Suara pintu yang terbuka membuat William menoleh. Sang mama sudah berada di sana kemudian menghampiri Thania dengan wajah paniknya."Apa yang terjadi pada Thania, Willi? Apa yang kamu lakukan padanya, huh?" tanya Rani tampak marah kepada anak bungsunya itu."Mami, calm down! Aku tidak melakukan apa pun padanya. Mungkin imunnya sedang tidak sehat makanya dia sakit, Ma. Tubuhnya demam semenjak aku pulang dari Surabaya. Saat aku masuk kamar, dia sudah pingsan."William menjelaskan dan tentunya tidak akan pernah ia beri tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ulah apa yang telah dia lakukan kepada Thania sehingga membuat perempuan itu kini harus terbaring di atas bangsal.Rani menghela napasnya. "Mulai sekarang, Thania tidak boleh jadi sekretaris kamu lagi! Dia harus bedrest di rumah, tidak ada lagi yang namanya bekerja di kantor kamu!" titah Rani kepada sang anak.William mengangguk. "Iya, Mi. Aku juga mau kasih tahu ini kepada Thania. Tidak boleh kerja lagi di kantorku. Dia pasti kelelahan ka
Hans masih memikirkan bagaimana cara dia menjenguk Thania di rumah sakit. Hatinya sedari tadi tidak tenang bila belum melihat langsung kondisi sahabatnya itu."Gue punya ide!" Winda mengagetkan Hans yang tengah menangkup dagunya dengan kedua tangannya."Apa?" tanya Hans menatap Winda."Kenapa nggak pura-pura jadi perawat aja di sana, Hans? Atau jadi tukang bersih-bersih di sana. Kalau aja William belum tahu muka elo, gampang sebenarnya kalau mau jengukin dia. Bilang aja, lo pacar gue."Hans menghela napas kasar. "Kalau ketahuan, kasihan Thania. Nanti makin sakit kondisinya karena dimarahi William. Dia pasti akan menyalahkan Thania karena mengundangku ke sana untuk menjenguknya.""Iya juga sih. Ya udah, kalau gitu elo harus nyamar jadi apa aja kalau masih pengen ketemu Thania. Nunggu dia sembuh belum tahu karena udah dua hari ini dia nggak ada kabar."Winda kemudian menatap Hans dengan lekat. "Hans! Apa jangan-jangan Thania koma?""Huss! Jangan bicara seperti itu, Winda. Memangnya Than
Thania masih enggan melihat wajah William yang masih bertahan duduk di sampingnya. Meski hanya hening yamg menemani mereka di sana, juga William yang sepertinya sudah luluh dan tidak mau menyakiti Thania lagi."Thania. Aku ingin meminta maaf pada kamu," ucap William yang sudah berulang kali ia katakan hal itu kepada Thania.Perempuan itu hanya menelan salivanya. Ia masih merangkai kata-kata agar bisa ia ucapkan kepada William.Sementara di luar sana, Hans mengintip di balik kaca jendela yang mana Thania dan William hanya saling diam tak berbicara apa pun kecuali William yang sedari tadi memandang sendu penuh rasa bersalah pada Thania.'Muka dua. Di saat-saat seperti ini, dia terlihat seolah apa yang telah dia lakukan kepada Thania hanya biasa. Bukan kesalahan yang fatal,' ucap Hans dalam hatinya.Amar menepuk bahu Hans dan menatapnya. "Besok pagi, jam delapan. Kita masuk ke dalam."Hans mengangguk pelan. "Thanks, Amar. Seenggaknya gue bisa ngobrol dan hibur Thania di saat-saat seperti
Thania masih bergeming. Ia ingin melihat berapa lama William bertahan dengan keyakinannya untuk meminta maaf dan rasa bersalahnya itu kepadanya.William kembali menggenggam tangan Thania agar perempuan itu dapat merasakan perasaan yang sebenarnya ia rasakan. Sangat takut kehilangan Thania yang baru ia tahu.Bahwa Thania tidak selemah yang dia bayangkan. Thania bisa melawan jika memang sudah tidak sanggup menjalani itu semua."Thania ... you hear me?" tanyanya dengan pelan.Thania masih bergeming, lalu melirik pelan ke arah suaminya yang masih berusaha itu."Aku belum percaya sepenuhnya. Tapi, seperti yang kamu bilang. Selalu ada kesempatan untuk berubah jika memang ingin berubah. Silakan berubah, untuk diri kamu sendiri."Bukan untuk aku. Jika kamu merubah diri kamu, maka akan bernilai baik untuk semua orang terdekatmu, bukan hanya bernilai baik pada diri kamu sendiri."William menganggukkan kepalanya. "Aku ingin memperbaiki semuanya. Jangan tinggalkan aku, please." William menatap se
