Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama.
"Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan.
"Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik.
"Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya.
"Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William.
"Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang."
"Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."
William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."
Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan William tadi. Ia kemudian menoleh pada anak bungsunya itu seraya mengulas senyumnya.
"Kamu belum ingin berdamai dengan mereka?"
William menggeleng. "Tidak ada kata damai bagi orang yang telah melakukan hal licik seperti itu."
Thania tersenyum tipis mendengar ucapan dari suaminya itu. 'Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Licik! Menipuku karena sudah menjadikanku tumbal agar orang tuamu berhenti memintamu menikah.'
Dan Thania hanya bisa bicara dalam hatinya kemudian menghela napas kasar dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja.
Beberapa kali Edward mencuri pandang ke arah Thania yang sedari tadi hanya diam, tidak ikut berbincang dengan yang lainnya.
Sampai akhirnya acara makan malam pun selesai. William pergi menemui sang papa di ruang kerjanya. Sementara Rani tengah sibuk menghubungi teman-teman arisannya.
"Hei?" Edward menghampiri Thania yang tengah duduk sembari melamun di sebuah gazebo dekat kolam renang.
Thania menoleh pelan ke arah Edward. "Hei. Kamu belum pulang?"
Edward menggeleng pelan. "Belum. Ada yang ingin aku tanyakan pada kamu, Thania."
Perempuan itu menaikan alisnya sebelah. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
Edward menghela napas panjang. "Aku perhatikan dari tadi kamu seperti tengah memikirkan sesuatu. There's something with your marriage?"
Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian mengulas senyum tipis. "Nothing! Aku hanya senang diam. Tidak banyak bicara dan itu membuatku nyaman. Lagi pula, yang kalian bahas tadi itu tentang pekerjaan. Bukan hal yang banyak aku ketahui."
Edward meringis pelan. "Ternyata dugaanku salah. Oke! Sorry, kalau aku terkesan sok tahu."
"No problem." Thania menerbitkan senyum kepada Edward kemudian menghela napasnya dengan pelan. 'Mana mungkin pada Edward pun dia akan marah. Tapi, sebaiknya aku jaga-jaga saja. Aku tidak mau mendapat hukuman darinya.'
Thania kemudian beranjak dari duduknya. "Edward, aku mau ke Mami dulu. Kamu masih lama di sini?"
"Silakan. Aku mau merokok dulu di sini. Mungkin agak malaman aku pulang."
"Oke!" Thania kemudian pamit dari sana dan bergegas masuk ke dalam sebelum William melihatnya berduaan dengan Edward.
Meski Edward adalah sepupunya, bukan berarti ia bebas dekat dengannya. Tanpa terkecuali yang artinya Edward pun harus Thania jauhi.
**
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam.
Thania tengah menyiapkan agenda dan juga perlengkapan sang suami untuk esok hari. Jadwalnya yang padat dan juga mengharuskan mereka menyelesaikan pekerjaan itu dalam satu minggu ini membuat Thania belum bisa beristirahat.
"Bicara apa saja, kamu dengan Edward di gazebo tadi?"
Pria itu menghampiri Thania yang tengah merapikan keperluannya. Thania lantas menoleh dan menghela napasnya dengan panjang. Menatap lelaki itu dengan lekat.
"Dia bertanya, there's something with our marriage. Ingin aku menjawabnya, ya!"
William menatap datar wajah Thania. "Jadi, Edward mencurigaimu. Sudah aku katakan padamu, jangan pernah memperlihatkan wajah murungmu itu, Thania! Telinga kamu masih berfungsi dengan baik, kan? Arggh!"
Thania mengerutkan dahi. "Kenapa kamu yang marah? Memangnya ada yang salah, dengan pertanyaan Edward? Tidak ada. Memang pada dasarnya pernikahan kita ada masalah."
William menghela napas kasar. "Apa maumu, huh?"
"Mauku? Cerai denganmu!" ucapnya jujur. "Aku rela tidak dibayar olehmu sampai utangmu lunas. Meminta Ibu dan Ayah menjual rumah itu dan tutup usaha mereka! Asalkan aku terbebas dari pernikahan gila ini!" ucapnya dengan tegas.
William menyunggingkan senyumnya. Menatap Thania yang sudah jujur apa yang dia inginkan dari pernikahan ini.
"Tidak akan pernah terjadi!" ucapnya dengan sangat santainya mengatakan jika dirinya tidak akan pernah melepas Thania.
"Sampai kapan? Sampai kekasihmu kembali? Belum tentu dia masih mau pada kamu, Mas!"
William menganggukkan kepalanya. "Ya. Itulah yang aku khawatirkan. Jika itu terjadi, maka pernikahan ini bukan lagi pernikahan kontrak. Melainkan akan memilikimu selamanya."
Thania tersenyum campah. "Aku tidak mau selamanya menjadi istri kamu!"
"Why? Bukankah kamu mencintaiku?"
"Itu dulu! Sekarang tidak. Aku sudah tidak mencintai kamu lagi karena kamu penipu!" ucapnya dengan tegas.
William menghela napas kasar. "Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku. Minggu depan kita bulan madu. Tidak akan ada yang berani mengganggu kita di sana karena aku sudah membeli sebuah pulau yang hanya ada kita berdua saja di sana."
Thania menatap datar wajah William. "Yang kamu inginkan dariku hanya sebuah hubungan intim, kan? Hanya menginginkan tubuhku saja, kan? Memangnya selama kamu menjalin hubungan dengan Mhika, kalian tidak pernah tidur?"
William menatap lekat wajah Thania. "Bukan urusanmu! Tidak perlu bertanya mengenai itu lagi."
Thania tersenyum miris. Melirik wajah William yang tidak pernah sekali pun membuatnya bahagia. Hanya kebencian yang melekat dalam dirinya yang dulu sangat ia cintai.
Selesai menyiapkan keperluan William, perempuan itu mengambil ponselnya dan melihat beberapa pesan yang ia sembunyikan dari layar depan.
Thania: [Hans. Aku tidak bisa bertemu denganmu lagi karena William mengetahui kedatanganku ke apartemenmu waktu itu. Entah sampai kapan, tapi aku rasa di waktu dekat ini aku tidak bisa bertemu denganmu. Maaf ya, Hans.]
Tak lama setelahnya, Hans langsung menjawab pesan tersebut.
Hans: [It's okay, Thania. Yang penting kamu jaga diri, jaga kesehatan.]
Thania tersenyum tipis. Ia lalu segera menaruh ponselnya kembali setelah William masuk ke dalam kamarnya.
"Jangan pura-pura tidur, Thania. Aku tahu, kamu belum tidur." William duduk di samping tubuh Thania yang sudah menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.
"Thania?" panggil William sekali lagi.
Thania yang sedang tidak ingin debat lantas membuka matanya. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara seraknya.
William menghela napas panjang. "Mau aku yang membuka pakaianmu, atau kamu sendiri yang membukanya?"
Thania mengerutkan keningnya. "Apa lagi yang kamu inginkan, Mas?"
William lantas menyibakan selimut tersebut. "Tentu saja menginginkanmu, Thania," bisiknya kemudian meraup bibir perempuan itu dengan kasar.
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania
William memijat keningnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tentu saja bukan karena itu, Thania. Kamu jangan berasumsi yang aneh-aneh mengenaiku.""Oh, yaa? Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka lagi? Bukankah mereka teman baikmu? Teman dekatmu?"William menghela napas kasar. "Tidak ada topik lain, selain membahas temanku?"Thania menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku akan diam kembali.""Tapi, bukan berarti kamu harus diam, Thania. Kenapa kamu menyebalkan sekali. Astaga." William mengusapi keningnya dan kembali menyantap sarapannya."Aku masih kesal pada kamu, Mas. Aku tidak salah tapi kamu marahi. Seolah akulah yang dengan sengaja tebar pesona di depan mereka. Padahal, itu bukan keinginanku. Mereka yang duluan menggodaku."William menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku hanya khawatir kamu terluka oleh mereka. Maaf. Jika memang itu membuatmu sedikit sedih."Thania menganga mendengar permintaan ma
Usai makan malam, Thania dan William langsung kembali ke apartemen. Seperti yang dikatakan oleh William di taman tadi sore. Di mana ia akan menghabiskan waktunya dengan Thania di dalam kamar."Tapi, Mas. Aku ini manusia, bukan manekin atau mainan sextoy yang kayak di TV itu. Aku punya batas kelemahan dan nggak sekuat kamu," ujar Thania menolak permintaan dari William.Lelaki itu malah membuka sleting dress yang dikenakan oleh istrinya itu tanpa berucap apa pun. Sorot mata bak elang itu menatap lekat wajah Thania yang sudah ketakutan akan permainan gila yang dia lakukan setelah ini.Bibirnya menciumi ceruk leher perempuan itu dan menyesapnya pelan. "Nikmati saja semua permainan yang akan aku lakukan padamu, Thania. Jangan banyak komentar!" bisiknya kemudian menjatuhkan tubuh perempuan itu ke atas tempat tidur.Thania mengatur napasnya yang tak beraturan. Degup jantungnya berirama kencang karena rasa takut yang berlebih dalam dirinya.Satu persatu William membuka bajunya. Melepasnya dan
Satu minggu berlalu. Keduanya sudah kembali ke Indonesia setelah satu minggu lamanya berada di Kanada.Thania merapikan kembali baju-baju ke dalam lemari juga beberapa barang yang ia beli di Kanada. Ada pula barang yang hingga saat ini William tak bertanya benda apa itu. Yang tak lain adalah kotak ukuran sedang berisikan jam tangan pria di dalamnya.Akan diberikan kepada Hans jika ada waktu luang untuk bertemu dengan lelaki itu. Thania sudah berjanji akan memberikan oleh-oleh kepada Hans dan akhirnya memilih jam tangan yang ia simpan di dalam koper bajunya."Hari ini aku ada meeting dengan Pak Budiman di hotel Lavela. Jangan ke mana-mana! Jika ketahuan bertemu dengan teman lelakimu itu, aku tidak akan segan-segan menghukum kamu!"Thania mengangguk kecil tanpa menoleh pada suaminya itu. "Ya. Lagi pula, aku masih capek. Aku mau istirahat saja."William menatap datar wajah sang istri kemudian keluar dari kamarnya hendak pergi menemui kliennya di sebuah hotel.Thania kemudian mengambil po