*Happy Reading*
"Woy, Kan?!" Arkana langsung memutar badannya ke arah sumber suara, lalu mengangkat tangan membalas lambaian sang pemanggil. Sebelum menghampiri pria yang pernah satu bangku kuliah dengannya itu. "Bro?!" Setelah dekat dengan pria itu, Arkana pun menyambut tangan yang mengajaknya ber-high five. Dan membenturkan bahu mereka dengan pelan. "Gimana kabar, lo? Betah banget di Makasar. Sampe lupa balik ke Jakarta. Kepincut janda kembang ya, di sana?" kelakar Arkana. Membuat Boy, salah satu kawannya itu tergelak renyah menanggapinya. "Kaga, lah. Gue masih setia sama bini gue yang di sini. Lo sendiri, gimana? Udah berapa anak gadis yang lo risak?" Kali ini giliran Arkana yang tergelak dengan pertanyaan Boy. Karena, sepertinya memang hanya itulah yang dikenal darinya selama pertemanan mereka. "Ada, lah. Cukup gue aja yang tau. Nanti lo ngiri kalo tau," timpal Arkana dengan jumawa. Sebelum kedua sahabat itu tergelak bersama. Setelah itu, keduanya pun memilih melanjutkan obrolan sambil duduk, di meja yang sudah di pesan Boy. "Pesen minum dulu, Kan. Supaya enak ngobrolnya," titah Boy, menyerahkan buku menu pada Arkana. Pria itu pun menerimanya dengan senang hati, dan langsung memanggil pelayan di sana, setelah menemukan apa yang dia inginkan. "Jadi, gimana? Lo ada perlu apa tiba-tiba ngehubungin gue, dan ngajak gue ketemuan kaya gini? Gue tau lo, Boy. Lo kan salah satu temen kampret yang biasanya datang pas butuh doang?" ungkap Arkana dengan riang. Setelah pelayan yang mencatat pesanannya pergi. "Bangke! Emang paling tau otak gue, lo," timpal Boy. Tak merasa tersinggung sama sekali. Lalu, obrolan pun mengalir antara mereka. Dari mulai obrolan basa basi, pekerjaan, masa lalu, bahkan gadis-gadis yang terus melirik mereka, yang tak jauh dari meja mereka pun, tidak dilewatkan untuk dibahas. Wajar, kedua pria itu memang bisa di kategorikan cogan hot. Karena memang paras dan perawakannya mirip model masa kini. Khususnya Arkana Sadewa. Yang memang memiliki tubuh tinggi yang tegap. Dengan otot-otot yang pas membentuk tubuhnya. Karena itulah, tak heran jika kehadirannya selalu berhasil menyita perhatian para gadis, di mana pun dia berada. "Gila! Pesona lo emang gak ada matinya!" ucap Boy takjub. Setelah seorang pelayan tiba-tiba datang kemeja mereka, dan menyerahkan sebuah kertas berisi deretan nomer ke hadapan Arkana. "Titipan dari yang baju kuning di meja depan, Mas," ucap Barista itu, yang juga terlihat mencuri-curi lirik ke arah Arkana. Apalagi saat Arkana menerima kertas itu dan mengucapkan terima kasih dengan senyum manisnya. Plus kerlingan mata nakal khas si playboy. Barista itu pun terlihat tersipu malu sebelum pamit pergi dari sana. Itulah yang sebenarnya Boy takjubkan dari seorang Arkana Sadewa. Karena pria ini memang pandai memanfaatkan apa yang dia miliki, untuk menjerat wanita sebanyak yang dia mau. Sementara itu, Arkana hanya membalas ucapan Boy dengan seringai menyebalkan. Sebelum memasukan kertas tadi ke saku celana panjangnya dengan santai. "Bakal lo telpon tuh cewek?" tanya Boy penasaran. "Nanti aja kalo gue udah luang. Sekarang gue masih sibuk banget," jawab Arkana lugas. Seraya menyesap kopinya dengan perlahan. Boy menggeleng kembali dengan perasaan tak habis pikir. Enak sekali Playboy satu ini. Memakai cewek sudah seperti memakai baju. Semau hati dalam berganti. Tak lama setelahnya, tiba-tiba sebuah keributan terjadi di sana. Berasal dari sebuah ruang VIP tak jauh dari arah meja mereka. "Bangsat kalian semua!! Emang bajingan! Sini gue habisin semua!" Sebuah seruan lantang terdengar dari sana. Seorang pria tambun paruh baya. Dengan perut sedikit buncit dan rambut acak-acakan lalu keluar dari ruangan itu, dengan mengacung-acungkan sebuah botol pecah ke sembarang arah. Dilihat dari tampilan dan mata pria itu. Sepertinya dia mabuk. Karena pandangannya tidak fokus, dan jalannya juga sedikit oleng. Bahkan dia meracau sambil memaki tak jelas kesembarang orang. Membuat suasana Cafe itu pun langsung gaduh seketika. Apalagi, pengunjung Cafe malam itu lebih didominasi wanita. Kalian tentu tahu bagaimana sikap wanita pada umumnya, kan, Jika dihadapkan situasi seperti ini? Semuanya saling berteriak dan memekik tiap kali pria teler itu mengayunkan botol pecahnya. Sekalipun tak mengenai siapapun. "Bangsat! Sini lo, setan! Gue habisin lo!" Pria teler tadi kembali memaki, entah pada siapa. Seorang barista tiba-tiba datang membawa dua orang security, yang memang bertugas mengamankan Cafe itu. Lalu meminta mereka itu membereskan si biang onar. Hanya saja, melihat pria mabuk itu terus saja mengayun-ayunkan botol pecah di tangannya ke sembarang arah. Kedua security yang tak lagi muda itupun, terlihat ketakutan di tempatnya, dan hanya maju mundur saja untuk membekuk pria mabuk tersebut. "Minggir gue bilang!" Sret. Akhirnya, karena gerakan ragu sang security. Salah satu dari mereka pun terkena botol pecah itu. Security itu memekik kesakitan saat tangannya tersayat, membuat suasana tambah gaduh lagi. "Kan?" Boy memberi kode dengan lirikannya. Tanda dia juga gemas dengan kejadian itu, dan ingin sekali memberikan pertolongan, untuk membekuk pria mabuk itu. Namun, baru saja mereka merangsek mendekati pria pemabuk, tiba-tiba seorang gadis berseragam Barista, melewati mereka dengan cepat, dan berdiri tegap dihadapan pria mabuk dengan berani. "Yang begini ini nih yang ngerepotin. Demen banget bikin gue OT dadakan tanpa bayaran. Bikin rugi saja!" omel gadis itu. Sebelum makin mendekat pada si pria mabuk. "Awas! Dia--" "Brisik!" Sela gadis itu galak. Saat seorang teman Bristanya memberi peringatan. Gadis itu lalu bergerak mencoba meraih tangan si pemabuk. Seperti halnya tadi, pria teler itupun mengibaskan botol pecahnya pada gadis itu, dan mencoba melukainya seperti security tadi. Akan tetapi, si gadis lincah sekali. Dia menghindar dengan gesit, dan bergerak cepat memberikan sikutan tajam pada wajah pria teler itu. Membuatnya langsung melolong kesakitan dan terhuyung beberapa langkah kebelakang. Saat pria itu masih sibuk dengan rasa sakitnya. si Gadis menarik tangan yang memegang botol pecah, dan memutarnya dengan keras ke belakang tubuh pria tersebut. Membuat pria itu kembali melolong keras. Tak sampai di sana, setelah berhasil menjatuhkan botol yang sedari tadi dijadikan senjata. Gadis dengan rambut dikuncir ekor kuda itu lalu menendang belakang lutut si pria mabuk, hingga berlutut satu kaki. Sebelum menarik dasi di leher pria yang sudah tak berdaya itu, dan menjadikannya pengikat untuk kedua tangan pria tersebut. "Sialan! Gue bunuh lo, brengsek!" maki pria itu murka, sambil mencoba melepaskan diri. "Iya, iya, gue memang brengsek. Makanya jangan coba-coba ke sini lagi, kalau gak mau gue kasih yang lebih brengsek dari ini," jawab gadis itu dengan santai. Sambil mengikat tangan si pemabuk dengan kuat. Setelah itu, si barista merogoh dalam jas pria itu, dan melemparkan sebuah ponsel yang dia temukan, ke pada security yang terlihat masih kaget di tempatnya. "Telpon keluarganya, Pak. Suruh datang dan minta ganti rugi," titahnya dengan tegas. Sebelum pergi begitu saja. Meninggalkan kerumunan orang yang masih speachless dengan aksinya. Termasuk Dewa, yang kini bahkan tak mampu berkedip melihatnya. Bukan hanya karena aksi gadis itu saja yang membuatnya terkejut luar biasa. akan tetapi juga melihat wajah si gadis yang masih sangat dia kenali. Iya! Dia mengenali gadis berani itu dengan sangat baik. Karena mereka baru saja bertemu kemarin, dengan huru hara berbeda. Namun berakhir dengan keterkejutan yang sama oleh aksi si gadis. Dia adalah Arletta. Gadis pintar yang sukses membuat Dewa sangat penasaran pada sosoknya. "Lett, tangan lo--" "Berisik!" Arletta memaki galak, pada teman sejawatnya yang menunjuk perban di tangan gadis itu yang terlihat memerah kembali. Kemudian, gadis itu melanjutkan langkahnya dengan santai menjauhi kerumunan tersebut. Untuk kedua kalinya, gadis itu melewati Dewa begitu saja. Mengabaikan, seakan tidak melihat keberadaan Dewa yang sebenarnya sangat nyata di sana. Ego Arkana Sadewa pun semakin tersentil.*Happy Reading*Hari ini, Arletta merasa ada yang aneh dengan teman-teman kerjanya.Pasalnya, dari Arletta masuk Midle tadi. Mereka sering sekali melirik Arletta. Seakan ada sesuatu yang aneh pada gadis itu. Tapi ... apa?Apa yang aneh dengan Arletta.Perasaan, seragamnya lengkap, bersih dan rapi. Lalu ... kenapa mereka semua tetep aja curi-curi lirik pada Arletta, ya? Mereka pada kenapa, coba?Apa mungkin, ini karna kejadian tempo hari, saat Arletta membekuk pemabuk di Cafenya?Akan tetapi ... itu kan, sudah beberapa hari yang lalu. Kenapa mereka baru melirik Arletta seaneh itu sekarang?"Udah, tanya aja sono! Daripada kita penasaran, iya gak, Gaes?" Terdengar bisikan di belakang tubuh Arletta, saat gadis itu tengah sibuk membereskan tissu untuk para pelanggan."Tapi kalo salah, gimana, bego? Kan, tengsin nanti, gue!""Ya ... makanya kita nanya dulu. Bukan langsung nuduh.""Ya, tapi kan, tetep
"El?""Yes, beibs. I'm here for u."Arletta langsung memutar bola mata ke atas dengan malas. Saat mendengar sahutan Elkava, di seberang telepon. Setelah perdebatan cukup alot dengan ketiga cowok tukang ghibah itu. Akhirnya Arletta memang berhasil melarikan diri, dengan berpura-pura sakit perut karena salah makan. Biarkan saja disebut lebay, gaje, prik, atau apa pun itu sebutannya. Yang penting bisa lolos dari interogasi tiga cowok tadi, dan langsung menelpon Elkava."Bacot deh, El. Gue serius ini." Arletta mulai kesal "Aduh, Let. Sorry kalau gitu. Gue gak bisa. Soalnya lo tahu sendiri gue udah bucin sama Mila. Jadi, please jangan minta keseriusan dari gue. Sama yang lain aja, oke!""Bacot sekali lagi, gue kirim kuyang online ke sana ya, El!"Bukannya takut, Elkava malah terbahak renyah menanggapi ancaman Arletta. Pria itu memang kadang sangat menyebalkan. Membuat Arletta naik darah saja."Woles ngapa
Arletta 7*Happy Reading*Benar saja, sehari setelah pengaduan Arletta pada Elkava. Video itu pun hilang dari peredaran. Dan terhapus dari semua pencarian.Ya! Elkava memang selalu bisa diandalkan untuk urusan seperti ini.Namun, seperti kata Elkava pula. Seusai huru hara tentang Video itu menghilang. Kini Arletta harus menerima teror dari si model cantik, yang sudah kembali eksis di depan kamera.Karmila Anastasya.Model sekaligus sahabat kampretnya, yang mulai sering menerornya tiap hari. Perihal video itu.Seperti halnya pagi ini, saat Arletta sedang bersiap untuk melaksanakan tugas pagi di Cafe. Model itu sudah merecokinya.Karmila [Letaaa ... manager gue mau ketemu sama lo]Arletta hanya bisa menghela napas lelah melihat chat dari si model.Arletta: [Apalagi sih, Mil? Gue udah bilang gak mau bahas itu lagi!]Arletta menjawab dengan kesal. Karena sudah sangat muak diteror chat sepe
*Happy Reading*Arletta [Mil, lo kenal cowo yang namanya Arkana Sadewa H, gak?]Setelah Kinan kembali dari break makan pagi. Arletta segera pergi ke loker. Mengambil ponselnya dan mengirim chat pada Karmila. Bertanya perihal cowok yang memberinya cofee dan Cake tadi. Soalnya, saat tadi Arletta ingin bertanya kembali. Pria itu sudah beranjak pergi, dan tak bisa Arletta kejar. Sepertinya, pria itu sedang diburu waktu. Tetapi tolong jangan tanya kopi dan cakenya, ya? Karena semua sudah aman di dalam perut Arletta.Sekalipun awalnya sungkan menerima pemberian orang. Tapi, karena sudah di berikan. Ya ... sudah terima saja. Rezeki itu kan, gak boleh di tolak. Benar tidak?Tring!Eh, tumben nih bocah balasnya cepat. Lagi break juga kali, ya?Karmila [Siapa? Mas Arkan maksud lo?]Ck, balasan macam apa ini? Bukannya jawab malah balik tanya. Dasar model peak.Arletta [Mana gue tau, Karmila. Maka itu gu
*Happy Reading*"Kata gue sih dia murahan. Tuh, liat aja kelakuannya. Udah tahu tunangan orang, masih aja nempel-nempel kek cewek gatel. Fix lah, pelakor pasti!""Lo ngapa dah, No? Berisik sendiri nontonin hp doang. Kek emak-emak pecinta sinetron lo!"Arkana pun menggeleng tak habis pikir, melihat kelakuan Bruno, asistennya yang aneh sedari tadi. Padahal ini waktunya kerja. Tapi malah main hp. Mana berisik lagi. Bikin ganggu konsentrasi."Sialan lo! Cakep gini, malah di samain sama emak-emak pecinta sinetron. Buta atau gimana, lo?" tukas Bruno tak terima. "Tetep gantengan gue." Arkana menjawab santai. Namun, sukses membuat Bruno misuh-misuh kesal. Faktanya, itu memang benar, kan?"Lagi lo kenapa, sih? Nonton apaan sampe rame sendiri kek gitu?" tanya Arkana kemudian. Lumayan kepo dengan apa yang sedang asistennya lakukan. "Lagi nonton live-nya si Dita.""Dita asistennya Karmila?""Iya, itu."
"Gue minta maaf. Gue bener-bener gak tahu soal yang tadi.""Halah! Apanya yang gak tahu? Bukannya dari awal lo kerja, gue udah bilang jangan melakukan live, photo-photo atau apa pun yang akan tersebar di medsos saat gue sama Arletta. Lo lupa atau gimana?" Raut marah masih sangat terlihat di wajah Karmila. Pada Asistennya yang telah lancang melakukan live tanpa sepengetahuannya. Karmila bahkan langsung melempar gawai canggih si asisten. Sampai tercerai berai dengan mengenaskan setelah membetur tembok."Ya, gue tahu. Tapi kan kemarenan video Arletta udah tersebar. Gue kira, udah boleh nunjukin dia ke medsos.""So? Lo mau pansos ceritanya? Huh?" tukas Karmila sengit. "Bukan gitu. Gue cuma ... cuma ...." Dita, sang asisten kebingungan menjelaskan pada Karmila tentang maksud dan tujuannya mengadakan Live tadi. Bukan karena Dita ada maksud tertentu atau ingin pansos seperti yang Karmila tuduhkan tadi. Tetapi ... duh, gimana ya jelasinnya? Bukannya jaman sek
Arletta 11*Happy Reading*"Gue udah berusaha sebaik mungkin untuk jagain Dita, Let. Tapi dia pergi diam-diam menemui cowoknya dan ... ya ... saat itulah dia ditangkap paman lo," ungkap Elkava. Saat Arletta meminta konfirmasi tentang kejadian yang menimpa Dita. "Padahal gue udah siapin satu rencana. Agar dia terlepas dari incaran bajingan itu. Semuanya gagal akhirnya."Arletta hanya bisa menghela napas panjang, syarat akan beban mendengar penuturan Elkava. "So? Itu berarti gue harus segera pergi dari kota ini?" Arletta memastikan.Bagaimanapun, Arletta yakin. Sebelum Dita dibunuh. Gadis itu pasti sudah diintrogasi perihal keberadaan Arletta. Dan kalian tahu sendiri bagaimana jujurnya orang yang di hadapkan maut, kan?Memang ada sebagian orang yang bisa tutup mulut hingga maut menyambut. Sayangnya, Arletta tidak yakin jika Dita orang seperti itu. Gadis itu penakut dan dia tidak tahu kebenaran tentang Arletta. Jujur untu
*Happy Reading*"Ayo, Arletta. Panggil saya Mas Arkan."Hadew ... baiklah, baiklah. Mari kira turuti saja mau pria ini, agar tidak makin panjang dramanya."Baiklah. MAS-AR-KAN. Begitu, kan?" Arletta pun mencoba mengalah. Seraya menampilkan senyum yang terlihat sangat terpaksa.Akan tetapi, pria itu seakan tak melihat kekesalan Arletta pada senyumnya. Karena kini, pria yang minta dipanggil 'MAS ARKAN' itu sudah tersenyum lebar sekali mendengar Arletta mau memanggilnya, dengan panggilan kebangaannya.Pria itu merasa bahagia dengan panggilan Arletta padanya tadi. Sekalipun nama itu sering dia dengar dari orang lain. Tapi entah kenapa? Jika Arletta yang memanggil. Seperti ada manis-manisnya, gitu. Hatinya malah berdesir hangat hanya karena panggilan itu.Konyol, Kan? Memang!"Oh, iya. Lupa. Kita belum kenalan, kan?" Sambung pria itu, seperti baru mengingat sesuatu yang penting dari tadi.Lalu pria itu pun kini terli
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat