*Happy Reading*
Arletta [Mil, lo kenal cowo yang namanya Arkana Sadewa H, gak?]Setelah Kinan kembali dari break makan pagi. Arletta segera pergi ke loker. Mengambil ponselnya dan mengirim chat pada Karmila. Bertanya perihal cowok yang memberinya cofee dan Cake tadi.Soalnya, saat tadi Arletta ingin bertanya kembali. Pria itu sudah beranjak pergi, dan tak bisa Arletta kejar. Sepertinya, pria itu sedang diburu waktu. Tetapi tolong jangan tanya kopi dan cakenya, ya? Karena semua sudah aman di dalam perut Arletta.Sekalipun awalnya sungkan menerima pemberian orang. Tapi, karena sudah di berikan. Ya ... sudah terima saja. Rezeki itu kan, gak boleh di tolak. Benar tidak?Tring!Eh, tumben nih bocah balasnya cepat. Lagi break juga kali, ya?Karmila [Siapa? Mas Arkan maksud lo?]Ck, balasan macam apa ini? Bukannya jawab malah balik tanya. Dasar model peak.Arletta [Mana gue tau, Karmila. Maka itu gue tanya sama lo!]Arletta kesal, karena Karmila benar-benar tak membantu sedikit pun.Karmila [Ya, gue juga mana tau, Arletta! Kan, nama Arkana Sadewa itu gak cuma satu di dunia ini.]Bener juga, sih! Tumben nih cewek lurus otaknya. Atau ... memang Arletta yang sedang oon hari ini.Arletta [Oke! Kalo gitu pertanyaannya gue ganti. Berapa pria yang punya nama Arkana Sadewa, yang lo kenal?]Karmila [Satu]Ck, si bodoh! Kalau begitu, ya ... yang sedang mereka bahas itu sama. Lah, wong Karmila cuma kenal sama satu nama Arkana saja. Yee kan?Arletta [Kan, lo mah rese! Orang lo cuma kenal satu orang doang. Pake muter-muter dulu. Tinggal bilang aja kenal, gitu. Repot banget]Omel Arletta dalam chat.Karmila [Ya ... siapa tau yang lo maksud tadi beda sama yang gue kenal?]Masih berani ngeles aja nih model satu. Minta dijitak kayaknya.Arletta [Yang jelas dia kenal elo, dan ada waktu insident kolam renang. Lo tau kan, orangnya?]Terang Arletta lebih detail.Karmila [Iya, gue tau. Mas Arkan, photografer langganan agency gue]Oh wow! Jadi pria itu photografer. Pantes kenal Karmila kalau begitu. Lah, mereka satu server ternyata.Tring!Belum sempat Arletta membalas lagi, Karmila sudah lebih dulu mengirim chat lagi. Isinya langsung membuah Arletta melotot kesal.Karmila [Kenapa lo nanyain dia? Naksir lo? Mau gue salamin, gak? Nih, gue juga lagi pemotretan kok, sama dia]Eh, si bajirut! Kalau ngomong suka sekate-kate. Ya kali, Arletta suka sama cowo, yang ketemu aja baru itungan jari. Emang Arletta cewek apaan?Arletta [Jan ngadi-ngadi. Gue gak segampang itu suka sama orang!]Karmila [Yang bener? Padahal dia ganteng, loh. Kaya, lagi. Fansnya aja banyak. Masa lo gak tertarik sih, Let? Lo normal, kan?]Sialan emang si Karmila! Makin dibiarkan makin ngelunjak. Sentil juga dah nih lama-lama.Arletta [Elkava juga ganteng, kok. Tajir, juga. Gue gebet Elkava aja lah, yang deket. Lo nyari baru, ya. Gimana?]Karmila [Teluh otw ya, Let!]Arletta pun langsung terkikik geli. Melihat balasan chat Karmila, disertai emotion wajah merah banyak sekali.Makanya, jangan main-main sama Arletta!"Ketawa mulu. Makan sana!" tegur Pak Chandra, yang entah sejak kapan, sudah berdiri di samping Arletta. Sambil menyesap teh paginya.Pak Chandra ini memang aneh. Padahal orangnya tidak bisa minum kopi. Tapi malah buka warung kopi. Kan, aneh ya?Di mana-mana. Orang bikin usaha itu di lihat dari hobby atau kegemaran. Supaya bisa sepenuh hati memajukan usahanya. Tapi Pak Chandra malah beda. Dia buka usaha yang jauh sekali dari kegemarannya. Bahkan pria itu sebenarnya tidak boleh minum kopi. Karena lambungnya tidak kuat.Itu sih, yang Arletta dengar dari anak-anak sini."Iya, Pak. Ini juga mau makan," balas Arletta. Memperlihatkan kotak cateringan dan membukanya di hadapan Pak Chandra.Jangan heran kalau Arletta bisa seberani ini dengan Pak Chandra. Soalnya pria ini memang humble kok, sama semua karyawannya.Tidak sungkan menyapa, dan membantu jika sedang sibuk. Bahkan, tidak pelit memberikan bonus jika Cafe sedang rame. Nah, itu poin pentingnya sebagai boss.Kiranya, setelah melihat Arletta makan, Pak Chandra akan pergi. Ternyata, pria itu malah ikut duduk di sampingnya, dan menyesap tehnya dengan sangat santai. Membuat Arletta mengernyit bingung.Lah, nih cowok ngapain dah duduk dekat Arletta? Perasaan, bangku kosong masih banyak, deh.Namun, walau begitu. Toh, Arletta juga tidak bisa mengusirnya. Soalnya, kan ini Cafenya dia. Jadi ... terserah dia lah, mau duduk di mana. "Tangan kamu sudah sembuh?" tanya Pak Chandra tiba-tiba. Meminta perhatian Arletta.Arletta pun menelan makanannya terlebih dahulu. Sebelum memperhatikan tangannya yang sempat terluka beberapa hari laly."Sudah lepas perban kemarin. Tapi masih sedikir nyeri kalo digerakin cepat," jawab Arletta dengan jujur.Bukan maksud ingin minta di perhatikan. Tapi, ya ... Arletta cuma ingin jujur saja dengan apa yang dirasakannya. Tidak buruk, kan?Pak Chandra pun mengangguk mengerti dan memperhatikan tangan Arletta, yang memang masih terlihat memerah di bekas lukanya."Kalo begitu tetap jaga di kasir dulu. Sebelum luka kamu benar-benar sembuh," titahnya kemudian."Oke," jawab Arletta singkat. Sambil kembali melahap makanannya tanpa sungkan."Tapi jangan mentang-mentang nyaman jaga di kasir. Kamu seenaknya saja bertindak gak sadar diri. Terus memperparah luka kamu. Soalnya kalo kamu memang ingin pindah di kasir. Tinggal bilang aja sama saya. Gak usah pake acara ngehajar orang dulu."Itu sindiran. Jelas! Pak Chandra sedang menyinggung kelakuan Arletta tempo hari. Yang nekad turun tangan membekuk orang mabuk. Sampai lukanya terbuka kembali. Membuat pria itu mengomel tanpa henti, dan langsung menyeret Arletta ke klinik terdekat, untuk mendapat pertolongan kembali.Setelah itu, pria ini terus saja menyindir Arletta setiap kali ada kesempatan. Membuat Arletta muak luar biasa."Sindir aja terus, Pak. Orangnya gak ada ini. Jadi sok aja ghibahin sepuasnya. Mayan ngurangin dosa saya," seloroh Arletta dengan santai. Terus menikmati sarapannya yang lebih menggoda dari apa pun.Mendengar ucapan Arletta. Pak Chandra malah tergelak renyah. Sambil menggeleng pelan."Saya cuma ngingetin, Arletta," bantahnya kemudian dengan santai."Ini juga udah inget, kok. Sampe khatam malah. Terus lama-lama mual, deh."Sekali lagi. Pak Chandra tergelak renyah. Sampai matanya menyipit menjadi segaris. Khas orang yang memang keturunan negara tirai bambu.Arletta menyelesaikan makannya, dan langsung berdiri meninggalkan Pak Chandra begitu saja. Hendak meletakan bekas cateringnya pada tempat yang biasa."Jangan lupa minum air putih, Letta," serunya kemudian. Sebelum berdiri. Dan beranjak pergi begitu saja. Membuat semua anak dapur langsung berdehem keras. Seperti menggoda Arletta."Kenapa kalian? Radang berjamaah?" tanya Arletta dengan acuh."Bukan Radang berjamaah, Let. Tapi baper berjamaah. Cie ... yang lagi PDKT sama si Boss," timpal salah satu anak dapur, yang langsung di sambut heboh teman-temannya. Maksudnya ikut mencie-cie kan Arletta dan bersiul keras menggoda gadis yang kini malah memutar mata dengan malas.Gak jelas!Arletta memilih pergi dengan acuh. Meninggalkan orang-orang tersebut, yang memang gemar sekali menggosipkannya dengan Pak Chandra.Terserah mereka saja, lah!Arletta, kan, Gak bisa menutup mulut mereka satu per satu. Jadi, tinggal tutup kuping aja.*Happy Reading*"Kata gue sih dia murahan. Tuh, liat aja kelakuannya. Udah tahu tunangan orang, masih aja nempel-nempel kek cewek gatel. Fix lah, pelakor pasti!""Lo ngapa dah, No? Berisik sendiri nontonin hp doang. Kek emak-emak pecinta sinetron lo!"Arkana pun menggeleng tak habis pikir, melihat kelakuan Bruno, asistennya yang aneh sedari tadi. Padahal ini waktunya kerja. Tapi malah main hp. Mana berisik lagi. Bikin ganggu konsentrasi."Sialan lo! Cakep gini, malah di samain sama emak-emak pecinta sinetron. Buta atau gimana, lo?" tukas Bruno tak terima. "Tetep gantengan gue." Arkana menjawab santai. Namun, sukses membuat Bruno misuh-misuh kesal. Faktanya, itu memang benar, kan?"Lagi lo kenapa, sih? Nonton apaan sampe rame sendiri kek gitu?" tanya Arkana kemudian. Lumayan kepo dengan apa yang sedang asistennya lakukan. "Lagi nonton live-nya si Dita.""Dita asistennya Karmila?""Iya, itu."
"Gue minta maaf. Gue bener-bener gak tahu soal yang tadi.""Halah! Apanya yang gak tahu? Bukannya dari awal lo kerja, gue udah bilang jangan melakukan live, photo-photo atau apa pun yang akan tersebar di medsos saat gue sama Arletta. Lo lupa atau gimana?" Raut marah masih sangat terlihat di wajah Karmila. Pada Asistennya yang telah lancang melakukan live tanpa sepengetahuannya. Karmila bahkan langsung melempar gawai canggih si asisten. Sampai tercerai berai dengan mengenaskan setelah membetur tembok."Ya, gue tahu. Tapi kan kemarenan video Arletta udah tersebar. Gue kira, udah boleh nunjukin dia ke medsos.""So? Lo mau pansos ceritanya? Huh?" tukas Karmila sengit. "Bukan gitu. Gue cuma ... cuma ...." Dita, sang asisten kebingungan menjelaskan pada Karmila tentang maksud dan tujuannya mengadakan Live tadi. Bukan karena Dita ada maksud tertentu atau ingin pansos seperti yang Karmila tuduhkan tadi. Tetapi ... duh, gimana ya jelasinnya? Bukannya jaman sek
Arletta 11*Happy Reading*"Gue udah berusaha sebaik mungkin untuk jagain Dita, Let. Tapi dia pergi diam-diam menemui cowoknya dan ... ya ... saat itulah dia ditangkap paman lo," ungkap Elkava. Saat Arletta meminta konfirmasi tentang kejadian yang menimpa Dita. "Padahal gue udah siapin satu rencana. Agar dia terlepas dari incaran bajingan itu. Semuanya gagal akhirnya."Arletta hanya bisa menghela napas panjang, syarat akan beban mendengar penuturan Elkava. "So? Itu berarti gue harus segera pergi dari kota ini?" Arletta memastikan.Bagaimanapun, Arletta yakin. Sebelum Dita dibunuh. Gadis itu pasti sudah diintrogasi perihal keberadaan Arletta. Dan kalian tahu sendiri bagaimana jujurnya orang yang di hadapkan maut, kan?Memang ada sebagian orang yang bisa tutup mulut hingga maut menyambut. Sayangnya, Arletta tidak yakin jika Dita orang seperti itu. Gadis itu penakut dan dia tidak tahu kebenaran tentang Arletta. Jujur untu
*Happy Reading*"Ayo, Arletta. Panggil saya Mas Arkan."Hadew ... baiklah, baiklah. Mari kira turuti saja mau pria ini, agar tidak makin panjang dramanya."Baiklah. MAS-AR-KAN. Begitu, kan?" Arletta pun mencoba mengalah. Seraya menampilkan senyum yang terlihat sangat terpaksa.Akan tetapi, pria itu seakan tak melihat kekesalan Arletta pada senyumnya. Karena kini, pria yang minta dipanggil 'MAS ARKAN' itu sudah tersenyum lebar sekali mendengar Arletta mau memanggilnya, dengan panggilan kebangaannya.Pria itu merasa bahagia dengan panggilan Arletta padanya tadi. Sekalipun nama itu sering dia dengar dari orang lain. Tapi entah kenapa? Jika Arletta yang memanggil. Seperti ada manis-manisnya, gitu. Hatinya malah berdesir hangat hanya karena panggilan itu.Konyol, Kan? Memang!"Oh, iya. Lupa. Kita belum kenalan, kan?" Sambung pria itu, seperti baru mengingat sesuatu yang penting dari tadi.Lalu pria itu pun kini terli
Tring!From: 08588012xxxx [Sudah pulang?]Sebuah chat masuk di ponsel Arletta. Saat gadis itu baru saja keluar loker, setelah mengganti sergamnya.Siapa? Nomornya asing. Karena itulah, Arletta memilih mengabaikan chat itu, dan segera keluar area cafe tanpa beban."Let? Ikut nongkrong dulu, yuk?" Ajak Kinan tiba-tiba dengan baik hati. "Anak-anak katanya mau nongkrong dulu. Ikut yuk, biar seru." Gadis keturunan jawa itu bahkan menjelaskan dengan detail ajakannya barusan."Sorry, nggak dulu, deh." Sayangnya Arletta tidak berminat. Ralat, bahkan tidak akan berminat dengan ajakan itu. Karena apa? Ya ... buat apa? Mending segera pulang dan tidur. Badannya sudah minta istirahat soalnya. "Yah ... kok gitu, sih?" Kinan tampak kecewa. "Padahal besok libur ini. Ngapain sih pulang cepet-cepet?" "Gue ada urusan. Makanya harus balik buru-buru." Arletta mencoba memberi alasan. "Urusan apa?" Kinan mulai kepo.
*Happy Reading*"Aduh, siapa dah? Lupa gue!" Arletta menepuk kepalanya dengan refleks. Saat tak berhasil mengingat orang yang sedang dihajar beberapa preman di kawasan itu. Arletta merasa mengenalnya. Pernah melihat tepatnya, tapi lupa di mana? Maka dari itu jadi gemas sendiri. Masalahnya, Arletta itu bukan tipe orang yang gampang mengingat orang. Kecuali yang pernah berinteraksi dengannya dalam momen tertentu, baru dia bisa ngeh pada wajah orang itu. Nah, kali ini itulah yang Arletta rasakan. "Siapa, sih? Asli gue lupa. Tapi ... ini tolongin jangan, ya?" Arletta bermonolog lagi, masih memantau keadaan yang tak jauh dari tempatnya."Kalau gue tolongin, nanti para preman itu dendam. Bisa-bisa gue yang bakal jadi target berikutnya."Tidak masalah sebenarnya. Arletta bukan tipe orang yang bisa digertak, kok. Hanya saja, untuk ukuran seseorang yang harus selalu tidak terlihat, jelas mempunyai masalah dengan para preman itu bukan hal yang bagus. Kalau pamannya malah kerj
*Happy Reading*"Ngapain lo masih di sini? Mau sok jadi ibu peri, nungguin gue sampai sembuh?" salak Bruno galak. Ketika Arletta masuk ruangan tempatnya harus dirawat beberapa hari.Arletta yang mendengar itu tidak marah sama sekali. Gadis itu mengedikan bahu dengan acuh, lalu meletakan dompet dan tanda pengenal pria galak itu."Kok, dompet sama KTP gue ada di elo?" tanyanya curiga."Lo kira gue mau bayar biaya admin rumah sakit ini?" jawab Arletta acuh. "Sorry gue gak sekaya dan sebaik itu." Arlette menambahkan dengan lugas. Bruno pun mendengkus kesal mendengar sahutan tanpa beban gadis di hadapannya ini. Bruno jadi kepikiran Arkana. Sahabat sekaligus bos-nya yang sedang menargetkan Arletta sebagai calon pacar berikutnya. Entah bagaimana nasib pria itu nanti. "Terus? Kenapa lo masih di sini? Balik sana!" usirnya lagi, masih dengan nada galak sekali. "Pakai mobil gue dulu kalau lo mau. Tapi besok balikin! Gue cuma pinjemin lo
*Happy Reading*Dua hari kemudian."Mas Arkan?"Siang itu, kening Arletta langsung mengernyit samar. Saat baru saja keluar gang untuk bekerja, sudah melihat sosok Arkana yang sedang bersandar santai di sebelah mobil mewahnya.Sedang apa pria itu?Tadinya, Arletta tak mau menghiraukan pria itu, dan hendak pergi saja secepatnya dari sana.Akan tetapi, baru saja hendak membelok langkahnya. Pria itu sudah melihatnya, dan melambai dengan riang pada Arletta.Jangan bilang kalau pria itu memang sedang menunggu Arletta?Walaupun begitu, gadis itu tak serta merta membalas lambaian tangan Arkana. Bahkan tak berniat mendekat sedikit pun ke arah pria, yang hari ini memakai kaos hitam berlengan panjang dan celana jeans biru pudar. Membuat penampilannya makin bersinar di tengah lalu lalang orang-orang di sana.Melihat sikap Arletta, si tukang photo akhirnya berdecak pelan dan memilih mengalah mendekati Arletta lebih dulu."Ternyata kamu masuk siang hari ini," ucap pria itu santai, saat sudah di dek
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat