"Yang udah resmi menjanda. Kapan mau nikah lagi? Kemarin saya lihat Mbak Hanah sama Ibu di antar sama orang kaya. Pintar juga ya, banyak orang kaya yang sering ajak Mbak Hanah jalan." Celetuk Mbak Uri. Dia yang dulu pernah memitnahku namun keburu takut dengan ancamanku itu kini ngoceh lagi. Mungkin karena beberapa hari yang lalu Pak Satria mengantar kami sepulang dari sidang.Aku dan Ibu masih menyiapkan bungkusan nasi uduk yang di pesan secara online oleh Bu RT dan Bu Ima. Nanti akan di bawa oleh anaknya ke sini.Perkataan Mbak Uri tak kutanggapi terlalu serius. Kalau di tanggapi, dia malah makin menjadi-jadi."Mbak mau pesan nasi uduk?" tanyaku sengaja tak menggubris ocehannya tadi."Iya. Eh, emangnya pria yang kemarin itu beneran pengacara?" tanyanya membuatku agak risih. Ibu mencolek lenganku. Mungkin wanita paroh baya yang selalu menjadi penyemangat hidupku itu pun merasa risih juga dengan Mbak Uri."Nasi uduknya berapa?" Aku bertanya. Lagi-lagi celetukannya tak kuanggap."Di tan
"Sudah ah, Bu, saya mau pergi. Mau makan nasi uduk ini. Tadinya saya mau ke warung padang, eh Bang Dadang malah batalin." Astaghfirullah! Sudah tak di ladeni saja juga masih nyerocos. Membuat kepala ini menggeleng-geleng tak habis fikir. Sampai warung nasi Padang pun di bawa-bawa. Mau makan di warung bagaimana? Warung kecil Ibu pun masih ngutang. Dia akhirnya pergi."Si Uri lagaknya sok abis. Dia punya utang sama saya delapan ratus ribu belum bayar juga. Kemarin dia beli elektronik tuh, Mbak, katanya habis cair dari pinjaman kelompok gitu." Bu Een menggerutu sambil menyebut nama sebuah grup pinjaman."Oh gitu, Bu." Aku berkomentar."Iya, di tagih mah sama saya susah!" Bu Een sepertinya kesal."Kalau menurut saya ya, Bu, entar-entar jangan di kasih. Kalau niat kita gak ikhlas langsung memberi. Orang seperti Mbak Ur cuma bikin otak kita kesel. Maaf ya, Bu, Lebih baik kita bilang saja tidak ada. Daripada Ujung-ujungnya jadi masalah. Apalagi sama tetangga. Memang karena utang piutang it
"Silahkan, Pak minumnya. Tak ada suguhan lain lagi. Mohon maaf." Aku kini duduk setelah menyimpan gelas berisi air untuk Pak Zen.Terdiam. Ibu sudah ada di antara kami sejak tadi. Lebih awal dariku setelah kusuruh itu."Em, maaf, Nak Zen, apa ada perlu sesuatu?" Ibu memulai obrolan. Pak Zen tersenyum. "Tentu, Bu. Saya ... saya ke sini mau bawakan ini buat Ibu, Afni dan juga Mbak Hanah." Aku dan Ibu kaget. Pak Zen letakkan tas belanjaan di atas meja. Jadi benar, apa yang ia bawa itu di peruntukan untuk kami? Tapi ..."Loh, kok repot-repot?" tanya Ibu."Gak repot kok, Bu. Dan saya mohon Ibu dan Mbak terima ini." Pak Zen meminta kami untuk menerima cinderamata yang ia bawa. Ada apa gerangan?"Tapi, Pak, Bapak tak perlu bawa-bawa seperti ini. Lagian uangnya sayang, Pak." Aku berkomentar."Enggak apa-apa. Ini gak seberapa, kok. Mohon di terima ya, Bu, Mbak." Karena dia memaksa akhirnya aku pun mengalah saja. "Terima kasih kalau begitu, Pak." Dengan ragu aku berucap. Kini kami hanya sali
Ibu nampak terdiam dan berfikir. "Alhamdulillah kalau Nak Zen menerima keadaan kami." Pak Zen tersenyum."Ya, kalau Ibu sih, tak ikut campur soal hubungan anak. Itu terserah Hanah saja. Kalau soal hati 'kan Ibu tak tahu. Em, maksudnya, Nak Zen jatuh hati kah pada anak Ibu?" Tiba-tiba Ibu bertanya demikian. Sontak aku merasa malu. Ada beberapa bulir keringat yang muncul. Helaan nafas ini mencoba menetralisir rasa gugup.Pak Zen menatap kembali wajahku lamat-lamat. "Iya, Bu. Saya ... sepertinya jatuh hati pada anak Ibu. Tapi, entah apa tanggapan anak Ibu. Jujur saya tak bisa memendam perasaan ini."Aku makin syok. Saliva sudah tertelan beberapa kali. Gugup. Malu. Aku baru tahu kalau pria mapan itu menyimpan rasa terhadapku. Tapi bagaimana denganku?"Han? Jadi jawaban kamu bagaimana?" Ibu bertanya dan membuat rasa kaget ini buyar.Jari jemari bergerak menetralisir rasa gugup oleh pertanyaan Ibu. Rasa tak karuan malah muncul tanpa permisi. Aku kini berkeringat. Keringat ini bukanlah gugu
