amber harus mengakui kalau wanita yang berdiri di samping Dave itu memiliki wajah yang sangat cantik. Pantas jika ia menjadi istri dari pria itu. Amber menatap lekat foto di depannya, tampak foto ini sudah tidak terawat karena banyak debu yang menempel di atasnya. "Apa dia masih mencintai mantan istrinya?Kenapa dia belum membuang foto pernikahan mereka?" tanya Amber bergumam. Ia pun kembali menelisik seluruh ruangan itu. Terdapat banyak barang yang ditutup dengan kain putih. Pandangan Amber pun tertuju pada sebuah gaun yang menggantung di dalam lemari pakaian yang telah usang. Gaun itu masih terbungkus dengan plastik hingga terhindar dari debu. Amber pun mendekat, ia mengambil gaun berwarna putih tulang itu. Gaun selutut yang tampak cantik. Amber terpesona melihatnya. Wanita itu pun membawa gaun tersebut ke dalam kamarnya. Ia ingin mencoba memakai gaun itu sepertinya ukurannya cocok dengan tubuh Amber. Dia begitu cantik saat memakai gaun itu, apalagi jika rambutnya yang kini tergerai ditata dengan rapih. Mungkin dia akan terlihat lebih cantik lagi. "Sayang sekali gaun secantik ini harus teronggok di gudang. Kenapa tidak aku pakai saja?" Amber tersenyum, mendadak menemukan ide untuk memungut pakaian itu. Amber pun pergi keluar kamar. Ia berdiri di atas balkon, memandang taman belakang yang dipenuhi oleh bunga-bunga cantik. Hanya dengan menemukan gaun cantik ini saja telah mengubah mood-nya saat ini. Seutas senyum tersemat di bibirnya, sekali lagi ia memandangi gaun yang kini tengah ia pakai. Ia yakin untuk mengambil gaun ini daripada teronggok begitu saja di dalam ruangan tadi. "Bella?!""Bella!" Sebuah panggilan mengejutkan Amber saat itu. Ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan nama wanita lain. Amber sontak menoleh ke arah belakang, terlihat Dave sedang berdiri di ambang pintu. Pria itu terlihat kaget saat melihat kalau ternyata yang memakai gaun tersebut adalah Amber. Raut wajah Dave seketika menampakan kemarahannya. Membuat Amber menggigil ketakutan. "Siapa yang menyuruhmu memakai gaun itu?!" teriakan menggelegar menciptakan atmosfer mencekam di tempat itu. Amber menyadari kalau dirinya telah melakukan kesalahan besar dengan memakai gaun ini. Dave melangkah menghampiri Amber. Dia meraih pergelangan tangan gadis itu menariknya dengan kasar menuju kamar. Lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga Amber tidak bisa lagi berpikir. Ia hanya menerima semua perlakuan kasar Dave tanpa perlawanan. Ia begitu ketakutan saat melihat kemarahan yang begitu di dalam sorot mata Dave. "Dave aku mohon maafkan aku." Amb
"Pakai ini!" Dave memberikan sebuah paper bag berisi gaun lengkap dengan sepatu yang harus Amber kenakan untuk menghadiri pesta malam ini.Amber tertegun. Ia yang sedang duduk di tepi ranjang pun memeriksa isi paper bag itu dan mendapati sebuah dress cantik berwarna abu terang yang mewah. "Kita akan pergi kemana?" tanya Amber dengan bingung."Temani aku ke pesta malam ini." Dave berdiri di depan Amber dengan kedua tangan yang bersemayam di dalam saku celananya.Gadis cantik itu mendongak. "Apa ini tugas pertamaku?""Anggap saja begitu." Dave menjawab singkat.Amber manggut-manggut."Aku tunggu di bawah. Tiga puluh menit lagi kamu harus siap." Dave membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari kamar Amber.Amber mengeluarkan dress dan sepatu dari dalam paper bag. Ia segera mengganti bajunya dengan gaun tersebut.Busana yang kini melekat di tubuhnya itu menampakkan bentuk tubuhnya yang seksi seperti gitar Spanyol. Amber menatap puas bayangan dirinya di cermin. Ternyata pilihan Dave san
"Jangan mimpi Amber. Bangun sekarang juga kalau kamu masih bermimpi." Dave berkata dengan wajah kesal. Sudah Amber duga kalau jawaban Dave pasti akan membuatnya sakit hati. Amber tersenyum getir. ini adalah kesalahannya yang terlalu percaya diri kalau Dave sudah mulai mencintainya. Dave mendengkus dingin. Ia menatap Amber dengan tatapan mencemooh. Namun tiba-tiba tangannya menarik pinggang ramping Amber dan mengangkat dagu gadis itu dengan tatapan tajam. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Mana mungkin aku menyukai wanita sepertimu. Lihat dirimu Amber, kamu begitu menyedihkan." Dave memindai tubuh Amber, tentu saja dengan tatapan yang membuat hati Amber mencelos. Kata-kata Dave memang selalu pedas bahkan pedasnya melebihi cabe terpedas di dunia. Namun Amber tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya di depan Dave. Amber menyunggingkan senyum tipisnya. "Bagus kalau kamu tidak menyukaiku. Karena aku juga tidak akan pernah menyukai pria menyebalkan sepertimu." "Apa katamu?" Dave
Tangan Amber terasa sakit saat harus mengikuti langkah Dave yang tergesa. Entah apa yang akan dilakukannya, yang jelas gadis bermanik cokelat terang itu sangat ketakutan melihat raut wajah Dave yang menyeramkan itu. "Dave, lepaskan aku! Kamu menyakitiku Dave!" Amber berusaha melepaskan tangan lelaki itu. Namun tenaga Dave bukan tandingannya. Pria tampan yang merasa harga dirinya dihancurkan oleh Amber terus berjalan menuju kamarnya. Dia menyeret tubuh Amber dan melemparkannya ke atas kasur. BRUGH! Meski tidak sakit tapi Amber dibuat cukup terkejut oleh sikap kalap Dave. Lelaki itu terlihat sangat marah. Ia kesal karena Amber pun masih saja menuduhnya sebagai lelaki tidak normal seperti orang lain di luar sana. "Dengar Amber, aku menyewamu bukan untuk menghakimiku atau meragukan kejantananku. Tapi kenapa sekarang kamu malah sama seperti orang-orang itu, hah?" Dave mencengkram leher Amber hingga gadis itu merasakan kesulitan untuk bernapas. "Dave, kamu bisa membunuhku kalau
Dave menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia seharusnya langsung menutup laptopnya, tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan sesuatu yang sulit ia kendalikan, keinginan untuk lebih dekat, untuk menyentuh, untuk memiliki Amber seutuhnya. "Sial!" Ia menggenggam erat ponselnya, berusaha mengendalikan diri. Amber hanya istri bohongannya, dan hubungan mereka tidak seharusnya melibatkan perasaan. Tapi mengapa sekarang ia merasa seperti ini? Dengan gerakan cepat Dave menutup laptopnya. Ia memilih pergi sebelum pikirannya semakin jauh tenggelam dalam godaan yang berbahaya ini. *** Di sebuah bar eksklusif di pusat kota Kensington, suasana malam terasa ramai dengan suara dentingan gelas dan percakapan para pengunjung. Namun, bagi Dave Oliver, dunia terasa lebih sempit dari biasanya. Ia duduk di sudut ruangan dengan ekspresi kusut, mengaduk whiskey di gelasnya tanpa benar-benar berminat meminumnya. Di seberangnya, Julian menyesap minuman
Suara dering ponsel berulang kali menggema di kamar yang masih gelap. Di atas ranjang besar dengan seprai berantakan, Dave Oliver bergeming. Ponselnya yang bergetar di atas nakas hanya membuatnya mengerang kesal. Ia mengulurkan tangan, meraba-raba ponsel tanpa membuka mata, lalu menjawab panggilan itu dengan suara serak, “Apa?” Suara Julian langsung terdengar di seberang, penuh semangat seperti biasanya. “Selamat pagi, Tuan Oliver! Maaf mengganggu tidur malammu yang berharga, tapi kau harus bangun sekarang. Masalah besar sedang menunggumu.” Dave mendesah, lalu membuka matanya sedikit. “Masalah apa?” "Sepertinya para wartawan mulai tertarik dengan hubunganmu dan Amber. Mereka mulai menggali informasi tentang hal itu, dan kau tahu apa yang mereka temukan?” “Berhenti bertele-tele, Julian.” Dave memijat pelipisnya. “Baiklah, dengarkan ini. Beberapa media sekarang berspekulasi bahwa hubunganmu dengan Amber hanyalah rekayasa belaka untuk menutupi fakta bahwa kau sebenarnya adalah
Amber masih bisa merasakan bibirnya yang berdenyut halus setelah ciuman yang diberikan Dave di konferensi pers tadi siang. Meski ia sudah kembali ke rumah mereka, pikirannya masih belum bisa tenang. Seharusnya ia merasa marah, malu, atau paling tidak, kesal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dadanya berdebar hebat, wajahnya panas, dan jantungnya seolah berlari tanpa kendali. "Ini gila…" gumamnya, memegangi kepalanya. Pernikahan mereka hanya sandiwara. Ia tahu itu sejak awal. Tidak seharusnya ia merasa seperti ini. Namun, saat ia menutup mata, ingatan tentang tatapan Dave sebelum mencium dirinya kembali muncul. Sorot matanya penuh ketegasan, seolah Dave benar-benar menginginkan momen itu terjadi. Amber menggigit bibirnya. Apa mungkin Dave juga mulai merasakan sesuatu terhadapnya? --- Di ruangan lain. Air dingin yang baru saja Dave gunakan untuk membasuh wajah tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. "Sial. Apa yang kulakukan tadi?" gumamnya resah. Saat itu, ia
Malam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam saat ponsel Amber berdering. Amber yang baru saja terlelap seketika terbangun kembali dan melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini. "Nona Amber, tolong cepat turunlah, bawa suamimu ke kamarnya." Suara Julian Terdengar. Amber melihat lagi ke arah ponselnya. Rupanya Julian menelponnya dengan menggunakan ponsel David. "Suami... siapa juga yang mau jadi istri lelaki itu." Amber menggerutu meski pada akhirnya ia tetap turun ke bawah untuk menemui Dave. Di lantai bawah, Dave masih di papah oleh Julian memasuki rumah. Tubuh lemah Dave terkulai. Sesekali mulutnya bergumam entah apa yang dia bicarakan. "Cepatlah Nona, bawa dia ke kamarnya. Tanganku sudah kram dari tadi." Julian menyuruh Amber agar mempercepat langkahnya. Dengan kesal, Amber mengambil alih tubuh Dave dan membawanya ke lantai atas. "Rawat dia dengan baik, Nona Amber. Aku pulang dulu." Julian melambaikan tangannya. "Terima kasih Julian." Amber tidak lupa m
"Perempuan jalang, sebaiknya kau tinggalkan Dave sebelum aku tendang kau dari rumah ini." Tiba-tiba Bella berkata seperti itu saat Amber keluar dari kamarnya.Amber mengerutkan keningnya. Ia membalas tatapan nyalang dengan berani. "Apa hakmu berkata seperti itu padaku. Bukankah sebaiknya kau yang pergi dari rumah ini?" Amber tersenyum tipis. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Dave tidak benar-benar mencintaimu. Akulah wanita yang sejak dulu Dave cintai," ujar Bella begitu percaya diri.Amber mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang hampir meledak. Namun ia tahu melawan Bella tidak akan berguna sama sekali. "Dave yang mengundangku ke sini. Dan hanya dia yang bisa mengusirku dari rumah ini, " tegas Amber dengan wajah ketus. Dia berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan untuk makan siang. Alfred sudah memberitahu kalau makan siang sudah siap tadi. "Siapa yang mengizinkanmu untuk makan siang di sini, hah?" Bella ingin merengkuh baju yang dikenakan oleh Amber tetapi peremp
"Amber!" Dave mencoba memanggil Amber yang keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan kerjanya saat itu. Ia ingin bangun tetapi Bella menekan bahunya dan kembali mencium bibirnya dengan buas.Sementara itu Amber masuk ke dalam kamarnya dengan wajah sedih. Ia berdiri di depan jendela kamar dan memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Seperti ada batu besar yang menimpanya."Kenapa rasanya sakit sekali?" Amber memejamkan matanya sembari sesekali memukul pelan dadanya, berharap rasa sesak itu berkurang. Terbayang kembali adegan dimana Bella mencium Dave dengan begitu bergairah tadi. Rasanya ada ketidak relaan dalam dirinya. Ia tidak mau Dave melakukan hal seperti itu dengan perempuan lain.Amber terisak. Ia tersiksa dengan perasaannya sendiri. Ia cemburu pada Dave dan Bella. Ia juga tidak tahu sejak kapan ia mulai memiliki perasaan ini terhadap Dave."Mungkin benar Dave dan Bella mau kembali bersatu. Sadar Amber kau hanyalah orang baru dalam hidup Dave. Sementara Bella, dia sudah mempuny
"Lihat, dia sangat mirip denganmu Dave... " ujar Bella dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Dave menatap anak kecil di pelukannya dengan ekspresi sulit ditebak. Stevan, dengan abu tajam dan rambut gelapnya, mengingatkan Dave pada dirinya sendiri di masa kecil. Anak itu tertawa kecil, jemarinya yang mungil menyentuh wajah Dave dengan polosnya.Amber yang duduk di seberang meja menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak melihat bagaimana Dave tampak terpikat oleh anak itu.Bella tersenyum puas. “Dia menyukaimu, Dave,” katanya dengan nada lembut. “Sepertinya dia tahu kalau kau adalah ayah kandungnya."Dave mengalihkan pandangannya pada Bella, suaranya lebih tenang dari yang dia rasakan. "Apa Stevan benar-benar anakku?"Bella menatap Dave dalam-dalam sebelum tersenyum samar. “Kenapa kau bertanya, Dave? Apa kau tidak percaya padaku?"Amber merasakan jantungnya mencelos. Tatapan Bella begitu licik, penuh dengan kesengajaan.Dave menatap Stevan lagi, lalu menarik napas panjang. Ia ma
Bella baru saja keluar dari dalam kamarnya. Hari sudah beranjak siang saat itu. Kebetulan sekarang adalah weekend dan mungkin Dave masih tertidur di dalam kamarnya. Bella pun melangkahkan kakinya ke arah kamar Dave. Ia rindu sekali dengan pria itu.Kriet!Pintu kamar dibuka perlahan. Kepala Bella melongok ke dalam kamar. Sesaat ia melihat situasi di dalam sana. Tampak Dave masih tertidur lelap dengan menampakkan dadanya yang telanjang. Bibir Bella tersenyum melihatnya. Ia sudah lama tidak menyentuh dada bidang Dave dan mungkin akan sangat mengasyikkan jika ia melakukannya saat ini.Tidak ada Amber di sana. Mungkin perempuan itu sudah bangun lebih dulu. "Ini kesempatanku." Bella menyeringai tipis. Bella pun melangkah dengan perlahan menuju tempat tidur. Lalu ia berbaring di samping Dave dengan gerakan yang pelan agar tidak membangunkan pria itu.Bella merasa senang karena ia bisa tidur lagi di dekat pria itu. Ia menatap wajah Dave yang sekarang terlihat lebih tampan dan mature. Dala
Mereka segera kembali ke London dengan jet pribadi. Begitu tiba di mansion, suasana tegang menyelimuti ruangan. Bella berdiri di dekat perapian, mengenakan gaun hitam elegan. Senyumnya tipis saat melihat kedatangan mereka. "Dave," sapanya lembut, seolah mereka bukan mantan suami-istri yang hubungannya berakhir tragis. Dave menggenggam tangan Amber erat, menegaskan posisinya. "Untuk apa kau datang ke sini Bella? Hubungan kita sudah benar-benar berakhir dan aku tidak suka jika kau terus menerus mencari alasan untuk mendekatiku." Dave mendengkus pelan. Bella menatap Amber sekilas sebelum kembali ke Dave. "Aku ingin menjelaskan semuanya. Kenapa aku pergi, kenapa aku tidak pernah kembali. Aku... tidak pernah mengkhianatimu, Dave." Amber mencengkeram lengan suaminya lebih kuat. Sesuatu dalam kata-kata Bella terasa janggal. Dave menatap wanita itu tajam. "Aku tidak peduli lagi tentang hal itu Bella. Apapun alasanmu sekarang tidak akan bisa mempengaruhiku lagi. "Kau yakin tida
Pagi itu, Amber terbangun dengan perasaan tidak nyaman yang sama seperti semalam. Tempat di sampingnya sudah kosong, tapi dia bisa mencium aroma kopi yang menguar dari arah dapur. Setelah mengenakan cardigan hangat, dia turun dan menemukan Dave sedang berbicara serius di telepon. "Aku tidak peduli apa yang dikatakan ayahnya, Bella tidak punya hak untuk tinggal di mansion itu lagi." Suara Dave terdengar frustasi. Amber berhenti di ambang pintu, tidak ingin mengganggu Dave yang sedang menelpon. Tapi Dave sudah melihatnya dan memberi isyarat agar dia mendekat. "Baiklah, Julian. Lakukan apa yang perlu kau lakukan. Tapi pastikan Bella paham bahwa mansion itu sekarang adalah rumah Amber." Dave menutup telepon dan menarik Amber ke dalam pelukannya. "Ada masalah dengan Bella?" Amber bertanya pelan, meski dia sudah tahu jawabannya. Dave menghela napas panjang. "Bella ingin tinggal di mansion untuk beberapa hari ke depan. Aku tidak tahu alasan tepatnya." "Sudah kuduga." Amber menghel
Perjalanan tiga jam dari London ke Lake District terasa begitu menyenangkan bagi Amber. Dave memutuskan untuk menyetir sendiri, menolak tawaran Julian untuk mengirim sopir. Pemandangan pedesaan Inggris yang hijau membentang di sepanjang jalan, memberikan ketenangan yang sangat mereka butuhkan setelah semua drama yang terjadi."Kau tersenyum terus sejak kita berangkat," Dave melirik Amber yang duduk di sampingnya, satu tangan menggenggam kemudi sementara tangan lainnya menggenggam tangan Amber."Aku hanya merasa... bebas," Amber menghirup udara segar yang masuk melalui jendela mobil yang sedikit terbuka. "Rasanya seperti meninggalkan semua masalah di London."Dave tersenyum, mengangkat tangan Amber dan mengecupnya lembut. "Bukankah ini bagus? Kita lupakan sejenak masalah yang ada." Dave tersenyum. Amber mengangguk. Sebenarnya hatinya masih saja resah karena keluarga Dave masih bersitegang mengenai penahanan Jeff. Mereka terbagi menjadi dua kubu. Ada yang mendukung Dave tapi ada jug
Amber menatap keluar jendela kamarnya di mansion Kensington, memperhatikan rintik hujan yang turun membasahi taman mawar yang baru ditanam minggu lalu. Sudah tiga hari berlalu sejak insiden penculikan yang dilakukan Jeff, tapi bayang-bayang ketakutan itu masih menghantuinya. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah Jeff yang dipenuhi amarah dan obsesi selalu muncul dalam benaknya. "Kau belum tidur?" Suara Dave mengejutkannya. Amber berbalik, mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir teh hangat di tangan. "Belum bisa," jawab Amber pelan, menerima cangkir yang disodorkan Dave. Aroma chamomile yang menenangkan menguar ke udara. "Bagaimana kabar Jeff?" Dave menghela napas panjang, duduk di tepi tempat tidur. "Pengacaranya menghubungiku tadi sore. Mereka mengajukan permohonan penangguhan penahanan, tapi aku sudah meminta Julian untuk mengurusnya. Jeff harus mempertanggungjawabkan perbuatannya." "Apa tidak apa-apa? Maksudku... dia tetap keponakanmu, Dave." "Dan kau ad
Malam itu, suasana di rumah Dave dipenuhi ketegangan. Nyonya Eliza dan Tuan Martin Oliver duduk di ruang tamu dengan ekspresi tegang. Bersama mereka, kedua orang tua Jeff juga hadir, wajah mereka tampak cemas. Mereka datang dengan satu tujuan yaitu membujuk Dave agar melepaskan Jeff. Namun, Dave tetap dengan pendiriannya."Dave, kami mohon, lepaskan Jeff. Apa pun kesalahannya, dia tetap keluarga kita," pinta Tuan Richard, ayah Jeff, dengan suara yang penuh harap.Nyonya Olivia, ibu Jeff, ikut menimpali, "Kami tidak membenarkan perbuatannya, tapi dia masih muda, dia pasti bisa berubah. Berikan dia kesempatan, Dave."Dave menatap mereka dengan ekspresi dingin. Di sampingnya, Amber duduk dengan tubuh masih lemah, meski sudah berusaha kuat untuk tetap tegar. Ia menggenggam tangan Dave erat, sebagai bentuk dukungan."Kesempatan?" Dave mendengkus sinis. "Kesempatan apa yang kalian maksud? Kesempatan untuknya berbuat lebih buruk lagi? Apa kalian tahu bagaimana trauma yang harus Amber hadapi