William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik
William menarik tangan Thania dan membawanya menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat William membogem orang yang telah menggoda Thania."Kita pulang duluan!" ucap William pamit kepada teman-temannya."Lho. Kenapa pulang duluan? Kita makan aja belum. Memangnya kamu tidak kasihan pada istri kamu? Setidaknya dia makan dulu, Wil." Mark menahan William yang sudah ingin pulang padahal makan pun belum.William menoleh pada Thania yang hanya diam, menurut saja apa yang akan William pilih. Tetap pulang atau makan malam terlebih dahulu."Jangan kembali ke sana lagi. Aku akan membiarkan kamu disentuh oleh mereka jika kamu berani ke sana lagi," bisiknya seraya mengancam istrinya itu.Thania hanya diam. Bahkan ia pun tidak tahu jika hal ini akan terjadi. Ia kemudian duduk di samping William yang tengah meneguk wine miliknya. Melirik lelaki yang tengah menyimpan amarahnya.'Marahnya William sangat seram. Bahkan semua orang yang ada di sana begitu ketakutan karena melihat emosinya,' ucapnya
Setibanya di apartemen, Thania langsung dibawa ke dalam kamar dan mendudukan perempuan itu di atas tempat tidur. Menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam dan menghunus."Jangan pernah membuat emosiku semakin menjadi, Thania. Sudah aku katakan padamu jaga sikap! Jangan kamu perlihatkan kesempurnaanmu di depan pria. Kamu sudah membuatku marah!"Thania mengerutkan keningnya. "Maksudnya apa, Mas? Salah aku lagi, padahal mereka yang sudah menggodaku. Aku tidak pernah berniat untuk membuat mereka menggodaku. Tapi, mereka sendiri yang sudah melakukan itu."Thania mencari pembelaan karena dituduh telah memberikan kesempatan pada pria hidung belang untuk menggodanya."Jangan membantah! Aku sedang memarahimu, bukan untuk kamu jawab setiap ucapan yang aku lontarkan!" pekik William yang kini tangannya sudah mencengkeram bahu perempuan itu."Aw! Mas, sakit! Jangan menyiksaku lagi, Mas. Aku tidak salah. Kamu sendiri yang sudah membawaku ke sana. Kenapa aku yang kamu salahkan?" pekik Thania
William memijat keningnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tentu saja bukan karena itu, Thania. Kamu jangan berasumsi yang aneh-aneh mengenaiku.""Oh, yaa? Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka lagi? Bukankah mereka teman baikmu? Teman dekatmu?"William menghela napas kasar. "Tidak ada topik lain, selain membahas temanku?"Thania menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku akan diam kembali.""Tapi, bukan berarti kamu harus diam, Thania. Kenapa kamu menyebalkan sekali. Astaga." William mengusapi keningnya dan kembali menyantap sarapannya."Aku masih kesal pada kamu, Mas. Aku tidak salah tapi kamu marahi. Seolah akulah yang dengan sengaja tebar pesona di depan mereka. Padahal, itu bukan keinginanku. Mereka yang duluan menggodaku."William menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku hanya khawatir kamu terluka oleh mereka. Maaf. Jika memang itu membuatmu sedikit sedih."Thania menganga mendengar permintaan ma
Usai makan malam, Thania dan William langsung kembali ke apartemen. Seperti yang dikatakan oleh William di taman tadi sore. Di mana ia akan menghabiskan waktunya dengan Thania di dalam kamar."Tapi, Mas. Aku ini manusia, bukan manekin atau mainan sextoy yang kayak di TV itu. Aku punya batas kelemahan dan nggak sekuat kamu," ujar Thania menolak permintaan dari William.Lelaki itu malah membuka sleting dress yang dikenakan oleh istrinya itu tanpa berucap apa pun. Sorot mata bak elang itu menatap lekat wajah Thania yang sudah ketakutan akan permainan gila yang dia lakukan setelah ini.Bibirnya menciumi ceruk leher perempuan itu dan menyesapnya pelan. "Nikmati saja semua permainan yang akan aku lakukan padamu, Thania. Jangan banyak komentar!" bisiknya kemudian menjatuhkan tubuh perempuan itu ke atas tempat tidur.Thania mengatur napasnya yang tak beraturan. Degup jantungnya berirama kencang karena rasa takut yang berlebih dalam dirinya.Satu persatu William membuka bajunya. Melepasnya dan
Satu minggu berlalu. Keduanya sudah kembali ke Indonesia setelah satu minggu lamanya berada di Kanada.Thania merapikan kembali baju-baju ke dalam lemari juga beberapa barang yang ia beli di Kanada. Ada pula barang yang hingga saat ini William tak bertanya benda apa itu. Yang tak lain adalah kotak ukuran sedang berisikan jam tangan pria di dalamnya.Akan diberikan kepada Hans jika ada waktu luang untuk bertemu dengan lelaki itu. Thania sudah berjanji akan memberikan oleh-oleh kepada Hans dan akhirnya memilih jam tangan yang ia simpan di dalam koper bajunya."Hari ini aku ada meeting dengan Pak Budiman di hotel Lavela. Jangan ke mana-mana! Jika ketahuan bertemu dengan teman lelakimu itu, aku tidak akan segan-segan menghukum kamu!"Thania mengangguk kecil tanpa menoleh pada suaminya itu. "Ya. Lagi pula, aku masih capek. Aku mau istirahat saja."William menatap datar wajah sang istri kemudian keluar dari kamarnya hendak pergi menemui kliennya di sebuah hotel.Thania kemudian mengambil po
Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Hans ....""Thania. Aku sayang sama kamu. Aku nggak tega lihat kamu menderita kayak gini. Lebih cepat lebih baik. Kamu nggak perlu khawatirkan kondisi aku. Yang penting kamu bebas. Hanya sepuluh miliar kan, yang dia minta? Aku akan memberikannya!"Hans kemudian menutup panggilan tersebut lalu masuk ke dalam ruangan Reynold. "Om?"Reynold memutar kursinya menghadap Hans yang memanggilnya. "Ada apa, Hans?" tanyanya kemudian."Aku harus pulang ke Bandung."Reynold menghela napas kasar. "Hans. Orang tuamu masih trauma. Jangan buat mereka semakin membenci kamu karena hal ini. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk Thania. Kamu harus ingat itu, Hans."Hans menelan saliva dengan pelan. "Om. Aku nggak tega melihat Thania diancam, ditekan bahkan dimanfaatkan oleh William. Aku yakin, kekayaan aku dan dia sama banyaknya. Dia memiliki banyak perusahaan di berbagai kota, aku pun punya."Memangnya itu semua punya dia? Punya orang tuanya, kan? Dan dia semena-
Keesokan harinya. Thania tengah bersiap untuk pergi ke kantor karena sudah mulai beraktivitas seperti biasa lagi."Hari ini aku ada jadwal meeting di Jakarta Timur. Kamu tidak perlu menyiapkan materinya karena sudah aku siapkan kemarin. Kalau mau makan siang, langsung pesan saja karena mungkin aku akan lama di sana," ucap William memberi tahu yang kini yang tengah mengenakan dasi.Thania mengangguk. "Iya, Mas. Hari ini aku ada meeting dengan para manager di kantor untuk membahas project baru yang akan segera meluncur."William mengangguk. "Ya. Awasi semua manager, jangan sampai ada yang lengah apalagi lalai. Project ini sangat penting dan harus segera rilis sebelum saingan kita merilisnya lebih dulu.""Baik, Mas. Dimengerti. Kamu tenang saja. Aku akan mengingatkan seluruh manager dan juga staff divisi untuk fokus dalam pengerjaan project ini."William tersenyum tipis lalu mengusap pucuk kepala istrinya itu. "Kamu memang sangat bisa aku andalkan. Tetap profesional seperti ini meski kam