William terkekeh pelan. “Tentu saja tidak sedikit, Thania. Jangan mengkhayal. Lakukan saja tugasmu sebagai istri di atas kertas kesepakatan yang sudah kita sepakati!”
Thania menarik napas dalam-dalam dan menatap William dengan tajam. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memberimu anak!"“Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu mengatakan itu padaku. Ingin keluargamu hancur di tanganku, huh?” pekik William naik pitam setelah mendengar ucapan Thania tadi.Perempuan itu melepaskan tangan William dengan kasar kemudian keluar dari kamar tersebut. Melangkahkan kakinya dengan lebar meninggalkan William yang masih berdiri hanya mengenakan celana dalamnya saja.“Bagaimana bisa, pernikahan ini hanya merupakan pernikahan di atas kertas dengan kesepakatan yang bodohnya sudah aku tandatangani. Bagaimana aku bisa bertahan dengan ini semua kalau hanya aku yang mencintainya.”Thania duduk di sebuah balkon lantai dua seraya menundukkan kepalanya di antara kedua kakinya. Bahunya bergetar sebab isak tangis yang kembali keluar. Hatinya begitu hancur berkeping-keping atas nasib sial yang menimpanya itu. Ia benar-benar tidak menyangka bila pernikahannya itu hanya sebatas memberi anak kepada suaminya itu.Thania menghapus air matanya lagi dan bangun dari duduknya. “Thania. Hapus perasaanmu itu padanya. Lebih baik kamu bersikap biasa saja daripada harus merasakan sakit yang luar biasa karena William hanya memanfaatkanmu.” Thania berbicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian menghampiri William kembali yang tengah mengenakan bathrobe berwarna hitam tebal dan hangat. Lalu menolehkan kepalanya kepada Thania dan menatapnya datar.“Mas! Aku tahu ini gila. Aku akan menyepakati kesepakatan itu dan jangan pernah menyesali semua yang akan terjadi nanti! Kamu pikir, kamu saja yang punya rencana dan juga alasan untuk menceraikanku nanti? Aku pun punya. Biarkan aku yang mengajukan permohonan cerai itu ke pengadilan.“Setelah itu, jangan pernah ganggu hidupku lagi, semua modal yang kamu keluarkan untuk orang tuaku, lunas. Jangan pernah memintaku anak lagi dan jangan pernah mencariku. Aku tidak mau kamu menyentuhku lagi dan cukup di malam ini saja!”William lantas menyunggingkan senyum miring kala mendengar ucapan istrinya itu. “Silakan, Thania. Dengan senang hati dan jangan terlalu percaya diri kalau aku akan mencarimu! Ingat, Thania. Jangan pernah memiliki pasangan terlebih dahulu sebelum kita bercerai! Dan satu lagi. Menyentuhmu. Itu hak aku. Kamu sudah aku nikahi, dan sesukaku bila sedang menginginkan kamu, maka kamu harus mau melayaniku!”Thania hanya menatap datar wajah William. “Licik sekali otakmu itu, Mas. Kamu melarang aku menjalin hubungan. Dan mau meminta hak kamu setelah kesepakatan itu kamu tulis. Manusia macam apa yang aku nikahi ini.” Thania kembali menatap tajam ke arah suaminya itu.Lelaki itu kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Thania dengan lekat. “Thania. Kamu pasti membacanya dengan benar. Di dalam kesepakatan tadi, jangan pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sampai kontrak kita selesai. Aku pun tidak akan pernah melakukan hal itu kecuali kekasihku telah kembali dan juga pelayanan di atas ranjang. Jangan menolak itu! Aku pria normal. Masih menginginkan itu meski tanpa harus adanya perasaan cinta dari hatiku untukmu.”“Itu artinya kamu yang melanggar janji, Mas!” pekik Thania protes.William kembali tersenyum miring. “Hanya sebatas menemuinya. Bukan untuk memilikinya sampai nanti surat cerai dari pengadilan telah kita dapatkan. Aku yang membuat kesepakatan itu. So, terserah aku apa yang ingin aku lakukan. Jangan membantah! Kamu tidak berhak atas itu!”Thania tidak bisa menjawab apa pun lagi selain hanya menitikan air matanya. Sungguh, nasib sial ini tidak pernah terbayang dalam dirinya. Menikah dengan William adalah impiannya. Impian itu sudah menjadi nyata, akan tetapi nasibnya tidak seindah yang dia bayangkan.William hanya memanfaatkan perasaannya. Memintanya agar mau memberi seorang anak untuk William. Setelah itu, silakan pergi dari hidup William dan mencari pasangan yang mau menerimanya kelak. Menerima juga status yang akan dia sandang nanti, yakni seorang janda.Thania kemudian mengusap air matanya seraya membuang muka, tak mau melihat wajah penuh kesombongan di wajah William.“Aku tulus, mencintai kamu, Mas. Tapi, ketulusan itu rupanya kamu manfaatkan hanya demi mendapat seorang anak dan kembali pada kekasihmu itu.”William menyunggingkan senyum lalu menatap datar wajah Thania. “Jangan menyesali perasaan itu. Mencintaiku itu hak kamu. Tapi, memilikiku selamanya, itu tidak akan mungkin terjadi. Kamu pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Aku pastikan itu.”Dengan tanpa dosanya, lelaki itu menepuk lengan Thania seraya mengulas senyumnya. Thania lantas mengibaskan tangannya, menepisnya seolah tidak ingin disentuh lagi oleh pria yang telah berhasil melukai hatinya.**Waktu telah menunjuk angka tujuh pagi. Thania sudah lebih dulu bangun dari tidurnya kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan diri terlebih dahulu.Setelah itu, memutar kran shower dan membasahi tubuhnya dari atas kepala sampai kaki. Bayang-bayang akan sentuhan William seketika terlintas begitu saja.Ia lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu mengambil shampoo yang ada di sampingnya. Namun, tangan kekar William lebih dulu mengambil shampoo tersebut hingga membuat Thania terkejut melihatnya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Mas? Pergilah! Biarkan aku mandi dengan tenang. Kamu sendiri yang memintaku untuk terlihat bahagia karena hari ini ada pertemuan dengan keluarga besarmu!” ucap Thania dengan suara datarnya.“Aku sedang menginginkanmu, Thania!” ucap William tegas.Thania lantas tersenyum miring. “Jangan harap kamu mendapatkan itu dariku!” ucapnya dengan percaya diri.“Oh! Rupanya kamu berani menolakku, huh? Aku tidak akan pernah melepasmu!” ucapnya lalu menarik kedua tangan Thania dan menunggingkan tubuh perempuan itu.“Lepas! Jangan pernah menyentuhku lagi!” pekik Thania dengan sekuat tenaga berontak tak ingin William menyentuhnya.Namun, tenaga seorang wanita tentu saja akan kalah oleh pria. Thania tak dapat bergerak. Benda asing itu telah masuk sempurna di bawah sana.“Arrgh! Sakit, Mas! Aku belum terbiasa dengan milikmu itu!” pekik Thania. Merintih kesakitan karena ulah William yang mendorongnya lebih dalam.“Diam! Dia harus kamu layani. Aku menikahimu bukan untuk dijadikan pajangan saja. Memiliki anak harus dengan cara bersetubuh agar janin cepat tumbuh dan kita segera bercerai.”“Brengsek kamu, Mas!” umpat Thania kemudian.Sungguh, pedih yang dia rasakan kala hujaman yang semakin liar William lakukan kepadanya. Tidak bisa memberontak sebab lelaki itu mengunci Thania dengan tubuh kekarnya itu.Sampai akhirnya puncaknya telah tiba. Thania kembali dipompa dengan kecepatan yang cukup kencang hingga membuat perempuan itu memekik keras dan menitikan air matanya sebab perih yang dia rasa.Dengan santainya, lelaki itu mengeluarkan benih-benih ke dalam rahim Thania. Perempuan itu menjatuhkan dirinya dengan napas yang menderu.“Kamu keterlaluan, Mas! Pangkal pahaku masih sakit. Seharusnya kamu bermain dengan hati-hati.”William hanya menyunggingkan senyumnya. Ia lalu memutar kran shower dan mengguyur tubuhnya.Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Thania bangun dari duduknya dan menatap William datar. “Hanya sampai aku melahirkan anak untukmu saja kan, pernikahan ini berlangsung?”William menoleh dan menatap Thania. “Kamu nikmat, Thania. Aku tidak akan melepasmu begitu saja meski dia telah kembali.”Mata itu lantas membola. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Mas?"William menyunggingkan senyum misterius. Tanpa menjawab apa pun, ia membasuh tubuh kekar dan sempurna itu di bawah guyuran shower.“Tak perlu tahu! Yang jelas, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja!” ucapnya tanpa dosa. Ia merasa memiliki segalanya, mudah baginya untuk membuat Thania takut dan mau menuruti semua perintahnya.Mata penuh dengan bulir air mata dari Thania memicing tajam menatap lelaki yang sialnya telah menjadi suami gila yang ia miliki. Impian dan ekspetasi yang ia bayangkan rupanya jauh berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus ia jalani kini.“Mas. Setidaknya aku tahu, alasan kenapa dia pergi meninggalkan kamu. Sampai membuat kamu tidak bisa melupakan dia,” ucap Thania berharap William mau memberikan alasan mengapa perempuan itu pergi darinya.Matanya melirik Thania kemudian menarik napasnya dalam-dalam. “Dia mengalami kecelakaan, kemudian amnesia dan dibawa oleh kedua orang tuanya ke luar negeri untuk menyembuhkan kondisinya. Itu saja yang perlu kamu ketahui. Jangan pernah bertanya mengenai hal itu lagi! Aku ingin membatasi privasiku darimu!”William menyelesaikan acara mandinya dan pergi begitu saja meninggalkan Thania. Perempuan itu tersenyum getir kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan. Kamu pikir, aku akan mengalah begitu saja. Tentu ti
Thania mengendap-ngendap keluar dari rumah megah itu sebab hendak pergi menemui Hans yang ingin bicara banyak dengannya.Ia kemudian menghela napasnya dengan lega karena ternyata William tidak ada di rumah. "Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Aku yakin, dia sedang mencari keberadaan Mhika lagi agar segera bisa kembali padanya," ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari rumah itu.Menyusul Hans yang menunggunya di sebuah gedung di mana Hans tinggal kini. Di sebuah apartemen yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Thania yang ia pun baru tahu tempat tinggal sahabat dekatnya itu."Halo, Hans. Aku sudah di depan pintu apartemen kamu." Thania menghubungi Hans."Oh, iyaa. Tunggu sebentar, yaa. Aku baru selesai mandi soalnya."Thania terkekeh pelan. "Ya sudah," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Tak lama kemudian, Hans keluar dan membukakan pintu untuk perempuan itu. Thania masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah."Maaf, yaa. Masih berantakan. Aku baru satu ming
"Maksudnya?" tanyanya kemudian.Hans menggeleng sembari mengulas senyumnya. "Kamu pasti akan berpisah dengannya apa pun yang terjadi, kan? Karena bagaimanapun juga pernikahan itu hanya pernikahan di atas kertas. Betul?"Thania mengangguk dengan pelan. "Iya, kamu benar. Aku kadang suka lupa, Hans."Pria itu terkekeh pelan. "Thania. Jika kamu ingin pernikahan kamu bukan lagi pernikahan kontrak, sebaiknya kamu banyak berdoa semoga William mengubah hatinya hanya untuk kamu dan melupakan kekasihnya itu."Tapi, kalau kamu tidak yakin William akan mencintaimu dengan tulus dan sungguh-sungguh, berdoa saja semoga apa pun keputusannya kelak, itu sudah menjadi yang terbaik untuk kalian. Jangan sampai menyesal setelah semuanya terjadi, yaa."Sebagai sahabat yang baik, Hans ingin menasihati Thania agar perempuan itu tidak salah memilih apa yang harus dia pilih kelak. Berharap sahabatnya itu mendapat bahagia di atas pernikahan yang cukup toxic ini."Ya. Aku akan mengikuti kata hatiku, Hans. Terima
Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya."Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda."Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama.""Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani."Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan s
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani