Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya.
"Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans."
"Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold.
"Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."
Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis.
"Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada rasa lega juga karena pernikahan itu hanya pernikahan kontrak.
"Hanya saja, aku tidak tega jika mendengar penderitaan Thania selama menjadi istrinya William. Pria tidak punya hati itu selalu saja menyiksanya. Aku ingin mengeluarkan Thania dari siksaan William."
Reynold merasa iba mendengar cerita dari saudaranya itu. Ia kemudian menatap Hans dengan lekat seraya mengulas senyum tipis.
"Jika meminta bantuan orang tuamu sama saja tidak akan berhasil membuat Thania pisah dengan William. Maka, satu-satunya cara hanyalah bersabar dan sebisa mungkin kamu harus selalu ada untuknya."
Mendengar nasihat dari Reynold, Hans menganggukkan kepalanya menuruti nasihat tersebut. Akan selalu ada untuk Thania sampai dia bisa terbebas dari siksaan yang selalu William lakukan padanya.
**
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.
Thania sudah bersiap-siap hendak pulang dari kantor itu. Merapikan mejanya dan juga mematikan komputer serta laptop yang masih menyala.
"Pulang denganku!" ucapnya setelah keluar dari ruangannya.
Hati Thania tak tenang dan tak karuan. Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu Thania tidak dapat membayangkannya.
Dengan langkah yang penuh dengan cemas dan takut, Thania memasuki lift untuk keluar dari divisi itu.
'Tolong aku, Tuhan. Jangan sampai lelaki itu menyiksaku. Aku tahu aku salah. Tapi, bukankah dia sendiri yang tidak menginginkanku? Kenapa harus selalu tidur dalam satu kamar jika dia tidak menginginkanku.'
Thania berucap dalam hatinya. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang dan keluar dari lift bersamaan dengan William yang sudah melangkah dengan lebar.
Mobil sudah terparkir di depan gedung tersebut. Keduanya lantas masuk ke dalam dengan sopir yang akan membawa mereka pulang.
"Pergi ke Surabaya akan diundur ke bulan depan. Aku ingin mengosongkan jadwalku selama dua minggu ke depan."
Thania kemudian menoleh kepada suaminya itu. "Kalau boleh tahu, kamu mau pergi ke mana, Mas? Selama dua minggu itu?" tanyanya ingin tahu.
William menghela napasnya dengan panjang. "Mami ingin kita bulan madu. Sepertinya dia sudah tidak sabar ingin melihatmu hamil."
Thania bingung. "Kapan, Mami bicara dengan kamu, Mas?" tanyanya lagi.
"Tadi siang, di telepon." William tidak bisa untuk berkata kasar karena meski hanya seorang sopir, tetap saja perlakuannya kepada Thania harus sebaik yang semua orang pikirkan.
William tidak ingin image-nya yang merupakan seorang pemimpin tegas, berwibawa dan baik hati tercoreng begitu saja hanya karena perlakuannya selama ini kepada Thania begitu kasar bahkan membuat Thania seringkali menangis karena ulahnya.
Thania tahu, dari raut wajah lelaki itu, ia menyimpan rasa kesal karena sedari tadi ia terus bertanya. Akhirnya memutuskan untuk diam dan menunggu sampai mereka sampai ke rumah.
Lima belas menit kemudian, keduanya sudah tiba di rumah. William melangkahkan kakinya dengan lebar seraya menarik tangan Thania agar segera masuk ke dalam kamar.
Brugh!
Lelaki itu mendorong tubuh Thania ke atas tempat tidur.
"Aww!" Thania meringis pelan. "Ada apa lagi sih, Mas?" pekiknya sudah tak bisa menahan sabarnya lagi.
"Kamu sudah membuatku marah, Thania!" pekik William tepat di depan wajah perempuan itu.
"Marah kenapa lagi? Karena aku bertanya kapan Mami menyuruh kita bulan madu? Jangan pikir kalau aku meminta Mami menyampaikan itu ya, Mas! Sama sekali aku tidak melakukan itu bahkan dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak menginginkan itu."
Plak!
William menampar wajah Thania karena banyak bicara. "Bukan karena bulan madu yang aku permasalahkan, Thania!" pekiknya kemudian menarik rambut panjang Thania agar melihat apa yang ia ketahui tentang kemarin malam.
"Kemarin malam kamu pergi ke apartemen. Bertemu dengan siapa? Hans? Ngaku, atau aku akan menghancurkan laki-laki itu!" pekiknya dengan tangan masih menjambak rambut Thania.
"A--aku ... aku hanya makan malam."
"Sama saja! Dasar, perempuan murahan! Tidak tahu diri! Sudah aku katakan berkali-kali pada kamu, jangan pernah menjalin hubungan dengan siapa pun selama pernikahan kita masih berjalan!" pekiknya tepat di depan wajah Thania.
Lelaki itu kembali mendorong tubuh Thania karena emosinya yang sedari tadi ia tahan. "Sekali lagi kamu kedapatan masuk ke dalam apartemen lelaki ini, bukan hanya kamu saja yang akan aku bunuh! Melainkan lelaki itu! Jangan buat malu keluargaku, Thania!" teriaknya lagi.
Thania kemudian beranjak dari tempat tidur dan mengarahkan tangan William pada lehernya.
"Bunuh! Bunuh saja aku, Mas! Tidak ada gunanya juga aku hidup!" pekiknya yang juga terbawa emosi karena ulah William.
"Hans adalah sahabat kecilku."
"Aku tidak peduli dia siapa di masa lalumu! Siapa pun pria itu, baik baru kamu kenali ataupun yang sudah kamu kenali, jangan pernah dekat dengannya!" ucap William.
Lelaki itu menatap Thania dengan manik mata tajamnya. "Apa saja yang kamu lakukan di sana, huh? Ngaku!"
Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak. Aku tidak melakukan apa pun dengannya, aku berani bersumpah. Kami hanya makan malam saja."
William menatap tegas wajah Thania. Tidak ada sesuatu yang dia sembunyikan kala menjawab pertanyaan darinya tadi.
"Jangan pernah menemuinya lagi! Aku tidak mengizinkan kamu bertemu dengan siapa pun lagi termasuk Winda! Selama kita menikah, kamu hanya fokus pada rumah tanggamu saja juga tugasmu sebagai sekretarisku di kantor.
"Lebih dari itu, aku akan menghukummu selama yang aku inginkan! Jika masih ingin hidup, lakukan tugasmu sebaik mungkin. Bukan kamu yang akan kubunuh, melainkan pria yang sudah berani membawamu ke tempatnya!"
William menjatuhkan tubuh Thania lagi dan mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering.
"Argh! Kenapa Mami tidak puas menghubungiku!" pekiknya kemudian terpaksa menerima panggilan itu.
"Kenapa, Mi?" tanyanya dengan suara lembutnya.
"Kamu sudah pulang, Nak? Malam ini, Mami ingin mengajak kamu dan Thania makan malam bersama. Sekaligus membahas bulan madu kalian."
"Oke, Mi. Jam tujuh, aku sudah tiba di sana. See you!" ucapnya kemudian menutup panggilan itu dan membuang asal ponselnya.
"Mami mengajak makan malam bersama. Mandi yang bersih, pakai pakaian yang rapi. Dan mulai detik ini, kamu akan diawasi oleh dua bodyguard-ku!"
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania
William memijat keningnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tentu saja bukan karena itu, Thania. Kamu jangan berasumsi yang aneh-aneh mengenaiku.""Oh, yaa? Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka lagi? Bukankah mereka teman baikmu? Teman dekatmu?"William menghela napas kasar. "Tidak ada topik lain, selain membahas temanku?"Thania menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku akan diam kembali.""Tapi, bukan berarti kamu harus diam, Thania. Kenapa kamu menyebalkan sekali. Astaga." William mengusapi keningnya dan kembali menyantap sarapannya."Aku masih kesal pada kamu, Mas. Aku tidak salah tapi kamu marahi. Seolah akulah yang dengan sengaja tebar pesona di depan mereka. Padahal, itu bukan keinginanku. Mereka yang duluan menggodaku."William menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku hanya khawatir kamu terluka oleh mereka. Maaf. Jika memang itu membuatmu sedikit sedih."Thania menganga mendengar permintaan ma
Usai makan malam, Thania dan William langsung kembali ke apartemen. Seperti yang dikatakan oleh William di taman tadi sore. Di mana ia akan menghabiskan waktunya dengan Thania di dalam kamar."Tapi, Mas. Aku ini manusia, bukan manekin atau mainan sextoy yang kayak di TV itu. Aku punya batas kelemahan dan nggak sekuat kamu," ujar Thania menolak permintaan dari William.Lelaki itu malah membuka sleting dress yang dikenakan oleh istrinya itu tanpa berucap apa pun. Sorot mata bak elang itu menatap lekat wajah Thania yang sudah ketakutan akan permainan gila yang dia lakukan setelah ini.Bibirnya menciumi ceruk leher perempuan itu dan menyesapnya pelan. "Nikmati saja semua permainan yang akan aku lakukan padamu, Thania. Jangan banyak komentar!" bisiknya kemudian menjatuhkan tubuh perempuan itu ke atas tempat tidur.Thania mengatur napasnya yang tak beraturan. Degup jantungnya berirama kencang karena rasa takut yang berlebih dalam dirinya.Satu persatu William membuka bajunya. Melepasnya dan
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani