"Tapi segitu uang, Res, bukan daun! Dan, gimana kalau aku gak bisa balikin?" Aku pesimis."Siapa yang mau ngasih daon sih, Han? Aku juga gak akan kasih kertas. Paling angka saja. Hihi." Resti malah bercanda."Aku gak enak sama kamu. Sejak awal kamu di buat repot sama aku. Dan sekarang, urusan uang pun kamu harus ikut-ikutan. Gak mungkin lah, Res," jawabku lagi makin tak enak hati. Kenapa juga Resti harus tahu soal ini. Kasihan dia."Han, kamu mau terus terikat dengan orang-orang seperti itu? Ini mumpung masih belum jauh loh, Han! Ini mungkin belum seberapa. Bisa-bisa mereka benar-benar perdaya kamu demi karir si Sasya yang gak terlalu oke itu." Resti menggerutu kesal."Maksud kamu gak oke?" tanggapku."Ya, dia itu ternyata seorang wanita yang mengambil jurusan tata busana. Malah sampai ke luar negeri. Tapi karyanya gak ada yang oke. Entah kenapa. Mungkin belajarnya gak bener. Atau, memang gak punya skil. Ah gitu deh pokoknya. Dan kamu tahu gak? Dia itu ... ada hubungan sama pak Zen. A
Entah harus nikmat apalagi yang aku dustakan. Dengan mudahnya Resti memberiku pinjaman uang. Bahkan dia sendiri yang mengajakku pergi ke kantor Mbak Sasya untuk batalkan kontrak secara sepihak. Mbak Sasya marah besar, tapi apa daya, aku dan Resti membawa uang dendaan itu. Dan di saat itu juga aku tahu kalau Pak Zen dengan Mbak Sasya itu adalah sepasang kekasih. Sejak pernikahan Pak Zen dan Bu Nia, mereka sudah merajut asmara. Memang benar kalau Pak Zen dan Bu Nia menikah tanpa cinta. Mereka punya pacar masing-masing, dan apa yang di jelaskan oleh Pak Zen itu dulu agak keliru, tentang dirinya yang ingin mencoba mencintai Bu Nia mantan sitrinya, padahal pria yang bergelar pengusaha itu pun memang melakukan hal yang sama dengan Bu Nia.Lalu bagaimana ceritanya Pak Zen yang sudah kupanggil Mas itu bisa suka denganku dengan niat menipu? Aku tak tahu. Aku belum cari tahu soal itu. Dan kalau alasannya supaya aku bisa menaikan karir pacarnya, mana mungkin? Sejak awal dia tulus membantuku, d
"Enggak, aku udah resign dari kantor. Beberapa bulan yang lalu. Aku gak betah," jawabnya seperti sedang mengibuliku."Gak betah? Mana mungkin kamu gak betah kerja di kantor dan memilih jadi tukang cuci mobil, Mas?" "Kamu gak perlu tahu. Pergi sana!" Dia mengusirku. "Lagian kamu darimana? Cari pria hidung belang yang dompetnya tebal? Si Zen itu mana? Kok kalian belum menikah?" Ia mengusir tapi masih ingin tahu masalahku."Aku pulang dari tukang jahit. Dan aku sama sekali tak ada hubungan dengan nama yang kamu maksud." Aku menjawab dengan nada santai."Oh, pulang kursus menjahit? Baguslah, biar anakku bisa kamu biayai. Maaf aku gak bisa kirim uang. Kebutuhanku juga banyak. Apalagi sekarang Tika lagi hamil," ujarnya juga bahas soal Tika."Oh, Tika hamil? Selamat ya, Mas. Semoga kamu bisa jadi ayah yang baik," ucapku."Tentu, aku mampu jadi ayah yang baik. Ya sudah, kamu lebih baik pergi, Han, aku mau lanjut kerja," usirnya lagi dengan ketus. "Aku akan pergi."Dan kebetulan taksi lewat,
Hampir lima tahun berlalu. Kini orang-orang sudah mulai mengenalku. Semua hasil karyaku bisa mereka dapatkan dengan mudah di boutique manapun. Tapi untuk yang lebih eksklusif, seperti pemesanan design baju pengantin dan sebagainya, kini mereka sudah bisa menghubungiku lewat sebuah kartu nama. Namaku Hanah Sri Ningrum kini bisa terpampang di logo sebuah boutiqe milikku.Sekarang putriku sudah berusia dua belas tahun. Sebentar lagi masuk sekolah menengah pertama. Dan Alhamdulillah, aku bisa membiayainya tanpa bantuan Mas Jimy. Karena selama ini dia tak pernah kirim biaya untuk Afni. Mungkin Mas Jimy banyak beban juga, apalagi mereka sudah punya lagi balita. Sudah beberapa tahun ini kami tak pernah lagi bersua. Ada kabar kalau perekonomian mereka menurun. Dan bahkan sempat ada isu juga mereka keluar kota pindah ke tempat Tika.Kini aku sudah punya rumah baru hasil dari jeri payahku selama ini. Jadi kami tak lagi tinggal di rumah kecil milik Ibu dulu. Rumah itu juga masih ada, di kontraka
Dan benar saja dengan informasi yang Resti dapat. Mbak Vira istri Pak Satria telah merenggut nyawa dalam kecelakaan lalu lintas hendak pergi bertugas keluar kota. Mbak Vira adalah seorang dokter, ia pergi keluar kota seperti biasa untuk jadwal praktek di salah satu rumah sakit swasta. Kali ini ia pergi di antar oleh suaminya, Pak Satria, mereka kecelakaan dan hanya Pak Satria yang selamat."Innalilahi wa innailaihi raji'un." Kalimat itu memenuhi setiap sudut ruangan rumah Pak Satria. Mbak Vira kini sudah terbujur kaku. Aku dan Resti tadi ke rumah sakit lalu kini kami sudah sampai di rumah untuk menyemayamkan jenazah Almarhumah.Katanya mereka terlibat kecelakaan beruntun, hingga mobil yang mereka tumpangi terpental oleh tubrukan kendaraan dari arah berlawanan."Astaghfirullah aladzim!" Hanya kalimat itu yang terus terucap dari mulut ini. Sungguh nyawa seseorang itu tak ada yang tahu kapan akan di renggut oleh-Nya. Kita berkendara amat hati-hati, tapi belum tentu dengan orang lain. H
"Oh ya, baby sitter Kaila pulang kampung dulu hari ini. Baru pulang besok malam. Tapi besok aku ada sidang, dua klien. Jadi Om minta maaf kamu bantu jagain Kaila ya, Res?" pinta Pak Satria."Yah, aku sih mau. Tapi besok aku ada meeting dari pagi juga. Selesainya paling setelah jam makan siang." Resti mengeluh."Yah, ya sudah. Aku akan titipkan Kaila ke tempat penitipan anak saja," kata Pak Satria."Eh, jangan! Saya gak sibuk kok, Pak! Jangan di titipin di tempat penitipan. Kasihan. Kalau boleh, saya saja yang jaga Kaila. Dia anteng juga sama saya kok, Pak," usulku refleks. "Hah? Yang bener?" ucap Resti. Aku manggut-manggut."Tapi saya tak mau merepotkan Mbak Hanah," kata Pak Satria."Sama sekali gak repot. Saya gak sibuk kok, Pak. Lagian, kalau di titip di penitipan, kasihan. Saya bisa kok jaga Kaila. Ya, kalau Bapak gak keberatan."Resti dan Omnya saling menoleh. "Tapi gak ngerepotin kan, Han?" Resti memastikan. Kuhela nafas. "Sama sekali enggak. Repot apa coba?""Maaf, tapi saya b
"Oh, begitu? Bapak mau ajak makan sianga saya?" Aku memastikan. Siapa tahu tadi salah dengar."Iya. Itupun kalau Mbak Hanah tidak sedang sibuk. Kalau sibuk, saya akan makan sendiri saja," jawabnya ragu-ragu.Aku tersenyum. "Sibuk sih tidak, tadi saya cuma lagi cek stok barang. Tadi saya gak ada kerjaan, cuma diem saja." "Jadi, kita bisa keluar?" tanyanya."Em, baiklah, saya akan ikut Bapak untuk makan siang. Sebentar lagi juga jam makan siang," jawabku. Ia manggut-manggut sambil tersenyum."Ana, saya keluar dulu ya?" Aku izin pada Ana salah satu pelayan toko. "Baik, Bu," jawabnya mengangguk.Aku dan Pak Satria pergi untuk makan siang. Pak Satria mengajakku berjalan sampai ke cafe resto. Karena jaraknya dekat dari toko, hanya tiga puluh meteran. Tak terasa langkah kami sudah sampai di tempat yang di tuju saja. Kami duduk di meja kursi kosong hanya berdua. Maksudnya, aku hanya datang dengan Pak Satria. Pengunjung lain ada, pun banyak sekali. Lumayan ramai.Ini adalah kali pertama Pak
"Maksud, Pak Satria?""Bukan saya tak mencintai almarhumah istri saya. Tapi ... sejak awal bertemu dengan Mbak Hanah, saya merasa kagum sendiri. Dan sekarang, Tuhan telah mengambil istri yang juga saya kagumi. Saya cintai dan saya sayangi. Saya mencintainya. Tapi ... apa daya, kami tak bisa lagi bersama di dunia ini. Dan niat saya ajak Mbak Hanah ke sini, saya ingin bicarakan hal ini."Aku masih belum mengerti."Maksud Bapak bahas soal ini?" heranku."Ini, ini, maaf sekali. Mungkinkah Tuhan ambil Vira supaya saya bisa bawa Mbak Hanah ke kehidupan saya?"Degh.Kuteguk habis saliva ini. Mengatur nafas dan coba angkat bicara. "Bawa saya ... bawa saya ke kehidupan Bapak?" Sangat terkejut sekali hati ini.Ia manggut-manggut pelan sambil tersenyum. "Gak mungkin, Pak, saya ini jauh dari sosok almarhumah yang cantik, baik, pintar, sekolahnya tinggi sampai ia bisa menjadi seorang dokter." Aku memang merasa insecure sekali."Bukan soal itu. Tapi ini soal rasa. Apalah arti semua itu kalau hati