"Res? Assalamualaikum?" ucapku lebih dulu."Waalaikum salam, Han. Ada hal yang ingin aku bicarakan." Resti membuatku penasaran."Ada apa?" tanyaku sambil duduk di tepi ranjang."Aku udah suruh orang untuk selidiki soal utu. Aku suruh orang cek CCTV saat Sasya selipkan lembar surat kosong atau lembar surat yang tak kamu baca sebelumnya. Tapi sayang, gak ada bukti sama sekali. Dan di ruang itu, jam yang kamu sebutkan, itu sudah di matikan. Mungkin mereka takut kalau kemungkinan ini terjadi. Hingga mereka pikirkan dengan matang. Anehnya, yang ada hanya saat kamu tanda tangan dan bersalaman secara sadar. Sudah itu saja." Resti menjelaskan.Aku terenyah kaget. "Kamu selidiki itu?" "Iya. Aku penasaran, Han. Aku suruh orang dalam untuk kerjasama. Aku yakin seperti itu. Dan kita gak dapat bukti. Karyawan itu bilang CCTV saat itu mati sebentar. Lalu hidup lagi. Pasti saat Sasya selipkan kertas itu. Aku yakin." Resti kembali bicara."Oh ya. Sebelum tanda tangan memang kami sempat ngobrol. Sete
"Tapi segitu uang, Res, bukan daun! Dan, gimana kalau aku gak bisa balikin?" Aku pesimis."Siapa yang mau ngasih daon sih, Han? Aku juga gak akan kasih kertas. Paling angka saja. Hihi." Resti malah bercanda."Aku gak enak sama kamu. Sejak awal kamu di buat repot sama aku. Dan sekarang, urusan uang pun kamu harus ikut-ikutan. Gak mungkin lah, Res," jawabku lagi makin tak enak hati. Kenapa juga Resti harus tahu soal ini. Kasihan dia."Han, kamu mau terus terikat dengan orang-orang seperti itu? Ini mumpung masih belum jauh loh, Han! Ini mungkin belum seberapa. Bisa-bisa mereka benar-benar perdaya kamu demi karir si Sasya yang gak terlalu oke itu." Resti menggerutu kesal."Maksud kamu gak oke?" tanggapku."Ya, dia itu ternyata seorang wanita yang mengambil jurusan tata busana. Malah sampai ke luar negeri. Tapi karyanya gak ada yang oke. Entah kenapa. Mungkin belajarnya gak bener. Atau, memang gak punya skil. Ah gitu deh pokoknya. Dan kamu tahu gak? Dia itu ... ada hubungan sama pak Zen. A
Entah harus nikmat apalagi yang aku dustakan. Dengan mudahnya Resti memberiku pinjaman uang. Bahkan dia sendiri yang mengajakku pergi ke kantor Mbak Sasya untuk batalkan kontrak secara sepihak. Mbak Sasya marah besar, tapi apa daya, aku dan Resti membawa uang dendaan itu. Dan di saat itu juga aku tahu kalau Pak Zen dengan Mbak Sasya itu adalah sepasang kekasih. Sejak pernikahan Pak Zen dan Bu Nia, mereka sudah merajut asmara. Memang benar kalau Pak Zen dan Bu Nia menikah tanpa cinta. Mereka punya pacar masing-masing, dan apa yang di jelaskan oleh Pak Zen itu dulu agak keliru, tentang dirinya yang ingin mencoba mencintai Bu Nia mantan sitrinya, padahal pria yang bergelar pengusaha itu pun memang melakukan hal yang sama dengan Bu Nia.Lalu bagaimana ceritanya Pak Zen yang sudah kupanggil Mas itu bisa suka denganku dengan niat menipu? Aku tak tahu. Aku belum cari tahu soal itu. Dan kalau alasannya supaya aku bisa menaikan karir pacarnya, mana mungkin? Sejak awal dia tulus membantuku, d
"Enggak, aku udah resign dari kantor. Beberapa bulan yang lalu. Aku gak betah," jawabnya seperti sedang mengibuliku."Gak betah? Mana mungkin kamu gak betah kerja di kantor dan memilih jadi tukang cuci mobil, Mas?" "Kamu gak perlu tahu. Pergi sana!" Dia mengusirku. "Lagian kamu darimana? Cari pria hidung belang yang dompetnya tebal? Si Zen itu mana? Kok kalian belum menikah?" Ia mengusir tapi masih ingin tahu masalahku."Aku pulang dari tukang jahit. Dan aku sama sekali tak ada hubungan dengan nama yang kamu maksud." Aku menjawab dengan nada santai."Oh, pulang kursus menjahit? Baguslah, biar anakku bisa kamu biayai. Maaf aku gak bisa kirim uang. Kebutuhanku juga banyak. Apalagi sekarang Tika lagi hamil," ujarnya juga bahas soal Tika."Oh, Tika hamil? Selamat ya, Mas. Semoga kamu bisa jadi ayah yang baik," ucapku."Tentu, aku mampu jadi ayah yang baik. Ya sudah, kamu lebih baik pergi, Han, aku mau lanjut kerja," usirnya lagi dengan ketus. "Aku akan pergi."Dan kebetulan taksi lewat,
Hampir lima tahun berlalu. Kini orang-orang sudah mulai mengenalku. Semua hasil karyaku bisa mereka dapatkan dengan mudah di boutique manapun. Tapi untuk yang lebih eksklusif, seperti pemesanan design baju pengantin dan sebagainya, kini mereka sudah bisa menghubungiku lewat sebuah kartu nama. Namaku Hanah Sri Ningrum kini bisa terpampang di logo sebuah boutiqe milikku.Sekarang putriku sudah berusia dua belas tahun. Sebentar lagi masuk sekolah menengah pertama. Dan Alhamdulillah, aku bisa membiayainya tanpa bantuan Mas Jimy. Karena selama ini dia tak pernah kirim biaya untuk Afni. Mungkin Mas Jimy banyak beban juga, apalagi mereka sudah punya lagi balita. Sudah beberapa tahun ini kami tak pernah lagi bersua. Ada kabar kalau perekonomian mereka menurun. Dan bahkan sempat ada isu juga mereka keluar kota pindah ke tempat Tika.Kini aku sudah punya rumah baru hasil dari jeri payahku selama ini. Jadi kami tak lagi tinggal di rumah kecil milik Ibu dulu. Rumah itu juga masih ada, di kontraka
Dan benar saja dengan informasi yang Resti dapat. Mbak Vira istri Pak Satria telah merenggut nyawa dalam kecelakaan lalu lintas hendak pergi bertugas keluar kota. Mbak Vira adalah seorang dokter, ia pergi keluar kota seperti biasa untuk jadwal praktek di salah satu rumah sakit swasta. Kali ini ia pergi di antar oleh suaminya, Pak Satria, mereka kecelakaan dan hanya Pak Satria yang selamat."Innalilahi wa innailaihi raji'un." Kalimat itu memenuhi setiap sudut ruangan rumah Pak Satria. Mbak Vira kini sudah terbujur kaku. Aku dan Resti tadi ke rumah sakit lalu kini kami sudah sampai di rumah untuk menyemayamkan jenazah Almarhumah.Katanya mereka terlibat kecelakaan beruntun, hingga mobil yang mereka tumpangi terpental oleh tubrukan kendaraan dari arah berlawanan."Astaghfirullah aladzim!" Hanya kalimat itu yang terus terucap dari mulut ini. Sungguh nyawa seseorang itu tak ada yang tahu kapan akan di renggut oleh-Nya. Kita berkendara amat hati-hati, tapi belum tentu dengan orang lain. H
"Oh ya, baby sitter Kaila pulang kampung dulu hari ini. Baru pulang besok malam. Tapi besok aku ada sidang, dua klien. Jadi Om minta maaf kamu bantu jagain Kaila ya, Res?" pinta Pak Satria."Yah, aku sih mau. Tapi besok aku ada meeting dari pagi juga. Selesainya paling setelah jam makan siang." Resti mengeluh."Yah, ya sudah. Aku akan titipkan Kaila ke tempat penitipan anak saja," kata Pak Satria."Eh, jangan! Saya gak sibuk kok, Pak! Jangan di titipin di tempat penitipan. Kasihan. Kalau boleh, saya saja yang jaga Kaila. Dia anteng juga sama saya kok, Pak," usulku refleks. "Hah? Yang bener?" ucap Resti. Aku manggut-manggut."Tapi saya tak mau merepotkan Mbak Hanah," kata Pak Satria."Sama sekali gak repot. Saya gak sibuk kok, Pak. Lagian, kalau di titip di penitipan, kasihan. Saya bisa kok jaga Kaila. Ya, kalau Bapak gak keberatan."Resti dan Omnya saling menoleh. "Tapi gak ngerepotin kan, Han?" Resti memastikan. Kuhela nafas. "Sama sekali enggak. Repot apa coba?""Maaf, tapi saya b
"Oh, begitu? Bapak mau ajak makan sianga saya?" Aku memastikan. Siapa tahu tadi salah dengar."Iya. Itupun kalau Mbak Hanah tidak sedang sibuk. Kalau sibuk, saya akan makan sendiri saja," jawabnya ragu-ragu.Aku tersenyum. "Sibuk sih tidak, tadi saya cuma lagi cek stok barang. Tadi saya gak ada kerjaan, cuma diem saja." "Jadi, kita bisa keluar?" tanyanya."Em, baiklah, saya akan ikut Bapak untuk makan siang. Sebentar lagi juga jam makan siang," jawabku. Ia manggut-manggut sambil tersenyum."Ana, saya keluar dulu ya?" Aku izin pada Ana salah satu pelayan toko. "Baik, Bu," jawabnya mengangguk.Aku dan Pak Satria pergi untuk makan siang. Pak Satria mengajakku berjalan sampai ke cafe resto. Karena jaraknya dekat dari toko, hanya tiga puluh meteran. Tak terasa langkah kami sudah sampai di tempat yang di tuju saja. Kami duduk di meja kursi kosong hanya berdua. Maksudnya, aku hanya datang dengan Pak Satria. Pengunjung lain ada, pun banyak sekali. Lumayan ramai.Ini adalah kali pertama Pak
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku