"Maksudnya?" tanyanya kemudian.
Hans menggeleng sembari mengulas senyumnya. "Kamu pasti akan berpisah dengannya apa pun yang terjadi, kan? Karena bagaimanapun juga pernikahan itu hanya pernikahan di atas kertas. Betul?"
Thania mengangguk dengan pelan. "Iya, kamu benar. Aku kadang suka lupa, Hans."
Pria itu terkekeh pelan. "Thania. Jika kamu ingin pernikahan kamu bukan lagi pernikahan kontrak, sebaiknya kamu banyak berdoa semoga William mengubah hatinya hanya untuk kamu dan melupakan kekasihnya itu.
"Tapi, kalau kamu tidak yakin William akan mencintaimu dengan tulus dan sungguh-sungguh, berdoa saja semoga apa pun keputusannya kelak, itu sudah menjadi yang terbaik untuk kalian. Jangan sampai menyesal setelah semuanya terjadi, yaa."
Sebagai sahabat yang baik, Hans ingin menasihati Thania agar perempuan itu tidak salah memilih apa yang harus dia pilih kelak. Berharap sahabatnya itu mendapat bahagia di atas pernikahan yang cukup toxic ini.
"Ya. Aku akan mengikuti kata hatiku, Hans. Terima kasih atas nasihat kamu," ucapnya lalu mengulas senyumnya.
"Sama-sama. Jangan pernah lupa kalau kamu punya teman yang bisa kamu jadikan tempat mengadu. Tapi, tempat mengadu paling sempurna adalah pada yang di atas. Jangan pernah lupa untuk berdoa ya, Thania."
Perempuan itu menganggukkan kepalanya sembari menerbitkan senyumnya. "Pasti. Aku tidak akan melupakan kamu, sahabat baik aku. Dan juga Tuhan sebagai pelindungku."
Hans menepuk-nepuk pundak Thania sembari mengulas senyumnya. Ia kemudian mengambil piring untuk daging yang sudah matang itu.
Keduanya lantas makan bersama sembari bercerita tentang tujuh tahun setelah mereka terpisah karena mengejar cita-cita masing-masing. Di mana Hans harus pergi ke Amerika karena mendapat beasiswa hingga S3 di sana.
"Makasih ya, Hans. Untuk makan malamnya. Seenggaknya aku bisa makan dengan tenang tanpa hambatan."
Hans terkekeh mendengarnya. "Memangnya kalau lagi makan sama William, kamu ditodong pistol?"
"Bukan ditodong pistol. Tapi, matanya seperti pistol yang siap menghunusku. Sebenarnya aku mengkhawatirkan kamu kalau dia tahu kita ketemu. Dia melarang aku dekat dengan lelaki."
Hans menghela napas kasar. "Tapi, kita sudah bersahabat sejak lama, Thania. Masa iya, kamu mau mengakhiri persahabatan kita hanya karena dia? Lagi pula, setelah kekasihnya kembali, kamu akan dibuang olehnya."
Thania menelan salivanya dengan pelan kemudian menatap Hans dengan lekat. "Mungkin bertemu secara diam-diam saja, Hans. Aku nggak mau kamu kenapa-napa karena ulah William. Aku juga harus menghargainya karena dia adalah suamiku. Meski sebenarnya hanya suami sementara." Thania tersenyum tipis.
Hans mengusapi lengan perempuan itu. "Iya. Terserah kamu saja. Yang penting jangan hilang kontak lagi. Aku nggak akan ganggu kamu, tapi kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku."
Thania mengangguk kemudian melihat jam yang melingkar di tangannya. "Sudah malam, Hans. Aku harus pulang. Terima kasih ya, makan malamnya."
Thania kemudian beranjak dari duduknya dan keluar dari unit apartemen lelaki itu.
"Hati-hati, Thania. Maaf, nggak bisa antar kamu."
"Nggak apa-apa. Bisa berabe kalau kamu antar aku."
Hans terkekeh. Ia lalu melambaikan tangannya kepada Thania yang sudah masuk ke dalam lift.
Setelah sampai di basement, ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan berlalu pergi dari sana.
"Halo, Wind. Kalau William tanya gue habis dari mana ke elo, bilang gue habis makan malam sama elo, yaa. Soalnya gue habis ketemu sama Hans." Thania menghubungi Winda.
"Aman. Gue di pihak elo, kok. Lagian elo nggak perlu nurut-nurut amat sama dia. Kecuali dia memang beneran cinta dan mengakui elo sebagai istrinya. Baru, gue bakalan marahin elo karena udah ketemu sama Hans. Lagian kan, Hans itu sahabat elo."
Thania mengulas senyum lebar. "Thanks, Winda. Gue pikir elo bakalan marah sama gue."
"Nggak lah, gila! Kecuali pernikahan elo beneran karena saling cinta."
"Iya, Wind. Ya udah, gue tutup. Sekali lagi makasih."
"Sama-sama. Hati-hati di jalan, Thania."
Perempuan itu kemudian menutup panggilan tersebut dan kembali melajukan mobilnya. Thania yang sudah hampir tiga jam berada di unit apartemen Hans, tidak ada satu pun panggilan atau pesan dari William. Seolah masa bodoh di mana istrinya itu berada.
"Tapi, kalau tahu aku di apartemen Hans pasti marah besar." Thania menghela napasnya dengan panjang. "Sebenarnya mau kamu apa sih, Mas? Aneh." Thania geleng-geleng kepala.
Sesampainya di rumah. Ia memasukan mobilnya ke dalam garasi dan masuk ke dalam rumah.
"Selamat malam, Non Thania."
"Lho! Kok Pak Fikry ada di sini?" tanyanya terkejut sebab ada bodyguard William di sana.
"Pak William sedang mabuk. Temannya menghubungi saya untuk menjemput beliau. Sudah saya antar ke dalam kamarnya."
"Oh, gitu. Ya udah, terima kasih ya, Pak!" ucapnya lalu masuk ke dalam rumah itu.
"Pantas saja, dia tidak ada menghubungiku. Ternyata memang sedang mabuk," ucapnya lalu tersenyum tipis. "Baguslah. Setidaknya malam ini aku aman. Tidak akan diserang olehnya."
Thania memilih masuk ke dalam kamar sebelah daripada harus tidur bersama dengan William. Apalagi lelaki itu tengah mabuk. Ia tidak ingin mendengarkan ocehan yang mungkin akan membuatnya sakit hati.
Namun, Thania mengintip William terlebih dahulu. Apakah posisi tidurnya aman atau tidak.
"Aman. Tidak akan terjun ke bawah," ucapnya kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tidak mau tidur satu kamar dengan William.
**
Keesokan harinya, waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Thania sudah bangun dari tidurnya dan kini tengah membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menyiapkan keperluan sang suami.
Sementara di dalam kamar, William mengusapi keningnya karena pengar yang masih ia rasakan. Ia kemudian menoleh ke samping, di mana ia hanya tidur seorang diri.
"Ke mana Thania? Kenapa dia tidak ada di sini?" gumamnya mencari keberadaan istrinya.
"THANIAA??" teriaknya memanggil sang istri.
Namun, tidak ada jawaban dari perempuan itu. William mendengus kasar. Kepalanya yang masih pening itu mencoba untuk bangun.
"Perempuan itu pasti tidur di kamar sebelah. Kenapa dia masih bersikeras untuk pisah kamar denganku! Kurang ajar!" ucapnya sembari membuka kaus kaki yang masih menempel di kakinya.
"Bahkan merawatku saja tidak! Sepertinya kamu ingin kuhukum di pagi hari, Thania. Kamu pikir, kamu akan bebas? Tidak akan! Aku tidak akan pernah membiarkanmu bebas!" ucapnya meracau terus menerus sebab kesal lantaran Thania tidak tidur dalam satu kamar dengannya.
"Thaniaaa!" teriaknya lagi setelah keluar dari kamarnya.
Tak lama kemudian, Thania keluar dari kamarnya.
"Lho! Kok ... kalian keluar di kamar yang beda?" Rani tampak terheran-heran melihat anak dan menantunya keluar dari kamar masing-masing.
Deg!
Thania diam mematung sembari menelan salivanya seraya melirik William yang juga ikut panik.
'Mati aku! Dia pasti akan memarahiku habis-habisan setelah maminya pergi.' Thania berucap dalam hatinya.
Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya."Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda."Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama.""Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani."Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan s
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania