"Waktu itu kapan?" tembalku menatap tegas wajah pria tukang bohong itu. Dia malah diam."Kapan saya ke pasar? Belakangan ini saya gak pernah ke pasar. Coba yang jelas Bang Dadang bicaranya. Kalau gak jelas, saya bisa laporkan ini ke pengacara saya. Kalian bisa di tuntut, loh. Kalian mau?"Mereka memang tahu perihal pengacarku di saat perseteruan kemarin dengan ibu mertua. Para tetangga berhamburan. Tak terkecuali Mbak Uri, aku melihatnya ia datang menyaksikan. Kalau soal percekcokan 'kan paling utama. Mbak Uri dan Bang Dadang malah saling menatap menyembunyikan sesuatu."Awas ya, Bang, Mbak, kalau bicara kayak gini, pengacara saya akan datang dan usut kasus ini. Bisa-bisa kalian di hukum selama sepuluh tahun lebih. ATAS PENCEMARAN NAMA BAIK," jelasku penuh penekanan di akhir. Mereka berdua makin gelagapan. Tak jelas sekali."Iya, anak saya ini orang baik-baik. Kalian jangan asal bicara tanpa bukti. Lagipula, yang keganjenan juga siapa. Yang bicara juga keganjenan." Ibu kembali emosi.
Dua bulan kemudian."Kamu pasti bangga sudah menjadi janda. Biar kamu bisa bebas. Kamu bisa bebas kelayapan dan jadi kembang jalan!" Sungut Mas Jimy memulai pembicaraan. Kami kini sudah resmi bercerai talak tiga. Baru saja sidang perceraian kami usai. Aku datang bersama Pak Satria dan juga Ibu. Sedangkan Mas Jimy datang bersama Ibu mertua, Tika, Mas Yanto dan Mbak Anggi. Satu rombongan. Posisi kami saat ini sudah berada di luar arena sidang, sedangkan Pak Satria masih ada di dalam urus-urus."Kalau saja sikap kamu tak seperti ini, Mas, dan kalau saja kamu bukan laki-laki kasar tukang selingkuh, mungkin kita tak akan pernah berpisah. Tapi keadaan ini mengubah takdir kita. Tak ada hak kamu bicara yang enggak-enggak mengenai aku. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Hubungan kamu hanya dengan Afni. Bukan denganku." Aku angkat bicara.Mereka semua memandangku dengan sinis. Apalagi setelah mereka terima kalau hak asuh Afni jatuh ke tanganku. Dan aku juga dapat bagian harta gono-gini dari ru
"Silahkan, Bu, Mbak Hanah, saya antar kalian ke rumah." Pak Satria tiba-tiba mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam mobilnya. Ibu dan aku saling menatap.Seketika aku menolak karena tak enak hati. "Tidak usah, Pak Satria, saya sama Ibu bisa pulang naik kendaraan umum. Saya sangat berterima kasih Bapak telah urus perceraian saya dari awal hingga kini. Bahkan, biasanya, tetangga saya urus perceraian sampai empat bulan, ini dua bulan sudah usai. Terima kasih banyak, Pak." Rasa terima kasih kusampaikan kembali. Setelah sidang usai aku juga sudah berterima kasih, tapi belum begitu afdol.Ia tersenyum. "Sebenarnya proses perceraian itu memang tidak selama itu. Hanya ... kadang berkas kita tertumpuk dan begitulah, intinya saya sudah lakukan semaksimal mungkin. Maaf bukan saya mendukung perceraian Mbak Hanah dan suaminya, tapi ... dengan sikap dan sifat suami Mbak Hanah, saya seakan harus membantu melepaskan wanita dari kekerasan dalam rumah tangga." Ia dengan lembut dan santun bicara."Ter
Aku lumayan kaget saat Pak Satria bersedia mengantar kami sampai ke depan rumah. "Tapi lebih baik di sini saja, Pak. Kami tinggal jalan kaki saja sedikit."Tapi Pak Satria tak menggubris permintaanku. "Santai saja. Gak jauh ini, kok. Lagain masak saya nolong orang setengah-setengah sih."Rasa tak enak hati kembali muncul. "Bapak itu orang sibuk, Pak. Kalau Bapak antar saya sama Ibu, waktu Bapak tersita banyak."Dia terus fokus menyetir sambil tersenyum. "Enggak, saya gak terlalu sibuk. Setelah ini saya juga mau ke rumah, kok. Saya mau pulang." Kini kami sudah masuk jalan besar menuju rumah. "Ya sudah kalau Bapak tak keberatan. Makasih banyak ya, Pak." Ia pun mengangguk-angguk santai sambil menyemai senyuman.Tak lama setelah itu akhirnya mobil yang kami tumpangi sudah sampai di dekat rumah. Tidak bisa sampai ke depan, hanya sampai ke pinggir saja."Nak Satria masuk dulu ke rumah. Ibu nanti buatkan teh lagi. Kebetulan kemarin pagi baru Ibu petik." Setelah keluar dari mobil Ibu mengaj
"Yang udah resmi menjanda. Kapan mau nikah lagi? Kemarin saya lihat Mbak Hanah sama Ibu di antar sama orang kaya. Pintar juga ya, banyak orang kaya yang sering ajak Mbak Hanah jalan." Celetuk Mbak Uri. Dia yang dulu pernah memitnahku namun keburu takut dengan ancamanku itu kini ngoceh lagi. Mungkin karena beberapa hari yang lalu Pak Satria mengantar kami sepulang dari sidang.Aku dan Ibu masih menyiapkan bungkusan nasi uduk yang di pesan secara online oleh Bu RT dan Bu Ima. Nanti akan di bawa oleh anaknya ke sini.Perkataan Mbak Uri tak kutanggapi terlalu serius. Kalau di tanggapi, dia malah makin menjadi-jadi."Mbak mau pesan nasi uduk?" tanyaku sengaja tak menggubris ocehannya tadi."Iya. Eh, emangnya pria yang kemarin itu beneran pengacara?" tanyanya membuatku agak risih. Ibu mencolek lenganku. Mungkin wanita paroh baya yang selalu menjadi penyemangat hidupku itu pun merasa risih juga dengan Mbak Uri."Nasi uduknya berapa?" Aku bertanya. Lagi-lagi celetukannya tak kuanggap."Di tan
"Sudah ah, Bu, saya mau pergi. Mau makan nasi uduk ini. Tadinya saya mau ke warung padang, eh Bang Dadang malah batalin." Astaghfirullah! Sudah tak di ladeni saja juga masih nyerocos. Membuat kepala ini menggeleng-geleng tak habis fikir. Sampai warung nasi Padang pun di bawa-bawa. Mau makan di warung bagaimana? Warung kecil Ibu pun masih ngutang. Dia akhirnya pergi."Si Uri lagaknya sok abis. Dia punya utang sama saya delapan ratus ribu belum bayar juga. Kemarin dia beli elektronik tuh, Mbak, katanya habis cair dari pinjaman kelompok gitu." Bu Een menggerutu sambil menyebut nama sebuah grup pinjaman."Oh gitu, Bu." Aku berkomentar."Iya, di tagih mah sama saya susah!" Bu Een sepertinya kesal."Kalau menurut saya ya, Bu, entar-entar jangan di kasih. Kalau niat kita gak ikhlas langsung memberi. Orang seperti Mbak Ur cuma bikin otak kita kesel. Maaf ya, Bu, Lebih baik kita bilang saja tidak ada. Daripada Ujung-ujungnya jadi masalah. Apalagi sama tetangga. Memang karena utang piutang it
"Silahkan, Pak minumnya. Tak ada suguhan lain lagi. Mohon maaf." Aku kini duduk setelah menyimpan gelas berisi air untuk Pak Zen.Terdiam. Ibu sudah ada di antara kami sejak tadi. Lebih awal dariku setelah kusuruh itu."Em, maaf, Nak Zen, apa ada perlu sesuatu?" Ibu memulai obrolan. Pak Zen tersenyum. "Tentu, Bu. Saya ... saya ke sini mau bawakan ini buat Ibu, Afni dan juga Mbak Hanah." Aku dan Ibu kaget. Pak Zen letakkan tas belanjaan di atas meja. Jadi benar, apa yang ia bawa itu di peruntukan untuk kami? Tapi ..."Loh, kok repot-repot?" tanya Ibu."Gak repot kok, Bu. Dan saya mohon Ibu dan Mbak terima ini." Pak Zen meminta kami untuk menerima cinderamata yang ia bawa. Ada apa gerangan?"Tapi, Pak, Bapak tak perlu bawa-bawa seperti ini. Lagian uangnya sayang, Pak." Aku berkomentar."Enggak apa-apa. Ini gak seberapa, kok. Mohon di terima ya, Bu, Mbak." Karena dia memaksa akhirnya aku pun mengalah saja. "Terima kasih kalau begitu, Pak." Dengan ragu aku berucap. Kini kami hanya sali
Ibu nampak terdiam dan berfikir. "Alhamdulillah kalau Nak Zen menerima keadaan kami." Pak Zen tersenyum."Ya, kalau Ibu sih, tak ikut campur soal hubungan anak. Itu terserah Hanah saja. Kalau soal hati 'kan Ibu tak tahu. Em, maksudnya, Nak Zen jatuh hati kah pada anak Ibu?" Tiba-tiba Ibu bertanya demikian. Sontak aku merasa malu. Ada beberapa bulir keringat yang muncul. Helaan nafas ini mencoba menetralisir rasa gugup.Pak Zen menatap kembali wajahku lamat-lamat. "Iya, Bu. Saya ... sepertinya jatuh hati pada anak Ibu. Tapi, entah apa tanggapan anak Ibu. Jujur saya tak bisa memendam perasaan ini."Aku makin syok. Saliva sudah tertelan beberapa kali. Gugup. Malu. Aku baru tahu kalau pria mapan itu menyimpan rasa terhadapku. Tapi bagaimana denganku?"Han? Jadi jawaban kamu bagaimana?" Ibu bertanya dan membuat rasa kaget ini buyar.Jari jemari bergerak menetralisir rasa gugup oleh pertanyaan Ibu. Rasa tak karuan malah muncul tanpa permisi. Aku kini berkeringat. Keringat ini bukanlah gugu
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku