Wlliam mengerutkan keningnya melihat raut wajah Thania yang lebih bersemangat kala mendengar nama Mhika."Kenapa sepertinya kamu sangat antusias saat mendengar namanya?" tanyanya bingung.Thania menelan saliva dengan pelan. "Hanya ingin tahu saja. Kamu yang mulai, bertanya apakah aku masih ingat jika kamu masih memiliki kekasih. Tentu aku akan mengingatnya." Thania menjawabnya dengan ketus dan datar.William menggaruk alisnya. "Tapi, bukan karena dia sudah kembali. Mana mungkin aku kusut seperti ini jika dia sudah kembali. Tentu saja aku sangat bahagia."Thania memutar bola matanya. 'Memang biadab kamu itu, Willia!' ucapnya dalam hati."Ck! Lalu, kenapa kamu bahas dia kalau dia belum kembali?" tanyanya ingin tahu.William menghela napas kasar. "Aku masih belum menemukan di mana dia berada."Thania menaikan kedua alisnya. "Mas. Kamu ini kan, kaya raya. Banyak uang. Seharusnya bisa, mencarinya menggunakan anak buah yang kamu sewa. Kenapa malah diam saja, seolah sudah tidak mengharapkan
Tubuh Thania sangat remuk seperti baru saja dihantam batu satu truk. Terlalu semangat dan brutal perlakuan William kepadanya hingga membuatnya tak mampu menopang permainan gila suaminya itu.Ia terduduk lemas di kursi di mana kini ia sudah tiba di kantor dan telat setengah jam karena ulah William yang memintanya bermain hingga satu jam lamanya.Thania menangkup keningnya dengan kedua tangannya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Permisi, Mbak Thania. Ada surat untuk Anda."Thania segera mengambilnya kemudian mengulas senyumnya dengan lebar. Lelah yang ia rasakan kini menjadi riang kembali setelah mendapat surat, berharap surat tersebut merupakan surat dari Hans.Ia langsung membukanya dan kembali menerbitkan senyumnya. 'Sudah pasti dari Hans. Dia tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk selalu mengabariku,' ucapnya dalam hati sembari membacakan surat tersebut.'Hai! Besok si William ke Surabaya, yaa? Aku ada jadwal meeting ke hotel dekat kantor kamu. Bagaimana jika kita ke
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Thania dan William baru saja selesai makan malam bersama. Perempuan itu langsung masuk ke dalam kamar sementara William pergi ke balkon untuk merokok dan juga menghubungi seseorang untuk menanyakan keberadaan Mhika yang masih belum ia ketahui itu.Sementara Thania mengambil ponselnya dan mengabari Hans yang belum ia kabari selama beberapa hari ini.Thania: [What are you doing, Bestie?]Pesan terkirim.Tak lama kemudian, Hans membalas pesan tersebut.Hans: [Lagi duduk di balkon apartemen sambil ngopi dan makan cake. Kamu masih sering bikin cake, Than?]Thania yang melihat pesan dari Hans lantas terkekeh. "Masih inget aja, kalau aku sering bikin kue buat dia," gumamnya kemudian membalas pesan tersebut.Thania: [Masih. Besok, kalau William sudah berangkat ke Surabaya, nanti aku buatkan. Mau rainbow cake, brownies atau wafle?]Hans: [Apa saja. Yang penting buatan kamu. Udah lama nggak makan kue buatan kamu.]Thania menerbitkan senyumnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Tubuh Thania sudah mulai membaik setelah beberapa jam istirahat. Bersamaan dengan dirinya membuka mata, William menghubunginya.Perempuan itu lantas mengambil ponsel tersebut dan menerima panggilan itu. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya dengan pelan."Ya. Sudah dari tadi. Kamu baru bangun tidur?" tanyanya di seberang sana."Iya. Aku baru bangun. Mau mandi dulu, habis ini bikin kue untuk makan siangku.""Kenapa kamu yang buat? Kenapa tidak kamu suruh saja, ART di rumah? Istirahat saja, supaya badan kamu kembali fit."Thania memutar bola matanya. Mendapat perhatian dari William bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Melainkan ada hal yang dia inginkan dari perempuan itu."Kebetulan aku sedang ingin membuatnya sendiri, Mas. Tanganku masih bisa menguleni tepung. Bibi sedang sibuk dengan pekerjaannya."William menghela napasnya. "Ya sudah kalau begitu. Setiap dua jam aku akan menghubungimu selama di sini."Thania kembali memutar bola matanya. "Iya. Aku ma
"Bagaimana ini? William menghubungiku lewat panggilan video," ucapnya masih dalam keadaan panik.Winda menganga kemudian menoleh ke kanan dan kiri ruangan itu. "Masuk ke dalam kamar mandi saja, Than."Thania menoleh. "Udah mati. Lagian gue nggak pernah bawa HP ke kamar mandi. Dia bisa curiga kalau gue bawa HP ke kamar mandi.""Oooh. Gue pikir elo sering bawa HP ke kamar mandi. Ya udah, jangan kalau begitu. Balas aja, lagi mandi tadi."Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada Hans yang diam dan hanya menatapnya sembari tersenyum tipis."Apa yang akan terjadi, jika kamu ketahuan sedang main di rumah teman kamu sendiri? Dia marah, padahal kamu sedang main di rumah Winda?" tanyanya ingin tahu.Thania menelan saliva dengan pelan kemudian mengangguk. "Iya, dia akan marah padaku jika tahu aku pergi ke rumah Winda tanpa izin darinya," ucapnya jujur.Hans geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya dia begitu. Lalu, hidupmu hanya didedikasikan hanya untuk menemaninya saja? Itu buk
Lima hari sudah, William berada di Surabaya. Thania merasa aman dan bebas tidak ada suaminya itu. Meskipun setiap dua jam sekali selalu menghubunginya, baginya tidak masalah. Sebab tugasnya hanya menerima panggilan itu.Hanya dua menit saja, mereka berbincang lewat telepon. Hanya untuk memastikan jika Thania tidak bertemu dengan siapa pun karena tidak ada dirinya di sana."Huh! Bener-bener emang suami lo, Than. Posesifnya minta ampun. Kalau begitu, kenapa nggak mau lepasin Mhika aja terus jalin rumah tangga sama elo dengan damai. Kalau kayak gini kan, kelihatan banget kalau dia tuh sebenarnya suka, sama elo."Thania yang kini tengah berada di restoran milik Winda hanya mengulas senyum mendengar ucapan sahabatnya itu."Cinta nggak bisa dipaksa, Wind. Dia kayak gitu karena takut orang tuanya tahu. Karena kalau gue ketahuan jalan sama pria, dia takut gue kasih tahu semuanya ke mereka."Winda menaikan kedua alisnya. "Dih! Gak jelas banget itu orang. Takut elo ngadu, tapi masih aja nyakiti
Sepuluh hari berlalu.William sudah tidak sabar ingin segera kembali ke Jakarta setelah sepuluh hari lamanya di Surabaya menahan sabar tidak bertemu dengan Thania dengan segala kegelisahannya yang membuat dirinya tidak bisa tidur karena ulahnya sendiri."Hari ini William pulang. Kenapa aku tidak senang, dia pulang? Tidak bisakah diundur kepulangannya?" gumamnya sembari menatap kosong ke layar komputer yang ia nyalakan.Di kantor, Thania baru saja sampai di sana sebab waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Entah jam berapa William pulang, ia bahkan tak menanyakan hal itu pada sang suami.Masa bodoh. Meski pulang di malam atau sore hari ia benar-benar tak peduli. Bahkan yang ia inginkan adalah lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah.Thania menghela napasnya dengan panjang. Ia lalu menoleh ke arah ponselnya yang mana terdapat panggilan masuk dari William. Dengan malas, Thania menerima panggilan tersebut."Halo?" ucapnya pelan."Kamu sudah di kantor?" tanyanya di seberang sana."Iya. A
Bukan William namanya jika tidak brutal dalam menggerayangi tubuh Thania. Hingga dua jam lamanya, lelaki itu masih menyentuh Thania dengan segala gaya yang dia lakukan kepada perempuan itu.Thania yang sudah merintih, menitikan air matanya bahkan menjambak rambut William tentu tidak akan bisa membuat lelaki itu luluh apalagi berhenti bila belum ingin menyudahi semuanya."Mas! Argh ...." Thania memekik hebat kala tubuh William mendesak lebih dalam dan bergerak tanpa ampun. Tubuhnya yang sudah dibalik ke segala arah membuatnya terasa terkoyak-koyak habis."Sebentar lagi selesai. Bersabarlah. You know i can this, right? Jangan menolak!" ucapnya penuh penekanan.Tubuhnya kembali mendorong penuh di bawah sana hingga membuat Thania memekik hebat. Tangan yang sudah lemas itu tak dapat lagi memegang apa yang ada bisa ia genggam. Tubuhnya terkulai lemas karena ulah suaminya itu.Hingga akhirnya William mencapai puncaknya. Entah mani yang ke berapa yang dia semburkan di bawah sana. Sudah tidak
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani