Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya.
"Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."
Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda.
"Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."
Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama."
"Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."
Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani.
"Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan sampai nggak."
Thania menganggukkan sembari mengulas senyumnya dengan lebar. "Terima kasih, Mi. Aku pasti akan memakannya. Sekali lagi terima kasih. Mami sudah repot-repot buatkan aku brownies. Harusnya aku, yang melakunnya."
Rani terkekeh kemudian mengusapi rambut menantunya itu. "Mami ingin berterima kasih padamu karena sudah menjadi istri dari anak bungsu Mami, Sayang. Mami sangat bersyukur karena memiliki menantu cantik dan baik hati seperti kamu, Nak."
Thania tersenyum lirih seraya melirik ke arah William yang sedari tadi hanya diam dengan wajah datarnya menatapnya.
"Mami jangan bicara seperti itu. Aku bukan manusia sempurna. Di balik itu semua, ada kekurangan yang aku miliki bahkan mungkin akan buat Mami tidak menyukainya."
Rani tersenyum tipis. "Selain cantik, kamu juga sangat rendah diri. Tidak apa. Mami paham. Semua manusia tidak ada yang sempurna. Mami akan memaklumi itu. Ya sudah, kalau begitu. Mami mau pergi lagi. Ada urusan dengan teman-teman Mami."
"Baik, Mi. Mau diantar oleh Mas William?"
"Tidak perlu. Mami sama sopir kok." Rani pamit kepada menantu dan anaknya. Kemudian keluar dari rumah itu.
Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian melangkah pergi menjauh dari William, khawatir lelaki itu akan memarahinya. Ia memilih untuk menjauh dari lelaki itu.
Namun, tangan kekar itu berhasil menarik tangannya. Manik mata hazel itu menatap tajam wajah Thania.
"Kamu pikir, kamu bisa lepas setelah mendapat alasan yang masuk akal? Tidak semudah yang kamu pikirkan, Thania!" ucapnya dengan suara menekan.
"Mas. Aku sudah memberikan jawaban sesuai yang kamu minta. Apa lagi salahku, huh?"
"Salahmu? Salahmu banyak, Thania! Kamu sudah membuatku murka di pagi hari. Masih pagi sudah membuatku emosi. Kamu paham itu, huh?" pekiknya kemudian mendorong tubuh Thania hingga membuat perempuan itu terjatuh ke lantai.
"Aw!" Thania meringis pelan karena sikutnya mengenai lantai.
William kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya hendak membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor.
Paper bag yang diberikan oleh Rani tadi jatuh bersamaan dengan tubuh Thania yang didorong oleh lelaki itu.
Thania menyeka air matanya yang hendak keluar dari pelupuk matanya. Ia tidak boleh menangis karena hari ini ada pertemuan penting dengan beberapa clien yang sudah terjadwal di agenda milik William.
**
Waktu sudah menunjuk angka dua belas siang.
Usai meeting, Thania langsung memesan makanan untuknya dan juga William dalam tempat yang berbeda.
Ting!
Pesan masuk dari Hans. Ia lantas segera membukanya.
Hans: [Sudah makan? Aku sudah memesan pizza carbonara kesukaanmu. Mungkin sebentar lagi sudah sampai. Gedung Mahatma Group lantai dua puluh, kan?]
Thania menerbitkan senyumnya kemudian membalas pesan tersebut.
Thania: [Ya. Seratus buat kamu. By the way, thank you. Repot-repot pesenin makanan buatku. Moodbooster banget.]
Thania tak memberi tahu jika dia sudah pesan makan siang sebab tak ingin membuat Hans malu karena sudah memesankan makanan untuknya.
Hans: [Syukurlah, kalau itu bisa buat mood kamu jadi good. Kalau sudah sampai, langsung dimakan. Jangan sampai asam lambungnya naik.]
Thania: [Ciee! Masih perhatian aja. Haha. But, i need it. Kamu udah bikin aku jadi senyum lagi.]
Hans: [Why? Can i call you?]
Thania: [Sorry, but you can't call me. Nanti aja, yaa. Aku lagi di kantor soalnya. Dua minggu ke yang akan datang, William ada dinas luar kota. Ke Surabaya.]
Hans: [Oh, oke! Ya sudah kalau begitu. Keep happy ya, Than. Jangan banyak sedih. Nanti aku ikutan sedih.]
Thania terkekeh pelan. Ia kemudian mengadahkan kepalanya. Seketika itu ia langsung menghapus pesan dari Hans ketika melihat William keluar dari ruangannya bersama dengan clien-nya.
Thania berdiri dari duduknya dan menunduk menyapa clien yang sudah pamit dari sana. William yang semula senyum, namun kala melihat Thania langsung datar lagi.
Thania pun tidak perlu senyum dari suaminya itu. Ia kembali duduk dan menaruh ponselnya di samping keyboard lalu memfokuskan dirinya di depan komputer.
"Thania! Urusan kita belum selesai," ucapnya datar.
Thania menelan salivanya dengan pelan. Hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh William kepadanya. Ingin lari pun rasanya sudah tidak bisa.
"Semoga dia sibuk sampai larut malam dan melupakan hukuman yang akan dia berikan padaku," gumamnya seraya berdoa agar William melupakan kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah dia.
Tak lama kemudian, makanan yang ia pesan juga dari Hans datang secara bersamaan. Thania mengantarkan makan siang untuk sang suami ke dalam ruangannya.
"Makan siangnya, Pak. Selamat makan," ucapnya kemudian bergegas keluar dari ruangan tersebut.
Ia lalu mengirim foto pizza yang dikirim oleh Hans tadi.
Thania: [Sudah sampai. Sekali lagi terima kasih, bestie. Kamu emang paling tahu kalau aku lagi pengen makan pizza. Kamu cenayang, yaa?]
Pesan terkirim.
Melihat pesan dari Thania lantas membuatnya terkekeh. Ia kemudian menggoda perempuan itu dengan meminta foto Thania juga.
Thania: [Itu sih, modus!]
Hans kembali tertawa. "Kalau seperti ini, aku lebih mengenal kamu. Daripada wajah murungmu kemarin malam." Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menaruh ponselnya dan menyandarkan punggungnya di sandara kursi kebanggannya.
"Uang dari mana, sebanyak sepuluh miliar? Aku ingin membebaskan Thania dari lelaki bejad itu. Kenapa pula, Thania mencintai lelaki sepertinya? Sementara padaku, masih saja menganggapnya sahabat."
Hans menelan salivanya dengan pelan.
"Mikirin perempuan cantik yang kamu pajang itu, hm?" Reynold menghampiri Hans seraya menggoda lelaki itu.
"Om!" Hans tersenyum tipis. "Ya. Aku butuh uang sepuluh miliar untuk membebaskan dia dari pernikahan kontrak yang sudah dia tanda tangan, Om. Andai aku punya sebanyak itu, meski sisa di tabungan segitu, aku akan memberikannya."
Reynold menatap Hans dengan tatapan lekatnya. "Dalam bentuk sebagai sahabat, atau sebagai wanita yang kamu cintai?"
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania
William memijat keningnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tentu saja bukan karena itu, Thania. Kamu jangan berasumsi yang aneh-aneh mengenaiku.""Oh, yaa? Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka lagi? Bukankah mereka teman baikmu? Teman dekatmu?"William menghela napas kasar. "Tidak ada topik lain, selain membahas temanku?"Thania menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku akan diam kembali.""Tapi, bukan berarti kamu harus diam, Thania. Kenapa kamu menyebalkan sekali. Astaga." William mengusapi keningnya dan kembali menyantap sarapannya."Aku masih kesal pada kamu, Mas. Aku tidak salah tapi kamu marahi. Seolah akulah yang dengan sengaja tebar pesona di depan mereka. Padahal, itu bukan keinginanku. Mereka yang duluan menggodaku."William menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku hanya khawatir kamu terluka oleh mereka. Maaf. Jika memang itu membuatmu sedikit sedih."Thania menganga mendengar permintaan ma