POV HanaAku heran, melihat mas Andi seharian ini sibuk menatap layar ponselnya. Hari ini mas Andi sengaja tidak pergi ke tokonya. Padahal aku sangat berharap jika ia tidak pergi ke toko atau sekedar mengontrol kebun dan sawah, ia bisa meluangkan waktunya untukku.Aku sangat ingin diperhatikan olehnya, terlebih saat ini aku sedang hamil.Namun kenyataannya, mas Andi terlihat mulai berubah entah kenapa. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang mas Andi benar-benar telah berubah.Perhatian dan kasih sayangnya terlihat dipaksakan. Tidak seperti dulu, saat aku belum hamil, setiap hari aku selalu dimanjakan. Aku menjadi prioritasnya sebelum yang lain. Tapi sekarang? Aku hanya bisa mengelus dada.Pernah suatu malam, aku terbangun dari tidurku karena haus. Tapi saat hendak beranjak, aku melihat mas Andi tidur membelakangiku, namun aku melihat cahaya ponsel yang menyala.Diam-diam aku memperhatikannya cukup lama, tanpa ia sadari. Aku sedikit mengintip apa yang sedang ia lakukan dengan pon
POV Hana Akhirnya mas Andi berkenan mengajakku untuk bertemu dengan pak Samsudin. Aku tahu mas Andi keberatan, tapi aku lebih keberatan jika aku tidak ikut. Bukan karena aku mau dimanja atau apa. Tapi aku hanya ingin mengawasi mas Andi, apa saja yang ia lakukan di luaran sana. Aku tidak akan posesif begini, jika mas Andi tidak menyulut api terlebih dahulu. Bukti pesan tadi, sudah bisa membuatku curiga. Bukan hanya pesan, bahkan riwayat telepon pun terhitung banyak ke nomor yang diberi tanda I dan emot senyum itu. Aku segera bersiap dengan mengganti baju. Merias diri secantik mungkin. Namun aw … jerawatku yang sudah merah merona tak sengaja tersapu oleh tanganku. Sehingga kulit wajahku mengeluarkan nanah bercampur darah yang terasa perih dan sakit. Setelah selesai merias diri di depan cermin. Aku segera menghampiri mas Andi yang sudah bersiap di dalam mobil kami. "Jangan cemberut gitu, dong. Aku nggak suka lihat suamiku cemberut," ujarku menggoda. "Ya!" Mas Andi tersenyum
POV HanaMas Andi mematikan teleponnya, kemudian menyimpan ponselnya di dalam saku celananya."Hari ini kita kedatangan tamu. Kata Ibu, dia mau melamar menjadi art di rumah kita. Kita harus pulang, karena kita harus selektif memilih art. Jangan sampai …."Mas Andi menghentikan ucapannya. Dia melirik ke arah Adit yang masih berdiri mematung di hadapan kami."Ngapain kamu masih berdiri di sini? Masih untung ya, Pak Samsudin mau memaafkan kesalahan kamu. Coba kalau kamu diminta ganti rugi, bisa habis kamu. Sana pergi, cari uang yang banyak, siapa tahu bisa beli kapal," usir mas Andi sambil mencemooh.Dengan mata yang terlihat marah, Adit pun tanpa banyak bicara, dia pergi menuju angkotnya. Secepatnya dia pergi dan secepat kilat mobilnya sudah tidak terlihat lagi dari pandangan kami."Kita mesti selektif memilih art untuk rumah kita. Jangan sampai dia lebih pintar daripada kita. Kalau dia bodoh, maka itu lebih bagus." Mas Andi meneruskan ucapannya yang tadi sempat terputus."Iya, kamu ben
POV FinaAku tertawa melihat pak Andi bersin-bersin di depan bu Hana. Ternyata rencanaku berhasil mengerjai pak Andi, dengan mencampurkan serbuk bersin di makanan kesukaannya, yang sengaja aku beli di jalan tadi.Semula aku sangat takut menerima tawaran kerja disini dari Indri. Tapi demi membantu Indri, aku bertekad bersedia melamar pekerjaan di rumah ini.Segala keperluanku untuk pergi ke rumah ini, telah diatur sedemikian rupa oleh Indri. Diantaranya baju yang terlihat norak dan aku disuruh berpura-pura terlihat bodoh. Dengan itu, aku bisa menyelidiki tentang apa saja yang dilakukan oleh pak Andi dan bu Hana. Dan soal serbuk bersin, sengaja aku campurkan ke dalam makanan kesukaan pak Andi, karena aku ingin memberi pelajaran terhadapnya. Siapa suruh jahat kepada sahabatku? Maka bersiap-siaplah, kejutan lainnya akan aku suguhkan untuk kalian semua.Aku mengintip sambil menahan tawa di ambang pintu. Wajah bu Hana terlihat belepotan makanan dari mulut pak Andi."Ih Mas, kamu jorok bange
POV IndriBeberapa bulan kemudian, Fina mengerjakan misi di rumahku sebagai art. Fina selalu memberi kabar tentang Andi dan Hana. Dari mulai hal terkecil, sampai hal terbesar. Walaupun Fina belum berhasil mengetahui informasi tentang letak surat-surat berharga.Fina juga mengaku, dari hari pertama ia bekerja di rumah itu, Fina sudah bisa mengambil hati Hana. Kini apapun tentang Hana, Fina tahu. Hanya saja sangat susah mengetahui informasi tentang surat-surat berharga, karena Hana sangat sensitif dalam masalah itu."Halo, Fina! Sebisa mungkin kamu terus dekati Hana. Sampai dia mau curhat tentang kekayaan dia berasal dari mana. Syukur-syukur dia mau memberitahu kamu tentang rahasia harta itu. Kalau bisa, kamu rekam semuanya dan kirim ke aku." Aku menjelaskan apa yang mesti dilakukan Fina di rumah Hana."Tenang, aku pasti berusaha mendapatkan informasi itu. Oh iya, perut Bu Hana sudah besar, jadi aku harus siaga bilamana Bu Hana membutuhkan bantuanku. Jadi, kalau kamu nelpon tapi nggak
POV IndriSetelah aku dan Andi selesai nyanyi dan makan di acara nikahan temannya. Aku pun memutuskan untuk pulang.Tapi untuk sekarang, Andi sudah tidak mengutarakan keinginannya untuk mengantarku pulang. Dia mengantarku sampai di tempat biasa, seperti sebelum-sebelumnya."Terima kasih, Mas, sudah bikin aku bahagia hari ini. Aku pamit ya, Mas!" pamitku."Iya sama-sama, terima kasih juga kamu sudah bikin aku bahagia seperti tadi. Kamu hati-hati di jalan, aku mau langsung pulang sekarang," sahut Andi.Aku pun keluar dari dalam mobil dan berjalan menjauh dari mobil Andi.Setelah dirasa jauh, aku bersembunyi di balik mobil yang terparkir di pinggir jalan, memastikan jika mobil Andi sudah pergi.Mobil Andi sudah tak terlihat lagi, kini aku buru-buru menaiki ojek, untuk mengantarku pulang.Setelah mendapatkan ojek, akupun menaikinya dan segera diantar pulang."Turun disini, Bang," ujarku setelah aku sudah sampai di depan rumahku.Aku membayar ojek itu, dan langsung memasuki rumahku.Rasany
POV AditDisaat Indri tengah sibuk mengemasi semua pakaian dan barang-barangnya. Aku dengan secepat mungkin mengambil mobilku yang aku taruh di pinggir jalan luar gang.Aku harus melindungi Indri dari bang Andi. Aku tidak mau jika sampai perempuan itu disakiti lagi oleh bang Andi.Aku memarkirkan mobil angkotku di depan rumah Indri. Terlihat dia sudah berada di teras dengan koper dan barang-barang berupa kompor dan barang-barang kecil lainnya untuk keperluannya sehari-hari."Sudah siap?" tanyaku."Sudah, Dit, ayo cepat aku takut jika Andi sampai tahu aku pindah," ajakku tergesa-gesa.Aku membantu Indri memasukkan semua barangnya ke dalam mobil barisan penumpang. Lanjut Indri duduk di sebelahku."Kira-kira dimana kontrakan yang paling aman? Apa kamu tahu?" tanya Indri."Kita cari, pasti ada banyak kontrakan yang aman buat kamu. Jangan khawatir, aku pasti bantu kamu. Kamu nggak usah takut begitu, orang baik akan selalu dilindungi oleh-Nya," jawabku.Indri mengangguk namun wajahnya masih
POV Adit"Saat itu, hidup kami seakan hancur berkeping-keping. Karena keteledoran kami, anak kami meregang nyawa. Seharusnya saya mengingatkan anak kami, untuk tidak terlalu senang, dan mengingatkannya untuk meminum obat. Tapi nahas, takdir berkata lain. Sejak saat itu, saya maupun istri saya, enggan untuk memakai mobil ini karena masih terekam jelas saat anak kami terkulai lemas dan meninggal di dalam mobil ini," lanjut pak Toto bersedih.Aku merasa prihatin atas apa yang menimpa anak pak Toto. Kutoleh Indri, dia terlihat beberapa kali menyeka wajahnya."Pak Toto yang sabar, ya, anak pak Toto sekarang sudah tidak merasakan kesakitan lagi. Maaf jika kedatangan kami kesini membuka luka lama buat pak Toto." Aku berucap sambil menahan sedih dan tidak enak hati."Tidak apa-apa, saya dan istri saya berusaha tegar dan berusaha berdamai dengan kenyataan. Oh iya, maaf, maksud kalian melihat-lihat mobil ini ada apa, ya? Bisa dijelaskan?" tanya pak Toto."Ada sedikit masalah, pak, yang mengharu