*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
"Makasih, Bang!"Arletta menyerahkan helm sembarangan pada ojol yang mengantarkannya, sesampainya di tempat pemotretan. Setelah itu bergegas masuk, sebelum Karmila--si tuan putri kembali mengamuk karena keterlambatan Arletta dalam mengirimkan barang pesanan.Salahkan kota Jakarta yang terlalu bucin pada kemacetan. Hingga lumayan sulit bagi Arletta untuk menjadi orang ketiga agar mereka terurai.'Etdah! Ini tempat pemotretan apa pasar malam? Rame banget warganya?' gerutu Arleta dalam hati. Saat baru saja masuk lokasi pemotretan, sudah di suguhkan pemandangan riuh dan kacau."Cepetan! Katanya, dia udah hampir kehabisan napas, tahu. Kasihan."Kening Arletta makin berlipat dalam, saat tak sengaja mendengar seruan salah satu orang yang lewat di sana.'Tunggu! Ini maksudnya apa? Kenapa orang-orang itu terlihat gusar? Jangan-jangan sedang terjadi sesuatu!' batin Arletta kini bertanya dengan penasaran.Menyadari hal itu. Arletta pun mau tak mau mulai ikut panik, karena teringat Karmila yang ju
"Hei ... lo ngapain?" tegur salah seorang cowok, yang tadi sempat menolong Mila."Kenapa lo malah ngerusak properti kami?" hardiknya kemudian. Tetapi, tidak Arletta tanggapi sama sekali. Tentu saja. Melihat keacuhan Arletta, cowok itu pun mulai meradang dan ..."Let, lo ngapain?" Dita ikut mendekat dan bertanya bingung pada gadis yang dikenalnya sebagai sahabat artis binaannya tersebut."Diem dulu," sahut Arletta masih acuh. Tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun pada Dita, dan terus fokus pada pecahan kaca di hadapannya. "Tapi lo ngapain, sih? Lo jangan bikin situasi makin kacau, bisa?""Ck, nanti juga lo tahu.""Ta--""Heh?! Lo siapa, sih?" Pria tadi kembali menghardik. Menyela Dita. "Kok, songong banget jadi orang. Lo artis baru, ya? Lo--""Nah, ini dia!" seru Arletta kemudian dengan tiba-tiba, memotong omelan pria berkaos maroon itu. Seraya mengangkat sebuah bilah pecahan kaca yang memanjang. Set
*Happy Reading* "Ya, Tuhan, Mila!" Dita yang pertama berseru heboh. Saat Arletta berhasil mengangkat Karmila ke atas permukaan Air. Setelah itu, baru diikuti koor helaan napas lega dari para penonton di sana, serta ucapan syukur pada Tuhan mereka masing-masing. 'Apa-apaan mereka itu? Bukannya bantuin angkat, malah jadi penonton saja? Seenggaknya ambilin handuk, kek. Atau apa gitu. Ck, gak guna!' Arletta mendumel diam-diam. Arletta berusaha menepikan Mila ke arah tepian kolam dengan susah payah. Tangannya yang terluka mulai dia rasakan. Saat Arletta hampir sampai, tiba-tiba dua pria yang tadi ikut menolong Mila muncul. Satu orang langsung membantu menopang tubuh Karmila. Sementara satunya lagi naik dan menunggu kedatangan Mila di darat. Awalnya, Arletta terkejut dengan aksi mereka. Namun, saat melihat mata kedua pria itu sudah lebih bersahabat dari pada tadi. Akhirnya Arletta pun menerima bantuan mereka, dalam memberikan pertolongan pada sahabatnya. "Milaaa ... Ya, Tuhan ... teri
*Happy Reading* "Woy, Kan?!" Arkana langsung memutar badannya ke arah sumber suara, lalu mengangkat tangan membalas lambaian sang pemanggil. Sebelum menghampiri pria yang pernah satu bangku kuliah dengannya itu. "Bro?!" Setelah dekat dengan pria itu, Arkana pun menyambut tangan yang mengajaknya ber-high five. Dan membenturkan bahu mereka dengan pelan. "Gimana kabar, lo? Betah banget di Makasar. Sampe lupa balik ke Jakarta. Kepincut janda kembang ya, di sana?" kelakar Arkana. Membuat Boy, salah satu kawannya itu tergelak renyah menanggapinya. "Kaga, lah. Gue masih setia sama bini gue yang di sini. Lo sendiri, gimana? Udah berapa anak gadis yang lo risak?" Kali ini giliran Arkana yang tergelak dengan pertanyaan Boy. Karena, sepertinya memang hanya itulah yang dikenal darinya selama pertemanan mereka. "Ada, lah. Cukup gue aja yang tau. Nanti lo ngiri kalo tau," timpal Arkana dengan jumawa. Sebelum kedua sahabat itu tergelak bersama. Setelah itu, keduanya pun memilih melanjutkan o
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat