Dave berdiri di depan cermin setelah selesai mandi. Rambutnya masih basah, dan tubuhnya hanya dibalut handuk di pinggang. Tapi bukan rasa lelah yang mengganggunya sekarang. Bukan masalah di kantor, bukan bisnis, bukan angka-angka di laporan keuangan. Yang mengganggunya adalah Amber. Dave mengusap wajahnya dengan frustasi. "Sial. Semua ini bukan bagian dari rencanaku." Dave mendengkus kesal. Pernikahan ini seharusnya hanya kontrak, sebuah kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan. Tapi kenapa sekarang ia merasa… takut? Takut kalau Amber suatu saat akan pergi. Seperti Bella. Takut kalau Amber hanya menganggapnya sebagai bagian dari kesepakatan dan tidak benar-benar mencintainya. Takut kalau Amber masih memiliki perasaan untuk pria lain. Tiba-tiba, wajah Jeff melintas di benaknya. "Arrgghh... Amber dan Jeff tidak boleh berhubungan lagi." Dada Dave terasa sesak hanya dengan memikirkannya. Ia mengencangkan rahangnya, kemudian mengenakan kemeja santai sebelum ke
Jeff mengepalkan tinjunya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Apa yang baru saja terjadi? Di depan matanya, Dave Oliver memamerkan Amber seolah-olah gadis itu adalah trofi kemenangannya. Amber, yang dulu adalah miliknya, yang dulu begitu mencintainya, sekarang berada dalam genggaman pria lain. Bukan hanya itu, Dave sengaja menciumnya di depan semua orang, seolah ingin menunjukkan bahwa Amber benar-benar miliknya sekarang. "Sialan!" gumam Jeff, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Ia mengira Amber akan tetap merindukannya, ia mengira kalau Amber akan memohon bantuannya. Sebenarnya ia menunggu momen itu terjadi. Tapi sialnya Amber malah bertemu dengan Dave. Pamannya yang kaya raya. Ia kira gadis itu hanya menikahi Dave karena terpaksa. Tapi apa yang baru saja dilihatnya? Amber tidak berusaha menarik tangannya dari Dave. Amber tidak menolak saat pria itu menciumnya. Dan itu membuat Jeff semakin marah. “Jeff?” Suara seorang wanita di sebelahnya membuatnya tersadar.
Di sebuah hotel bintang lima di pusat kota London, seorang wanita cantik dengan rambut berwarna coklat terang berdiri di depan jendela besar kamarnya.Tubuhnya yang ramping dibalut gaun tidur dari bahan satin berwarna putih tulang. Manik mata hazel itu tertuju lurus pada pemandangan gedung pencakar langit di depannya. Di tangannya, segelas wine merah berputar perlahan, mencerminkan kilauan lampu-lampu kota yang gemerlap.Bibir merahnya melengkung dalam senyum tipis penuh arti."Jadi, Dave sudah menikah lagi?" Wanita itu bergumam pelan, suaranya terdengar seperti bisikan misterius yang menyimpan banyak rencana tersembunyi.Matanya yang tajam menatap ke luar jendela, namun pikirannya sepenuhnya tertuju pada satu orang yaitu Dave Oliver.Pria yang dulu menjadi miliknya. Pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati. Pria yang masih terobsesi padanya, entah dia mau mengakuinya atau tidak.Bella menyeringai kecil. Ia melangkah ke meja kecil di samping ranjang, mengambil ponselnya, lalu
Amber beradai di dapur, membantu pelayan menyiapkan makan malam. "Nyonya Amber, kami bisa melakukannya sendiri," kata Alfred sopan. Sebagai kepala pelayan, ia merasa tidak enak kalau sampai sang majikan baru, turun ke dapur. "Aku hanya ingin membantu. Lagi pula, aku merasa lebih nyaman melakukan ini daripada hanya duduk diam di kamar." Amber tersenyum tipis. Alfred menatapnya sejenak sebelum tersenyum hangat. "Anda berbeda dari wanita-wanita sebelumnya yang pernah masuk dalam hidup Tuan Dave." "Maksudmu?" Amber mengernyit. "Biasanya, wanita yang dekat dengan Tuan Dave hanya peduli pada status dan hartanya saja. Mereka tidak pernah repot-repot turun ke dapur seperti ini," jawab Alfred. Amber menggigit bibirnya. Dia tahu Bella adalah salah satu dari wanita yang dimaksud Alfred. "Dan Tuan Dave sangat berbeda sejak menikah dengan Anda," lanjut Alfred. "Dia mungkin tidak bisa menunjukkan perasaannya dengan jelas, tapi saya bisa melihatnya. Anda mengubahnya, Nyonya Amb
Bela mengeluarkan sebuah cincin berlian yang dulu pernah melingkar di jarinya. Cincin pernikahan mereka. Dave menegang, matanya menatap cincin itu tajam. "Kenapa kau membawanya?" suaranya rendah, penuh ketegangan yang ditahan. Bella memiringkan kepalanya, mengamatinya dengan ekspresi manis yang penuh kebohongan. "Karena bagiku, kau masih suamiku, Dave." "Omong kosong. Kita sudah bercerai bertahun-tahun lalu, Bella. Kau bukan siapa-siapa bagiku lagi." Dave mendengkus. Bella tersenyum tipis seolah tidak terganggu dengan kata-kata tajam itu. "Kau yang menceraikanku, Dave. Tapi aku tidak pernah setuju dengan keputusan itu. Aku tidak pernah merasa pernikahan kita benar-benar berakhir." Dave mengepalkan tangannya di bawah meja. Amarah perlahan merayapi dadanya. Bagaimana bisa Bella masih berkata seperti itu setelah semua yang dia lakukan? "Jangan bodoh, Bella. Kau mengkhianatiku. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kau dan Liam di apartemen itu..." Bella mendesah, lalu m
Taksi yang ditumpangi Bella berhenti di depan rumah mewah itu. Seorang penjaga langsung menyambut kedatangannya. "Nyonya Bella." Penjaga itu mengangguk hormat. "Jangan halangi aku untuk masuk. Dave sudah mengizinkan aku untuk datang ke rumah ini. Kamu bisa mengonfirmasinya kalau tidak percaya." Bella bicara dengan gayanya yang elegan. Penjaga itu tertegun, meski sedikit ragu namun pada akhirnya dia percaya pada kata-kata Bella. Penjaga itu malah mempersilakan Bella masuk ke dalam rumah. "Nyonya Bella?" Alfred melongo saat melihat kedatangan Bella. Pria itu bergegas menghampiri Bella. "Apa kabar Alfred, sudah lama kita tidak bertemu. Apakah rumah ini masih sama seperti dulu?" Bella memasuki rumah megah itu dengan langkah percaya diri. Pandangannya menyapu keadaan seluruh ruangan yang tidak mengalami banyak perubahan semenjak ia tinggalkan tiga tahun yang lalu. "Kabar saya baik Nyonya. Apa kedatangan Nyonya sudah diketahui oleh Tuan Dave?" Alfred merasa bingung dan takut s
Amber berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan mata yang mulai memanas. Kedua rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Foto-foto Dave bersama Bella membuat hatinya panas. Rasa cemburu perlahan merayapi hatinya. Tidak rela jika Dave kembali pada cinta lamanya. "Dave, sialan! Pria mata keranjang! Bisa-bisanya dia membohongiku!" geram Amber kesal. Ia meraih amplop berisi foto-foto itu dan menghamburkannya ke lantai. Wajahnya memerah karena emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Ternyata benar, Dave memang belum bisa move on dari Bella. Ia hanya dianggap sebagai pelarian saja. Wanita bodoh yang terjebak dalam permainan pria yang bahkan tidak bisa lepas dari bayang-bayang mantan istrinya. Amber menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang hampir keluar. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Tidak. Ia tidak boleh lemah. Dengan cepat, Amber menghapus air matanya. Ia meraih tasnya dengan tangan yang gemetar, lalu melangkah cepat keluar kamar.
Langit London malam itu tampak kelam. Gerimis turun perlahan, membasahi jalanan kota yang dipenuhi lampu-lampu berpendar. Namun, bagi Dave, hujan dan dinginnya malam bukanlah apa-apa dibandingkan dengan perasaan gelisah yang membakar dadanya. Amber menghilang. Ia dan Julian sudah mencari ke berbagai tempat. Ke apartemen teman-teman Amber, ke kafe yang biasa dia kunjungi, bahkan ke hotel-hotel yang mungkin menjadi tempat pelariannya. Namun, hasilnya nihil. Ponsel Amber tidak aktif. Setiap kali Dave mencoba menelepon, hanya suara operator yang terdengar, semakin memperparah amarah dan frustasinya. Dave mengusap wajahnya kasar. Ia berdiri di samping mobilnya, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Julian, yang berdiri di sebelahnya, ikut terlihat frustasi. "Kita sudah mencarinya ke mana-mana, Dave," ujar Julian dengan nada lelah. "Mungkin Amber hanya butuh waktu. Kalau kita terus mengejarnya sekarang, dia justru akan semakin menjauh." Dave mengepalkan tangannya. "Aku tidak
"Perempuan jalang, sebaiknya kau tinggalkan Dave sebelum aku tendang kau dari rumah ini." Tiba-tiba Bella berkata seperti itu saat Amber keluar dari kamarnya.Amber mengerutkan keningnya. Ia membalas tatapan nyalang dengan berani. "Apa hakmu berkata seperti itu padaku. Bukankah sebaiknya kau yang pergi dari rumah ini?" Amber tersenyum tipis. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Dave tidak benar-benar mencintaimu. Akulah wanita yang sejak dulu Dave cintai," ujar Bella begitu percaya diri.Amber mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang hampir meledak. Namun ia tahu melawan Bella tidak akan berguna sama sekali. "Dave yang mengundangku ke sini. Dan hanya dia yang bisa mengusirku dari rumah ini, " tegas Amber dengan wajah ketus. Dia berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan untuk makan siang. Alfred sudah memberitahu kalau makan siang sudah siap tadi. "Siapa yang mengizinkanmu untuk makan siang di sini, hah?" Bella ingin merengkuh baju yang dikenakan oleh Amber tetapi peremp
"Amber!" Dave mencoba memanggil Amber yang keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan kerjanya saat itu. Ia ingin bangun tetapi Bella menekan bahunya dan kembali mencium bibirnya dengan buas.Sementara itu Amber masuk ke dalam kamarnya dengan wajah sedih. Ia berdiri di depan jendela kamar dan memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Seperti ada batu besar yang menimpanya."Kenapa rasanya sakit sekali?" Amber memejamkan matanya sembari sesekali memukul pelan dadanya, berharap rasa sesak itu berkurang. Terbayang kembali adegan dimana Bella mencium Dave dengan begitu bergairah tadi. Rasanya ada ketidak relaan dalam dirinya. Ia tidak mau Dave melakukan hal seperti itu dengan perempuan lain.Amber terisak. Ia tersiksa dengan perasaannya sendiri. Ia cemburu pada Dave dan Bella. Ia juga tidak tahu sejak kapan ia mulai memiliki perasaan ini terhadap Dave."Mungkin benar Dave dan Bella mau kembali bersatu. Sadar Amber kau hanyalah orang baru dalam hidup Dave. Sementara Bella, dia sudah mempuny
"Lihat, dia sangat mirip denganmu Dave... " ujar Bella dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Dave menatap anak kecil di pelukannya dengan ekspresi sulit ditebak. Stevan, dengan abu tajam dan rambut gelapnya, mengingatkan Dave pada dirinya sendiri di masa kecil. Anak itu tertawa kecil, jemarinya yang mungil menyentuh wajah Dave dengan polosnya.Amber yang duduk di seberang meja menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak melihat bagaimana Dave tampak terpikat oleh anak itu.Bella tersenyum puas. “Dia menyukaimu, Dave,” katanya dengan nada lembut. “Sepertinya dia tahu kalau kau adalah ayah kandungnya."Dave mengalihkan pandangannya pada Bella, suaranya lebih tenang dari yang dia rasakan. "Apa Stevan benar-benar anakku?"Bella menatap Dave dalam-dalam sebelum tersenyum samar. “Kenapa kau bertanya, Dave? Apa kau tidak percaya padaku?"Amber merasakan jantungnya mencelos. Tatapan Bella begitu licik, penuh dengan kesengajaan.Dave menatap Stevan lagi, lalu menarik napas panjang. Ia ma
Bella baru saja keluar dari dalam kamarnya. Hari sudah beranjak siang saat itu. Kebetulan sekarang adalah weekend dan mungkin Dave masih tertidur di dalam kamarnya. Bella pun melangkahkan kakinya ke arah kamar Dave. Ia rindu sekali dengan pria itu.Kriet!Pintu kamar dibuka perlahan. Kepala Bella melongok ke dalam kamar. Sesaat ia melihat situasi di dalam sana. Tampak Dave masih tertidur lelap dengan menampakkan dadanya yang telanjang. Bibir Bella tersenyum melihatnya. Ia sudah lama tidak menyentuh dada bidang Dave dan mungkin akan sangat mengasyikkan jika ia melakukannya saat ini.Tidak ada Amber di sana. Mungkin perempuan itu sudah bangun lebih dulu. "Ini kesempatanku." Bella menyeringai tipis. Bella pun melangkah dengan perlahan menuju tempat tidur. Lalu ia berbaring di samping Dave dengan gerakan yang pelan agar tidak membangunkan pria itu.Bella merasa senang karena ia bisa tidur lagi di dekat pria itu. Ia menatap wajah Dave yang sekarang terlihat lebih tampan dan mature. Dala
Mereka segera kembali ke London dengan jet pribadi. Begitu tiba di mansion, suasana tegang menyelimuti ruangan. Bella berdiri di dekat perapian, mengenakan gaun hitam elegan. Senyumnya tipis saat melihat kedatangan mereka. "Dave," sapanya lembut, seolah mereka bukan mantan suami-istri yang hubungannya berakhir tragis. Dave menggenggam tangan Amber erat, menegaskan posisinya. "Untuk apa kau datang ke sini Bella? Hubungan kita sudah benar-benar berakhir dan aku tidak suka jika kau terus menerus mencari alasan untuk mendekatiku." Dave mendengkus pelan. Bella menatap Amber sekilas sebelum kembali ke Dave. "Aku ingin menjelaskan semuanya. Kenapa aku pergi, kenapa aku tidak pernah kembali. Aku... tidak pernah mengkhianatimu, Dave." Amber mencengkeram lengan suaminya lebih kuat. Sesuatu dalam kata-kata Bella terasa janggal. Dave menatap wanita itu tajam. "Aku tidak peduli lagi tentang hal itu Bella. Apapun alasanmu sekarang tidak akan bisa mempengaruhiku lagi. "Kau yakin tida
Pagi itu, Amber terbangun dengan perasaan tidak nyaman yang sama seperti semalam. Tempat di sampingnya sudah kosong, tapi dia bisa mencium aroma kopi yang menguar dari arah dapur. Setelah mengenakan cardigan hangat, dia turun dan menemukan Dave sedang berbicara serius di telepon. "Aku tidak peduli apa yang dikatakan ayahnya, Bella tidak punya hak untuk tinggal di mansion itu lagi." Suara Dave terdengar frustasi. Amber berhenti di ambang pintu, tidak ingin mengganggu Dave yang sedang menelpon. Tapi Dave sudah melihatnya dan memberi isyarat agar dia mendekat. "Baiklah, Julian. Lakukan apa yang perlu kau lakukan. Tapi pastikan Bella paham bahwa mansion itu sekarang adalah rumah Amber." Dave menutup telepon dan menarik Amber ke dalam pelukannya. "Ada masalah dengan Bella?" Amber bertanya pelan, meski dia sudah tahu jawabannya. Dave menghela napas panjang. "Bella ingin tinggal di mansion untuk beberapa hari ke depan. Aku tidak tahu alasan tepatnya." "Sudah kuduga." Amber menghel
Perjalanan tiga jam dari London ke Lake District terasa begitu menyenangkan bagi Amber. Dave memutuskan untuk menyetir sendiri, menolak tawaran Julian untuk mengirim sopir. Pemandangan pedesaan Inggris yang hijau membentang di sepanjang jalan, memberikan ketenangan yang sangat mereka butuhkan setelah semua drama yang terjadi."Kau tersenyum terus sejak kita berangkat," Dave melirik Amber yang duduk di sampingnya, satu tangan menggenggam kemudi sementara tangan lainnya menggenggam tangan Amber."Aku hanya merasa... bebas," Amber menghirup udara segar yang masuk melalui jendela mobil yang sedikit terbuka. "Rasanya seperti meninggalkan semua masalah di London."Dave tersenyum, mengangkat tangan Amber dan mengecupnya lembut. "Bukankah ini bagus? Kita lupakan sejenak masalah yang ada." Dave tersenyum. Amber mengangguk. Sebenarnya hatinya masih saja resah karena keluarga Dave masih bersitegang mengenai penahanan Jeff. Mereka terbagi menjadi dua kubu. Ada yang mendukung Dave tapi ada jug
Amber menatap keluar jendela kamarnya di mansion Kensington, memperhatikan rintik hujan yang turun membasahi taman mawar yang baru ditanam minggu lalu. Sudah tiga hari berlalu sejak insiden penculikan yang dilakukan Jeff, tapi bayang-bayang ketakutan itu masih menghantuinya. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah Jeff yang dipenuhi amarah dan obsesi selalu muncul dalam benaknya. "Kau belum tidur?" Suara Dave mengejutkannya. Amber berbalik, mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir teh hangat di tangan. "Belum bisa," jawab Amber pelan, menerima cangkir yang disodorkan Dave. Aroma chamomile yang menenangkan menguar ke udara. "Bagaimana kabar Jeff?" Dave menghela napas panjang, duduk di tepi tempat tidur. "Pengacaranya menghubungiku tadi sore. Mereka mengajukan permohonan penangguhan penahanan, tapi aku sudah meminta Julian untuk mengurusnya. Jeff harus mempertanggungjawabkan perbuatannya." "Apa tidak apa-apa? Maksudku... dia tetap keponakanmu, Dave." "Dan kau ad
Malam itu, suasana di rumah Dave dipenuhi ketegangan. Nyonya Eliza dan Tuan Martin Oliver duduk di ruang tamu dengan ekspresi tegang. Bersama mereka, kedua orang tua Jeff juga hadir, wajah mereka tampak cemas. Mereka datang dengan satu tujuan yaitu membujuk Dave agar melepaskan Jeff. Namun, Dave tetap dengan pendiriannya."Dave, kami mohon, lepaskan Jeff. Apa pun kesalahannya, dia tetap keluarga kita," pinta Tuan Richard, ayah Jeff, dengan suara yang penuh harap.Nyonya Olivia, ibu Jeff, ikut menimpali, "Kami tidak membenarkan perbuatannya, tapi dia masih muda, dia pasti bisa berubah. Berikan dia kesempatan, Dave."Dave menatap mereka dengan ekspresi dingin. Di sampingnya, Amber duduk dengan tubuh masih lemah, meski sudah berusaha kuat untuk tetap tegar. Ia menggenggam tangan Dave erat, sebagai bentuk dukungan."Kesempatan?" Dave mendengkus sinis. "Kesempatan apa yang kalian maksud? Kesempatan untuknya berbuat lebih buruk lagi? Apa kalian tahu bagaimana trauma yang harus Amber hadapi