Taksi yang ditumpangi Bella berhenti di depan rumah mewah itu. Seorang penjaga langsung menyambut kedatangannya. "Nyonya Bella." Penjaga itu mengangguk hormat. "Jangan halangi aku untuk masuk. Dave sudah mengizinkan aku untuk datang ke rumah ini. Kamu bisa mengonfirmasinya kalau tidak percaya." Bella bicara dengan gayanya yang elegan. Penjaga itu tertegun, meski sedikit ragu namun pada akhirnya dia percaya pada kata-kata Bella. Penjaga itu malah mempersilakan Bella masuk ke dalam rumah. "Nyonya Bella?" Alfred melongo saat melihat kedatangan Bella. Pria itu bergegas menghampiri Bella. "Apa kabar Alfred, sudah lama kita tidak bertemu. Apakah rumah ini masih sama seperti dulu?" Bella memasuki rumah megah itu dengan langkah percaya diri. Pandangannya menyapu keadaan seluruh ruangan yang tidak mengalami banyak perubahan semenjak ia tinggalkan tiga tahun yang lalu. "Kabar saya baik Nyonya. Apa kedatangan Nyonya sudah diketahui oleh Tuan Dave?" Alfred merasa bingung dan takut s
Amber berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan mata yang mulai memanas. Kedua rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Foto-foto Dave bersama Bella membuat hatinya panas. Rasa cemburu perlahan merayapi hatinya. Tidak rela jika Dave kembali pada cinta lamanya. "Dave, sialan! Pria mata keranjang! Bisa-bisanya dia membohongiku!" geram Amber kesal. Ia meraih amplop berisi foto-foto itu dan menghamburkannya ke lantai. Wajahnya memerah karena emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Ternyata benar, Dave memang belum bisa move on dari Bella. Ia hanya dianggap sebagai pelarian saja. Wanita bodoh yang terjebak dalam permainan pria yang bahkan tidak bisa lepas dari bayang-bayang mantan istrinya. Amber menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang hampir keluar. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Tidak. Ia tidak boleh lemah. Dengan cepat, Amber menghapus air matanya. Ia meraih tasnya dengan tangan yang gemetar, lalu melangkah cepat keluar kamar.
Langit London malam itu tampak kelam. Gerimis turun perlahan, membasahi jalanan kota yang dipenuhi lampu-lampu berpendar. Namun, bagi Dave, hujan dan dinginnya malam bukanlah apa-apa dibandingkan dengan perasaan gelisah yang membakar dadanya. Amber menghilang. Ia dan Julian sudah mencari ke berbagai tempat. Ke apartemen teman-teman Amber, ke kafe yang biasa dia kunjungi, bahkan ke hotel-hotel yang mungkin menjadi tempat pelariannya. Namun, hasilnya nihil. Ponsel Amber tidak aktif. Setiap kali Dave mencoba menelepon, hanya suara operator yang terdengar, semakin memperparah amarah dan frustasinya. Dave mengusap wajahnya kasar. Ia berdiri di samping mobilnya, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Julian, yang berdiri di sebelahnya, ikut terlihat frustasi. "Kita sudah mencarinya ke mana-mana, Dave," ujar Julian dengan nada lelah. "Mungkin Amber hanya butuh waktu. Kalau kita terus mengejarnya sekarang, dia justru akan semakin menjauh." Dave mengepalkan tangannya. "Aku tidak
“Sial!” gumam Dave sambil mengusap wajahnya dengan frustasi. Amber masih belum ditemukan. Dan dia tidak tahu harus mencarinya kemana lagi. Dia takut Amber tidak akan kembali lagi padanya. Dave menggeleng, dia mencoba menepis bayangan buruk tentang itu. Amber tidak akan pernah bisa pergi darinya. Sebisa mungkin dia akan membuat Amber kembali. Dave melihat ke arah ponselnya, membaca kembali pesan yang ia kirim pada Bella, yang sampai sekarang masih belum dibalas oleh perempuan itu. "Di mana kau, Bella? Kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu ini," geram Dave kesal. Ia menekan nomor Julian, dan dalam hitungan detik, suara sahabatnya terdengar di seberang telepon. “Apa ada perkembangan?” tanya Julian langsung. "Semua ini karena ulah Bella." "Bella?!" "Ya, dan aku tidak tahu sekarang dia berada dimana, aarrgghh!" Julian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku bisa mencari tahu di mana Bella berada sekarang. Jika dia ada hubungannya dengan Amber me
Amber duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Matanya yang sembab menunjukkan bahwa ia tak mendapatkan tidur yang cukup semalam. Bayangan tentang Dave terus menghantuinya. Apakah pria itu mencari dirinya? Atau justru merasa lega karena kepergiannya membuka jalan bagi Dave dan Bella untuk kembali menjalin hubungan lebih terbuka lebar?Amber tersenyum pahit, hatinya mencelos mengingat kemungkinan itu. Ia ingin melupakan Dave, ingin menghapus perasaan yang semakin hari semakin dalam. Namun kenyataannya, itu bukan perkara mudah. Dave telah mengisi hatinya dengan kehangatan yang kini terasa menyakitkan. Amber menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.Pagi itu, suara ketukan di pintu depan mengusiknya dari lamunannya. Amber yang baru saja turun dari lantai atas menoleh ke arah dapur, tempat Clara sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka. "Clara, ada yang mengetuk pintu," kata Amber, namun Clara yang tengah sibuk dengan panci dan wajan hanya berteriak, "Bisa tolong bukakan,
Clara yang mendengar suara keributan akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang tamu, tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sana."Amber...! Kau di mana?" teriak Clara memanggil Amber. Tapi tak ada sahutan. Suasana tetap hening seolah tak ada orang selain dia di sana. "Amber, apa kau di atas?" Clara mendongak berharap Amber ada di sana. Tapi tetap tak ada sahutan. Perasaan Clara menjadi tidak enak. Gegas ia pergi ke lantai atas untuk memastikan keberadaan Amber. Tapi di kamar ia melihat ponsel Amber tergeletak begitu saja di atas kasur. "Tidak mungkin Amber pergi dengan meninggalkan ponselnya. Ini pasti ada yang tidak beres." Perasaan Amber semakin tidak enak. Ia mengambil laptopnya dan segera memeriksa rekaman cctv di sana. Dan alangkah terkejutnya Clara saat melihat Jeff datang dan menculik Amber. "Oh tidak, Amber diculik Jeff?" teriak Clara. Clara pun dengan panik segera menelpon Dave dengan menggunakan ponsel Amber yang tertinggal. Tangannya gemetar saat mendengar nada sambun
Di dalam ruang kerjanya yang luas dan megah, Dave mondar-mandir dengan gelisah. Rahangnya mengatup erat, sementara jemarinya mengepal kuat. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Amber. Sudah berjam-jam mereka mencari, namun keberadaan istrinya itu masih belum terlacak. Di sudut ruangan, Julian duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terpaku pada layar yang dipenuhi berbagai data dan peta digital. Dia berusaha mencari jejak Jeff menggunakan koneksi dan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga Oliver. Beberapa kali Julian menghela napas berat, frustrasi karena jejak Jeff begitu sulit ditemukan. "Dave, tenang dulu," kata Julian tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Kita pasti menemukannya." Dave mendengkus marah. "Tenang? Amber diculik, dan kau menyuruhku tenang? Aku tidak akan diam sampai aku menemukannya!" Julian tidak membalas. Dia tahu betul bagaimana Dave jika sudah marah, emosinya bisa meledak-ledak. Namun, Julian tetap fokus. Tangannya terus bergerak di atas keyboa
Dave membawa tubuh Amber kekuar dari vila, lalu membaringkannya di jok belakang mobilnya. Ia ingin segera membawa Amber pulang ke rumah. Dan mengenai urusan Jeff ia serahkan sepenuhnya kepada Julian. Ia yakin Julian tahu apa yang harus dia lakukan terhadap Jeff. Dave memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan tak berapa lama mobil mewah Dave tiba di rumah. Dengan cepat pria itu membawa Amber masuk ke dalam rumah langkahnya tergesa-gesa naik ke lantai dua. "Tuan, apa yang terjadi dengan Nyonya Amber?" tanya Alfred yang kaget melihat keadaan Amber. "Alfred tolong bawakan air dingin. Antar ke kamar Amber." Dave memberi perintah. "Baik Tuan." Alfred mengangguk dan langsung pergi ke dapur. Dave membaringkan tubuh Amber di atas kasur. Terlihat sekali kalau pria itu sangat mengkhawatirkan Amber. "Amber... cepatlah sadar," gumamnya pelan. "Tuan ini airnya." Alfred menyerahkan baskom kecil berisi air dingin lengkap bersama handuk kecilnya. Dave mencelupkan handuk kecil k
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h
Nyonya Eliza menatap suaminya dengan cemas dari balik cangkir teh yang belum sempat ia seruput. Wajah Tuan Martin tampak berubah drastis setelah mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sangka bahwa Amber ternyata memiliki anak dari Dave. “Ulangi sekali lagi, Eliza. Anak itu… Ethan… dia anak Dave?” Tuan Martin bertanya dengan suara tertahan namun jelas menunjukkan kemarahan yang ditahannya. Nyonya Eliza mengangguk pelan. “Iya. Namanya Ethan, usianya sekitar dua tahun. Aku baru saja bertemu dengannya. Dia sangat mirip Dave saat masih kecil.” Tuan Martin berdiri dari kursinya dengan ekspresi tak percaya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. “Kenapa baru sekarang aku tahu soal ini?! Kenapa Dave tidak mengatakan apapun padaku?!” “Karena dia juga baru tahu, Pa. Dan dia sangat emosional setelah mengetahuinya. Anak itu adalah darah dagingnya. Itu alasan Dave begitu ngotot ingin memperbaiki hubungannya den
Amber akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di restoran milik Tuan Grayson. Keputusan itu diambil setelah berbagai pertimbangan yang matang, meskipun ia sadar situasinya kini tidak lagi sama. Banyak rekan kerja yang tetap mencibirnya di belakang, tetapi setidaknya mereka tidak berani terang-terangan mengusik dirinya seperti sebelumnya. Namun, keputusan itu membuat Dave sedikit kesal. Bukan karena ia tidak mendukung pilihan Amber, tetapi karena dalam hatinya, ia lebih ingin Amber tidak perlu lagi bekerja di tempat itu. “Kenapa kamu tetap ingin bekerja di sini?” tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak. Amber menghela napas. “Karena aku masih ingin mencari uang untuk biaya hidupku, Dave. Aku ingin tetap bekerja dan tidak bergantung pada siapa pun.” Dave mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Amber adalah wanita yang keras kepala, tetapi tetap saja, ia berharap Amber lebih mempertimbangkan posisinya sekarang. "Aku bisa memberimu uang tanpa harus bekerja di sini. Bila perl
Amber sudah merasa ada yang tidak beres dengan sikap beberapa rekan kerjanya sejak beberapa hari ini. Sikap lunak Tuan Grayson yang biasanya selalu tegas dan tanpa ampun jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan menjadi penyebabnya. Mereka berpikir kalau Tuan. Grayson telah dirayu oleh Amber hingga dia memaafkan kesalahan pria itu. Beberapa dari mereka sering berbisik-bisik saat Amber lewat, dan tatapan mereka penuh sindiran. "Aku yakin dia pasti punya hubungan spesial dengan Tuan Grayson," bisik salah satu dari mereka saat Amber berjalan melewati pantry. "Jelas. Kalau tidak, mana mungkin dia masih bekerja di sini setelah semua kesalahan yang dia buat?" sahut yang lain dengan nada sinis. "Amber menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mereka yang membicarakannya. " Ngomong apa sih kalian? Amber bukan wanita seperti itu!" Rachel ikut geram. "Darimana kau tahu?" "Aku mengenal Amber dan aku yakin Amber tidak mungkin merendahkan dirinya seperti itu." "Sudahlah
Amber duduk di ruang tepi ranjang dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Dave. Sejak pria itu datang kembali ke kehidupannya, Amber merasa dunianya yang tenang mulai terusik. "Amber!" Suara ketukan di pintu disertai panggilan membuyarkan lamunan Amber. Pintu kamar terbuka dan Clara berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya. "Hallo Sayang, apa kabarmu?" Clara langsung berhambur memeluk Amber. "Kabarku baik Cla." Amber memaksakan senyum. Clara masuk dan duduk di sofa. Ia menatap Amber dengan penuh perhatian. "Kau terlihat lebih pucat dari biasanya, apa kau sakit?" tanyanya sambil mengamati wajah Amber. Amber menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Clara. "Dave sepertinya tahu kalau Ethan adalah anaknya." "Apa? Bagaimana mungkin?" Amber menggigit bibirnya ragu, lalu mulai bercerita tentang bagaimana Dave tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya, bagaimana pria itu berusaha membawa Ethan, dan bagaimana
Amber mondar-mandir gelisah di teras rumah. Jantungnya berdegup cepat, kepalanya dipenuhi pikiran buruk. Ia terus menunggu, berharap Dave segera datang dan mengembalikan Ethan. Saat akhirnya sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah, Amber langsung berlari ke arah gerbang. Napasnya memburu ketika melihat Dave keluar dari mobil dengan Ethan yang tertidur dalam gendongannya. Tanpa pikir panjang, Amber merebut Ethan dari pelukan Dave. Ia memeluk anaknya erat seolah takut kehilangan. Setelah memastikan Ethan baik-baik saja, ia menatap Dave dengan penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan, Dave?!" serunya dengan suara tertahan agar tidak membangunkan Ethan. "Aku sudah bilang jangan pernah membawa Ethan pergi tanpa izinku!" Dave menatap Amber tanpa ekspresi. Lalu, sebuah senyum tipis yang penuh arti terukir di bibirnya. "Kenapa kau begitu panik, Amber?" tanyanya santai. "Kau takut aku akan membawa Ethan pergi?" "Tentu saja!" jawab Amber ketus. Dave mengangkat alisnya. "Kenapa
Dave masih memeluk tubuh mungil Ethan dengan penuh haru. Perasaan yang mengalir di dalam dirinya begitu kuat, seakan semua rindu dan cinta yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya. Ethan tetap diam di dalam pelukannya, seolah mencoba memahami apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, Dave mengendurkan pelukannya dan menatap wajah anak itu dengan penuh kasih sayang. “Nak, maukah kau pergi jalan-jalan dengan Papa?” tanyanya lembut, tangannya mengusap rambut lembut Ethan. Ethan menatapnya dengan mata bulatnya yang jernih. Sepertinya anak itu masih bingung, namun di dalam benaknya, ada sesuatu yang membuatnya tidak takut pada Dave. Ia merasa hangat dan nyaman di dekat pria ini, meskipun ia tidak mengerti mengapa. Sebelum Ethan sempat menjawab, suara Nenek Rose terdengar dari belakang. “Tidak. Kau tidak bisa membawa Ethan pergi, Tuan Muda Oliver,” ucapnya tegas. Dave menoleh dan mendapati Nenek Rose berdiri di dekat pintu dengan ekspresi waspada. Jelas sekali kalau
Julian mengetuk pintu ruang kerja Dave sebelum melangkah masuk dengan ekspresi serius. Di tangannya, ia membawa sebuah amplop besar yang telah ia tunggu-tunggu hasilnya selama beberapa hari terakhir. Dave, yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, menatap Julian dengan tajam. "Kau sudah mendapatkan hasilnya?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Julian mengangguk dan menyerahkan amplop itu. "Hasil tes DNA Ethan sudah keluar." Dave langsung meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Ia mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya dan membaca setiap kata dengan seksama. Napasnya tertahan. "Kecocokan DNA: 99,9%. Subjek yang diuji memiliki hubungan biologis sebagai ayah dan anak." Dave membeku di tempat. Sejenak, ia tidak bisa berkata apa-apa. Semua dugaan dan harapannya selama ini terbukti benar. Ethan adalah darah dagingnya. "Ethan... adalah anakku..." bisiknya pelan, suaranya terdengar bergetar. Julian mengangguk. "Ya, Tuan. Ethan benar-benar anak Anda." Dave merasa dad
Amber keluar dari ruangan atasannya dengan wajah sedikit pucat. Perasaan lega karena tidak langsung dipecat bercampur dengan ketegangan akibat ancaman tadi. Jika dia sampai melakukan kesalahan lagi, pekerjaannya akan hilang. Itu berarti dia harus mencari cara lain untuk menghidupi Ethan. Tidak, dia tidak boleh kehilangan pekerjaan ini. Namun, baru saja ia hendak kembali bekerja, beberapa temannya sudah menunggunya di dekat pantry. Rachel, yang selama ini cukup dekat dengannya, menghampirinya dengan ekspresi khawatir. Tapi tidak semua yang berdiri di sana memiliki ekspresi yang sama. Banyak di antara mereka yang menatap marah dan iri pada Amber. "Apa yang terjadi di dalam?" tanya Rachel pelan. Amber menghela napas sebelum menjawab. "Aku ditegur karena keluar saat jam kerja kemarin. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Rachel tampak lega, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, seorang pelayan bernama Lany menyelanya. "Sudah kuduga," katanya dengan nada menyindir. "K