"Jangan mimpi Amber. Bangun sekarang juga kalau kamu masih bermimpi." Dave berkata dengan wajah kesal. Sudah Amber duga kalau jawaban Dave pasti akan membuatnya sakit hati. Amber tersenyum getir. ini adalah kesalahannya yang terlalu percaya diri kalau Dave sudah mulai mencintainya. Dave mendengkus dingin. Ia menatap Amber dengan tatapan mencemooh. Namun tiba-tiba tangannya menarik pinggang ramping Amber dan mengangkat dagu gadis itu dengan tatapan tajam. "Jangan terlalu percaya diri Amber. Mana mungkin aku menyukai wanita sepertimu. Lihat dirimu Amber, kamu begitu menyedihkan." Dave memindai tubuh Amber, tentu saja dengan tatapan yang membuat hati Amber mencelos. Kata-kata Dave memang selalu pedas bahkan pedasnya melebihi cabe terpedas di dunia. Namun Amber tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya di depan Dave. Amber menyunggingkan senyum tipisnya. "Bagus kalau kamu tidak menyukaiku. Karena aku juga tidak akan pernah menyukai pria menyebalkan sepertimu." "Apa katamu?" Dave
Tangan Amber terasa sakit saat harus mengikuti langkah Dave yang tergesa. Entah apa yang akan dilakukannya, yang jelas gadis bermanik cokelat terang itu sangat ketakutan melihat raut wajah Dave yang menyeramkan itu. "Dave, lepaskan aku! Kamu menyakitiku Dave!" Amber berusaha melepaskan tangan lelaki itu. Namun tenaga Dave bukan tandingannya. Pria tampan yang merasa harga dirinya dihancurkan oleh Amber terus berjalan menuju kamarnya. Dia menyeret tubuh Amber dan melemparkannya ke atas kasur. BRUGH! Meski tidak sakit tapi Amber dibuat cukup terkejut oleh sikap kalap Dave. Lelaki itu terlihat sangat marah. Ia kesal karena Amber pun masih saja menuduhnya sebagai lelaki tidak normal seperti orang lain di luar sana. "Dengar Amber, aku menyewamu bukan untuk menghakimiku atau meragukan kejantananku. Tapi kenapa sekarang kamu malah sama seperti orang-orang itu, hah?" Dave mencengkram leher Amber hingga gadis itu merasakan kesulitan untuk bernapas. "Dave, kamu bisa membunuhku kalau
Dave menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia seharusnya langsung menutup laptopnya, tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan sesuatu yang sulit ia kendalikan, keinginan untuk lebih dekat, untuk menyentuh, untuk memiliki Amber seutuhnya. "Sial!" Ia menggenggam erat ponselnya, berusaha mengendalikan diri. Amber hanya istri bohongannya, dan hubungan mereka tidak seharusnya melibatkan perasaan. Tapi mengapa sekarang ia merasa seperti ini? Dengan gerakan cepat Dave menutup laptopnya. Ia memilih pergi sebelum pikirannya semakin jauh tenggelam dalam godaan yang berbahaya ini. *** Di sebuah bar eksklusif di pusat kota Kensington, suasana malam terasa ramai dengan suara dentingan gelas dan percakapan para pengunjung. Namun, bagi Dave Oliver, dunia terasa lebih sempit dari biasanya. Ia duduk di sudut ruangan dengan ekspresi kusut, mengaduk whiskey di gelasnya tanpa benar-benar berminat meminumnya. Di seberangnya, Julian menyesap minuman
Suara dering ponsel berulang kali menggema di kamar yang masih gelap. Di atas ranjang besar dengan seprai berantakan, Dave Oliver bergeming. Ponselnya yang bergetar di atas nakas hanya membuatnya mengerang kesal. Ia mengulurkan tangan, meraba-raba ponsel tanpa membuka mata, lalu menjawab panggilan itu dengan suara serak, “Apa?” Suara Julian langsung terdengar di seberang, penuh semangat seperti biasanya. “Selamat pagi, Tuan Oliver! Maaf mengganggu tidur malammu yang berharga, tapi kau harus bangun sekarang. Masalah besar sedang menunggumu.” Dave mendesah, lalu membuka matanya sedikit. “Masalah apa?” "Sepertinya para wartawan mulai tertarik dengan hubunganmu dan Amber. Mereka mulai menggali informasi tentang hal itu, dan kau tahu apa yang mereka temukan?” “Berhenti bertele-tele, Julian.” Dave memijat pelipisnya. “Baiklah, dengarkan ini. Beberapa media sekarang berspekulasi bahwa hubunganmu dengan Amber hanyalah rekayasa belaka untuk menutupi fakta bahwa kau sebenarnya adalah
Amber masih bisa merasakan bibirnya yang berdenyut halus setelah ciuman yang diberikan Dave di konferensi pers tadi siang. Meski ia sudah kembali ke rumah mereka, pikirannya masih belum bisa tenang. Seharusnya ia merasa marah, malu, atau paling tidak, kesal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dadanya berdebar hebat, wajahnya panas, dan jantungnya seolah berlari tanpa kendali. "Ini gila…" gumamnya, memegangi kepalanya. Pernikahan mereka hanya sandiwara. Ia tahu itu sejak awal. Tidak seharusnya ia merasa seperti ini. Namun, saat ia menutup mata, ingatan tentang tatapan Dave sebelum mencium dirinya kembali muncul. Sorot matanya penuh ketegasan, seolah Dave benar-benar menginginkan momen itu terjadi. Amber menggigit bibirnya. Apa mungkin Dave juga mulai merasakan sesuatu terhadapnya? --- Di ruangan lain. Air dingin yang baru saja Dave gunakan untuk membasuh wajah tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. "Sial. Apa yang kulakukan tadi?" gumamnya resah. Saat itu, ia
Malam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam saat ponsel Amber berdering. Amber yang baru saja terlelap seketika terbangun kembali dan melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini. "Nona Amber, tolong cepat turunlah, bawa suamimu ke kamarnya." Suara Julian Terdengar. Amber melihat lagi ke arah ponselnya. Rupanya Julian menelponnya dengan menggunakan ponsel David. "Suami... siapa juga yang mau jadi istri lelaki itu." Amber menggerutu meski pada akhirnya ia tetap turun ke bawah untuk menemui Dave. Di lantai bawah, Dave masih di papah oleh Julian memasuki rumah. Tubuh lemah Dave terkulai. Sesekali mulutnya bergumam entah apa yang dia bicarakan. "Cepatlah Nona, bawa dia ke kamarnya. Tanganku sudah kram dari tadi." Julian menyuruh Amber agar mempercepat langkahnya. Dengan kesal, Amber mengambil alih tubuh Dave dan membawanya ke lantai atas. "Rawat dia dengan baik, Nona Amber. Aku pulang dulu." Julian melambaikan tangannya. "Terima kasih Julian." Amber tidak lupa m
"Aahhh, damn! Ini sakit Dave!" pekik Amber tertahan. "Apa kamu masih virgin?" Dave memicingkan matanya. Ia tak percaya jika gadis seusia Amber masih menjaga kesuciannya. "Menurutmu?" Amber memutar bola matanya. Ia masih mengatur napasnya karena rasa sakit yang ia rasakan. "Oh my God, Amber. Aku tidak percaya kalau kamu masih virgin. Apa kau tidak normal?" Dave menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Amber masih belum terjamah, padahal Jeff berkali-kali mengatakan kalau ia sudah bosan dengan Amber. Tapi kenyataannya sekarang, Amber masih suci belum tersentuh sama sekali. Di negaranya rasanya sangat aneh bila ada gadis berusia dua puluh tahun ke atas masih suci. Karena biasanya mereka akan melepas keperawanan mereka di usia belasan tahun. Apalagi untuk Amber yang telah bertunangan dengan Jeff selama setahun lebih. Rasanya mustahil jika Amber dan Jeff tidak pernah melakukannya. "Jangan banyak omong Dave. Aku wanita normal. Aku hanya terlambat melakukanny
Dave duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya. Sebuah senyum kecil yang tak bisa ia kendalikan terus berkembang di bibirnya. Tangannya menopang dagu sementara pikirannya melayang ke kejadian tadi malam. Malam di mana Amber benar-benar menjadi miliknya.Awalnya, ia hanya ingin mendekati Amber karena ia kesal mendengar kata-kata Jeff, tapi ternyata ia malah mendapatkan jackpot. Saat ia menyentuh Amber dan merasakan kelembutan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, ia tahu bahwa dirinya sudah benar-benar jatuh. Karena faktanya Amber masih suci."Bagaimana mungkin? Amber telah bertunangan dengan Jeff selama lebih dari setahun, namun ia tetap menjaga dirinya," gumam Dave masih tidak menyangka. Namun lagi-lagi senyum penuh kebahagian muncul di bibir Dave. Hal itu membuat Dave semakin yakin bahwa Amber jauh berbeda dengan Bella.Ia bukan wanita murahan yang hanya mencari keuntungan. Ia bukan wanita yang bisa berpaling dengan mudah.Ia adalah wanita yang se
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h
Nyonya Eliza menatap suaminya dengan cemas dari balik cangkir teh yang belum sempat ia seruput. Wajah Tuan Martin tampak berubah drastis setelah mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sangka bahwa Amber ternyata memiliki anak dari Dave. “Ulangi sekali lagi, Eliza. Anak itu… Ethan… dia anak Dave?” Tuan Martin bertanya dengan suara tertahan namun jelas menunjukkan kemarahan yang ditahannya. Nyonya Eliza mengangguk pelan. “Iya. Namanya Ethan, usianya sekitar dua tahun. Aku baru saja bertemu dengannya. Dia sangat mirip Dave saat masih kecil.” Tuan Martin berdiri dari kursinya dengan ekspresi tak percaya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. “Kenapa baru sekarang aku tahu soal ini?! Kenapa Dave tidak mengatakan apapun padaku?!” “Karena dia juga baru tahu, Pa. Dan dia sangat emosional setelah mengetahuinya. Anak itu adalah darah dagingnya. Itu alasan Dave begitu ngotot ingin memperbaiki hubungannya den
Amber akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di restoran milik Tuan Grayson. Keputusan itu diambil setelah berbagai pertimbangan yang matang, meskipun ia sadar situasinya kini tidak lagi sama. Banyak rekan kerja yang tetap mencibirnya di belakang, tetapi setidaknya mereka tidak berani terang-terangan mengusik dirinya seperti sebelumnya. Namun, keputusan itu membuat Dave sedikit kesal. Bukan karena ia tidak mendukung pilihan Amber, tetapi karena dalam hatinya, ia lebih ingin Amber tidak perlu lagi bekerja di tempat itu. “Kenapa kamu tetap ingin bekerja di sini?” tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak. Amber menghela napas. “Karena aku masih ingin mencari uang untuk biaya hidupku, Dave. Aku ingin tetap bekerja dan tidak bergantung pada siapa pun.” Dave mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Amber adalah wanita yang keras kepala, tetapi tetap saja, ia berharap Amber lebih mempertimbangkan posisinya sekarang. "Aku bisa memberimu uang tanpa harus bekerja di sini. Bila perl
Amber sudah merasa ada yang tidak beres dengan sikap beberapa rekan kerjanya sejak beberapa hari ini. Sikap lunak Tuan Grayson yang biasanya selalu tegas dan tanpa ampun jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan menjadi penyebabnya. Mereka berpikir kalau Tuan. Grayson telah dirayu oleh Amber hingga dia memaafkan kesalahan pria itu. Beberapa dari mereka sering berbisik-bisik saat Amber lewat, dan tatapan mereka penuh sindiran. "Aku yakin dia pasti punya hubungan spesial dengan Tuan Grayson," bisik salah satu dari mereka saat Amber berjalan melewati pantry. "Jelas. Kalau tidak, mana mungkin dia masih bekerja di sini setelah semua kesalahan yang dia buat?" sahut yang lain dengan nada sinis. "Amber menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mereka yang membicarakannya. " Ngomong apa sih kalian? Amber bukan wanita seperti itu!" Rachel ikut geram. "Darimana kau tahu?" "Aku mengenal Amber dan aku yakin Amber tidak mungkin merendahkan dirinya seperti itu." "Sudahlah
Amber duduk di ruang tepi ranjang dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Dave. Sejak pria itu datang kembali ke kehidupannya, Amber merasa dunianya yang tenang mulai terusik. "Amber!" Suara ketukan di pintu disertai panggilan membuyarkan lamunan Amber. Pintu kamar terbuka dan Clara berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya. "Hallo Sayang, apa kabarmu?" Clara langsung berhambur memeluk Amber. "Kabarku baik Cla." Amber memaksakan senyum. Clara masuk dan duduk di sofa. Ia menatap Amber dengan penuh perhatian. "Kau terlihat lebih pucat dari biasanya, apa kau sakit?" tanyanya sambil mengamati wajah Amber. Amber menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Clara. "Dave sepertinya tahu kalau Ethan adalah anaknya." "Apa? Bagaimana mungkin?" Amber menggigit bibirnya ragu, lalu mulai bercerita tentang bagaimana Dave tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya, bagaimana pria itu berusaha membawa Ethan, dan bagaimana
Amber mondar-mandir gelisah di teras rumah. Jantungnya berdegup cepat, kepalanya dipenuhi pikiran buruk. Ia terus menunggu, berharap Dave segera datang dan mengembalikan Ethan. Saat akhirnya sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah, Amber langsung berlari ke arah gerbang. Napasnya memburu ketika melihat Dave keluar dari mobil dengan Ethan yang tertidur dalam gendongannya. Tanpa pikir panjang, Amber merebut Ethan dari pelukan Dave. Ia memeluk anaknya erat seolah takut kehilangan. Setelah memastikan Ethan baik-baik saja, ia menatap Dave dengan penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan, Dave?!" serunya dengan suara tertahan agar tidak membangunkan Ethan. "Aku sudah bilang jangan pernah membawa Ethan pergi tanpa izinku!" Dave menatap Amber tanpa ekspresi. Lalu, sebuah senyum tipis yang penuh arti terukir di bibirnya. "Kenapa kau begitu panik, Amber?" tanyanya santai. "Kau takut aku akan membawa Ethan pergi?" "Tentu saja!" jawab Amber ketus. Dave mengangkat alisnya. "Kenapa
Dave masih memeluk tubuh mungil Ethan dengan penuh haru. Perasaan yang mengalir di dalam dirinya begitu kuat, seakan semua rindu dan cinta yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya. Ethan tetap diam di dalam pelukannya, seolah mencoba memahami apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, Dave mengendurkan pelukannya dan menatap wajah anak itu dengan penuh kasih sayang. “Nak, maukah kau pergi jalan-jalan dengan Papa?” tanyanya lembut, tangannya mengusap rambut lembut Ethan. Ethan menatapnya dengan mata bulatnya yang jernih. Sepertinya anak itu masih bingung, namun di dalam benaknya, ada sesuatu yang membuatnya tidak takut pada Dave. Ia merasa hangat dan nyaman di dekat pria ini, meskipun ia tidak mengerti mengapa. Sebelum Ethan sempat menjawab, suara Nenek Rose terdengar dari belakang. “Tidak. Kau tidak bisa membawa Ethan pergi, Tuan Muda Oliver,” ucapnya tegas. Dave menoleh dan mendapati Nenek Rose berdiri di dekat pintu dengan ekspresi waspada. Jelas sekali kalau
Julian mengetuk pintu ruang kerja Dave sebelum melangkah masuk dengan ekspresi serius. Di tangannya, ia membawa sebuah amplop besar yang telah ia tunggu-tunggu hasilnya selama beberapa hari terakhir. Dave, yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, menatap Julian dengan tajam. "Kau sudah mendapatkan hasilnya?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Julian mengangguk dan menyerahkan amplop itu. "Hasil tes DNA Ethan sudah keluar." Dave langsung meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Ia mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya dan membaca setiap kata dengan seksama. Napasnya tertahan. "Kecocokan DNA: 99,9%. Subjek yang diuji memiliki hubungan biologis sebagai ayah dan anak." Dave membeku di tempat. Sejenak, ia tidak bisa berkata apa-apa. Semua dugaan dan harapannya selama ini terbukti benar. Ethan adalah darah dagingnya. "Ethan... adalah anakku..." bisiknya pelan, suaranya terdengar bergetar. Julian mengangguk. "Ya, Tuan. Ethan benar-benar anak Anda." Dave merasa dad
Amber keluar dari ruangan atasannya dengan wajah sedikit pucat. Perasaan lega karena tidak langsung dipecat bercampur dengan ketegangan akibat ancaman tadi. Jika dia sampai melakukan kesalahan lagi, pekerjaannya akan hilang. Itu berarti dia harus mencari cara lain untuk menghidupi Ethan. Tidak, dia tidak boleh kehilangan pekerjaan ini. Namun, baru saja ia hendak kembali bekerja, beberapa temannya sudah menunggunya di dekat pantry. Rachel, yang selama ini cukup dekat dengannya, menghampirinya dengan ekspresi khawatir. Tapi tidak semua yang berdiri di sana memiliki ekspresi yang sama. Banyak di antara mereka yang menatap marah dan iri pada Amber. "Apa yang terjadi di dalam?" tanya Rachel pelan. Amber menghela napas sebelum menjawab. "Aku ditegur karena keluar saat jam kerja kemarin. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Rachel tampak lega, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, seorang pelayan bernama Lany menyelanya. "Sudah kuduga," katanya dengan nada menyindir. "K