Hampir lima tahun berlalu. Kini orang-orang sudah mulai mengenalku. Semua hasil karyaku bisa mereka dapatkan dengan mudah di boutique manapun. Tapi untuk yang lebih eksklusif, seperti pemesanan design baju pengantin dan sebagainya, kini mereka sudah bisa menghubungiku lewat sebuah kartu nama. Namaku Hanah Sri Ningrum kini bisa terpampang di logo sebuah boutiqe milikku.Sekarang putriku sudah berusia dua belas tahun. Sebentar lagi masuk sekolah menengah pertama. Dan Alhamdulillah, aku bisa membiayainya tanpa bantuan Mas Jimy. Karena selama ini dia tak pernah kirim biaya untuk Afni. Mungkin Mas Jimy banyak beban juga, apalagi mereka sudah punya lagi balita. Sudah beberapa tahun ini kami tak pernah lagi bersua. Ada kabar kalau perekonomian mereka menurun. Dan bahkan sempat ada isu juga mereka keluar kota pindah ke tempat Tika.Kini aku sudah punya rumah baru hasil dari jeri payahku selama ini. Jadi kami tak lagi tinggal di rumah kecil milik Ibu dulu. Rumah itu juga masih ada, di kontraka
Dan benar saja dengan informasi yang Resti dapat. Mbak Vira istri Pak Satria telah merenggut nyawa dalam kecelakaan lalu lintas hendak pergi bertugas keluar kota. Mbak Vira adalah seorang dokter, ia pergi keluar kota seperti biasa untuk jadwal praktek di salah satu rumah sakit swasta. Kali ini ia pergi di antar oleh suaminya, Pak Satria, mereka kecelakaan dan hanya Pak Satria yang selamat."Innalilahi wa innailaihi raji'un." Kalimat itu memenuhi setiap sudut ruangan rumah Pak Satria. Mbak Vira kini sudah terbujur kaku. Aku dan Resti tadi ke rumah sakit lalu kini kami sudah sampai di rumah untuk menyemayamkan jenazah Almarhumah.Katanya mereka terlibat kecelakaan beruntun, hingga mobil yang mereka tumpangi terpental oleh tubrukan kendaraan dari arah berlawanan."Astaghfirullah aladzim!" Hanya kalimat itu yang terus terucap dari mulut ini. Sungguh nyawa seseorang itu tak ada yang tahu kapan akan di renggut oleh-Nya. Kita berkendara amat hati-hati, tapi belum tentu dengan orang lain. H
"Oh ya, baby sitter Kaila pulang kampung dulu hari ini. Baru pulang besok malam. Tapi besok aku ada sidang, dua klien. Jadi Om minta maaf kamu bantu jagain Kaila ya, Res?" pinta Pak Satria."Yah, aku sih mau. Tapi besok aku ada meeting dari pagi juga. Selesainya paling setelah jam makan siang." Resti mengeluh."Yah, ya sudah. Aku akan titipkan Kaila ke tempat penitipan anak saja," kata Pak Satria."Eh, jangan! Saya gak sibuk kok, Pak! Jangan di titipin di tempat penitipan. Kasihan. Kalau boleh, saya saja yang jaga Kaila. Dia anteng juga sama saya kok, Pak," usulku refleks. "Hah? Yang bener?" ucap Resti. Aku manggut-manggut."Tapi saya tak mau merepotkan Mbak Hanah," kata Pak Satria."Sama sekali gak repot. Saya gak sibuk kok, Pak. Lagian, kalau di titip di penitipan, kasihan. Saya bisa kok jaga Kaila. Ya, kalau Bapak gak keberatan."Resti dan Omnya saling menoleh. "Tapi gak ngerepotin kan, Han?" Resti memastikan. Kuhela nafas. "Sama sekali enggak. Repot apa coba?""Maaf, tapi saya b
"Oh, begitu? Bapak mau ajak makan sianga saya?" Aku memastikan. Siapa tahu tadi salah dengar."Iya. Itupun kalau Mbak Hanah tidak sedang sibuk. Kalau sibuk, saya akan makan sendiri saja," jawabnya ragu-ragu.Aku tersenyum. "Sibuk sih tidak, tadi saya cuma lagi cek stok barang. Tadi saya gak ada kerjaan, cuma diem saja." "Jadi, kita bisa keluar?" tanyanya."Em, baiklah, saya akan ikut Bapak untuk makan siang. Sebentar lagi juga jam makan siang," jawabku. Ia manggut-manggut sambil tersenyum."Ana, saya keluar dulu ya?" Aku izin pada Ana salah satu pelayan toko. "Baik, Bu," jawabnya mengangguk.Aku dan Pak Satria pergi untuk makan siang. Pak Satria mengajakku berjalan sampai ke cafe resto. Karena jaraknya dekat dari toko, hanya tiga puluh meteran. Tak terasa langkah kami sudah sampai di tempat yang di tuju saja. Kami duduk di meja kursi kosong hanya berdua. Maksudnya, aku hanya datang dengan Pak Satria. Pengunjung lain ada, pun banyak sekali. Lumayan ramai.Ini adalah kali pertama Pak
"Maksud, Pak Satria?""Bukan saya tak mencintai almarhumah istri saya. Tapi ... sejak awal bertemu dengan Mbak Hanah, saya merasa kagum sendiri. Dan sekarang, Tuhan telah mengambil istri yang juga saya kagumi. Saya cintai dan saya sayangi. Saya mencintainya. Tapi ... apa daya, kami tak bisa lagi bersama di dunia ini. Dan niat saya ajak Mbak Hanah ke sini, saya ingin bicarakan hal ini."Aku masih belum mengerti."Maksud Bapak bahas soal ini?" heranku."Ini, ini, maaf sekali. Mungkinkah Tuhan ambil Vira supaya saya bisa bawa Mbak Hanah ke kehidupan saya?"Degh.Kuteguk habis saliva ini. Mengatur nafas dan coba angkat bicara. "Bawa saya ... bawa saya ke kehidupan Bapak?" Sangat terkejut sekali hati ini.Ia manggut-manggut pelan sambil tersenyum. "Gak mungkin, Pak, saya ini jauh dari sosok almarhumah yang cantik, baik, pintar, sekolahnya tinggi sampai ia bisa menjadi seorang dokter." Aku memang merasa insecure sekali."Bukan soal itu. Tapi ini soal rasa. Apalah arti semua itu kalau hati
Saat di kafe itu, Pak Satria benar-benar melamarku. Ia mengajakku untuk membangun rumah tangga bersama, dan kini kami sudah menikah. Dua bulan setelah lamaran resmi ke rumah, kami menikah di gedung yang telah di persiapkan pihak Pak Satria. Tentunya Resti yang ikut nimbrung. Eh, bukan nimbrung. Full mengenai pernikahan, Resti dan suaminya yang persiapkan. Wedding organizer mereka yang tunjuk. Tentunya kami sebagai calon pengantin kala itu hanya menyampaikan konsep saja. Design gaun pengantin yang aku kenakan di buat oleh seorang designer ternama. Dia adalah designer idolaku. Kesampaian juga untuk pakai baju rancangannya. Mas Jimy dan Tika?Mereka ternyata sudah bercerai. Di usia anak mereka yang baru menginjak tiga setengah tahun, Tika putuskan untuk bercerai. Jadi, saat di kafe itu, ternyata posisi Mas Jimy sudah menduda. Menurut berita, ia tinggal di luar kota, hingga pada akhirnya mereka kembali lagi ke rumah yang dulu pernah kami tinggali bersama. Mas Jimy menduda setelah tahu ka
Setiap pagi aku memasak, walaupun ada dua asisten rumah tangga, tapi aku lebih suka masak masakan sendiri untuk suami dan keluarga. Mereka hanya membantu saja. Baby sitter khusus menjaga Kaila dan fokus pada kebutuhan Kaila saja. Plus cuci pakaian Kaila.Setelah selesai masak, kami sarapan bersama. Ibu Alhamdulillah selalu memposisikan diriku sebagai menantu yang ia idamkan, jadinya, tinggal di rumah ini aku tak merasa asing lagi. Setelah sarapan seperti biasa aku antar Mas Satria ke mobil. Takzim untuk memberikan doa terbaik demi kelancaran karir suami. Setelah Mas Satria pergi, barulah aku pergi ke butik milikku sambil mengantar Afni ke sekolah karena satu arah. Oh ya, selain butik, aku juga mempunyai sebuah toko baju di salah satu Mall besar. Karena aku juga ingin menjual bermacam pakaian variatif, tak hanya pakaian ekslusif hasil rancangan seorang designer. Dan untuk toko baju, ada asistenku yang handle. Aku hanya datang untuk chek barang dan perkembangan toko. Jadi, untuk diri
Sudah pukul 11.45 tengah malam Mas Satria belum juga pulang. Di hubungi nomornya malah tak aktif, seketika pikiran buruk pun terlintas di benak ini. Takutnya sesuatu terjadi pada Mas Satria.Afni sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi, pun dengan Kaila, ia masih terlelap pula dengan wajah yang manis. Kucoba hubungi Mas Satria lagi.Tudt ... Tudt ...Akhirnya nomor Mas Satria aktif juga. Tapi, dia tak mengangkat panggilan dariku. Mungkinkah dia di perjalanan pulang? Tak ada pesan atau chat masuk untuk memberi kabar. Rasa khawatir ini seketika makin memuncak.Rasa penasaran dan khawatir makin menggebu-gebu. Sejak lima bulan menikah, ini baru kali pertama Mas Satria pulang terlambat. Memang tadi dia mengabari, tapi, kalau pekerjaan yang ia kerjakan sampai selarut ini? Kenapa tidak besok saja? Ini sama saja makan waktu setengah hari. Dan bukan untuk sidang besok, kan? Tak mungkin ada klien mengadu dan di kabulkan sidang dalam waktu satu hari. Seketika teringat dengan kezoliman Mas Jim