Arletta 7
*Happy Reading*Benar saja, sehari setelah pengaduan Arletta pada Elkava. Video itu pun hilang dari peredaran. Dan terhapus dari semua pencarian.Ya! Elkava memang selalu bisa diandalkan untuk urusan seperti ini.Namun, seperti kata Elkava pula. Seusai huru hara tentang Video itu menghilang. Kini Arletta harus menerima teror dari si model cantik, yang sudah kembali eksis di depan kamera.Karmila Anastasya.Model sekaligus sahabat kampretnya, yang mulai sering menerornya tiap hari. Perihal video itu.Seperti halnya pagi ini, saat Arletta sedang bersiap untuk melaksanakan tugas pagi di Cafe. Model itu sudah merecokinya.Karmila [Letaaa ... manager gue mau ketemu sama lo]Arletta hanya bisa menghela napas lelah melihat chat dari si model.Arletta: [Apalagi sih, Mil? Gue udah bilang gak mau bahas itu lagi!]Arletta menjawab dengan kesal. Karena sudah sangat muak diteror chat seperti ini sama setiap hari.Orang gak mau, kok dipaksa!Karmila: [Gue juga udah bilang begitu. Tapi dia maksa. Gue harus apa?]Selalu saja itu alasannya.Arletta: [Bilang aja lo gak kenal sama gue]Karmila: [Udah juga. Tapi dia gak percaya. Soalnya banyak saksi yang liat lo dateng nganterin baju buat gue. Dan liat kita akrab waktu itu]Baru saja Arletta mau membalas chat Karmila. Kinan tiba-tiba saja mengintrupsinya."Let, hari ini lo yang standby di depan, pas kita briefing, ya? Soalnya gue mau ada yang ditanyakan sama Pak Chandra nanti," ucapnya, sambil menepuk pundak Arletta begitu saja.Arletta pun segera menutup ponselnya, dan menjauhkannya dari pandangan Kinan.Bisa gawat, kalau Kinan tahu dengan siapa dia berbalas Chat."Oke!" jawab Arletta singkat. Seraya memasukan ponselnya ke dalam loker. Memilih tak membalas chat Karmila lagi."Tapi, nanti lo kasih tau gue ya, hasil briefing-nya?" pinta Arletta kemudian."Sip!" jawab Kinan setuju.Setelah itu. Andra pun memberitahu mereka, tentang briefing yang akan segera mulai. Itu berarti, sudah waktunya bertugas.Seperti permintaan Kinan tadi. Saat semua temannya bersiap ikut briefing pagi. Arletta pun memasuki stand kasir, yang menyatu dengan bar. Menghandle semua tamu yang datang pagi ini, sendirian, sementara semua temannya briefing di area dapur.Untungnya, kalau pagi-pagi gini, biasanya cuma ada pelanggan yang beli kopi atau camilan saja buat sarapan. Karena itulah, Arletta gak akan kerepotan, sekalipun berjaga seorang diri seperti saat ini.Hoooaaammmm ...Suasana Cafe yang masih sepi dan dinginnya Ac, membuat Arletta kembali mengantuk pagi itu.Apalagi, sebenarnya dia tuh masih sangat mengantuk, karena memang tak terlalu suka bangun pagi.Biasanya dia akan tidur lagi selepas Sholat Subuh. Karena Arletta itu, memang termasuk orang yang gak bisa tidur di bawah jam 12 malam.Pokoknya dia baru akan mengantuk, kalau jam sudah menunjukan lebih dari jam 12 malam. Kadang jam setengah satu, atau jam satu baru bisa tidur.Itulah kenapa, Arletta sebenarnya sangat malas jika kebagian shift pagi seperti ini. Tetapi demi transferan tiap bulan dari Cafe. Arletta pun tak punya pilihan lain.'Memang cafe milik emak lo!' Nanti Arletta malah disindir begitu. "Njir! Sepet banget mata gue!" gerutunya, sambil menepuk-nepuk pipi sendiri, demi menghalau rasa kantuk yang lumayan menderanya pagi ini.Astaga!!!Nih mata apa salak, sih? Sepet banget dah, ah!Ting!!!Sebuah bunyi yang lumayan nyaring membuyarkan rasa ngantuk dan sepi pagi itu."Selamat datang di D'cafe," Arletta mengucapkan salam ramah seperti biasa, sesuai yang diajarkan peraturan cafe saat masa trainingnya dulu. "Selamat pagi, Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Sapanya lagi, saat melihat seorang pria muda, sudah berdiri tegap di hadapannya.Pria ini ... kenapa seperti familier ya, wajahnya? Seperti pernah bertemu. Tapi ... dimana?Arletta gak ingat!"Saya mau coffee americano dingin dua," jawab pria itu dengan santai."Itu saja?" tanya Arletta memastikan."Iya," jawabnya singkat."Gak mau coba short cake, cheese cake, atau yang lainnya? Untuk menemani sarapannya, Pak?" Arletta mencoba melakukan combo selling pada pria ini.Pria itu pun terlihat berfikir sejenak sambil Melirik deretan kue yang ada di etalase samping Arletta."Kalo kamu sukanya apa?" tanyanya tiba-tiba."Hah?""Uhm ... maaf. Maksud saya. Boleh minta rekomendasi kue yang menurutmu enak di sini?" ralatnya cepat-cepat. Oh, itu toh maksudnya. Hampir saja Arletta salah paham."Uhm ... mungkin Bapak bisa mencoba Tiramisu cake, atau Cheese cake-nya. Kedua cake itu lumayan best seller di cafe ini, Pak," jawab Arletta, meyakinkan pelanggannya."Kalo gitu saya mau dua-duanya," jawab pria itu kemudian."Baik. Makan di sini atau take a way, Pak?""Take a way.""Baik. Ditunggu sebentar, ya, Pak?" pinta Arletta, seraya memasukan pesanan pria itu pada komputer kasir di hadapannya.Sejenak suasana pun hening. Hanya bunyi jam dinding yang menemani mereka."Totalnya seratus delapan puluh rupiah, Pak. Bayar Cash atau kartu?" ucap Arletta lagi, setelah memastikan semua pesanan pada mesin kasir benar adanya.Tanpa kata, pria itu pun menyodorkan kartu berwarna hitam, dari salah satu Bank kenamaan di Asia.Arkana Sadewa H.Arletta melirik nama yang tertera di kartu itu sejenak. Sebelum mengangguk pelan dan menggesek kartu tersebut pada mesin EDC."Ditunggu sebentar, untuk pesanannya ya, Pak?" pinta Arletta sopan, seraya menyerahkan kartu tadi dan struk belanjaan pada pria itu. Sebelum kemudian meninggalkannya, untuk meracik kopi dan membungkus pesanan pria tersebut.Bersyukurlah pada coffee maker dan kotak-kotak pembungkus kue, yang memudahkannya menyiapkan pesanan tanpa harus membuang waktu lama.Juga deretan kue yang sudah berderet rapi di etalasenya. Karena tanpa mereka semua, entah berapa waktu yang harus Arletta pakai untuk menyiapkan pesanan pria tadi."Maaf menunggu lama." Arletta akhirnya kembali, dengan dua buah gelas plastik di tangannya. Dan paper bag medium untuk kuenya. Kemudian segera menyerahkan bungkusan plastik di tangannya, ke hadapan pria itu, yang langsung diterimanya dengan senang hati."Silahkan dicek kembali pesanannya, Pak," pinta Arletta. Untuk menghindari pelanggan balik lagi karena lupa, atau barang tidak sesuai pesanan.Pria itu pun melirik bungkusan pesanannya, dan melakukan apa yang Arletta ucapkan tadi."Menurut kamu, lebih enak Cheese Cake atau Tiramisu Cake?" tanya Pria itu kemudian. Membuat alis Arletta bertaut samar.Ya … mana Arletta tau, nyobain aja belum pernah, kok.' Batinnya menggerutu."Uhm ... kalo saya pribadi. Mungkin lebih memilih Tiramisu Cake, Pak. Soalnya saya kurang suka keju," ungkap Arletta jujur."Jadi kamu gak suka keju, ya?" gumam pria itu kemudian. Sambil mengeluarkan satu bungkus Cake tiramisu, dan satu gelas Coffee dari tempatnya."Ini buat kamu," lanjutnya, sambil menyodorkan dua pangan itu ke hadapan Arletta.Tak ayal Arletta pun langsung mengerjap bingung mendengar kata-katanya barusan."Kamu ngantuk banget, kan? Makanya kopi itu buat kamu aja. Biar kamu gak ngantuk lagi."Hah?"Dan cake ini. Bisa kamu buat untuk sarapan. Atau ... kamu bawa pulang aja, kalo gak sempat makan di sini," tambahnya lagi dengan santai. Membuat Arletta makin kebingungan di tempatnya.Ini maksudnya apa, sih? Pria ini mau modusin Arletta, atau gimana, sih? Kok, jadi sok perhatian gini?Setelah itu, tanpa kata, pria itu pun berbalik badan, dan meninggalkan Arletta yang masih bingung di tempatnya."Tunggu!" seru Arletta kemudian. Saat melihat pria itu sudah melangkah menjauh dari tempatnya. Langkah pria itu pun terhenti, dan kembali berbalik ke arahnya, dengan senyum menawan di wajah tampannya."Maaf, Pak. Tapi ... saya tidak bisa nerima ini," tolak Arletta, sambil melirik minuman dan cake pemberian pria itu lagi, yang masih belum di sentuhnya."Kenapa?" Garis samar terlihat dikening pria berjanggut tipis, yang pagi ini tampak fresh dengan gaya rambut cepolnya.Macho gitu, gengs!"Karena Bapak sudah membayar untuk minuman dan makanan ini. Jadi minuman dan makanan ini adalah hak Bapak. Bukan hak saya," jawab Arletta sebijak mungkin. Supaya pria itu tidak tersinggung dengan penolakannya.Bukan apa-apa, Arletta cuma tak mau berhutang pada orang dalam bentuk apapun. Dan pemberian pria itu, membuatnya benar-benar tidak nyaman. Karena, itu akan membuat Arletta otomatis merasa punya hutang atas makanan-makanan itu.Kini, pria itu terlihat diam, seperti sedang berpikir serius.Lalu, pria itu pun menghela napas berat. Entah karena alasan apa?Mungkin, karna baru kali ini dia gagal modusin orang. Eh?Akan tetapi, kalau dilihat dari tampang pria ini. Memang sudah sepantasnya dia jadi playboy. Karna wajahnya itu memang sangat enak di lihat.Cogan hwat. Kalau kata Kinan dan barista lainnya pasti. Dan, ya. Arletta juga akui hal itu. Tapi ... bukan berarti Arletta mau di modusin begitu saja, kan?"Begitukah?" tanyanya kemudian."Iya," jawab Arletta meyakinkan."Oke! Kalo gitu, anggap aja saya sedang traktir kamu."Hah?Ternyata pria ini lumayan keras kepala juga, ya? Gak bisa satu kali ditolak kayaknya."Tapi, Pak--""Itu minuman saya, kan? Jadi ... terserah saya juga dong, mau kasih ke siapa? Dan kalo saya maunya ngasih ke kamu? Gak ada larangannya, kan?" jelas pria itu lagi dengan enteng. Arletta hanya bisa terdiam di tempatnya.Memang benar sih, ucapannya itu. Hanya saja ...."Kalo kamu memang keberatan menganggap minuman itu sebagai traktiran. Ya, sudah, anggap saja itu sebagai tanda terima kasih saya, karena kamu sudah membantu saya menyelamatkan Karmila waktu itu."Eh? Kok, jadi bawa-bawa Karmila?*Happy Reading*Arletta [Mil, lo kenal cowo yang namanya Arkana Sadewa H, gak?]Setelah Kinan kembali dari break makan pagi. Arletta segera pergi ke loker. Mengambil ponselnya dan mengirim chat pada Karmila. Bertanya perihal cowok yang memberinya cofee dan Cake tadi. Soalnya, saat tadi Arletta ingin bertanya kembali. Pria itu sudah beranjak pergi, dan tak bisa Arletta kejar. Sepertinya, pria itu sedang diburu waktu. Tetapi tolong jangan tanya kopi dan cakenya, ya? Karena semua sudah aman di dalam perut Arletta.Sekalipun awalnya sungkan menerima pemberian orang. Tapi, karena sudah di berikan. Ya ... sudah terima saja. Rezeki itu kan, gak boleh di tolak. Benar tidak?Tring!Eh, tumben nih bocah balasnya cepat. Lagi break juga kali, ya?Karmila [Siapa? Mas Arkan maksud lo?]Ck, balasan macam apa ini? Bukannya jawab malah balik tanya. Dasar model peak.Arletta [Mana gue tau, Karmila. Maka itu gu
*Happy Reading*"Kata gue sih dia murahan. Tuh, liat aja kelakuannya. Udah tahu tunangan orang, masih aja nempel-nempel kek cewek gatel. Fix lah, pelakor pasti!""Lo ngapa dah, No? Berisik sendiri nontonin hp doang. Kek emak-emak pecinta sinetron lo!"Arkana pun menggeleng tak habis pikir, melihat kelakuan Bruno, asistennya yang aneh sedari tadi. Padahal ini waktunya kerja. Tapi malah main hp. Mana berisik lagi. Bikin ganggu konsentrasi."Sialan lo! Cakep gini, malah di samain sama emak-emak pecinta sinetron. Buta atau gimana, lo?" tukas Bruno tak terima. "Tetep gantengan gue." Arkana menjawab santai. Namun, sukses membuat Bruno misuh-misuh kesal. Faktanya, itu memang benar, kan?"Lagi lo kenapa, sih? Nonton apaan sampe rame sendiri kek gitu?" tanya Arkana kemudian. Lumayan kepo dengan apa yang sedang asistennya lakukan. "Lagi nonton live-nya si Dita.""Dita asistennya Karmila?""Iya, itu."
"Gue minta maaf. Gue bener-bener gak tahu soal yang tadi.""Halah! Apanya yang gak tahu? Bukannya dari awal lo kerja, gue udah bilang jangan melakukan live, photo-photo atau apa pun yang akan tersebar di medsos saat gue sama Arletta. Lo lupa atau gimana?" Raut marah masih sangat terlihat di wajah Karmila. Pada Asistennya yang telah lancang melakukan live tanpa sepengetahuannya. Karmila bahkan langsung melempar gawai canggih si asisten. Sampai tercerai berai dengan mengenaskan setelah membetur tembok."Ya, gue tahu. Tapi kan kemarenan video Arletta udah tersebar. Gue kira, udah boleh nunjukin dia ke medsos.""So? Lo mau pansos ceritanya? Huh?" tukas Karmila sengit. "Bukan gitu. Gue cuma ... cuma ...." Dita, sang asisten kebingungan menjelaskan pada Karmila tentang maksud dan tujuannya mengadakan Live tadi. Bukan karena Dita ada maksud tertentu atau ingin pansos seperti yang Karmila tuduhkan tadi. Tetapi ... duh, gimana ya jelasinnya? Bukannya jaman sek
Arletta 11*Happy Reading*"Gue udah berusaha sebaik mungkin untuk jagain Dita, Let. Tapi dia pergi diam-diam menemui cowoknya dan ... ya ... saat itulah dia ditangkap paman lo," ungkap Elkava. Saat Arletta meminta konfirmasi tentang kejadian yang menimpa Dita. "Padahal gue udah siapin satu rencana. Agar dia terlepas dari incaran bajingan itu. Semuanya gagal akhirnya."Arletta hanya bisa menghela napas panjang, syarat akan beban mendengar penuturan Elkava. "So? Itu berarti gue harus segera pergi dari kota ini?" Arletta memastikan.Bagaimanapun, Arletta yakin. Sebelum Dita dibunuh. Gadis itu pasti sudah diintrogasi perihal keberadaan Arletta. Dan kalian tahu sendiri bagaimana jujurnya orang yang di hadapkan maut, kan?Memang ada sebagian orang yang bisa tutup mulut hingga maut menyambut. Sayangnya, Arletta tidak yakin jika Dita orang seperti itu. Gadis itu penakut dan dia tidak tahu kebenaran tentang Arletta. Jujur untu
*Happy Reading*"Ayo, Arletta. Panggil saya Mas Arkan."Hadew ... baiklah, baiklah. Mari kira turuti saja mau pria ini, agar tidak makin panjang dramanya."Baiklah. MAS-AR-KAN. Begitu, kan?" Arletta pun mencoba mengalah. Seraya menampilkan senyum yang terlihat sangat terpaksa.Akan tetapi, pria itu seakan tak melihat kekesalan Arletta pada senyumnya. Karena kini, pria yang minta dipanggil 'MAS ARKAN' itu sudah tersenyum lebar sekali mendengar Arletta mau memanggilnya, dengan panggilan kebangaannya.Pria itu merasa bahagia dengan panggilan Arletta padanya tadi. Sekalipun nama itu sering dia dengar dari orang lain. Tapi entah kenapa? Jika Arletta yang memanggil. Seperti ada manis-manisnya, gitu. Hatinya malah berdesir hangat hanya karena panggilan itu.Konyol, Kan? Memang!"Oh, iya. Lupa. Kita belum kenalan, kan?" Sambung pria itu, seperti baru mengingat sesuatu yang penting dari tadi.Lalu pria itu pun kini terli
Tring!From: 08588012xxxx [Sudah pulang?]Sebuah chat masuk di ponsel Arletta. Saat gadis itu baru saja keluar loker, setelah mengganti sergamnya.Siapa? Nomornya asing. Karena itulah, Arletta memilih mengabaikan chat itu, dan segera keluar area cafe tanpa beban."Let? Ikut nongkrong dulu, yuk?" Ajak Kinan tiba-tiba dengan baik hati. "Anak-anak katanya mau nongkrong dulu. Ikut yuk, biar seru." Gadis keturunan jawa itu bahkan menjelaskan dengan detail ajakannya barusan."Sorry, nggak dulu, deh." Sayangnya Arletta tidak berminat. Ralat, bahkan tidak akan berminat dengan ajakan itu. Karena apa? Ya ... buat apa? Mending segera pulang dan tidur. Badannya sudah minta istirahat soalnya. "Yah ... kok gitu, sih?" Kinan tampak kecewa. "Padahal besok libur ini. Ngapain sih pulang cepet-cepet?" "Gue ada urusan. Makanya harus balik buru-buru." Arletta mencoba memberi alasan. "Urusan apa?" Kinan mulai kepo.
*Happy Reading*"Aduh, siapa dah? Lupa gue!" Arletta menepuk kepalanya dengan refleks. Saat tak berhasil mengingat orang yang sedang dihajar beberapa preman di kawasan itu. Arletta merasa mengenalnya. Pernah melihat tepatnya, tapi lupa di mana? Maka dari itu jadi gemas sendiri. Masalahnya, Arletta itu bukan tipe orang yang gampang mengingat orang. Kecuali yang pernah berinteraksi dengannya dalam momen tertentu, baru dia bisa ngeh pada wajah orang itu. Nah, kali ini itulah yang Arletta rasakan. "Siapa, sih? Asli gue lupa. Tapi ... ini tolongin jangan, ya?" Arletta bermonolog lagi, masih memantau keadaan yang tak jauh dari tempatnya."Kalau gue tolongin, nanti para preman itu dendam. Bisa-bisa gue yang bakal jadi target berikutnya."Tidak masalah sebenarnya. Arletta bukan tipe orang yang bisa digertak, kok. Hanya saja, untuk ukuran seseorang yang harus selalu tidak terlihat, jelas mempunyai masalah dengan para preman itu bukan hal yang bagus. Kalau pamannya malah kerj
*Happy Reading*"Ngapain lo masih di sini? Mau sok jadi ibu peri, nungguin gue sampai sembuh?" salak Bruno galak. Ketika Arletta masuk ruangan tempatnya harus dirawat beberapa hari.Arletta yang mendengar itu tidak marah sama sekali. Gadis itu mengedikan bahu dengan acuh, lalu meletakan dompet dan tanda pengenal pria galak itu."Kok, dompet sama KTP gue ada di elo?" tanyanya curiga."Lo kira gue mau bayar biaya admin rumah sakit ini?" jawab Arletta acuh. "Sorry gue gak sekaya dan sebaik itu." Arlette menambahkan dengan lugas. Bruno pun mendengkus kesal mendengar sahutan tanpa beban gadis di hadapannya ini. Bruno jadi kepikiran Arkana. Sahabat sekaligus bos-nya yang sedang menargetkan Arletta sebagai calon pacar berikutnya. Entah bagaimana nasib pria itu nanti. "Terus? Kenapa lo masih di sini? Balik sana!" usirnya lagi, masih dengan nada galak sekali. "Pakai mobil gue dulu kalau lo mau. Tapi besok balikin! Gue cuma pinjemin lo
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat