POV Andi"Kamu kenapa, Mas, kok kayak kaget gitu?" tanya Hana yang sudah berdiri di depanku.Aku gelagapan, lalu mengambil ponselku yang jatuh. Untung saja jatuhnya tepat di atas karpet. Jadi ponselku aman tidak rusak sedikitpun."Habisnya kamu tiba-tiba ada disini aja. Mana nggak kedengaran lagi kamu jalan kesini," jawabku.Hana duduk di sebelahku, dan menatap ponsel yang aku pegang."Sedang berbalas pesan sama siapa, Mas? Kayaknya asyik banget," tanya Hana terlihat menyelidik."Oh, ini temanku di grup, dia memang suka buat lelucon. Entahlah, nggak ketemu, nggak di pesan, pasti aja berhasil buat aku dan teman-teman yang lain tersenyum. Dia memang humoris," jawabku berdusta.Hana semakin mendekat, dan aku mulai ketar ketir."Coba aku lihat, aku penasaran selucu apa sih teman kamu itu?"Hana tiba-tiba menarik ponselku, kemudian hendak membuka pesanku dengan Indri."Gawat kalau sampai ketahuan," batinku."Sayang, katanya kamu mau jalan-jalan? Mending kita berangkat sekarang aja, yuk! Mu
POV IndriSetelah aku sampai di villa yang sekarang aku sebut rumah, aku bergegas hendak mandi karena badan rasanya lengket gerah sekali.Baru juga masuk ke dalam kamar mandi. Pemandangan memilukan terpampang nyata di depan mata. Pasta gigiku habis, dan mau tidak mau, aku harus pergi membeli pasta gigi.Terpaksa aku mengenakan kembali bajuku, dan pergi ke warung Fina.Keringat sudah membuatku tidak nyaman. Aku mempercepat jalanku.Sampai di depan warung, aku melihat Fina dan beberapa tetangga sedang sibuk membuat adonan kue, di teras rumah bu Ida, yang berhadapan langsung dengan warung Fina."Wah … lagi pada bikin apa nih? Kayaknya lagi pada sibuk, ya?" tanyaku berbasa-basi."Eh kamu, Ndri. Ini, kami lagi buat kue kering. Kebetulan ada pesanan kue buat acara hajatan kerabat Bu Ida," jawab Fina."Wah … ada acara hajatan ya, Bu? Kapan hajatannya?" tanyaku kepada bu Ida. Bu Ida adalah tetangga Fina, salah satu warga yang aku kenal di tempat ini."Dua hari lagi, Neng. Makanya Ibu disuruh
POV Indri"Aku tahu apa yang mesti aku lakukan," imbuhku dengan tersenyum lebar.Adit mengangguk dan tersenyum kecil."Bagus, lakukan dengan baik. Oh iya, aku ada sesuatu buat kamu. Sebentar aku ambilkan di mobil." Adit beranjak dan keluar menghampiri mobil angkotnya.Tak berselang lama, Adit datang sambil menenteng sesuatu."Apa itu?" tanyaku penasaran."Makanan buat kamu," jawab Adit lalu memberikannya padaku.Aku menerima makanan itu lalu membukanya."Terima kasih, kita makan sama-sama, ya!" ucapku."Tidak, buat kamu saja. Aku sudah makan tadi di tempat membeli makanan ini," tolak Adit secara halus."Oh iya, Dit, aku nggak ngerti deh, gimana sih caranya Andi membobol atmku. Pasalnya dia kan nggak tahu password atmku. Kok bisa ya?" ujarku sambil memakan makanan pemberian Adit."Jaman sekarang apa sih yang nggak bisa. Bisa saja Bang Andi membayar seorang hacker untuk membobol ATM kamu, dengan melacak m b*nking kamu. Jaman sekarang ranah pribadi sangat rentan oleh hacker," jelas Adit.
POV AndiSatu juta, dua juta, tiga juta, lima juta. Sepertinya ini cukup untuk Indri. Pokoknya aku harus terlihat sempurna di mata Indri. Sebisa mungkin, semua kesalahanku dulu tertutup oleh semua kebaikanku sekarang.Aku tahu, Indri pasti masih berharap semua harta warisannya kembali ke tangannya. Ya, walaupun begitu, aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Kecuali seperti yang sudah aku bicarakan dengan Indri sebelumnya. Dia siap menikah denganku dan punya anak dariku, maka aku pun siap mewariskan semuanya untuk anakku, dan tidak kepada Indri. Dengan begitu, aku bisa memiliki keduanya tanpa takut kehilangan salah satunya.Aku memasukkan semua uang itu ke dalam amplop coklat. "Uang untuk apa itu, Mas?" Aku menoleh ke belakang, ternyata Hana sudah berdiri tepat di belakang sofa tempatku duduk."Buat gaji karyawan," jawabku santai."Oh gitu? Tapi kan ini bukan tanggal gajian setahu aku," imbuh Hana."Iya aku tahu, tapi waktu tanggal gajian, aku sempat menunda karena ada suatu halan
POV IndriAku buru-buru pergi dari tempat aku ketemuan dengan Andi.Uang pemberian darinya aku masukkan ke dalam tas yang aku bawa. Lumayan, buat aku jadikan modal usaha dan biaya hidup, pikirku.Aku harus mendapatkan uang-uang itu lebih banyak dari ini. Aku harus bisa mendapatkannya, karena bagaimanapun uang-uang yang ada di tangan Andi, adalah hakku.Kini aku sudah berada di gang masuk ke tempat tinggalku. Sebelum benar-benar masuk, aku memastikan terlebih dahulu, bahwa Andi tidak mengikutiku.Serasa aman, aku segera melangkahkan kakiku untuk pulang.Siang ini, aku ada janji akan membantu bu Ida membuat kue lagi. Kemudian besok, aku juga harus mengantar kue-kue itu ke tempat hajatan kerabat bu Ida.Jujur, hatiku merasa senang sekarang. Aku bisa bercengkrama dengan warga, dan mempunyai kegiatan. Aku tidak merasa kesepian lagi tinggal disini.Singkat ceritaSore hari, aku dan yang lain sudah selesai membuat kue di teras rumah bu Ida."Neng, ingat ya besok, kamu ikut dan harus siap pag
POV Indri "Yusuf, ternyata yang menikah adalah yusuf," batinku.Aku tersenyum melihatnya menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya. Namun yang membuatku mengganjal, wajah Yusuf terlihat murung dan seperti tidak bahagia di acara pernikahannya. Tapi aku tidak boleh berburuk sangka, mungkin yang dirasakan Yusuf saat ini adalah terharu.Aku teringat akan kebaikan Yusuf selama aku hamil dan tinggal di kontrakan miliknya. Aku memang tidak mencintainya, tapi kebaikan dan semua perhatiannya akan selalu aku ingat. Dia adalah orang baik, dan sudah sepatutnya mendapatkan yang terbaik.Aku duduk di barisan paling belakang ingin menyaksikan acara akad ini. Acara akad Yusuf digelar di luar rumah, yang didekorasi oleh tenda-tenda mewah. Sehingga siapapun yang ingin menyaksikan, diperbolehkan karena tempatnya cukup luas.Terdengar penghulu menuntun Yusuf mengucapkan ijab kabul."Saya nikahkan engkau ananda Yusuf dengan Selina binti Lili, dengan mas kawin perhiasan sebesar 20 gram dan 1 unit moto
POV HanaAku heran, melihat mas Andi seharian ini sibuk menatap layar ponselnya. Hari ini mas Andi sengaja tidak pergi ke tokonya. Padahal aku sangat berharap jika ia tidak pergi ke toko atau sekedar mengontrol kebun dan sawah, ia bisa meluangkan waktunya untukku.Aku sangat ingin diperhatikan olehnya, terlebih saat ini aku sedang hamil.Namun kenyataannya, mas Andi terlihat mulai berubah entah kenapa. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang mas Andi benar-benar telah berubah.Perhatian dan kasih sayangnya terlihat dipaksakan. Tidak seperti dulu, saat aku belum hamil, setiap hari aku selalu dimanjakan. Aku menjadi prioritasnya sebelum yang lain. Tapi sekarang? Aku hanya bisa mengelus dada.Pernah suatu malam, aku terbangun dari tidurku karena haus. Tapi saat hendak beranjak, aku melihat mas Andi tidur membelakangiku, namun aku melihat cahaya ponsel yang menyala.Diam-diam aku memperhatikannya cukup lama, tanpa ia sadari. Aku sedikit mengintip apa yang sedang ia lakukan dengan pon
POV Hana Akhirnya mas Andi berkenan mengajakku untuk bertemu dengan pak Samsudin. Aku tahu mas Andi keberatan, tapi aku lebih keberatan jika aku tidak ikut. Bukan karena aku mau dimanja atau apa. Tapi aku hanya ingin mengawasi mas Andi, apa saja yang ia lakukan di luaran sana. Aku tidak akan posesif begini, jika mas Andi tidak menyulut api terlebih dahulu. Bukti pesan tadi, sudah bisa membuatku curiga. Bukan hanya pesan, bahkan riwayat telepon pun terhitung banyak ke nomor yang diberi tanda I dan emot senyum itu. Aku segera bersiap dengan mengganti baju. Merias diri secantik mungkin. Namun aw … jerawatku yang sudah merah merona tak sengaja tersapu oleh tanganku. Sehingga kulit wajahku mengeluarkan nanah bercampur darah yang terasa perih dan sakit. Setelah selesai merias diri di depan cermin. Aku segera menghampiri mas Andi yang sudah bersiap di dalam mobil kami. "Jangan cemberut gitu, dong. Aku nggak suka lihat suamiku cemberut," ujarku menggoda. "Ya!" Mas Andi tersenyum