Hans mengendikan bahunya. "Dari dr. Amar yang selama tiga hari ini merawat dan memeriksa kamu, Thania. Dia takut pada orang tuanya dan kelemahan dia adalah mereka."Thania menghela napasnya dengan panjang lalu manggut-manggut dengan pelan. "Iya. Dia memang takut pada kedua orang tuanya. Dan sekarang dia takut aku mengatakan hal ini semuanya pada mereka."Dia memohon agar jangan memberi tahukan hal ini kepada kedua orang tuanya dan berjanji akan berubah, tidak akan bersikap kasar lagi padaku. Entah benar atau tidak, lihat saja nanti."Hans menganggukkan kepalanya sembari mengusapi punggung tangan perempuan itu. "Dan kamu akan menunggu juga melihat perubahan itu?" tanyanya kemudian.Thania mengendikan bahunya sembari menatap wajah Hans dengan wajah sayunya. "Hanya beberapa hari saja, Hans. Tidak akan selamanya. Aku takut. Aku takut dia melakukan hal yang pernah dia lakukan lagi padaku."Hans menghela napasnya dengan panjang. "Kenapa kamu tidak mengadukan hal ini kepada orang tuanya? Sia
Di pagi harinya, Thania bangun dari tidurnya lalu menoleh ke arah samping kanan yang mana William sudah bangun lebih dulu darinya.'Kenapa bukan Hans, yang ada di sini? Kenapa harus orang ini yang ada di sini?' ucapnya dalam hati.Thania tak mengharapkan kehadiran William di sana. Yang dia butuhkan hanya Hans, yang bisa membuatnya lebih tenang bila ada lelaki itu di sana.Thania kemudian menghela napasnya dan mencoba untuk bangun dari tidurnya. Duduk menyandar lalu menatap William yang menghampirinya."Kamu sudah bangun, Thania. Padahal baru jam tujuh. Kemarin, aku dengar kamu bangun jam delapan."Thania hanya menatap datar wajah William. 'Itu karena aku malas melihat kamu, William!' Thania kembali berucap dalam hatinya.Thania menggeleng pelan. "Matanya sudah ingin terbuka, mau bagaimana lagi?" ucapnya ketus.William menghela napas kasar. "Kamu masih marah padaku, hm?" tanyanya dengan pelan."Harus bagaimana lagi agar kamu memaafkanku dan percaya padaku jika aku hanya menginginkan ka
Hans menelan salivanya dengan pelan. "Kalau begitu, jangan dekat-dekat dia kalau kamu masih takut, Thania. Selama ini kamu bersikap kasar padanya karena kamu takut, kan?"Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans. Tapi, untuk lepas darinya sepertinya masih butuh waktu. Setelah aku sembuh, aku ingin pulang ke Bandung dulu. Aku ingin menenangkan diri aku di sana."Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Thania. Sebaiknya kamu pulang ke Bandung saja dulu. Semoga nanti Papi sudah mendingan dan aku bisa menemani kamu di sana.""Thank you, Hans. Aku ingin pergi ke taman bermain yang dulu sering kita datangi, Hans. Can you?""Sure! Ke mana pun kamu ingin, aku akan menemaninya. Jika tidak bersama dengan William tentunya."Thania menghela napasnya dengan panjang. "Hans. Dia bilang, dia akan menuruti semua yang aku inginkan. Dan aku ingin pergi sendirian ke Bandung tidak perlu ditemani olehnya. Itu artinya, kita tidak perlu takut William akan menggangu."Hans terkekeh pelan. "Dia pasti akan menuru
Satu minggu berlalu ....Terhitung sejak Thania masuk ke rumah sakit, perempuan itu masih terbaring lemas di atas bangsal meski pengobatan sudah dilakukan dengan tiga dokter spesialis William kerahkan.Namun, rupanya perempuan itu masih tak ingin kembali ke rumah sebab takut disentuh dan William kembali brutal seperti dulu lagi."Terima kasih ya, Dok. Atas kerja samanya. Saya masih ingin di sini sampai tiga hari ke depan, yaa. Tidak masalah 'kan, Dok?" tanya Thania kepada Amar yang baru saja memberikan obat pereda sakit pada Thania."Tidak apa-apa, Bu Thania. Karena kondisi imun Anda juga belum begitu stabil. Sambil nunggu Hans pulang dari Bandung juga, bisa."Thania mengulas senyumnya. "Sepertinya saya, yang akan menyusul dia ke sana, Dok. Saya mau ke Bandung dulu untuk sementara waktu."Amar manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Jika ada yang dibutuhkan, boleh panggil saya saja. Nomor ponsel saya juga sudah saya beri kan, ke Ibu Thania?""Sudah, Dok. Sekali lagi terim
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani