Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama.
"Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan.
"Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik.
"Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya.
"Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William.
"Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang."
"Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."
William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."
Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan William tadi. Ia kemudian menoleh pada anak bungsunya itu seraya mengulas senyumnya.
"Kamu belum ingin berdamai dengan mereka?"
William menggeleng. "Tidak ada kata damai bagi orang yang telah melakukan hal licik seperti itu."
Thania tersenyum tipis mendengar ucapan dari suaminya itu. 'Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Licik! Menipuku karena sudah menjadikanku tumbal agar orang tuamu berhenti memintamu menikah.'
Dan Thania hanya bisa bicara dalam hatinya kemudian menghela napas kasar dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja.
Beberapa kali Edward mencuri pandang ke arah Thania yang sedari tadi hanya diam, tidak ikut berbincang dengan yang lainnya.
Sampai akhirnya acara makan malam pun selesai. William pergi menemui sang papa di ruang kerjanya. Sementara Rani tengah sibuk menghubungi teman-teman arisannya.
"Hei?" Edward menghampiri Thania yang tengah duduk sembari melamun di sebuah gazebo dekat kolam renang.
Thania menoleh pelan ke arah Edward. "Hei. Kamu belum pulang?"
Edward menggeleng pelan. "Belum. Ada yang ingin aku tanyakan pada kamu, Thania."
Perempuan itu menaikan alisnya sebelah. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
Edward menghela napas panjang. "Aku perhatikan dari tadi kamu seperti tengah memikirkan sesuatu. There's something with your marriage?"
Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian mengulas senyum tipis. "Nothing! Aku hanya senang diam. Tidak banyak bicara dan itu membuatku nyaman. Lagi pula, yang kalian bahas tadi itu tentang pekerjaan. Bukan hal yang banyak aku ketahui."
Edward meringis pelan. "Ternyata dugaanku salah. Oke! Sorry, kalau aku terkesan sok tahu."
"No problem." Thania menerbitkan senyum kepada Edward kemudian menghela napasnya dengan pelan. 'Mana mungkin pada Edward pun dia akan marah. Tapi, sebaiknya aku jaga-jaga saja. Aku tidak mau mendapat hukuman darinya.'
Thania kemudian beranjak dari duduknya. "Edward, aku mau ke Mami dulu. Kamu masih lama di sini?"
"Silakan. Aku mau merokok dulu di sini. Mungkin agak malaman aku pulang."
"Oke!" Thania kemudian pamit dari sana dan bergegas masuk ke dalam sebelum William melihatnya berduaan dengan Edward.
Meski Edward adalah sepupunya, bukan berarti ia bebas dekat dengannya. Tanpa terkecuali yang artinya Edward pun harus Thania jauhi.
**
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam.
Thania tengah menyiapkan agenda dan juga perlengkapan sang suami untuk esok hari. Jadwalnya yang padat dan juga mengharuskan mereka menyelesaikan pekerjaan itu dalam satu minggu ini membuat Thania belum bisa beristirahat.
"Bicara apa saja, kamu dengan Edward di gazebo tadi?"
Pria itu menghampiri Thania yang tengah merapikan keperluannya. Thania lantas menoleh dan menghela napasnya dengan panjang. Menatap lelaki itu dengan lekat.
"Dia bertanya, there's something with our marriage. Ingin aku menjawabnya, ya!"
William menatap datar wajah Thania. "Jadi, Edward mencurigaimu. Sudah aku katakan padamu, jangan pernah memperlihatkan wajah murungmu itu, Thania! Telinga kamu masih berfungsi dengan baik, kan? Arggh!"
Thania mengerutkan dahi. "Kenapa kamu yang marah? Memangnya ada yang salah, dengan pertanyaan Edward? Tidak ada. Memang pada dasarnya pernikahan kita ada masalah."
William menghela napas kasar. "Apa maumu, huh?"
"Mauku? Cerai denganmu!" ucapnya jujur. "Aku rela tidak dibayar olehmu sampai utangmu lunas. Meminta Ibu dan Ayah menjual rumah itu dan tutup usaha mereka! Asalkan aku terbebas dari pernikahan gila ini!" ucapnya dengan tegas.
William menyunggingkan senyumnya. Menatap Thania yang sudah jujur apa yang dia inginkan dari pernikahan ini.
"Tidak akan pernah terjadi!" ucapnya dengan sangat santainya mengatakan jika dirinya tidak akan pernah melepas Thania.
"Sampai kapan? Sampai kekasihmu kembali? Belum tentu dia masih mau pada kamu, Mas!"
William menganggukkan kepalanya. "Ya. Itulah yang aku khawatirkan. Jika itu terjadi, maka pernikahan ini bukan lagi pernikahan kontrak. Melainkan akan memilikimu selamanya."
Thania tersenyum campah. "Aku tidak mau selamanya menjadi istri kamu!"
"Why? Bukankah kamu mencintaiku?"
"Itu dulu! Sekarang tidak. Aku sudah tidak mencintai kamu lagi karena kamu penipu!" ucapnya dengan tegas.
William menghela napas kasar. "Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku. Minggu depan kita bulan madu. Tidak akan ada yang berani mengganggu kita di sana karena aku sudah membeli sebuah pulau yang hanya ada kita berdua saja di sana."
Thania menatap datar wajah William. "Yang kamu inginkan dariku hanya sebuah hubungan intim, kan? Hanya menginginkan tubuhku saja, kan? Memangnya selama kamu menjalin hubungan dengan Mhika, kalian tidak pernah tidur?"
William menatap lekat wajah Thania. "Bukan urusanmu! Tidak perlu bertanya mengenai itu lagi."
Thania tersenyum miris. Melirik wajah William yang tidak pernah sekali pun membuatnya bahagia. Hanya kebencian yang melekat dalam dirinya yang dulu sangat ia cintai.
Selesai menyiapkan keperluan William, perempuan itu mengambil ponselnya dan melihat beberapa pesan yang ia sembunyikan dari layar depan.
Thania: [Hans. Aku tidak bisa bertemu denganmu lagi karena William mengetahui kedatanganku ke apartemenmu waktu itu. Entah sampai kapan, tapi aku rasa di waktu dekat ini aku tidak bisa bertemu denganmu. Maaf ya, Hans.]
Tak lama setelahnya, Hans langsung menjawab pesan tersebut.
Hans: [It's okay, Thania. Yang penting kamu jaga diri, jaga kesehatan.]
Thania tersenyum tipis. Ia lalu segera menaruh ponselnya kembali setelah William masuk ke dalam kamarnya.
"Jangan pura-pura tidur, Thania. Aku tahu, kamu belum tidur." William duduk di samping tubuh Thania yang sudah menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.
"Thania?" panggil William sekali lagi.
Thania yang sedang tidak ingin debat lantas membuka matanya. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara seraknya.
William menghela napas panjang. "Mau aku yang membuka pakaianmu, atau kamu sendiri yang membukanya?"
Thania mengerutkan keningnya. "Apa lagi yang kamu inginkan, Mas?"
William lantas menyibakan selimut tersebut. "Tentu saja menginginkanmu, Thania," bisiknya kemudian meraup bibir perempuan itu dengan kasar.
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania
William memijat keningnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tentu saja bukan karena itu, Thania. Kamu jangan berasumsi yang aneh-aneh mengenaiku.""Oh, yaa? Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka lagi? Bukankah mereka teman baikmu? Teman dekatmu?"William menghela napas kasar. "Tidak ada topik lain, selain membahas temanku?"Thania menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku akan diam kembali.""Tapi, bukan berarti kamu harus diam, Thania. Kenapa kamu menyebalkan sekali. Astaga." William mengusapi keningnya dan kembali menyantap sarapannya."Aku masih kesal pada kamu, Mas. Aku tidak salah tapi kamu marahi. Seolah akulah yang dengan sengaja tebar pesona di depan mereka. Padahal, itu bukan keinginanku. Mereka yang duluan menggodaku."William menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku hanya khawatir kamu terluka oleh mereka. Maaf. Jika memang itu membuatmu sedikit sedih."Thania menganga mendengar permintaan ma
Usai makan malam, Thania dan William langsung kembali ke apartemen. Seperti yang dikatakan oleh William di taman tadi sore. Di mana ia akan menghabiskan waktunya dengan Thania di dalam kamar."Tapi, Mas. Aku ini manusia, bukan manekin atau mainan sextoy yang kayak di TV itu. Aku punya batas kelemahan dan nggak sekuat kamu," ujar Thania menolak permintaan dari William.Lelaki itu malah membuka sleting dress yang dikenakan oleh istrinya itu tanpa berucap apa pun. Sorot mata bak elang itu menatap lekat wajah Thania yang sudah ketakutan akan permainan gila yang dia lakukan setelah ini.Bibirnya menciumi ceruk leher perempuan itu dan menyesapnya pelan. "Nikmati saja semua permainan yang akan aku lakukan padamu, Thania. Jangan banyak komentar!" bisiknya kemudian menjatuhkan tubuh perempuan itu ke atas tempat tidur.Thania mengatur napasnya yang tak beraturan. Degup jantungnya berirama kencang karena rasa takut yang berlebih dalam dirinya.Satu persatu William membuka bajunya. Melepasnya dan
Satu minggu berlalu. Keduanya sudah kembali ke Indonesia setelah satu minggu lamanya berada di Kanada.Thania merapikan kembali baju-baju ke dalam lemari juga beberapa barang yang ia beli di Kanada. Ada pula barang yang hingga saat ini William tak bertanya benda apa itu. Yang tak lain adalah kotak ukuran sedang berisikan jam tangan pria di dalamnya.Akan diberikan kepada Hans jika ada waktu luang untuk bertemu dengan lelaki itu. Thania sudah berjanji akan memberikan oleh-oleh kepada Hans dan akhirnya memilih jam tangan yang ia simpan di dalam koper bajunya."Hari ini aku ada meeting dengan Pak Budiman di hotel Lavela. Jangan ke mana-mana! Jika ketahuan bertemu dengan teman lelakimu itu, aku tidak akan segan-segan menghukum kamu!"Thania mengangguk kecil tanpa menoleh pada suaminya itu. "Ya. Lagi pula, aku masih capek. Aku mau istirahat saja."William menatap datar wajah sang istri kemudian keluar dari kamarnya hendak pergi menemui kliennya di sebuah hotel.Thania kemudian mengambil po
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani