Pas makan malam."Loh, kok cuma segini?" Ibu dan Mbak Anggi datang. Di susul Mas Yanto. Dia berkomentar mengenai makanan yang terhidang di meja.Tika datang. "Ya, cuma makan berdua, ya segini saja. Kalau banyak-banyak mubazir. Uangnya juga sayang." Aku lebih baik diam saja. Yang penting perutku akan kenyang, karena aku kini sudah mulai menyuap."Buat kami mana?" Mbak Anggi kini yang bicara. "Iya! Buat Ibu mana? Ambilin dong!" Ibu seperti menyuruh Tika."Ambil dimana, Bu?" Tika dengan santai menjawab sambil menyuap nasi plus ayam goreng ke mulutnya. Aku pun sama."Ya di dapur, lah!" "Ibu ambil saja sendiri. Kita lagi makan," tembal Tika dengan santai. Aku tak mau ikut bicara lagi. Lebih baik makan yang banyak."Biar aku yang ambil, Bu." Mbak Anggi pergi ke dapur. Ibu dan Mas Yanto duduk di kursi yang sudah tersedia.Di meja hanya ada sedikit nasi dan ayam goreng yang cukup untuk kami berdua saja."Loh, kok gak ada lagi?" Mbak Tika tiba-tiba datang. "Gak ada apanya, Mbak?" Tika berko
Satu minggu kemudian."Jim? Di panggil ke ruang bos tuh! Kayaknya loe bakalan naik pangkat." Aji memanggilku sambil meninggikan alisnya beberapa kali."Oh ya?""Iya." Akhirnya aku segera memutuskan untuk menghampiri Bos besar. Apa yang di katakan oleh Aji pasti benar. Aku akan naik pangkat.Semoga, semoga.***"Selamat pagi, Bos." Aku langsung menyapa Bos berar setelah masuk ke dalam ruangnnya."Duduk." Wajah Bos datar sekali saat menyuruhku duduk. Tak ada rona-rona naik jabatan. Apa yang akan ia bicarakan padaku?Setelah duduk Bos besar malah berdiri. Pluk!Si Bos membanting sebuah dokumen di hadapanku. "Jimy! Kerjamu akhir-akhir ini berantakkan. Laporan tidak sesuai dengan kenyataan. Saya sudah cek semua. Laporan kamu acak-acakan!"Tegh.Saliva kuteguk cepat sampai lidah ini rasanya mengering.Aku meringis. "Masa sih, Bos? Saya sudah re-chek, kok." Aku beralasan. Rasanya memang kerjaku sudah benar."Mana nyatanya? Lihat ini! Lihat! Dan laporan ini kamu palsukan. Ada barang-barang
PoV Hanah***Selama tiga bulan ini aku akhirnya telah bekerja di sebuah perusahaan fashion milik teman Mas Zen. Gaji yang mereka berikan padaku pun lumayan besar. Menurutku, entah bagi mereka yang sudah tak awam.Aku sudah bisa menabung untuk membeli rumah yang lebih layak untuk aku dan Ibu. Dengan yang aku dapat selama ini pun aku tak henti berterima kasih pada Mas Zen. Dia yang sudah memberiku pekerjaan ini.Saat ini aku sedang ada di sebuah even, dimana karya-karya hasil kami akan di perlihatkan di sini, satu persatu dengan model yang telah di siapkan. Aku juga tak lupa memberitahu Resti tentang acara ini supaya ia hadir melihat design-design yang aku buat.Dulu Resti pernah bilang padaku untuk bekerja dengan hati-hati. Apalagi aku adalah seseorang yang awam di dunia tata busana. Penipuan dan kejahatan lain acap kali terjadi. Tapi aku meyakinkan Resti kalau aku akan bisa menanganinya. Aku minta doa saja darinya. Kalau terus merepotkan Resti juga aku tak mau. Kasihan dia."Han? Ini
"Adik saya Saskia Ambarwati yang telah rancang busana ini." Tegh!Aku heran dan bahkan kaget saat Mbak Sasya Seruni berkata kalau design pakaian yang ia pegang saat itu adalah hasil design tangan adiknya, Mbak Saskia yang jelas-jelas sama bekerja denganku di perusahaan miliknya. Kalau luncuran dari brand perusahaan, itu masih mending. Tapi ini jelas-jelas dia mengklaim kalau design yang aku buat itu adalah buatan tangan adiknya sendiri. Memang dia adalah seorang designer senior, tapi apa yang dia katakan itu 'kan bohong? Itu jelas-jelas karya yang aku buat tapi tak pernah aku berikan pada perusahaan. Saat aku membuat itu, dia bilang akan di tampilkan dan nantinya karya itu pasti akan jadi karyaku yang terbaik. Tapi aku menolak untuk diberikan, karena itu biarlah jadi koleksi buatanku bukan untuk perusahaan. Benar saja, karyaku itu di sambut baik. Tapi kenapa Mbak Sasya tak sebut namaku? Kenapa ia bilang adiknya yang membuat? Kasusnya, kalau aku kerja untuk perusahaan, baru itu bisa d
"Tapi, maksud Mbak Sasya itu klaim kalau adik dia yang design loh, Pak. Bukan mengakui karya hasil dari perusahaan. Tapi jelas kalaupun karya perusahaan, saya tidak pernah sadar memberikan. Itu sengaja saya simpan untuk koleksi saya." Aku membantah."Han, kamu belum mengerti dunia fashion. Kamu ini masih awam. Kamu juga dapat nominal yang besar atas ini, kan? Kamu udah terima?" Mas Zen malah seperti memandangku sebagai orang bodoh. Tapi aku tak mau bahas ini sekarang. Nanti, setelah selesai acara aku akan pertanyakan soal ini."Ada apa, Han?" tanya Resti."Enggak. Nanti saja kita bahas." Aku menjawab."Itu karya kamu, kan? Tapi warnanya saja yang di buat beda. Itu jelas-jelas udah melanggar hak cipta. Itu design kamu yang buat. Kok dia terang-terangan akui itu karya adiknya sendiri, sih? Di depan khalayak lagi!" Resti pun mendapati hal yang sama denganku. Mbak Sasya jelas-jelas telah klaim design milikku untuk memperindah nama adiknya. Yang aku heran, kenapa Mas Zen seakan tak ada d
"Loh, jangan asal bicara ya, Mbak? Lihat ini!" Mbak Sasya banting sebuah dokumen ke hadapan kami yang di kemas dalam bentuk kertas HVS beberapa lembar."Lihat! Bukankah kamu sudah tanda tangani ini? Kamu tanda tangani kontrak kerjasama kita selama satu tahun ke depan. Dan isinya adalah, kamu serahkan hak cipta design yang kamu buat untuk saya."Degh!Melihat lembaran itu, juga mendengar apa yang di katakan oleh Mbak Sasya, aku kaget. Aku memang tanda tangani kontrak. Resti meraih lembar kertas itu dari dalam sebuah map bermika kuning. Ia mulai membaca dengan detail. Sedangkan aku masih mengingat, bagaimana bisa aku tanda tangani itu? Sedangkan aku baca semuanya."Han? Kamu tanda tangan ini. Ini tanda tangan kamu, kan? Di sini menjelaskan kalau semua design yang kamu buat selama bekerja di kantor itu, sebagian bisa di klaim sesuai keinginan pihak perusahaan. Termasuk untuk kepentingan pribadi."Aku makin kaget mendengar penjelasan Resti yang amat serius."Apa? Coba aku lihat?"Dan ben
Sungguh aku menyesali karena terlalu percaya pada Mas Zen. Dia dan Mbak Sasya telah menipuku. Selama ini aku pikir mereka ingin membantuku dengan ikhlas. Namun ternyata ada udang di balik batu. Mereka sengaja ingin klaim karya-karyaku. Lagipula, kenapa bisa aku ceroboh dan tak hati-hati. Benar kata Resti, aku terlalu ceroboh. Ya ampun, aku terkesan angkuh tak mau dengar kata-kata dari Resti. Padahal, aku sengaja ingin mengoleksi karyaku itu, bukan untuk perusahaan, tapi karya telah dicuri. Menyesal tidak ada guna, ribut juga hanya akan aku yang kena. Aku paham, bagaimana bermasalah dengan orang berada.Astaghfirullah.Darimana aku harus dapat uang tiga ratus lima puluh juta itu? Kalau tidak, aku harus bekerja karena terikat kontrak selama satu tahun ke depan. Sungguh aku benar-benar menyesal. Dan yang aku sesali bukan pekerjaannya, tapi di saat mereka mengambil karya-karyaku untuk mereka akui tanpa ijin. Kerja beda lagi.Kalau bawa masalah ini ke pengadilan, jelas mereka punya bukti-
"Res? Assalamualaikum?" ucapku lebih dulu."Waalaikum salam, Han. Ada hal yang ingin aku bicarakan." Resti membuatku penasaran."Ada apa?" tanyaku sambil duduk di tepi ranjang."Aku udah suruh orang untuk selidiki soal utu. Aku suruh orang cek CCTV saat Sasya selipkan lembar surat kosong atau lembar surat yang tak kamu baca sebelumnya. Tapi sayang, gak ada bukti sama sekali. Dan di ruang itu, jam yang kamu sebutkan, itu sudah di matikan. Mungkin mereka takut kalau kemungkinan ini terjadi. Hingga mereka pikirkan dengan matang. Anehnya, yang ada hanya saat kamu tanda tangan dan bersalaman secara sadar. Sudah itu saja." Resti menjelaskan.Aku terenyah kaget. "Kamu selidiki itu?" "Iya. Aku penasaran, Han. Aku suruh orang dalam untuk kerjasama. Aku yakin seperti itu. Dan kita gak dapat bukti. Karyawan itu bilang CCTV saat itu mati sebentar. Lalu hidup lagi. Pasti saat Sasya selipkan kertas itu. Aku yakin." Resti kembali bicara."Oh ya. Sebelum tanda tangan memang kami sempat ngobrol. Sete