"Aahhh, damn! Ini sakit Dave!" pekik Amber tertahan. "Apa kamu masih virgin?" Dave memicingkan matanya. Ia tak percaya jika gadis seusia Amber masih menjaga kesuciannya. "Menurutmu?" Amber memutar bola matanya. Ia masih mengatur napasnya karena rasa sakit yang ia rasakan. "Oh my God, Amber. Aku tidak percaya kalau kamu masih virgin. Apa kau tidak normal?" Dave menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Amber masih belum terjamah, padahal Jeff berkali-kali mengatakan kalau ia sudah bosan dengan Amber. Tapi kenyataannya sekarang, Amber masih suci belum tersentuh sama sekali. Di negaranya rasanya sangat aneh bila ada gadis berusia dua puluh tahun ke atas masih suci. Karena biasanya mereka akan melepas keperawanan mereka di usia belasan tahun. Apalagi untuk Amber yang telah bertunangan dengan Jeff selama setahun lebih. Rasanya mustahil jika Amber dan Jeff tidak pernah melakukannya. "Jangan banyak omong Dave. Aku wanita normal. Aku hanya terlambat melakukanny
Dave duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya. Sebuah senyum kecil yang tak bisa ia kendalikan terus berkembang di bibirnya. Tangannya menopang dagu sementara pikirannya melayang ke kejadian tadi malam. Malam di mana Amber benar-benar menjadi miliknya.Awalnya, ia hanya ingin mendekati Amber karena ia kesal mendengar kata-kata Jeff, tapi ternyata ia malah mendapatkan jackpot. Saat ia menyentuh Amber dan merasakan kelembutan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, ia tahu bahwa dirinya sudah benar-benar jatuh. Karena faktanya Amber masih suci."Bagaimana mungkin? Amber telah bertunangan dengan Jeff selama lebih dari setahun, namun ia tetap menjaga dirinya," gumam Dave masih tidak menyangka. Namun lagi-lagi senyum penuh kebahagian muncul di bibir Dave. Hal itu membuat Dave semakin yakin bahwa Amber jauh berbeda dengan Bella.Ia bukan wanita murahan yang hanya mencari keuntungan. Ia bukan wanita yang bisa berpaling dengan mudah.Ia adalah wanita yang se
Dave berdiri di depan cermin setelah selesai mandi. Rambutnya masih basah, dan tubuhnya hanya dibalut handuk di pinggang. Tapi bukan rasa lelah yang mengganggunya sekarang. Bukan masalah di kantor, bukan bisnis, bukan angka-angka di laporan keuangan. Yang mengganggunya adalah Amber. Dave mengusap wajahnya dengan frustasi. "Sial. Semua ini bukan bagian dari rencanaku." Dave mendengkus kesal. Pernikahan ini seharusnya hanya kontrak, sebuah kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan. Tapi kenapa sekarang ia merasa… takut? Takut kalau Amber suatu saat akan pergi. Seperti Bella. Takut kalau Amber hanya menganggapnya sebagai bagian dari kesepakatan dan tidak benar-benar mencintainya. Takut kalau Amber masih memiliki perasaan untuk pria lain. Tiba-tiba, wajah Jeff melintas di benaknya. "Arrgghh... Amber dan Jeff tidak boleh berhubungan lagi." Dada Dave terasa sesak hanya dengan memikirkannya. Ia mengencangkan rahangnya, kemudian mengenakan kemeja santai sebelum ke
Jeff mengepalkan tinjunya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Apa yang baru saja terjadi? Di depan matanya, Dave Oliver memamerkan Amber seolah-olah gadis itu adalah trofi kemenangannya. Amber, yang dulu adalah miliknya, yang dulu begitu mencintainya, sekarang berada dalam genggaman pria lain. Bukan hanya itu, Dave sengaja menciumnya di depan semua orang, seolah ingin menunjukkan bahwa Amber benar-benar miliknya sekarang. "Sialan!" gumam Jeff, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Ia mengira Amber akan tetap merindukannya, ia mengira kalau Amber akan memohon bantuannya. Sebenarnya ia menunggu momen itu terjadi. Tapi sialnya Amber malah bertemu dengan Dave. Pamannya yang kaya raya. Ia kira gadis itu hanya menikahi Dave karena terpaksa. Tapi apa yang baru saja dilihatnya? Amber tidak berusaha menarik tangannya dari Dave. Amber tidak menolak saat pria itu menciumnya. Dan itu membuat Jeff semakin marah. “Jeff?” Suara seorang wanita di sebelahnya membuatnya tersadar.
Di sebuah hotel bintang lima di pusat kota London, seorang wanita cantik dengan rambut berwarna coklat terang berdiri di depan jendela besar kamarnya.Tubuhnya yang ramping dibalut gaun tidur dari bahan satin berwarna putih tulang. Manik mata hazel itu tertuju lurus pada pemandangan gedung pencakar langit di depannya. Di tangannya, segelas wine merah berputar perlahan, mencerminkan kilauan lampu-lampu kota yang gemerlap.Bibir merahnya melengkung dalam senyum tipis penuh arti."Jadi, Dave sudah menikah lagi?" Wanita itu bergumam pelan, suaranya terdengar seperti bisikan misterius yang menyimpan banyak rencana tersembunyi.Matanya yang tajam menatap ke luar jendela, namun pikirannya sepenuhnya tertuju pada satu orang yaitu Dave Oliver.Pria yang dulu menjadi miliknya. Pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati. Pria yang masih terobsesi padanya, entah dia mau mengakuinya atau tidak.Bella menyeringai kecil. Ia melangkah ke meja kecil di samping ranjang, mengambil ponselnya, lalu
Amber beradai di dapur, membantu pelayan menyiapkan makan malam. "Nyonya Amber, kami bisa melakukannya sendiri," kata Alfred sopan. Sebagai kepala pelayan, ia merasa tidak enak kalau sampai sang majikan baru, turun ke dapur. "Aku hanya ingin membantu. Lagi pula, aku merasa lebih nyaman melakukan ini daripada hanya duduk diam di kamar." Amber tersenyum tipis. Alfred menatapnya sejenak sebelum tersenyum hangat. "Anda berbeda dari wanita-wanita sebelumnya yang pernah masuk dalam hidup Tuan Dave." "Maksudmu?" Amber mengernyit. "Biasanya, wanita yang dekat dengan Tuan Dave hanya peduli pada status dan hartanya saja. Mereka tidak pernah repot-repot turun ke dapur seperti ini," jawab Alfred. Amber menggigit bibirnya. Dia tahu Bella adalah salah satu dari wanita yang dimaksud Alfred. "Dan Tuan Dave sangat berbeda sejak menikah dengan Anda," lanjut Alfred. "Dia mungkin tidak bisa menunjukkan perasaannya dengan jelas, tapi saya bisa melihatnya. Anda mengubahnya, Nyonya Amb
Bela mengeluarkan sebuah cincin berlian yang dulu pernah melingkar di jarinya. Cincin pernikahan mereka. Dave menegang, matanya menatap cincin itu tajam. "Kenapa kau membawanya?" suaranya rendah, penuh ketegangan yang ditahan. Bella memiringkan kepalanya, mengamatinya dengan ekspresi manis yang penuh kebohongan. "Karena bagiku, kau masih suamiku, Dave." "Omong kosong. Kita sudah bercerai bertahun-tahun lalu, Bella. Kau bukan siapa-siapa bagiku lagi." Dave mendengkus. Bella tersenyum tipis seolah tidak terganggu dengan kata-kata tajam itu. "Kau yang menceraikanku, Dave. Tapi aku tidak pernah setuju dengan keputusan itu. Aku tidak pernah merasa pernikahan kita benar-benar berakhir." Dave mengepalkan tangannya di bawah meja. Amarah perlahan merayapi dadanya. Bagaimana bisa Bella masih berkata seperti itu setelah semua yang dia lakukan? "Jangan bodoh, Bella. Kau mengkhianatiku. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kau dan Liam di apartemen itu..." Bella mendesah, lalu m
Taksi yang ditumpangi Bella berhenti di depan rumah mewah itu. Seorang penjaga langsung menyambut kedatangannya. "Nyonya Bella." Penjaga itu mengangguk hormat. "Jangan halangi aku untuk masuk. Dave sudah mengizinkan aku untuk datang ke rumah ini. Kamu bisa mengonfirmasinya kalau tidak percaya." Bella bicara dengan gayanya yang elegan. Penjaga itu tertegun, meski sedikit ragu namun pada akhirnya dia percaya pada kata-kata Bella. Penjaga itu malah mempersilakan Bella masuk ke dalam rumah. "Nyonya Bella?" Alfred melongo saat melihat kedatangan Bella. Pria itu bergegas menghampiri Bella. "Apa kabar Alfred, sudah lama kita tidak bertemu. Apakah rumah ini masih sama seperti dulu?" Bella memasuki rumah megah itu dengan langkah percaya diri. Pandangannya menyapu keadaan seluruh ruangan yang tidak mengalami banyak perubahan semenjak ia tinggalkan tiga tahun yang lalu. "Kabar saya baik Nyonya. Apa kedatangan Nyonya sudah diketahui oleh Tuan Dave?" Alfred merasa bingung dan takut s
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di pantai, Dave dan Amber memutuskan untuk kembali. Perjalanan pulang terasa sunyi, namun hangat. Ethan tertidur di jok belakang, sementara Amber duduk di depan di samping Dave yang menyetir.Sesekali mencuri pandang ke arah istrinya itu. Amber menangkap pandangan itu dan tersenyum tipis, lalu kembali menatap keluar jendela, membiarkan angin sore mengayun rambutnya yang tergerai."Aku senang sekali Sayang. Akhirnya kita bisa bersama lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Kita bahkan seperti sepasang pengantin baru lagi. Apa kamu juga senang, Sayang?" tanya Dave sambil melirik ke arah Amber yang tersipu. "Apa masih perlu aku jawab? Kau tidak melihat ekspresiku? Kau juga tidak menyadari kalau selama liburan ini aku selalu patuh padamu dan melakukan apapun maumu termasuk menyerahkan diriku sepenuhnya padamu Dave?" Amber balik bertanya. "Hei, jangan terlalu banyak pertanyaannya. Aku jadi pusing, Sayang." Dave terkekeh pelan. Ia menatap gemas lalu
Malam perlahan turun. Lampu-lampu di resort menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara rindangnya pepohonan dan semilir angin laut. Ethan sudah tertidur pulas setelah puas bermain seharian, sementara Amber duduk di sofa balkon dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Dave datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di sebelahnya. Dia tidak langsung bicara, hanya memandangi wajah Amber yang tampak lelah, namun jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. “Terima kasih,” ucap Amber lirih, menerima cangkir dari tangan Dave. Dave mengangguk, “Terima kasih karena sudah mau ikut ke sini.” Amber menatap lautan di depan mereka. “Kau tahu, aku takut. Takut kalau semua ini hanya akan mengulang luka yang sama.” Dave memutar tubuhnya sedikit agar bisa memandangi Amber lebih jelas. “Aku paham, Amber. Dan aku tak menuntut jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kau dan Ethan.” Amber menggigit bibirnya, menahan gempu
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah di pinggir pantai. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan. Amber turun dari mobil dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, sementara Dave membantu membawakan barang-barang kecil mereka."Tempat ini..." Amber bergumam begitu matanya menangkap pemandangan yang akrab.Dave tersenyum hangat, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu dicintainya. "Masih ingat? Ini tempat kita bulan madu kita dulu."Amber menoleh padanya, matanya membulat sedikit. Tentu saja ia masih ingat. Ini adalah tempat di mana mereka berdua dulu tertawa, bercanda, dan bermimpi akan membangun keluarga kecil yang bahagia. Amber sempat berpikir tempat ini sudah terkubur bersama semua kenangan pahit mereka. Tapi kini, Dave membawanya kembali ke sini, seolah menghidupkan kembali semua kenangan itu."Aku sudah lama ingin membawamu ke sini," kata Dave pelan, mengambil tas dari tangan Amber. "Aku ingin kau ingat, betapa dulu kita pernah berjanji menjadikan tempat ini seb
Amber baru saja selesai mengantarkan pesanan ke meja pelanggan saat pintu restoran berdenting. Ia menoleh tanpa banyak pikir, dan jantungnya sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk.Dave.Dengan setelan santai namun tetap memancarkan kharisma, pria itu melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Amber. Ketika pandangan mereka bertemu, Amber seketika merasa seluruh dunia mengecil, hanya menyisakan dia dan Dave.Amber buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk membereskan meja. Ia berharap Dave akan pergi. Tapi langkah berat Dave justru mendekat, dan sebelum Amber sempat menghindar, Dave sudah berdiri tepat di depannya."Amber," suara itu terdengar penuh emosi. "Kita perlu bicara."Beberapa karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan mereka, bisik-bisik kecil terdengar di sekeliling. Amber merasa wajahnya mulai memanas. Ia menggeleng dengan cepat."Aku sedang bekerja, Dave. Pergilah," bisiknya ketus.Namun Dave tidak bergeming. Ia justru melakukan se
Dave menghela napas panjang di dalam mobilnya, tangannya mengepal erat di atas setir. Suasana di dalam kendaraan itu terasa sesak, seolah-olah udara tidak cukup untuk menahan beban di dadanya. Kilasan wajah Amber yang marah dan penuh luka terbayang terus di benaknya. Dave memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa frustrasinya.Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Amber berjuang sendirian menghadapi tuntutan konyol dari ayahnya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethan dari Amber, anak yang bahkan baru saja diakuinya sebagai darah dagingnya.Telepon genggamnya bergetar di saku jaket. Dengan cepat, Dave mengangkatnya. Di layar tertera nama Julian."Dave, aku sudah mencari tahu," suara Julian terdengar tergesa. "Ayahmu sudah menyiapkan pengacara terbaik di kota ini untuk memenangkan kasus hak asuh Ethan."Dave mengumpat pelan. "Aku harus bertemu denganmu sekarang."Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Begitu Julian duduk, Dave langsung mengutar
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h
Nyonya Eliza menatap suaminya dengan cemas dari balik cangkir teh yang belum sempat ia seruput. Wajah Tuan Martin tampak berubah drastis setelah mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sangka bahwa Amber ternyata memiliki anak dari Dave. “Ulangi sekali lagi, Eliza. Anak itu… Ethan… dia anak Dave?” Tuan Martin bertanya dengan suara tertahan namun jelas menunjukkan kemarahan yang ditahannya. Nyonya Eliza mengangguk pelan. “Iya. Namanya Ethan, usianya sekitar dua tahun. Aku baru saja bertemu dengannya. Dia sangat mirip Dave saat masih kecil.” Tuan Martin berdiri dari kursinya dengan ekspresi tak percaya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. “Kenapa baru sekarang aku tahu soal ini?! Kenapa Dave tidak mengatakan apapun padaku?!” “Karena dia juga baru tahu, Pa. Dan dia sangat emosional setelah mengetahuinya. Anak itu adalah darah dagingnya. Itu alasan Dave begitu ngotot ingin memperbaiki hubungannya den
Amber akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di restoran milik Tuan Grayson. Keputusan itu diambil setelah berbagai pertimbangan yang matang, meskipun ia sadar situasinya kini tidak lagi sama. Banyak rekan kerja yang tetap mencibirnya di belakang, tetapi setidaknya mereka tidak berani terang-terangan mengusik dirinya seperti sebelumnya. Namun, keputusan itu membuat Dave sedikit kesal. Bukan karena ia tidak mendukung pilihan Amber, tetapi karena dalam hatinya, ia lebih ingin Amber tidak perlu lagi bekerja di tempat itu. “Kenapa kamu tetap ingin bekerja di sini?” tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak. Amber menghela napas. “Karena aku masih ingin mencari uang untuk biaya hidupku, Dave. Aku ingin tetap bekerja dan tidak bergantung pada siapa pun.” Dave mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Amber adalah wanita yang keras kepala, tetapi tetap saja, ia berharap Amber lebih mempertimbangkan posisinya sekarang. "Aku bisa memberimu uang tanpa harus bekerja di sini. Bila perl
Amber sudah merasa ada yang tidak beres dengan sikap beberapa rekan kerjanya sejak beberapa hari ini. Sikap lunak Tuan Grayson yang biasanya selalu tegas dan tanpa ampun jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan menjadi penyebabnya. Mereka berpikir kalau Tuan. Grayson telah dirayu oleh Amber hingga dia memaafkan kesalahan pria itu. Beberapa dari mereka sering berbisik-bisik saat Amber lewat, dan tatapan mereka penuh sindiran. "Aku yakin dia pasti punya hubungan spesial dengan Tuan Grayson," bisik salah satu dari mereka saat Amber berjalan melewati pantry. "Jelas. Kalau tidak, mana mungkin dia masih bekerja di sini setelah semua kesalahan yang dia buat?" sahut yang lain dengan nada sinis. "Amber menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mereka yang membicarakannya. " Ngomong apa sih kalian? Amber bukan wanita seperti itu!" Rachel ikut geram. "Darimana kau tahu?" "Aku mengenal Amber dan aku yakin Amber tidak mungkin merendahkan dirinya seperti itu." "Sudahlah