Thania mengendap-ngendap keluar dari rumah megah itu sebab hendak pergi menemui Hans yang ingin bicara banyak dengannya.
Ia kemudian menghela napasnya dengan lega karena ternyata William tidak ada di rumah. "Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Aku yakin, dia sedang mencari keberadaan Mhika lagi agar segera bisa kembali padanya," ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari rumah itu.Menyusul Hans yang menunggunya di sebuah gedung di mana Hans tinggal kini. Di sebuah apartemen yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Thania yang ia pun baru tahu tempat tinggal sahabat dekatnya itu."Halo, Hans. Aku sudah di depan pintu apartemen kamu." Thania menghubungi Hans."Oh, iyaa. Tunggu sebentar, yaa. Aku baru selesai mandi soalnya."Thania terkekeh pelan. "Ya sudah," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Tak lama kemudian, Hans keluar dan membukakan pintu untuk perempuan itu. Thania masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah."Maaf, yaa. Masih berantakan. Aku baru satu minggu ada di sini soalnya.""Nggak apa-apa. Kamu dapat nomor aku dari siapa? Nomor kamu kenapa diganti?""Aku ganti nomor dan lupa nggak save nomor kamu. Karena banyak yang chat aku, makanya aku ganti aja. Dan akhirnya malah lose kontak sama kamu. Padahal aku mau ngabarin kalau studi aku sebentar lagi selesai. Dan ternyata kamu udah di sini duluan."Thania tersenyum tipis. "Iya. Aku kerja jadi sekretaris pribadi Willy selama lima tahun, dan selama itu pula aku mengaguminya. Sampai akhirnya kami menikah setelah dia berhasil menjebakku." Thania menelan salivanya dengan pelan.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya. Tadi Winda sudah cerita semuanya. Kenapa bisa, dia memiliki hati yang busuk seperti itu? Demi seorang anak dan agar orang tuanya berhenti mengatainya menyimpang, dia malah membohongi kamu seperti ini. Pernikahan kalian legal, terdaftar di agama dan negara. Tapi, dia malah mempermainkan pernikahan ini."Hans tampak geram. Tidak terima sahabatnya diperlakukan seperti ini oleh William yang tidak punya hati dan bisa-bisanya menjadikan Thania sebagai tumbal agar ia bisa leluasa mencari keberadaan kekasihnya itu."Entahlah, Hans. Aku juga merasa dirugikan. Tapi, mau gimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa mengembalikan utang orang tuaku kepadanya. Sebanyak sepuluh miliar. Mana mungkin aku dapatkan dalam waktu cepat."Hans menghela napas pelan. "Maafkan aku, Thania. Uang segitu aku masih belum punya. Andai aku punya, sudah kuberikan pada kamu dan kamu bisa terbebas dari jeratan William. Tapi, apakah kamu masih mencintainya?" tanya Hans ingin tahu mengenai perasaan Thania.Perempuan itu tersenyum tipis. "Aku dulu memang mencintainya. Bahkan pernikahanku dengannya merupakan salah satu impian yang terwujud. Tapi, setelah tahu semuanya, harapan dan ekspetasi itu sirna seiring dengan kenyataan pahit yang harus aku telan."Thania mengusap air matanya. Menangis jika mengingat kejahatan yang dilakukan oleh William kepadanya. Hans kemudian menarik tangan Thania dan memeluknya kembali.Tumpah lah air mata perempuan itu di dalam dekapan hangat Hans yang memang selalu ada untuknya di saat seperti ini. Tangannya menggenggam erat kaus yang dikenakan oleh Hans sembari terisak lirih."Aku menyesal karena telah mencintainya, Hans. Aku pikir, mencintai William tidak salah, Ternyata, itu semua dipatahkan oleh kenyataan di mana William hanya mencintai gadis di masa lalunya. Yang belum tentu perempuan itu masih menginginkannya."Hans mengusapi punggung perempuan itu dengan lembut. "Jangan putus asa, yaa. Kamu masih berhak bahagia. Jika dia sudah kembali, aku harap kamu bisa menerimanya dengan lapang dada."Thania mengangguk dengan pelan. "Aku akan menerimanya, Hans. Pernikahan toxic seperti ini tidak perlu aku pertahankan. Tapi, aku ingin memberinya pelajaran."Thania melepaskan pelukan itu kemudian mengusap air mata di pipinya. "Dia memberiku surat perjanjian yang sudah kami sepakati. Dan di dalamnya, aku tidak boleh dekat dengan pria lain karena tidak mau orang tuanya tahu. Dan aku juga tidak boleh memberi tahu siapa