"Ini kan sudah hampir satu bulan lebih. Apa kamu ada rasa berbeda?" Ibu seperti benar-benar ingin tahu kejelasannya. Kejelasan tentang perasaanku pada Mas Zen.Kuhela nafas panjang. pelan-pelan kuhembuskan. "Belum, Bu. Susah sekali untuk jatuh cinta rasanya. Padahal dia pria yang baik," jawabku lagi pesimis."Kenapa?"Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Gak tahu, Bu." "Ada pria lain kah?" Ibu malah menduga hal lain."Enggak. Siapa yang lain? Mungkin aku masih belum siap pacaran, Bu." Aku menjawab lagi."Loh, kalau selama ini nak Zen datang, Ibu fikir kalian lagi pacaran," pungkas Ibu menduga.Aku terkekeh kecil. "Sebenarnya pernah dia utarakan perasaannya sama Hanah, Bu. Bahkan dia ingin serius. Tapi ... entah mengapa Hanah gak bisa jalani itu, Bu. Hanah blak-blakan kalau Hanah belum bisa menerima cintanya. Hanah juga minta maaf yang sebesar-besarnya. Bukan maksud Hanah angkuh. Tapi ... apa daya, Bu. Hati tak bisa di paksakan. Tapi kami masih tetap berhubungan seperti biasa. Layaknya s
"Tika? Kamu dari mana? Suami pulang bukannya ada di rumah. Malah baru pulang!" Aku memergoki Tika yang baru saja pulang dari luar. Ia juga bawa kantong belanjaan beberapa. "Pasti habis shopping! Mana jatah Ibu bulan ini gak dia kasih!" Ibu menimpali kemarahanku pada Tika. Wanita yang sudah selama beberapa bulan ini menjadi istriku kini mulai berubah. Lebih sering keluyuran dan jarang menyiapkan aku makanan."Aku dari luar. Hangout, Mas. Bosan di rumah. Ibu cerewet bikin kuping aku pengeng. Lalu mbak Anggi, dia di rumah cuma ongkang-ongkang gratisan. Jadi biarlah aku keluar untuk cari angin." Tika menjawab dengan santai. Seperti tak ada rasa bersalah."Kamu gak izin sama aku sekarang?" Emosiku naik ke ubun-ubun. Tika simpan tas belanjaan di atas meja. Dia seperti tak menghiraukan perkataanku."Bukannya tadi aku telepon kamu, terus nomor kamu gak aktif, Mas?" jawabnya mendelik tajam. Memang tadi ponsel kumatikan karena ada meeting seluruh karyawan kantor bersama direktur."Alah, alasan
"Apa kamu bilang? Kamu bilang kami ada di sini jadi beban?" Mbak Anggi keluar dari kamarnya. Mas Yanto menyusul. Mereka seperti baru bangun tidur. Terbangunkan oleh perdebatan kami."Baguslah, Mbak kalau sadar," sinis Tika sambil melipat lengan di bawah dada dua-duanya. Ah, makin kesini makin rumit saja. Niat hidup lebih baik, malah jadi seperti ini."Eh, kamu gak bisa katain saya seperti itu. Dulu, waktu Jimy masih kecil. Aku yang urus dia. Aku jajanin dia. Kalau aku cuma numpang, jangan jadi masalah dong. Anggap saja ini sebagai balas budi suami kamu sama kakaknya." Mbak Anggi pintar beralasan."Ah sudah! Mbak Anggi, lebih baik Mbak dan Mas Yanto pergi dari rumahku. Atau paling tidak, kalian kerja dong. Mbak Anggi 'kan sarjana. Mas Yanto juga. Kok kalian enak cuma diam saja." Di fikir-fikir apa yang di katakan oleh Tika benar juga.Ibu seperti tak terima. Apalagi Mbak Anggi dan Mas Yanto. "Eh, Jimy! Mereka ini Kakak kamu. Kok kamu malah teracuni oleh si Tika, sih! Yang harusnya per
Pas makan malam."Loh, kok cuma segini?" Ibu dan Mbak Anggi datang. Di susul Mas Yanto. Dia berkomentar mengenai makanan yang terhidang di meja.Tika datang. "Ya, cuma makan berdua, ya segini saja. Kalau banyak-banyak mubazir. Uangnya juga sayang." Aku lebih baik diam saja. Yang penting perutku akan kenyang, karena aku kini sudah mulai menyuap."Buat kami mana?" Mbak Anggi kini yang bicara. "Iya! Buat Ibu mana? Ambilin dong!" Ibu seperti menyuruh Tika."Ambil dimana, Bu?" Tika dengan santai menjawab sambil menyuap nasi plus ayam goreng ke mulutnya. Aku pun sama."Ya di dapur, lah!" "Ibu ambil saja sendiri. Kita lagi makan," tembal Tika dengan santai. Aku tak mau ikut bicara lagi. Lebih baik makan yang banyak."Biar aku yang ambil, Bu." Mbak Anggi pergi ke dapur. Ibu dan Mas Yanto duduk di kursi yang sudah tersedia.Di meja hanya ada sedikit nasi dan ayam goreng yang cukup untuk kami berdua saja."Loh, kok gak ada lagi?" Mbak Tika tiba-tiba datang. "Gak ada apanya, Mbak?" Tika berko