Dua bulan kemudian."Kamu pasti bangga sudah menjadi janda. Biar kamu bisa bebas. Kamu bisa bebas kelayapan dan jadi kembang jalan!" Sungut Mas Jimy memulai pembicaraan. Kami kini sudah resmi bercerai talak tiga. Baru saja sidang perceraian kami usai. Aku datang bersama Pak Satria dan juga Ibu. Sedangkan Mas Jimy datang bersama Ibu mertua, Tika, Mas Yanto dan Mbak Anggi. Satu rombongan. Posisi kami saat ini sudah berada di luar arena sidang, sedangkan Pak Satria masih ada di dalam urus-urus."Kalau saja sikap kamu tak seperti ini, Mas, dan kalau saja kamu bukan laki-laki kasar tukang selingkuh, mungkin kita tak akan pernah berpisah. Tapi keadaan ini mengubah takdir kita. Tak ada hak kamu bicara yang enggak-enggak mengenai aku. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Hubungan kamu hanya dengan Afni. Bukan denganku." Aku angkat bicara.Mereka semua memandangku dengan sinis. Apalagi setelah mereka terima kalau hak asuh Afni jatuh ke tanganku. Dan aku juga dapat bagian harta gono-gini dari ru
"Silahkan, Bu, Mbak Hanah, saya antar kalian ke rumah." Pak Satria tiba-tiba mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam mobilnya. Ibu dan aku saling menatap.Seketika aku menolak karena tak enak hati. "Tidak usah, Pak Satria, saya sama Ibu bisa pulang naik kendaraan umum. Saya sangat berterima kasih Bapak telah urus perceraian saya dari awal hingga kini. Bahkan, biasanya, tetangga saya urus perceraian sampai empat bulan, ini dua bulan sudah usai. Terima kasih banyak, Pak." Rasa terima kasih kusampaikan kembali. Setelah sidang usai aku juga sudah berterima kasih, tapi belum begitu afdol.Ia tersenyum. "Sebenarnya proses perceraian itu memang tidak selama itu. Hanya ... kadang berkas kita tertumpuk dan begitulah, intinya saya sudah lakukan semaksimal mungkin. Maaf bukan saya mendukung perceraian Mbak Hanah dan suaminya, tapi ... dengan sikap dan sifat suami Mbak Hanah, saya seakan harus membantu melepaskan wanita dari kekerasan dalam rumah tangga." Ia dengan lembut dan santun bicara."Ter
Aku lumayan kaget saat Pak Satria bersedia mengantar kami sampai ke depan rumah. "Tapi lebih baik di sini saja, Pak. Kami tinggal jalan kaki saja sedikit."Tapi Pak Satria tak menggubris permintaanku. "Santai saja. Gak jauh ini, kok. Lagain masak saya nolong orang setengah-setengah sih."Rasa tak enak hati kembali muncul. "Bapak itu orang sibuk, Pak. Kalau Bapak antar saya sama Ibu, waktu Bapak tersita banyak."Dia terus fokus menyetir sambil tersenyum. "Enggak, saya gak terlalu sibuk. Setelah ini saya juga mau ke rumah, kok. Saya mau pulang." Kini kami sudah masuk jalan besar menuju rumah. "Ya sudah kalau Bapak tak keberatan. Makasih banyak ya, Pak." Ia pun mengangguk-angguk santai sambil menyemai senyuman.Tak lama setelah itu akhirnya mobil yang kami tumpangi sudah sampai di dekat rumah. Tidak bisa sampai ke depan, hanya sampai ke pinggir saja."Nak Satria masuk dulu ke rumah. Ibu nanti buatkan teh lagi. Kebetulan kemarin pagi baru Ibu petik." Setelah keluar dari mobil Ibu mengaj
"Yang udah resmi menjanda. Kapan mau nikah lagi? Kemarin saya lihat Mbak Hanah sama Ibu di antar sama orang kaya. Pintar juga ya, banyak orang kaya yang sering ajak Mbak Hanah jalan." Celetuk Mbak Uri. Dia yang dulu pernah memitnahku namun keburu takut dengan ancamanku itu kini ngoceh lagi. Mungkin karena beberapa hari yang lalu Pak Satria mengantar kami sepulang dari sidang.Aku dan Ibu masih menyiapkan bungkusan nasi uduk yang di pesan secara online oleh Bu RT dan Bu Ima. Nanti akan di bawa oleh anaknya ke sini.Perkataan Mbak Uri tak kutanggapi terlalu serius. Kalau di tanggapi, dia malah makin menjadi-jadi."Mbak mau pesan nasi uduk?" tanyaku sengaja tak menggubris ocehannya tadi."Iya. Eh, emangnya pria yang kemarin itu beneran pengacara?" tanyanya membuatku agak risih. Ibu mencolek lenganku. Mungkin wanita paroh baya yang selalu menjadi penyemangat hidupku itu pun merasa risih juga dengan Mbak Uri."Nasi uduknya berapa?" Aku bertanya. Lagi-lagi celetukannya tak kuanggap."Di tan
"Sudah ah, Bu, saya mau pergi. Mau makan nasi uduk ini. Tadinya saya mau ke warung padang, eh Bang Dadang malah batalin." Astaghfirullah! Sudah tak di ladeni saja juga masih nyerocos. Membuat kepala ini menggeleng-geleng tak habis fikir. Sampai warung nasi Padang pun di bawa-bawa. Mau makan di warung bagaimana? Warung kecil Ibu pun masih ngutang. Dia akhirnya pergi."Si Uri lagaknya sok abis. Dia punya utang sama saya delapan ratus ribu belum bayar juga. Kemarin dia beli elektronik tuh, Mbak, katanya habis cair dari pinjaman kelompok gitu." Bu Een menggerutu sambil menyebut nama sebuah grup pinjaman."Oh gitu, Bu." Aku berkomentar."Iya, di tagih mah sama saya susah!" Bu Een sepertinya kesal."Kalau menurut saya ya, Bu, entar-entar jangan di kasih. Kalau niat kita gak ikhlas langsung memberi. Orang seperti Mbak Ur cuma bikin otak kita kesel. Maaf ya, Bu, Lebih baik kita bilang saja tidak ada. Daripada Ujung-ujungnya jadi masalah. Apalagi sama tetangga. Memang karena utang piutang it
"Silahkan, Pak minumnya. Tak ada suguhan lain lagi. Mohon maaf." Aku kini duduk setelah menyimpan gelas berisi air untuk Pak Zen.Terdiam. Ibu sudah ada di antara kami sejak tadi. Lebih awal dariku setelah kusuruh itu."Em, maaf, Nak Zen, apa ada perlu sesuatu?" Ibu memulai obrolan. Pak Zen tersenyum. "Tentu, Bu. Saya ... saya ke sini mau bawakan ini buat Ibu, Afni dan juga Mbak Hanah." Aku dan Ibu kaget. Pak Zen letakkan tas belanjaan di atas meja. Jadi benar, apa yang ia bawa itu di peruntukan untuk kami? Tapi ..."Loh, kok repot-repot?" tanya Ibu."Gak repot kok, Bu. Dan saya mohon Ibu dan Mbak terima ini." Pak Zen meminta kami untuk menerima cinderamata yang ia bawa. Ada apa gerangan?"Tapi, Pak, Bapak tak perlu bawa-bawa seperti ini. Lagian uangnya sayang, Pak." Aku berkomentar."Enggak apa-apa. Ini gak seberapa, kok. Mohon di terima ya, Bu, Mbak." Karena dia memaksa akhirnya aku pun mengalah saja. "Terima kasih kalau begitu, Pak." Dengan ragu aku berucap. Kini kami hanya sali
Ibu nampak terdiam dan berfikir. "Alhamdulillah kalau Nak Zen menerima keadaan kami." Pak Zen tersenyum."Ya, kalau Ibu sih, tak ikut campur soal hubungan anak. Itu terserah Hanah saja. Kalau soal hati 'kan Ibu tak tahu. Em, maksudnya, Nak Zen jatuh hati kah pada anak Ibu?" Tiba-tiba Ibu bertanya demikian. Sontak aku merasa malu. Ada beberapa bulir keringat yang muncul. Helaan nafas ini mencoba menetralisir rasa gugup.Pak Zen menatap kembali wajahku lamat-lamat. "Iya, Bu. Saya ... sepertinya jatuh hati pada anak Ibu. Tapi, entah apa tanggapan anak Ibu. Jujur saya tak bisa memendam perasaan ini."Aku makin syok. Saliva sudah tertelan beberapa kali. Gugup. Malu. Aku baru tahu kalau pria mapan itu menyimpan rasa terhadapku. Tapi bagaimana denganku?"Han? Jadi jawaban kamu bagaimana?" Ibu bertanya dan membuat rasa kaget ini buyar.Jari jemari bergerak menetralisir rasa gugup oleh pertanyaan Ibu. Rasa tak karuan malah muncul tanpa permisi. Aku kini berkeringat. Keringat ini bukanlah gugu
"Ini kan sudah hampir satu bulan lebih. Apa kamu ada rasa berbeda?" Ibu seperti benar-benar ingin tahu kejelasannya. Kejelasan tentang perasaanku pada Mas Zen.Kuhela nafas panjang. pelan-pelan kuhembuskan. "Belum, Bu. Susah sekali untuk jatuh cinta rasanya. Padahal dia pria yang baik," jawabku lagi pesimis."Kenapa?"Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Gak tahu, Bu." "Ada pria lain kah?" Ibu malah menduga hal lain."Enggak. Siapa yang lain? Mungkin aku masih belum siap pacaran, Bu." Aku menjawab lagi."Loh, kalau selama ini nak Zen datang, Ibu fikir kalian lagi pacaran," pungkas Ibu menduga.Aku terkekeh kecil. "Sebenarnya pernah dia utarakan perasaannya sama Hanah, Bu. Bahkan dia ingin serius. Tapi ... entah mengapa Hanah gak bisa jalani itu, Bu. Hanah blak-blakan kalau Hanah belum bisa menerima cintanya. Hanah juga minta maaf yang sebesar-besarnya. Bukan maksud Hanah angkuh. Tapi ... apa daya, Bu. Hati tak bisa di paksakan. Tapi kami masih tetap berhubungan seperti biasa. Layaknya s