"Adik saya Saskia Ambarwati yang telah rancang busana ini." Tegh!Aku heran dan bahkan kaget saat Mbak Sasya Seruni berkata kalau design pakaian yang ia pegang saat itu adalah hasil design tangan adiknya, Mbak Saskia yang jelas-jelas sama bekerja denganku di perusahaan miliknya. Kalau luncuran dari brand perusahaan, itu masih mending. Tapi ini jelas-jelas dia mengklaim kalau design yang aku buat itu adalah buatan tangan adiknya sendiri. Memang dia adalah seorang designer senior, tapi apa yang dia katakan itu 'kan bohong? Itu jelas-jelas karya yang aku buat tapi tak pernah aku berikan pada perusahaan. Saat aku membuat itu, dia bilang akan di tampilkan dan nantinya karya itu pasti akan jadi karyaku yang terbaik. Tapi aku menolak untuk diberikan, karena itu biarlah jadi koleksi buatanku bukan untuk perusahaan. Benar saja, karyaku itu di sambut baik. Tapi kenapa Mbak Sasya tak sebut namaku? Kenapa ia bilang adiknya yang membuat? Kasusnya, kalau aku kerja untuk perusahaan, baru itu bisa d
"Tapi, maksud Mbak Sasya itu klaim kalau adik dia yang design loh, Pak. Bukan mengakui karya hasil dari perusahaan. Tapi jelas kalaupun karya perusahaan, saya tidak pernah sadar memberikan. Itu sengaja saya simpan untuk koleksi saya." Aku membantah."Han, kamu belum mengerti dunia fashion. Kamu ini masih awam. Kamu juga dapat nominal yang besar atas ini, kan? Kamu udah terima?" Mas Zen malah seperti memandangku sebagai orang bodoh. Tapi aku tak mau bahas ini sekarang. Nanti, setelah selesai acara aku akan pertanyakan soal ini."Ada apa, Han?" tanya Resti."Enggak. Nanti saja kita bahas." Aku menjawab."Itu karya kamu, kan? Tapi warnanya saja yang di buat beda. Itu jelas-jelas udah melanggar hak cipta. Itu design kamu yang buat. Kok dia terang-terangan akui itu karya adiknya sendiri, sih? Di depan khalayak lagi!" Resti pun mendapati hal yang sama denganku. Mbak Sasya jelas-jelas telah klaim design milikku untuk memperindah nama adiknya. Yang aku heran, kenapa Mas Zen seakan tak ada d
"Loh, jangan asal bicara ya, Mbak? Lihat ini!" Mbak Sasya banting sebuah dokumen ke hadapan kami yang di kemas dalam bentuk kertas HVS beberapa lembar."Lihat! Bukankah kamu sudah tanda tangani ini? Kamu tanda tangani kontrak kerjasama kita selama satu tahun ke depan. Dan isinya adalah, kamu serahkan hak cipta design yang kamu buat untuk saya."Degh!Melihat lembaran itu, juga mendengar apa yang di katakan oleh Mbak Sasya, aku kaget. Aku memang tanda tangani kontrak. Resti meraih lembar kertas itu dari dalam sebuah map bermika kuning. Ia mulai membaca dengan detail. Sedangkan aku masih mengingat, bagaimana bisa aku tanda tangani itu? Sedangkan aku baca semuanya."Han? Kamu tanda tangan ini. Ini tanda tangan kamu, kan? Di sini menjelaskan kalau semua design yang kamu buat selama bekerja di kantor itu, sebagian bisa di klaim sesuai keinginan pihak perusahaan. Termasuk untuk kepentingan pribadi."Aku makin kaget mendengar penjelasan Resti yang amat serius."Apa? Coba aku lihat?"Dan ben
Sungguh aku menyesali karena terlalu percaya pada Mas Zen. Dia dan Mbak Sasya telah menipuku. Selama ini aku pikir mereka ingin membantuku dengan ikhlas. Namun ternyata ada udang di balik batu. Mereka sengaja ingin klaim karya-karyaku. Lagipula, kenapa bisa aku ceroboh dan tak hati-hati. Benar kata Resti, aku terlalu ceroboh. Ya ampun, aku terkesan angkuh tak mau dengar kata-kata dari Resti. Padahal, aku sengaja ingin mengoleksi karyaku itu, bukan untuk perusahaan, tapi karya telah dicuri. Menyesal tidak ada guna, ribut juga hanya akan aku yang kena. Aku paham, bagaimana bermasalah dengan orang berada.Astaghfirullah.Darimana aku harus dapat uang tiga ratus lima puluh juta itu? Kalau tidak, aku harus bekerja karena terikat kontrak selama satu tahun ke depan. Sungguh aku benar-benar menyesal. Dan yang aku sesali bukan pekerjaannya, tapi di saat mereka mengambil karya-karyaku untuk mereka akui tanpa ijin. Kerja beda lagi.Kalau bawa masalah ini ke pengadilan, jelas mereka punya bukti-
"Res? Assalamualaikum?" ucapku lebih dulu."Waalaikum salam, Han. Ada hal yang ingin aku bicarakan." Resti membuatku penasaran."Ada apa?" tanyaku sambil duduk di tepi ranjang."Aku udah suruh orang untuk selidiki soal utu. Aku suruh orang cek CCTV saat Sasya selipkan lembar surat kosong atau lembar surat yang tak kamu baca sebelumnya. Tapi sayang, gak ada bukti sama sekali. Dan di ruang itu, jam yang kamu sebutkan, itu sudah di matikan. Mungkin mereka takut kalau kemungkinan ini terjadi. Hingga mereka pikirkan dengan matang. Anehnya, yang ada hanya saat kamu tanda tangan dan bersalaman secara sadar. Sudah itu saja." Resti menjelaskan.Aku terenyah kaget. "Kamu selidiki itu?" "Iya. Aku penasaran, Han. Aku suruh orang dalam untuk kerjasama. Aku yakin seperti itu. Dan kita gak dapat bukti. Karyawan itu bilang CCTV saat itu mati sebentar. Lalu hidup lagi. Pasti saat Sasya selipkan kertas itu. Aku yakin." Resti kembali bicara."Oh ya. Sebelum tanda tangan memang kami sempat ngobrol. Sete
"Tapi segitu uang, Res, bukan daun! Dan, gimana kalau aku gak bisa balikin?" Aku pesimis."Siapa yang mau ngasih daon sih, Han? Aku juga gak akan kasih kertas. Paling angka saja. Hihi." Resti malah bercanda."Aku gak enak sama kamu. Sejak awal kamu di buat repot sama aku. Dan sekarang, urusan uang pun kamu harus ikut-ikutan. Gak mungkin lah, Res," jawabku lagi makin tak enak hati. Kenapa juga Resti harus tahu soal ini. Kasihan dia."Han, kamu mau terus terikat dengan orang-orang seperti itu? Ini mumpung masih belum jauh loh, Han! Ini mungkin belum seberapa. Bisa-bisa mereka benar-benar perdaya kamu demi karir si Sasya yang gak terlalu oke itu." Resti menggerutu kesal."Maksud kamu gak oke?" tanggapku."Ya, dia itu ternyata seorang wanita yang mengambil jurusan tata busana. Malah sampai ke luar negeri. Tapi karyanya gak ada yang oke. Entah kenapa. Mungkin belajarnya gak bener. Atau, memang gak punya skil. Ah gitu deh pokoknya. Dan kamu tahu gak? Dia itu ... ada hubungan sama pak Zen. A
Entah harus nikmat apalagi yang aku dustakan. Dengan mudahnya Resti memberiku pinjaman uang. Bahkan dia sendiri yang mengajakku pergi ke kantor Mbak Sasya untuk batalkan kontrak secara sepihak. Mbak Sasya marah besar, tapi apa daya, aku dan Resti membawa uang dendaan itu. Dan di saat itu juga aku tahu kalau Pak Zen dengan Mbak Sasya itu adalah sepasang kekasih. Sejak pernikahan Pak Zen dan Bu Nia, mereka sudah merajut asmara. Memang benar kalau Pak Zen dan Bu Nia menikah tanpa cinta. Mereka punya pacar masing-masing, dan apa yang di jelaskan oleh Pak Zen itu dulu agak keliru, tentang dirinya yang ingin mencoba mencintai Bu Nia mantan sitrinya, padahal pria yang bergelar pengusaha itu pun memang melakukan hal yang sama dengan Bu Nia.Lalu bagaimana ceritanya Pak Zen yang sudah kupanggil Mas itu bisa suka denganku dengan niat menipu? Aku tak tahu. Aku belum cari tahu soal itu. Dan kalau alasannya supaya aku bisa menaikan karir pacarnya, mana mungkin? Sejak awal dia tulus membantuku, d
"Enggak, aku udah resign dari kantor. Beberapa bulan yang lalu. Aku gak betah," jawabnya seperti sedang mengibuliku."Gak betah? Mana mungkin kamu gak betah kerja di kantor dan memilih jadi tukang cuci mobil, Mas?" "Kamu gak perlu tahu. Pergi sana!" Dia mengusirku. "Lagian kamu darimana? Cari pria hidung belang yang dompetnya tebal? Si Zen itu mana? Kok kalian belum menikah?" Ia mengusir tapi masih ingin tahu masalahku."Aku pulang dari tukang jahit. Dan aku sama sekali tak ada hubungan dengan nama yang kamu maksud." Aku menjawab dengan nada santai."Oh, pulang kursus menjahit? Baguslah, biar anakku bisa kamu biayai. Maaf aku gak bisa kirim uang. Kebutuhanku juga banyak. Apalagi sekarang Tika lagi hamil," ujarnya juga bahas soal Tika."Oh, Tika hamil? Selamat ya, Mas. Semoga kamu bisa jadi ayah yang baik," ucapku."Tentu, aku mampu jadi ayah yang baik. Ya sudah, kamu lebih baik pergi, Han, aku mau lanjut kerja," usirnya lagi dengan ketus. "Aku akan pergi."Dan kebetulan taksi lewat,