pun tentang pernikahan kontrak ini."Tapi, aku sudah tidak kuat. Aku ingin menceritakan semuanya ke kamu karena kamu adalah sahabat dekat aku. Bahkan pada Winda pun aku memberi tahunya. Dia sangat licik, Hans. Dengan seenak jidatnya dia mencari keberadaan Mhika, tapi aku tidak boleh menjalin hubungan dengan siapa pun. Sepertinya dia ingin aku menderita."Hans mengusapi lengan Thania dengan lembut seraya menatapnya dengan lekat. "Kamu berhak bahagia, Thania. Jangan dengarkan ataupun terlalu patuh dengan perjanjian yang sudah kamu sepakati. Karena suatu hari nanti kamu akan dibuang olehnya, kan?"Thania mengangguk pelan. "Iya. Jika dia sudah kembali, aku akan dibuang." Thania tersenyum lirih kemudian menundukan kepalanya."Hans. Seharusnya kedatangan kamu di sini aku sambut dengan baik. Kita party dan tanya, kamu kerja di mana. Malah curhat tentang rumah tangga aku."Hans tersenyum tipis. "Aku jadi GM di sebuah perusahaan milik Om Reynold di Aliian Group. Kebetulan GM di sana udah pensiun, dan aku yang maju."Thania manggut-manggut dengan pelan. "Congrats, yaa. Seenggaknya kamu bisa buktiin ke mama dan papa kamu kalau kamu bisa hidup tanpa mereka."Hans tersenyum lagi sembari mengulas senyumnya. "Aku senang, karena bisa ketemu sama kamu di sini. Aku pikir, kita nggak akan pernah ketemu lagi karena nggak pernah saling tukar kabar lagi.""Aku juga nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Rumah kita nggak terlalu jauh. Tapi, rumah itu hanya sementara. Aku harus melunasi utangku dengan menunggu kedatangan Mhika yang entah di mana dia berada."Thania kembali menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada Hans. "Gimana kalau malam ini kita party? Udah lama banget nggak makan masakan kamu."Hans terkekeh pelan. "Ada juga kamu, yang masak. Malah aku terus yang masak. Tapi, karena kamu lagi bad mood, biar aku aja yang masak. Barbeque?"Thania mengangguk dengan semangat. "Yaps! Your made nggak pernah gagal."Hans geleng-geleng kemudian tersenyum kembali. "Tapi, kamu nggak akan dicari oleh suami kamu? Kalau nanti dia lacak keberadaan kamu, gimana? Jangan sampai nanti gara-gara aku hubungi kamu dan minta kamu ke sini, malah masalah kamu jadi tambah runyam."Thania menghela napas kasar. "William nggak save lokasi aku ada di mana. Jadi, aman." Thania menerbitkan senyumnya kepada lelaki itu."Ya sudah kalau begitu. Aku siapkan grill-nya dulu. Kamu pasti belum mandi, kan? Mandi dulu gih.""Tahu aja kalau aku belum mandi.""Bau.""Ish! Hans! Ngeselin banget. Baru ketemu sehari udah bikin emosi," ucapnya lalu mengerucutkan bibirnya.Hans terkekeh pelan. "Kalau kayak gini kan, aku kenal kamu. Thania si tukang manyun. By the way, kalau kamu udah cerai sama Willy, jangan lupa kabarin aku."Thania menaikan alisnya sebelah mendengar ucapan dari lelaki itu."Maksudnya?" tanyanya kemudian.Hans menggeleng sembari mengulas senyumnya. "Kamu pasti akan berpisah dengannya apa pun yang terjadi, kan? Karena bagaimanapun juga pernikahan itu hanya pernikahan di atas kertas. Betul?"Thania mengangguk dengan pelan. "Iya, kamu benar. Aku kadang suka lupa, Hans."Pria itu terkekeh pelan. "Thania. Jika kamu ingin pernikahan kamu bukan lagi pernikahan kontrak, sebaiknya kamu banyak berdoa semoga William mengubah hatinya hanya untuk kamu dan melupakan kekasihnya itu."Tapi, kalau kamu tidak yakin William akan mencintaimu dengan tulus dan sungguh-sungguh, berdoa saja semoga apa pun keputusannya kelak, itu sudah menjadi yang terbaik untuk kalian. Jangan sampai menyesal setelah semuanya terjadi, yaa."Sebagai sahabat yang baik, Hans ingin menasihati Thania agar perempuan itu tidak salah memilih apa yang harus dia pilih kelak. Berharap sahabatnya itu mendapat bahagia di atas pernikahan yang cukup toxic ini."Ya. Aku akan mengikuti kata hatiku, Hans. Terima
Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya."Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda."Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama.""Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani."Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan s
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya